ii
Penerbit : Fakultas
Peternakan
Universitas Jambi
PROSIDING Hasil Penelitian
“ Membangun Peternakan Berkelanjutan
Menuju Era Industri 4.0”
Jambi, 2 - 3 Oktober 2019
TIM PENYELIA : Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis , MS Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir . Hj. Adriani. MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS
ii
PROSIDING
HASIL PENELITIAN
SEMINAR NASIONAL 2019 “Membangun
Peternakan Berkelanjutan Menuju Era
Industri 4.0”
Tim Penyelia : Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis , MS Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir . Hj. Adriani. MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS
ISBN : 976-602-50946-2-0
Disain sampul dan tata letak :
Dr. Ir. H.M. Afdal, MSc., M.Phil.
Penerbit : Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Alamat : Kampus UNJA Mendalo Indah KM 15 Jambi 36361 Telepon/Fax : (0741) 582907
Cetakan pertama, Januari 2020
Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
iii
PROSIDING
Hasil Penelitian SEMINAR NASIONAL 2019
Membangun Peternakan Berkelanjutan Menuju
Era Industri 4.0”
Panitia Pelaksana kegiatan Seminar Nasional tahun 2019 Fakultas
Peternakan Universitas Jambi
Steering Comitee
Penanggung Jawab : Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc Agr. (Dekan Fakultas Peternakan)
Anggota Dr. Sc. Agr Ir. Teja Kaswari, M.Sc (W akil Dekan Bidang Akademik, Kerjasama dan Sistem Informasi) Dr. Ir. Agus Budiansyah, MS (W akil Dekan Bidang Umum, Perencanaan dan Keuangan) Dr. Ir. Depison, M.P. (W akil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni)
Ketua : Dr. Firmansyah, SPtM.P W akil ketua : Dr. Ir. Mairizal, Msi Sekretaris : Dr. Heni Suyani, SPt. Bendahara : Afriani H. SPt. M.P
Bagian Pelaksanaan Acara Seminar
: Prof. Dr. Ir . Adriani. MS
Ir. Yusrizal, MSc., Ph.D Ir. W iwaha A.S, MSc., Ph.D. Dr. drh. Fahmida Manin, MP Dr. Ir. Syafril Hadi, M.S Dr. Ir. H. Afzalani, M.P Dr. Ir. Suparjo, M.P
Bagian Sekretariat, Publikasi dan dokumentasi
: Dr. Ir. H.M. Afdal, MSc., M.Phil Dr. Ir . Akmal MSi Dr. Bagus Pramusintho, SPt.M.Sc. M. Hariski, S.Pi
RTS Sherly Dwijayanti, S.Pt., M.Pt. Siti Rahayu, S.E Drh. Nurbani Azis
Bagian Kerjasama : Dr. Ir. Fachroerrozy Hoesni, M.P.
Bagian Field Trip : Ir. Saitul Fakhri, M.Sc., Ph.D
Dr. Ir Rahmi Dianita S.Pt. M.Sc
Bagian Konsumsi : Nelwida, S.Pt., MP Filawati, S.Pt., MP
Bagian Perlengkapan dan Transprotasi
: Dr. Yatno, S.Pt., M.Si
Supriyadi, S.H W ahyudi Darmawan Fauzan Ramadan S.Pi
Penyelia : Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc. Agr. Prof. Dr. Ir. Hj. Adriani, MS Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS
Penyunting : Ir. W iwaha A.S, M.Sc., Ph.D Dr. Heni Suryani, S.Pt. Dr. Bagus Pramusintho, S.Pt. M.Sc
iv
KAT A PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmatNya kepada kita sekalian, serta dengan izinNya
SEMINAR NASIONAL TAHUN 2019 Hasil Penelitian yang bertema :
Membangun Peternakan Berkelanjutan Menuju Era Industri 4.0 yang
diadakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Jambi dapat terlaksana dengan
baik dan prosiding ini dapat diterbitkan.
Teknologi akan selalu berkembang untuk mendukung berbagai aspek
kehidupan manusia, tidak terkecuali di bidang peternakan. Industri
peternakan semakin berkembang di era industri 4.0 dimana produk
peternakan diciptakan dan dibuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat, smart,
dan efisien.
Prosiding ini memberikan kesempatan untuk berbagi informasi
tentang berbagai strategi untuk meningkatkan kemampuan peneliti
dalam melakukan penelitian serta penerapan hasil-hasil penelitian bidang
peternakan. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan inovasi serta
memenuhi tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial
ekonomi khususnya di bidang peternakan
Kami menyadari bahwa dalam penyelenggaran seminar ini masih
banyak kekurangan baik dalam penyajian acara, pelayanan
administrasi maupun keterbatasan fasilitas, serta penyusunan prosiding
Seminar Nasional hasil penelitian tahun 2019 ini masih banyak kekurangan.
Pada akhirnya kami ucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang
begitu tinggi kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan
prosiding Seminar Nasional hasil penelitian tahun 2019.
Jambi, Oktober 2019
Ketua Panitia
Dr. Firmansyah, S.Pt., MP.
v
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI ……………………………………………..……………………...… v
PEMAKALAH SEMINAR HASIL PENELITIAN
1. Kecernaan Serat Kasar Dan Energi Metabolisme Ayam Broiler Yang Diberi
Ransum Tepung Daun Lamtoro dengan Beberapa Perlakuan ....................................... 1
Nita Yessirita, Zasmeli Suhaemi, dan Yurnalis
2. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Potong Di Kecamatan Sumber
Harta Kabupaten Musi Rawas ...................................................................................... 12
Ririn Novita, Sadjadi, Budi Susilo
3. Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagai Pakan TambahanTernak Ruminansia Di
Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya ......................................................... 30
D.deLima dan C. K. Pattinasarany
4. Evaluasi Kualitas Fisik dengan beberapa Jenis Pengolahan Pakan pada Pelepah
Sawit Sebagai Pakan Ternak Kerbau Rawa (Buffelus asiaticus)
W. Ibrahim dan J. Laksono ........................................................................................... 42
5. Pengaruh Bioprosessing Kulit Buah kakao (Theobroma cacao) menggunakan
ProbiotikTerhadap Kandungan Fraksi Serat Serat ..................................................... 49
Sri Rahayu dan Djoko Subagyo
6. Kualitas Reproduksi Sapi Jantan PO Sebagai Calon Bibit yang Diberi Minum
Tersuplementasi Ekstrak Buah Merah ......................................................................... 58
Nurcholis, S.M. Salamony, dan D. Muchlis
7. Pengaruh Pengunaan Tepung Biji Asam kandis (Garcinia cowa) sebagai Imbuhan
Pakan Alami (NGPs) terhadap Kecernaan Protein, Energi Metabolis, Lebar Kripta
dan Panjang Vili Usus Ayam Pedaging… ................................................................... 65
O.Sjofjan, D.N. Adlia, S. Lailiyah, dan M.J. Abdillah
8. Potensi dan Produktivitas Ternak Itik di Kawasan Pasang Surut Kabupaten
Tanjung Jabung Barat ................................................................................................... 75
Jalius dan Musriadi
9. Strategi Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan Berdasarkan Model Sosial dan Ekonomi Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur ........................... 92
Afriani, H. Syafril, H. dan Firmansyah
10. Pengaruh Pemberian Probio_FM Powder dalam Pakan Terhadap Jumlah Eritrosit,
Nilai Hematokrit dan Kadar Hemoglobin Kambing Kacang ..................................... 104
Alexander, Pudji, R. Anie, I. Famida, M and Darlis
11. Efektifitas Senyawa Antibakteri Asal Pediococcus pentosaceus BAF715 untuk
Meningkatkan Kualitas Mikrobiologis Fillet Ikan Gabus (Channa Striata) Pada
Penyimpanan Suhu Chiling ....................................................................................... 111
Afriani dan Haris Lukman
12. Analisis struktur, perilaku dan kinerja (structure-conduct-performance) pasar
ternak sapi untuk meningkatkan efisiensi pemasaran di Kabupaten Batanghari ....... 124
Firmansyah, Afriani H, dan Aulia Arum Chandra Kartika
13. Keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab)
Berdasarkan Pemeriksaan Status Dan Gangguan Reproduksi Serta Pengendalian
Pemotongan Sapi Betina Produktif Di Kabupaten Tebo ........................................... 136
Fachroerrozi Hoesni dan Firmansyah
14. Evaluasi Penggunaan Berbagai Jenis Dan Konsentrasi Bahan Perekat Terhadap
Kualitas Fisik Biskuit Konsentrat Mengandung Indigofera
Untuk Ternak Kambing ............................................................................................. 150
R. A. Muthalib, Afzalani, Wati N, Dianita, R
15. Pengaruh Biourin dan Fungi Mikoriza Arbuskula terhadap Hasil Kecernaan
Bahan Kering dan Bahan Organik Hijauan Kumpai (Hymenachne amplexicaualis
(Rudge) Ness.) pada Lahan Bekas Tambang Batu Bara ........................................... 163
H. Syafria dan N. Jamarun
vi
1
Kecernaan Serat Kasar Dan Energi Metabolisme Ayam Broiler
Yang Diberi Ransum Tepung Daun Lamtoro dengan Beberapa
Perlakuan
Nita Yessirita1), Zasmeli Suhaemi2), dan Yurnalis1)
1)Prodi Tekhnologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Ekasakti,
Padang 2)
Prodi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa, Padang
Corresponding author e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Lamtoro adalah hijauan makanan ternak yang dapat dijadikan bahan
pakan ternak karena bernilai gizi baik namum defisiensi terhadap asam amino
metionin lisin, untuk itu harus didatangkan dari luar karena ternak unggas tidak
dapat memproduksinya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecernaan
serat kasar dan energi metabolisme ransum ayam pedaging yang mengandung
tepung daun leucaena (TDL) dengan beberapa perlakuan. Penelitian menggunakan
30 ekor ayam broiler umur 6-8 minggu. Percobaan ini menggunakan rancangan
acak lengkap, yang terdiri dari 3 perlakuan dan 8 ulangan. Perlakuannya adalah
sebagai berikut: R0 = ransum berbahan dasar + 7,5% TDL tanpa fermentasi, R1 =
ransum berbahan dasar + 7,5% TDL yang difermentasi oleh Bacillus laterosporus
dan R2 = ransum berbahan dasar + 7,5% TDL yang difermentasi oleh Bacillus
laterosporus dengan suplementasi 0,40 % metionin 1,25% lisin. Data dianalisis
dengan analisis varians (ANOVA) dan dilanjutkan oleh uji Duncan New Multiple
Range Test 5%. Parameter yang diamati adalah kecernaan serat kasar dan energi
metabolisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perlakuan sangat
nyata (P < 0,01) terhadap kecernaan serat kasar dan energi metabolisme ayam
broiler. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 7,5% tepung daun
lamtoro yang difermentasi oleh Bacillus laterosporus dengan suplementasi 0,40%
metionin 1,25% lisin dapat meningkatnya nilai kecernaan serat kasar (57,66%)
energi dan metabolisme (3013,49 kkal / kg) ayam broiler.
Kata kunci: serat kasar, kecernaan, energi metabolisme, perlakuan
PENDAHULUAN
Ternak unggas seperti broiler merupakan pilihan yang tepat dalam
memenuhi kebutuhan protein secara cepat. Dalam pemeliharaan ternak unggas
perlu diperhatikan kebutuhan nutrisi yang berhubungan dengan biaya pakan yang
memegang peranan penting karena mempengaruhi 70% biaya produksi. Untuk
menekan biaya pakan dicari alternatif dengan menfaatkan bahan lokal seperti
limbah dan hijauan, yang murah, dan banyak tersedia apabila diolah dengan baik
dapat dijadikan pakan broiler berkualitas, salah satunya daun lamtoro.
2
komposisi proksimat yaitu 88,2% bahan kering, 21,8% protein kasar, 15,1% serat
kasar, 3,1% abu, 8,6% lemak, dan 50,7% BETN dan ditambahkan oleh
Ayssiwede, et al. (2010) menambahkan dari beberapa hasil penelitian, bahwa
lamtoro penting sebagai sumber bahan pakan karena kaya akan protein, asam-
asam amino esensial, mineral, karotenoid dan vitamin. Namum demikian terdapat
mimosin sebagai faktor toksik penting dan sering disebut sebagai penghambat
dalam pemanfaatan secara intensif.
Yessirita (2013) melaporkan tepung daun lamtoro difermentasi dengan
Bacillus laterosporus, menggunakan bakteri yang berasal dari saluran pencernaan
itik Pitalah sebagai inokulum fermentasi dapat mendetoksi mimosin daun lamtoro
dan mereduksi Mimosin 64,89% (dari 2,62 turun menjadi 0,92%) serta
peningkatan Beta-karoten 96,91% (dari 972,75 ppm naik menjadi 1915,48 ppm).
Permasalahannya bahwa produk samping fermentasi mengandung asam
nukleat, dimana protein tidak dimanfaatkan maksimal pada unggas karena tidak
memiliki enzim Ribonuklease akan terbuang bersama feces, sehingga protein
yang dihasilkan bukan protein yang mengandung asam-asam amino yang lengkap
(Safaa et al, 2008). Selanjutnya ditambahkan Garcia et al, 1996) bahwa lamtoro
defisiensi akan asam amino metionin dan lisin, jadi harus didatangkan dari luar
karena ternak tidak dapat memproduksinya sendiri, untuk itu perlu suplementasi
asam amino metionin lisin sintesis mengatasi masalah tersebut (Widyastuti,
2010). Asam amino lisin dan metionin, merupakan asam amino perlu
diperhatikan dalam menyusunan ransum karena lisin merupakan asam amino
pembatas utama unggas disusul metionin sebagai asam amino pembatas kedua,
yang merupakan asam amino essensial dalam pakan unggas (Lessson and
Summers, 2001). Tepung daun lamtoro fermentasi dan disuplementasi 0,40%
metionin dan 1,25% lisin dapat meningkatkan kandungan protein kasar 6,88%
menurunkan serat kasar 39,30% dan kandungan Betakaroten 68,49%, lebih baik
dibandingkan produk fermentasi tanpa suplementasi metionin-lisin (Yessirita,
2017).
Pengukuran kecernaan disebut jugq nilai cerna suatu bahan pakan adalah
usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari bahan pakan yang didegradasi dan
diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrisi
yang diserap dalam saluran pencernaan dimana hasilnya akan diketahui, yaitu
Eniolorunda (2011) melaporkan Tepung daun lamtoro (TDL) mempunyai
3
yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah
diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap (Suhardjo dan Kusharto,
2001).
Energi metabolis menurut Sibbald (1980) adalah perbedaan antara
kandungan energi bruto bahan pakan atau ransum dengan energi bruto yang
dikeluarkan melalui ekskreta. Dalam menyusun ransum untuk unggas selain
kandungan nutrien seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral
juga kandungan energi perlu di perhatikan mengingat tingkat energi ransum
menentukan banyaknya pakan yang dikosumsi (Wahju, 1997). Kebutuhan energi
dijadikan standar dalam penyusunan ransum ternak sehingga pengetahuan
kandungan energi secara kuantitatif sangat penting (Mc Donald et al.,2010).
Anggorodi (1995) menyatakan bahwa zat nutrisi sumber energi adalah
karbohidrat, lemak dan protein, sedangkan menurut Wahju (1997) karbohidrat
berbentuk selulosa, hemiselulosa, dan lignin sulit dicerna oleh unggas. Tingginya
kandungan serat kasar dapat memberikan dampak negatif terhadap metabolisme
energi. Apabila polisakarida dalam serat kasar tidak dapat dicerna, maka bisa
menurunkan ketersediaan energi dalam ransum, sedangkan jika polisakarida
dalam serat kasar dapat dicerna, selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan
energi dalam ransum dan meningkatkan energi metabolis (Elvina, 2008).
Berdasarkan hal di atas maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh suplementasi metionin lisin Kecernaan Serat Kasar dan
Metabolisme Energi pada ayam broiler.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan di Lolong Padang.
Metode penentuan kualitas nutrisi perlakuan terhadap energi metabolisme dan
retensi nitrogen menggunakan metode Sibbald dan Morse (1983) yang
dimodifikasi oleh Darana (1995). Analisa retensi N dan Metabolisme energi
dilaksanakan di labor Nutrisi non Ruminansia, Fakultas Peternakan Unand
Padang. Penelitian ini menggunakan 30 ekor broiler strain Cobb, berumur 6-8
minggu dengan bobot badan ±1600 gram. Kandang yang digunakan adalah
kandang battery berukuran 20x30x30 cm sebanyak 30 unit, dilengkapi dengan
dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan dan jumlah nutrien
4
digital O’Haus (untuk menimbang ayam, ransum dan eksreta), wadah penampung
eksreta, tabung penyemprot, spuit untuk mencekokkan ransum perlakuan ke
broiler, aluminium foil, pengaduk dan oven untuk mengeringkan eksreta. Bahan
kimia yang digunakan adalah aquades 1 liter dan H2SO4 0,3 N. Pakan yang
digunakan adalah, jagung giling, dedak, bungkil kedelai, tepung ikan, premix A,
tepung daun lamtoro: tidak difermentasi, difermentasi dengan Bacillus
laterosporus dan, difermentasi dengan Bacillus laterosporus ditambah suplemen
0,40% metionin dengan 1,25% lisin. Komposisi zat-zat makanan dan energi
metabolisme dari bahan makanan penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 1.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan Rancangan
acak lengkap (RAL) (Steel and Torrie, 1994) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 8
ulangan, dengan susunan sebagai berikut:
R0 = Ransum basal + LLM tidak difermentasi
R1 = Ransum basal + LLM difermentasi dengan Bacillus laterosporus
R2 = Ransum basal + LLM difermentasi dengan Bacillus laterosporus
disuplementasi 0,40% metionin 1,25% lisin
Pada penelitian ini, ayam ditempatkan di kandang battery secara individual
dan diberi pakan perlakuan masing-masing 10% dari berat badan (BB).
Penampungan eksreta dilakukan setelah ternak dipuasaka selama 24 jam.
Penampungan eksreta dilakukan setelah ternak dibei ransum perlakuan. Setiap
eksreta disemprot H2SO4 setiap 3 jam, supaya Nitrogennya tidak menguap. Ayam
diberi minum ad libitum. Kemudian eksreta dikeringkan dan digiling dan
ditimbang untuk kemudian dianalisa. Parameter yang diukur adalah : daya cerna
serat kasar dan energi metabolismenya.
A. Pelaksanaan Penelitian
Proses Fermentasi Tepung Daun Lamtoro dengan Bacillus laterosporus
1. Persiapan substrat tepung daun lamtoro
Lamtoro yang dipakai dalam penelitian ini , adalah lamtoro lokal yang
memilki tinggi 2 – 5 m, diambil daunnya, kemudian dioven suhu 60oC selama 24
jam, selanjutnya digiling untuk dijadikan tepung (untuk ransum R0)
2. Pembuatan inokulum
Pembuatan inokulum dengan menggunakan substrat dedak 100 g ditambah
dengan aquades 60 ml di autoklaf selama 30 menit pada suhu 120oC, 1 atm lalu
tempat makan dan minum. Perlengkapan yang digunakan adalah timbangan
5
tambahkan 20 ml aquades, kemudian digerus dengan jarum ose. Selanjutnya
divortek agar larutan homogen, campurkan isolate kedalam plastik yang berisi
dedak, diaduk hingga merata dan ditutup kemudian diberi lubang untuk menjaga
aerasi. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.
3. Prosedur fermentasi
Substrat kering tepung daun lamtoro ditimbang dengan berat 1 kg.
Ditambahkan aquades 800 ml. Kemudian diautoklaf selama 30 menit dengan suhu
1210 C, 1 atm. Setelah itu diinokulasi dengan Bacillus laterosporus sebanyak 6%
dari jumlah substrat (untuk ransum R1), dan satu lagi untuk perlakuan tepung
daun lamtoro fermentasi disuplementasi 0,40% metionin dan 1,25% lisin (untuk
ransum R2) kemudian diinkubasi selama 24 jam seterusnya produk fermentasi
Dikeringkan pada suhu 600C selama 24 jam. Produk yang telah dikeringkan siap
dipakai, untuk pakan ternak.
Perhitungan kecernaan serat kasar dan energi metabolisme dihitung berdasarkan
rumus berikut :
A. Energi Metabolisme
Untuk pengukuran Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn)
dan Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn) dilakukan dengan 2
pendekatan, yaitu:
Berdasarkan metode Sibbald (1980)
Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) (Kal/kg) EMSn =
(EB x K) – {(EBe x Y) + (8,22 x RN)} x 1000
K
Keterangan :
EB = energi bruto bahan pakan (Kal/kg)
EBe = energi bruto ekskreta (Kal/kg)
EBk = energi bruto ayam yang dipuasakan (endogenous) (Kal/kg)
K = konsumsi bahan kering ransum (g)
Y = berat kering ekskreta ayam yang diberi pakan perlakuan (g)
Z = berat kering ekskreta ayam yang dipuasakan (endogenous) (g)
RN = retensi nitrogen (g)
8,22 = nilai yang terkoreksi sebagai asam urat (Kal/kg) dalam Sibbald (1980
didinginkan sampai suhu sekitar 37oC. Diambil tabung reaksi yang berisi isolate,
6
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
B. Kecernaan Serat Kasar
Kecernaan Serat Kasar (%) = Konsumsi SK – SK Ekskreta X 100%
Konsumsi SK
Keterangan :
SK = Serat Kasar
Konsumsi SK = Kadar serat kasar ransum x jumlah konsumsi
SK ekskreta = Jumlah ekskreta x SK ekskreta
Komposisi Bahan dan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolisme Ransum Percobaan,
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Komposisi Bahan dan Zat Makanan dan Energi Metabolisme Ransum Percobaan
Bahan Pakan R0
Ransum Perlakuan (%)
R1
R2
Jagung giling 48,50 49,50 48,50
Dedak halus 21,00 21,00 21,00
B. Kedelai 10,00 10,00 10,00
T. Ikan 11,00 11,00 11,00
TDLF+ metionin+lisin 0,00 0,00 7,50
TDL tanpa fermentasi 7,50 0,00 0,00
TDLF 0,00 7,50 0,00
Premix A 2,00 2,00 2,00
Total 100 100 100
Kandungan Nutrien
Protein kasar (%)
20,02
20,21
21,19
Lemak (%) 6,45 6,34 6,52
Serat kasar (%) 5,43 5,23 5,14
Ca (%) 0,89 0,76 0,54
P (%) 0,69 0,53 0,67
Metionin (%) 0,4539 0,4531 0,4576
Lisin (%) 0,8165 0,8770 0,9637
ME (kkal/kg)b 2987,45 3056,13 3115,23
Keterangan :
a = Analisis Laboratorium. Nutrisi Non Ruminansia (2019)
b = Analisa Laboratorium Terpadu IPB (20167) dan Wahju (1997)
TDL tanpa Ferm = Tepung Daun Lamtoro Tanpa Fermentasi
TDLF = Tepung Daun Lamtoro Fermentasi Bacillus laterosporus
TDLF met+-lisin = Tepung Daun Lamtoro Fermentasi + 0,40% Methionin + 1,25% Lisin
R0 = Ransum Basal + TDL tanpa fermentasi.
R1 = Ransum Basal + TDL Fermentasi
R2 = Ransum Basal + TDL Fermentasi + 0,40% Methionin + 1,25% Lisin
7
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan nilai retensi nitorgen dan rataan nilai metabolisme menggunakan
ransum TDL fermentasi disuplementasi 0,40 % metionin 1,25% lisin pada brioler
disajikan pada Tabel 2, dan digambarkan di Gambar 1.
Tabel 2. Rataan Nilai Kecernaan Serat Kasar dan Energi Metabolisme Ransum Mengandung Tepung Daun Lamtoro beberapa Perlakuan
Parameter Parameter
R0 R1 R2 Kecernaan Serat kasar (%) 42,21a 52,52b 57,66c
Metabolisme Energi 2288,15a 2706,80b 3013,49c
(Kkal/kg)
Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P < 0,01).
Hubungan antara nilai kecernaan serat kasar dan metaboilisme, dapat dilihat pada
Gambar 2 di bawah ini
Gambar 1. Diagram Kecernaan Serat Kasar dan Energi Metabolisme Ramsum
Perlakuan
A. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Kecernaan Serat Kasar
Ransum perlakuan tepung daun lamtoro tidak difermentasi, yang
difermentasi maupun difermentasi dan disuplementasi metionin lisin, dari analisis
sidik ragam menujukkan pengaruh sangat nyata terhadap kecernaan serat kasar
(P<0,01). Kecernaan serat kasar semakin menigkat dengan perbedaan perlakuan
yaitu berturut-turut R0 (42,21%), R1 (52,52%) dan R2 (57,66%), hal ini jelas
terlihat pada Gambar 2, dimana kecernaan kasar tertinggi terdapat pada ransum
R2 yang mendapat perlakuan TDL difermentasi dengan Bacillus laterosporus,
disumpementasi 0,40% metionin 1,25% lisin.
8
kasar yang dimiliki masing-masing perlakuan.juga berbeda. Kecernaan serat
kasar ransum perlakuan berpengaruh sangat nyata karena kandungan serat kasar
dan konsumsi serat kasar ransum perlakuan yang berbeda. Kandungan serat kasar
dalam ransum, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas dari mikroorganisme
mempengaruhi kecernaan serat kasar. Hal ini sesuai pendapat Hidanah et al.
(2013) kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain
konsumsi pakan, kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan
aktivitas mikroorganisme.
Menurut Prawitasari et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan serat kasar
dalam ransum yang semakin tinggi menyebabkan kecernaan serat kasar yang
semakin rendah begitu juga sebaliknya. Kadar serat kasar yang tinggi dalam
pakan menyebabkan kurangnya kecernaan zat lain yang ada pada pakan yang
dapat menyebabkan turunnya konsumsi ransum pada broiler. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tillman et al. (2001), yang menyatakan bahwa kecernaan serat
kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar
yang di konsumsi. Ditambahkan bahwa kadar serat kasar terlalu tinggi dapat
mengganggu pencernaan zat lain. Selanjutnya Despal (2000) menyatakan bahwa
serat kasar memiliki hubungan negatif dengan daya cerna serta kasar.
B. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Energi Metabolisme
Nilai energi metabolisme tertinggi pada perlakuan terdapat pada R2
(3013,16 kkal/kg) diikuti R1 (2706,80 kkal/kg) dan yang terendah pada perlakuan
R0 (2288,15 kkal/kg). Analisis sidik ragam menunjukkan terdapat perngaruh
yang sangat nyata (P<0,01) terhadap energi metobolisme ayam broiler. Menurut
Hapsari (2006) faktor yang mempengaruhi energy metabolisme terdiri dari
kandungan energi ransum, konsumsi pakan, jenis ternak dan umur serta
kemampuan ternak untuk melakukan metabolisme didalam tubuh.
Menurut Bahri dan Rusdi (2008) bahwa energi metabolis merupakan energi
yang digunakan ternak untuk menjalankan aktivitas berupa mempertahankan
suhu tubuh, metabolisme, aktifitas fisik, produksi, reproduksi dan pembentukan
jaringan dan tingkat energi metabolisme berhubungan erat dengan kecernaan dan
penyerapan zat-zat makanan. Menurut Mc Donald et al (2010) bahwa daya cerna
ransum yang rendah menyebabkan banyak energi yang hilang melalui eksreta,
Kecernaan serat kasar ransum perlakuan berbeda karena kandungan serat
9
eksreta sedikit. Jumlah serat kasar yang tidak tercerna akan membawa sebagian
nutrien lain yang tercerna ikut ikut keluar bersama dengan eksreta. Selanjutnya
menurut Wulandari et al. (2013) ketersediaan energi metabolis dalam ransum
akan berkurang apabila kandungan polisakarida dalam serat kasar susah untuk
dicerna begitu juga sebaliknya
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimaksih diucapkan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat (DRPM), dimana penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dana
penelitian Hibah Terapan dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementrian Riset, Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi dengan
Nomor SP DIPA-042.06.1.401516/2019, Tanggal 5 Desember 2018, dan Kontrak
Penelitian Terapan, No: 005/LPPM-UNES/Kontrak-Penelitian-J/2019, Tanggal 08
April 2019..
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa 7,5% tepung
daun lamtoro yang difermentasi dengan Bacillus laterosporus dengan
suplementasi 0,40% methyonine 1,25% lisin dapat digunakan sebagai salah satu
bahan pakan alternatif ransum ayam broiler dilihat dari meningkatkan nilai
kecernaan serat kasar (57,66%) dan energi metabolisme (3013,49 kkal / kg) .
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta: Gramedia
Pustaka, Utama. Steel, R.G.D 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu
Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Ayssiwede, S.B., A. Dieng., C. Chrysostome., W. Ossebi., J.L. Hornick and A.
Missohou. 2010. Digestibility and metabolic utilization and nutritional value
of Leucaena leucocephala (Lam.) leaves meal incorporated in the diets of
indigenous Senegal Jurnal Zootek (“Zootrek” Journal ) Vol. 35 No. 1 : 72-
77 (Januari 2015) ISSN 0852 -2626 77 chickens. Int. J. of Poult. Sci. 9
(8):767-776. Davies, H.L. 1982. Nutrition and Growth Manual. AUIDP.
Melbourne.
Bahri, S dan Rusdi. 2008. Evaluasi energi metabolis pakan lokal pada ayam
petelur. J. Agroland. 15 (1) : 75-78.
sebaliknya daya cerna yang tinggi menyebabkan energi yang hilang melalui
10
Darana, S. 1995. Penggunaan Sorghum bicolar L. Moench yang Difermentasi
dengan Kapang Rhizopus oligoporus dalam Ransum Ayam Pedaging.
Disertasi, Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Despal. 2000. Kemampuan komposisi kimia dan kecernaan in vitro dalam mengestimasi kecernaan in vivo. Media Peternakan, 23 (3): 84-88.
Elvina. D. 2008. Nilai energi metabolis ransum ayam broiler berbasis Pollard
yang ditambahkan enzim Xilanase dan diprosaes dengan mesin Pelleter.
Fakultas Peternakaa Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Eniolorunda, O.O. 2011. Evaluation of biscuit waste meal and Leucaena
leucocephala leaf hay as sources of protein and energy for fattening
“yankassa” rams. African J. of Food Sci. Vol. 5 (2):57-62.
Garcia, G.W., T.U. Ferguson., F.A. Neckles dan K.A.E. Archibald. 1996. The
nutritive value and forage productive of Leucaena
leucochepala. Anim. Feed Sci. Technol. 60: 29 – 41.
Hapsari, R. P. 2006. Energi metabolis dan Efisiensi Penggunaan Energi Ransum
Ayam Broiler yang mengandung Limbah Restoran sebagai Pengganti Dedak
Padi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Hidanah, S., E. M. Tamrin., D. S. Nazar dan E. Safitri. 2013. Limbah tempe dan
limbah tempe fermentasi sebagai substitusi jagung terhadap daya cerna serat
kasar dan bahan organik pada itik petelur. Jurnal Agroveteriner. 2 (1): 71-
79.
Leeson, S dan J. D. Summers. 2001. Comercial Poultry Nutrition. Thirth Edition.
Departement of Animal and Poultry Science. University of Guelph
Ontariom, Canada.
Mc Donald, P., A. Edwards and J.F.D. Green Haigh. 1994. Animal Nutrition. 4th
Ed. Longman Scientific and Technical. Copublishing in The USA with John
Wiley and Sons. Inc. New York.
Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismdi dan I. Estiningdriati. 2012. Kecernaan
protein kasar dan serat kasar serta laju digesta pada ayam arab yang diberi
ransum dengan berbagai level Azolla microphylla. Animal Agricultur
Journal. 1 (1): 471- 478.
Safaa, H.M., D.G. Valencia., E. Arbe., E. Jibenez-Morena., R. Lazaro., G.G.
Moteos G.G. 2008. Effect of the level of Methionine, linoleic acid and
added fat in the diet on productive poerformance and egg quality on Brown
laying hen the late phase of production. Poult. Sci. 87 (8): 1595-602.
Sibbald, I.R dan P.M Morse. 1983. Provision of suplemental feed and the
aplication of Nitrogen coorection in Bioassay for true metabolizable energy.
Poultry Science 62; 1587 – 1605.
Sibbald, I.R. 1982. Measurement of bioavailable energy in poultry feedingstuffs.
Ca. J. of Anim. Sci., 62: 983-1048.
Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia. Pustaka Utama,
Jakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusuma & S.
Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada,
University.
Widyastuti., C.H. Prayitno dan Sudibya. 2007. Kecernaan dan intensitas warna
kuning telur itik lokal yang mendapat pakan tepung kepala udang, tepung
11
daun lamtoro dan suplementasi L-Carnithin. 2007. Animal Production.
ISSN 1411 – 2027. Vol 9 No.1 hlm : 30 – 35.
Wulandari, K. Y, V. D. Y. B. Ismadi., dan Tristiarti. 2013. Kecernaan serat kasar
dan energi metabolis pada ayam Kedu umur 24 minggu yang diberi ransum
dengan berbagai level protein kasar dan serat kasar. Journal Animal
Agriculture. 2 (1) : 9 - 17.
Yessirita, N., H. Abbas., Y. Heryandi dan A. Dharma. 2013. The effect of
Leucaena Leaf Meal (Leucaena leucochepala) Fermented by Bacillus
laterosporus and Trichoderma viride in the ration on Performance of Pitalah
Ducks. Pakistan. J. Nutr., 12(7): 678-682.
Yessirita, N., H. Abbas., Y. Heryandi dan A. Dharma. 2017. Improved quality
lamtoro leaf meal fermented Bacillus laterosporus with the addition of
supplement methionine-lysin synthetic. J. Scientific
and Engineering Research, India, 4(10): 483-488.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
12
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan pada sapi Potong Di
Kecamatan Sumber harta kabupaten musi Rawas
Ririn Novita*, Sadjadi, dan Budi Susilo
Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Musi Rawas
Coressponding author email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan Inseminasi
Buatan pada Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta Kabupaten Musi Rawas.
Parameter yang diamati adalah Service per Conception (S/C), Conception Rate
(CR), Non Raturn Rate (NRR) dan Calving Interval (CI). Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survey di seluruh Kecamatan Sumber Harta Kabupaten
Musi Rawas yang dipilih paling banyak populasi ternak. Karena populasi yang
sifatnya menyebar diantara lokasi tersebut, maka dilakukan pengambilan sampel
secara Analisis deskriptif dengan menggunakan rumus Slovin sehingga
didapatkan 91 sampel. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
Conseption Rate (C/R) di Kecamatan Sumber Harta sangat baik karena di peroleh
75,82 %. Angka S/C di Kecamatan Sumber Harta rata-rata menunjukkan 1,4.
Sedangkan untuk nilai NRR di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30 diperoleh
persentase yaitu 75,82 %. NRR31-60 diperoleh 91,21 % dan NRR61-90 diperoleh
94,51 %. Nilai Calving Interval (CI) sangat baik yaitu mencapai rata-rata 12,4
atau 12 bulan 4 hari.
Kata Kunci : IB, Kecamatan Sumber Harta, Sapi Potong, Tingkat Keberhasilan
PENDAHULUAN
Sebagian besar penduduk di Indonesia khususnya didaerah pedesaan
menginvestasikan sebagian hartanya untuk beternak sapi, hal ini dikarenakan nilai
jual sapi yang cukup tinggi seperti halnya Sapi Potong. Sedangkan Sapi Potong
merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging.
Sapi Potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi
pedaging adalah seperti berikut: tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,
kualitas dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan, laju pertumbuhan cepat,
efisiensi pakannya tinggi (Abidin, 2010)
Usaha ternak Sapi Potong di Indonesia membutuhkan perhatian khusus
dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan dan menunjang peningkatan
populasi ternak. Guna peningkatan populasi tersebut maka dilakukan pemanfaatan
13
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
teknologi reproduksi peternakan melalui teknik Inseminasi Buatan (IB) dengan
menggunakan semen beku (Kaiin et.al, 2004)
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Sumber Harta Kabupaten
Musi Rawas dilaksanakan selama tiga puluh hari di mulai pada bulan Maret 2019.
B. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
langsung di lapang dengan metode pengambilan sampel secara sengaja (purposive
sampling ) dengan ketentuan sapi betina indukan yang masuk dalam akseptor IB
di Kecamatan Sumber Harta dibuktikan dengan adanya kartu recording IB yang
dimiliki peternak, data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data
sekunder.
Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan peternak
dan inseminator untuk dijadikan responden. Data primer yang diambil meliputi
identitas peternak, umur ternak, jenis sapi, dan pengetahuan peternakdalam sistem
pemeliharaan induk.
Data sekunder didapat dari data recording IB inseminator setempat, studi
pustaka dan keterangan dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Musi
Rawas.
Variabel Pengamatan
1. Service per Conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi (service)
yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan (konsepsi)
dihitung dengan rumus; straw yang digunakan dibagi ternak betina bunting
(Susilawati, 2011). Pengambilan data (S/C) dilakukan dengan cara melihat dan
bertanya langsung kepada inseminator dengan dibuktikan adanya kartu peserta
(IB) dan mengambil data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Musirawas. Kemudian data dikumpulkan dan akan dihitung dengan rumus :
S/C Σ straw yang digunakan
x 100%
Σ ternak betina yang bunting
14
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
2. Conception rate (CR) merupakan jumlah akseptor yang bunting pada IB ke - I
dibagi jumlah semua akseptor kali 100% (Susilawati, 2011a). Menghitung nilai
variabel Conception rate (CR) yang diperoleh dari inseminator dan Dinas
Pertanian dan Peternakan berdasarkan kartu pelaksanaan (IB) yang
diformulasikan dengan rumus:
C.R Σ ternak betina bunting IB pertama
x 100%
Σ ternak betina yang di inseminasi
3. Non Raturn Rate (NRR) adalah persentase sapi betina akseptor IB yang tidak
kembali lagi birahi selama 20-60 hari atau 60-90 hari pasca pelaksanaan IB.
Metode NRR berpedoman pada asumsi bahwa jika sapi yang telah diinseminasi
dan tidak birahi lagi, maka dianggap bunting (Susilawati, 2011a). NRR yang
digunakan dalam penelitian ini adalah NRR0-30, NRR31-60 dan NRR61-90.NRR0-
30 diamati pada hari ke 0-30, NRR31-60 diamati mulai hari ke 31-60 dan NRR61-
90 diamati mulai hari ke 61-90. Sapi yang menunjukkan tanda-tanda birahi
setelah IB ke tiga maka dianggap gagal. Menurut Iswoyo dan P
Widiyaningrum (2008), rumus menghitung NRR adalah sebagai berikut:
NRR
NRR
030
3160
Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang S
Σ sapi yang di IB x 100%
Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang SS
x 100%
Σ sapi yang di IB
NRR
6090
Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang SSS x 100%
Σ sapi yang di IB
4. Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran satu dengan kelahirann
berikutnya pada ternak betina. Jarak kelahiran (CI) merupakan salah satu
ukuran produktivitas ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang
singkat. Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan
bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi reproduksi dikatakan baik apabila
seekor induk sapi dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and
Peters, 2004).
15
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis Kecamatan Sumber Harta berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Megang Sakti.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu (STL
Ulu) Terawas.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Megang Sakti dan Kecamatan
Purwodadi.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Suku Tengah Lakitan (STL Ulu)
Terawas.
Kecamatan Sumber Harta terdiri dari 9 Desa dan 1 Kelurahan. Terdapat 1
Desa baru yaitu Desa Sumber Asri yang berasal dari sebagian wilayah Kelurahan
Sumber Harta. Luas wilayah Kecamatan Sumber Harta sebesar 10.378,03 Ha,
dimana Desa Madang memiliki wilayah terluas yaitu 3.181,78 Ha atau sekitar
30,66 persen dari luas wilayah Kecamatan Sumber Harta. Sedangkan yang
memilki luas wilayah terkecil adalah Desa Sukamulya yaitu 278,85 Ha atau hanya
sekitar 2,69 persen dari Luas wilayah. Jumlah Penduduk Kecamatan Sumber
Harta tercatat sebanyak 17.062 jiwa. Dimana penyebaran penduduk Sumber Harta
cukup merata dengan kepadatan penduduk sebear 164,40 jiwa/km2. Sedangkan
untuk letak geografis wilayah Kecamatan Sumber Harta merupakan daerah bukan
pantai, dengan rata-rata ketinggian wilayah <500 meter diatas permukaan laut.
Ada beberapa sungai yang melalui Wilayah Kecamatan Sumber harta, hanya satu
Wilayah Sumber Harta yang tidak di lalui sungai yaitu Desaa Sukamaju. Sumber
penghasilan utama penduduk Kecamatan Sumber Harta yaitu padi dan karet,
selain padi dan karet komoditi lain yang juga diusahakan penduduk berupa
tanaman sayur, tanaman palawija dan tanaman buah-buahan namun masih dalam
sekala kecil.
Untuk sektor peternakan penduduk Sumber Harta banyak mengusahakan
sapi untuk ternak besar, kambing untuk ternak kecil serta unggas dan perikanan.
Jumlah ternak besar yang ada di Kecamatan Sumber Harta yaitu sapi sebanyak
16
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
2800 ekor dengan rincian jumlah jantan 858 ekor dan betina 1942 ekor, kambing
berjumlah 2191 ekor dan domba 203 (Badan Pusat Statistik Tahun 2018)
2. Identifikasi Responden Penelitian di Kecamatan Sumber Harta
Karakteristik responden dilakukan untuk mengetahui identitas peternak
yang terlibat dalam penelitian ini. Responden yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah ternak yang dijadikan sampel. Responden yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini adalah ternak yang mengikuti program Inseminasi Buatan di
Kecamata Sumber Harta Kabupaten Musi Rawas.
Berdasarkan jumlah populasi ternak yang mengikuti program Inseminasi
Buatan pada tahun 2018 sebanyak 1.063 ekor dengan pengambilan sampel
sebanyak 91 ekor dari populasi ternak yang mengikuti program Inseminasi
Buatan. Berdasarkan 91 sampel pada penelitian tersebut, dapat diidentifikasikan
peternak Sapi Potong berdasarkan umur peternak, pendidikan terahir yang pernah
ditempuh dan pengalaman beternak. Identifikasikan peternak Sapi Potong
berdasarkan umur peternak dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Karakteristik Peternak Berdasarkan Umur Peternak
No Umur (Tahun) Jumlah Peternak (Orang) Persentase (%)
1 20 – 29 4 6,46
2 30 – 39 27 43,55
3 40 - 49 21 33,87
4 50 - 59 5 8,06
5 ≥ 60 5 8,06
Jumlah 62 100
Berdasarkan dari data tabel 1 diatas dapat di ketahui bahwa peternak pada
responden dengan umur 20 – 29 tahun sebanyak 4 orang dengan persentase
sebanyak 6,46 %, umur 30 – 39 tahun sebanyak 27 orang dengan persentase
sebanyak 43,55%, umur 40 – 49 tahun sebanyak 21 orang dengan persentase
sebanyak 33,87 %, umur 50 – 59 tahun sebanyak 5 orang dengan persentase
sebanyak 8,06 % dan umur ≥60 tahun sebanyak 5 orang dengan persentase
sebanyak 8,06 %.
17
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Identifikasi responden penelitian berdasarkan pendidikan formal dapat dilihat
pada Tabel. 2, berikut ini
Tabel 2. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan Terakhir Jumlah Peternak (Orang) Persentase (%)
1 SD 34 54,84
2 SMP 19 30,65
3 SMA 8 12,90
4 Sarjana 1 1,61
Jumlah 62 100
Dilihat dari hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan tingkat
pendidikan formal peternak Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta yang
menjadi responden penelitian diantaranya yaitu Pendidikan Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sarjana
(S1). Berdasarkan dari data tabel 2 dapat di ketahui bahwa berdasarkan
pendidikan formal peternak pada responden dengan kelulusan SD sebanyak 34
orang dengan persentase sebanyak 54,84 %, peternak dengan kelulusan SMP
sebanyak 19 orang dengan persentase sebanyak 30,65 %, peternak dengan
kelulusan SMA sebanyak 8 orang dengan persentase sebanyak 12,90% dan
peternak dengan kelulusan Sarjana sebanyak 1 orang dengan persentase sebanyak
1,6 1%.
Sedangkan identifikasi responden penelitian berdasarkan pengalaman beternak
dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Pengalaman Beternak
No Pengalaman Beternak (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 1 – 10 43 69,35
2 11 – 20 8 12,90
3 21 – 30 11 17,75
Jumlah 62 100
Berdasarkan Tabel 3 dapat diliht bahwa berdasarkan pengalaman beternak dengan
lama waktu beternak 1 – 10 tahun sebanyak 43 orang dengan persentase
18
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
sebanyak 69,35 %, lama waktu beternak 11 – 20 tahun sebanyak 8 orang dengan
persentase sebanyak 12,90%, lama waktu beternak 21 – 30 tahun sebanyak 11
orang dengan persentase sebanyak 17,75 % . Identifikasi responden penelitian
berdasarkan jenis straw yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4, dibawah ini
Tabel 4. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Straw
No. Jenis Straw Jumlah Sapi (Ekor) Persentase (%)
1 Bali 82 90,11
2 Simental 5 5,49
3 Brangus 1 1,10
4 Limosin 3 3,30
91 100
Dapat diketahui bahwa dari tabel 6 diatas sapi yang mendapatkan
Inseminasi Buatan dengan Jenis Straw Bali sebanyak 82 ekor dengan persentase
sebanyak 90,11 %, jenis Straw Simental sebanyak 5 ekor dengan persentase
sebanyak 5,49%, Jenis Straw Brangus sebanyak 1 ekor dengan persentase 1,10 %,
Jenis Straw Limosin sebanyak 3 ekor dengan persentase sebanyak 3,30 %.
2. Indikator Pengukuran Hasil Inseminasi Buatan
1. Data Pelayanan Inseminasi Buatan
Tabel 4. Indikator Pengukuran Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Sapi Potong
(Kali)
2. Service Per Conception (S/C)
Service Per Conception (S/C) yang di dapat pada penelitian di Kecamatan
Sumber Harta yaitu sebesar 1,4.
No Pelayanan Inseminasi Buatan
Jumlah Sapi (Ekor) Jumlah Straw (Dosis)
1 1 69 69
2 2 14 28
3 3 3 9
4 4 1 4
5 5 3 15
6 6 1 6
Jumlah 91 131
19
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
3. Conception Rate (CR)
Nilai Conception Rate (CR) yang di dapat pada penelitian di Kecamatan
Sumber Harta yaitu sebesar 75,82 %.
4. Non Return Rete (NRR)
Tabel 5. Data pelayanan Inseminasi buatan berdasarkan Non Return Rete (NRR)
No Non Return Rete Jumlah Ternak Sapi bunting (Ekor) Persentase (%)
1 NRR(0-30) 69 75,82
2 NRR(31-60) 83 91,21 3 NRR(61-90) 86 94,51
Jadi, nilai NRR0-30 diperoleh persentase yaitu 75,82 %, NRR31-60 diperoleh
91,21 %dan NRR61-90 diperoleh 94,51 % dari jumlah akseptor yang di Inseminasi
Buatan sebanyak 91 sampel.
5. Calving Interval (CI)
Sedangkan untuk melihat data jarak kelahiran pada Sapi Potong di
Kecamatan Sumber Harta dapt dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Klasifikasi Responden Penelitian Berdasarkan Jarak Beranak
No. Jarak Beranak Jumlah Sapi (Ekor) Perkalian
1 12 bulan 50 600
2 13 bulan 1 13
3 14 bulan 2 28
4 17 bulan 1 17
5 18 bulan 2 36
Jumlah 56 694
Berikut ini adalah jarak beranak pada Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta
diantaranya yaitu jarak beranak selama 12 bulan sebanyak 50 ekor, jarak beranak
13 bulan sebanyak 1 ekor, jarak beranak 14 bulan sebanyak 2 ekor, jarak beranak
17 bulan sebanyak 1 ekor dan yang terahir jarak beranak 18 bulan sebanyak 2
ekor. Rata-rata jarak kelahiran = !"#
= 12,4 atau 12 bulan lebih 4 hari. !"
20
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Identifikasi Responden
a. Umur Peternak
Berdasarkan hasil penelitian Dikecamatan Sumber Harta diketahui bahwa
peternak Sapi Potong tertinggi yaitu pada kelompok umur 30 sampai 39 tahun,
peternak pada umur tersebut masih dalam kategori usia produktif sehingga
memungkinkan bagi para peternak tersebut dapat bekerja lebih baik, bersemangat
serta mempunyai motivasi yang tinggi. Sementara pada umur ≥ 60 tahun telah
mengalami penurunan kemampuan kerja sehingga mereka digolongkan kedalam
umur nonproduktif. Hal ini sejalan dengan pendapat Chamdi (2003) yang
menyatakan bahwa usia produktif 20 – 45 tahun masih memiliki semangat yang
tinggi dan mudah mengadopsi hal-hal yang baru, berbeda dengan peternak yang
telah berusia lanjut (diatas 50 tahun). Soekartawi (2002) menyatakan bahwa
mereka yang berusia lanjut cenderung fanatik terhadap kondisi dan sulit untuk
diberikan pengertian-pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja
dan cara hidupnya.
b. Pendidikan
Berdasarkan dari tingkat pendidikan formal peternak Dikecamatan Sumber
Harta yang memelihara Sapi Potong taraf pendidikannya masih rendah yaitu pada
pendidikan terahir pada taraf Sekolah Dasar (SD). Tetapi rendahnya pendidikan
tidak mempengaruhi partisipasi atau keterlibatan responden dalam pengembangan
Sapi Potong. Peternak yang memiliki pola pikir yang baik, dia mampu
mengadopsi pengembangan informasi dan inovasi teknologi khususnya teknologi
di bidang peternakan dengan cepat. Tetapi lain halnya pada peternakan rakyak,
pendidikan yang tinggi sama sekali tidak mempengaruhi masyarakat pedesaan
yang terlibat dalam pemeliharaan ternak sapi potong.
Dalam hal ini sudah terbukti bahwa keadaan masyarakat yang ada di
pedesaan lebih banyak pendidikan SD yang berpartisipasi dalam pengembangan
Sapi Potong dibanding masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hasbullah (2009) yang menyatakan bahwa, pendidikan
adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar
21
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi
dalam arti mental.
c. Pengalaman Beternak
Pada pemeliharaan ternak Sapi Potong harus disertai dengan pengalaman
beternak, lama beternak seseorang dapat diperoleh dari lama mereka menggeluti
dalam suatu usaha peternakan sehingga pengetahuan dan kemampuan seseorang
dapat bertambah. Menurut pendapat Tatipikalawan (2006) yang mengatakan
bahwa, pengalaman beternak merupakan faktor yang penting bagi peternak dalam
mengambil keputusan, semakin lama pengalaman dalam beternak maka
keterampilan yang dimiliki akan lebih tinggi dan berkualitas dan cenderung akan
lebih menggeluti pekerjaan tersebut sehingga akan cenderung berpartisipasi atau
ikut serta dalam kegiatan pemeliharaan ternak Sapi Potong tersebut. Dikecamatan
Sumber Harta sendiri pengalaman beternak terbanyak yaitu selama 1 – 10 tahun.
d. Jenis Straw
Hasil penelitian menunjukan bahwa permintaan masyarakat di Kecamatan
Sumber Harta untuk Inseminasi Buatan masih banyak menggunakan Jenis Straw
Sapi Bali lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan Jenis Straw Sapi bertubuh
besar. Karena peternak yang ada di Kecamatan Sumber Harta kebanyakan
memelihara jenis Sapi Potong berupa Sapi Bali sehingga tidak mau ambil resiko
akan kematian karena tidak bisa keluar pada saat proses melahirkan dan akan
berdampak pada kematian.
2. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Potong
Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan adalah persentase nilai kebuntingan
yang dapat dicapai dalam pelaksanaan Inseminasi Buatan dengan melihat
beberapa indikator pengukuran keberhasilan yaitu diantaranya angka Service Per
Conception, Conception Rate, Non Raturn Rate dan Calving Interval teknik ini
telah banyak digunakan untuk melihat keberhasilan pelaksanaan Inseminsi Buatan
(Saputra, 2008).
a. Service Per Conception (S/C)
Servis Per Conception (S/C) merupakan jumlah pelayana Inseminasi Buatan
seekor betina bunting. Dari hasil penelitian di Kecamatan Sumber Harta diperoleh
nilai S/C sebesar 1,4 artinya rata-rata sapi akseptor IB di Kecamatan Sumber
22
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Harta membutuhkan 1,4 dosis straw untuk terjadi kebuntingan. Jalius (2011)
menjelaskan tinggi rendahnya nilai S/C dipengaruhi oleh ketepatan deteksi birahi,
ketepatan waktu IB dan kondisi reproduksi ternak betina. Ihsan dan Wahjuningsih
(2011) menyatakan tingginya nilai S/C tidak terlepas dari rata-rata pemberian
kandungan nutrisi dalam pakan yang sangat mempengaruhi kondisi reproduksi
betina. Apabila S/C rendah, maka nilai kesuburan sapi betina semakin tinggi dan
apabila nilai S/C tinggi, maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi betina
tersebut. Ihsan (2010) menyatakan bahwa nilai S/C yang baik berkisar antara 1,5 –
2,0. Dengan hasil S/C 1,4 di Kecamatan Sumber Harta, berarti pelaksanaan IB
sangat baik hal ini didukung oleh tingkat kesuburan sapi yang tinggi, kemampuan
peternak mendeteksi birahi yang sangat baik serta keterampilan petugas yang
tinggi.
b. Conception Rate (CR)
Conception Rate (CR) merupakan persentase kebuntingan sapi betina pada
pelaksanaan Inseminasi Buatan pertama dan dapat dijadikan sebagai alat ukur
kesuburan ternak. Dikecamatan Sumber Harta nilai CR pada Sapi Potong sebesar
75,82 %, artinya untuk seluruh akseptor IB di Kecamatan Sumber Harta sebanyak
75,82% yang bunting pada IB pertama. Nilai CR pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ihsan dan Wahjuningsih
(2011) menyebutkan bahwa nilai CR ideal adalah 60%. Sehingga nilai CR di
Kecamatan Sumber Harta sudah sangat baik.Angka CR pada kelompok ternak
dipengaruhi oleh besarnya rata-rata nilai S/C, jika semakin rendah S/C maka CR
akan semakin tinggi. Tinggi rendahnya angka konsepsi atau CR disebabkan oleh
banyak faktor, salah satunya adalah deteksi birahi. Ketepatan deteksi birahi sangat
mempengaruhi nilai CR. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Jalius
(2011) bahwa nilai CR dipengaruhi oleh ketepatan deteksi birahi dan waktu
Inseminasi Buatan. Kesalahan deteksi birahi dapat dikarenakan terjadinya silent
heat atau birahi tenang. Susilawati (2004) menyatakan bahwa tinggi rendahnya
nilai CR disebabkan oleh banyak tidaknya ternak yang kembali birahi setelah
Inseminas Buatan pertama. Kembalinya birahi ternak disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya karena kurangnya perhatian peternak terhadap deteksi birahi
dan keterlambatan melapor, sehingga menyebabkan keterlambatan pelaksanaan
23
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Inseminas Buatan. Birahi dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Pada musim
kemarau hijauan yang diberikan cenderung berkualitas jelek, sehingga
menyebabkan birahi lagi dan berakibat pada rendahnya CR.
c. Non Raturn Rate (NRR)
Evaluasi keberhasilan Inseminasi Buatan dan kebuntingan ternak dapat
dilihat dari timbulnya birahi kembali pada kurun waktu tertentu. Susilawati
(2011b) menjelaskan bahwa NRR merupakan persentase jumlah ternak yang tidak
kembali birahi antara 60–90 hari. Susilawati (2011a) melakukan evaluasi
Inseminasi Buatan dengan perhitungan NRR0-30, NRR31-60, dan NRR61-90.
Sedangkan dalam penelitian ini pengamatan NRR dilakukan di hari 0-30, 31-60
dan 61-90. Sapi yang menunjukkan tanda-tanda birahi setelah Inseminasi Buatan
pertama dilakukan Inseminasi Buatan kedua, kembali birahi setelah Inseminasi
Buatan kedua dilakukan Inseminasi Buatan yang ketiga dan apabila terjadi birahi
kembali setelah Inseminasi Buatan ketiga dianggap gagal. Metode NRR
berpedoman pada asumsi bahwa sapi yang telah di Inseminasi Buatan dan tidak
birahi kembali, maka dianggap bunting (Susilawati, 2011a)
Jalius (2011) menyatakan NRR merupakan gambaran jumlah kebuntingan
berdasarkan satu siklus birahi 17–35 hari yang tidak minta kawin kembali setelah
di Inseminasi Buatan. Nilai NRR di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30
diperoleh persentase 75,82 %, artinya 30 hari setelah dilakukan IB pertama maka
sebanyak 75,82% akseptor IB di Kecamatan Sumber Harta tidak birahi kembali
atau dalam kondisi bunting. NRR31-60 diperoleh 91,21 %, artinya 60 hari setelah
dilakukan IB kedua maka sebanyak 91,21% akseptor IB di Kecamatan Sumber
Harta tidak birahi kembali atau dalam kondisi bunting dan NRR61-90 diperoleh
94,51 %, artinya 90 hari setelah dilakukan IB ketiga maka sebanyak 94,51%
akseptor IB di Kecamatan Sumber Harta tidak birahi kembali atau dalam kondisi
bunting.
d. Calving Interval (CI)
Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran satu dengan kelahiran
berikutnya pada ternak betina. Jarak kelahiran (CI) merupakan salah satu ukuran
produktivitas ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang singkat.
Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3
24
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
bulan menyusui. Evisiensi reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi
dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and Peters, 2004). Calving
Interval rata-rata di Kecamatan Sumber Harta masih baik yaitu 12,4 atau 12
bulan lebih 4 hari, artinya jarak kelahiran antara anak satu dengan anak berikutnya
rata – rata 12 bulan 4 hari yaitu 9 bulan bunting dan 94 hari menyusui. Hal ini
tidak jauh berbeda dengan pendapat Ball and Peters (2004) diatas yaitu pada
kisaran 12 bulan bunting dan 3 bulan menyusui, yang artinya pertumbuhan Sapi
Potong di Kecamatan tersebut sangat baik.
Beberapa hal yang medukung bagusnya nilai Calving Interval adalah
kesadaran peternak untuk segera melaporkan kepada petugas IB 2 – 3 bulan
setelah induk beranak, sehingga dalam kisaran satu tahun induk sapi akan
beranak. Inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya memasukkan
semen/mani ke dalam saluran reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan
bantuan inseminator agar hewan bunting. Dari definisi ini inseminator berperan
sangat besar dalam keberhasilan pelaksanaan IB. Keahlian dan keterampilan
inseminator dalam akurasi pengenalan birahi, sanitasi alat, penanganan (handling)
semen beku, pencairan kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan
melakukan IB akan menentukan keberhasilan (Utami dan Angris. 2012)
Teknologi IB memberikan keunggulan antara lain; bentuk tubuh lebih baik,
pertumbuhan ternak lebih cepat, tingkat kesuburan lebih tinggi, berat lahir lebih
tinggi serta keunggulan lainnya. Melalui teknologi IB diharapkan secara ekonomi
dapat memberikan nilai tambah dalam pengembangan usaha peternakan
(Merthajiwa, 2011)
Seharusnya dengan adanya program Inseminasi Buatan ini Indonesia bisa
memenuhi kebutuhan daging sapi tanpa harus menginpor dari luar negeri, akan
tetapi pada kenyataannya Indonesia masih harus mengimpor daging dari luar
negeri. Sedangkan secara nasional kebutuhan daging Sapi dan Kerbau tahun 2013
untuk konsumsi dan industri sebanyak 484 ribu ton, sedangkan ketersediaannya
sebanyak 399 ribu ton (82,52%) dicukupi dari sapi lokal, sehingga terdapat
kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu ton (17,5%), program IB mempunyai
peran yang sangat strategis dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2013)
25
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Program IB di usaha Sapi Potong rakyat di Sumater Selatan, Jateng, DIY
dan Bali menunjukkan bahwa >50% peternak masih menghendaki program IB
dilanjutkan; namun permasalahannya masih terjadinya kawin berulang kali
(Affandhy et.al, 2006), sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan
kebuntingan dan jarak beranak.
KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Conseption Rate (C/R) di Kecamatan Sumber Harta sangat baik karena di
peroleh pada persentase 75,82 % .
b. Service Per Conception (S/C) di Kecamatan Sumber Harta rata-rata yaitu 1,4
artinya tingkat keberhasilan insemiasi buatan pada ternak tersebut sangat baik.
c. Non Raturn Rate (NRR) di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30 diperoleh
persentase yaitu 75,82 %. NRR31-60 diperoleh 91,21 % dan NRR61-90 diperoleh
94,51 %.
d. Nilai Calving Interval (CI) sangat baik yaitu mencapai rata-rata 12,4 atau 12
bulan lebih 4 hari.
e. Inseminai Buatan merupakan program yang telah dikenal oleh peternak sebagai
teknologi reproduksi ternak yang efektif. Inseminasi Buatan di Kecamatan
Sumber Harta sudah dikenal masyarakat cukup lama, sehingga tingkat
keberhasilan Inseminasi Buatan di Kecamatan tersebut sudah sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,Z. 2010. Pengemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Rawas. 2017. Musi Rawas dalam Agka
Tahun 2017. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. CV.Alief Media Grafika.
Kabupaten Musi Rawas
Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Rawas. 2018. Sumber Harta dalam Agka
Tahun 2018. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. CV.Alief Media Grafika.
Kabupaten Musi Rawas
Ball,P.J dan H. A.R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle. Third Edition
Blackwell Publishing. Victoria. Australia.
Chamdi, A.N., 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Kambing di Kecamatan
Kradenan Kabupaten Grobongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Puslitbang
Peternakan Departemen Pertanian. Bogor.
26
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Direktorat Jendral Peternakan. 2013. Usaha Peternakan, Perencanaan, Analisa dan
Pengolahan. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta.
Hartatik, T., D. A. Mahardika, T. S. M.Widi dan E. Baliarti. 2009. Karakteristik
dan kinerja induk sapi silangan Limousin-Madura dan Madura di Kabupaten
Sumenep dan Pamekasan. Buletin Peternakan. 33 (3) : 25–28
Husein, Umar. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT
Rajagafindo Persada. Jakarta.
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Edisi Revisi. Rajawali Pers.
Jakarta
Ihsan, M. N. dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan reproduksi sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ternak Tropika 12 (2) : 77–79
Ihsan, M. N. 2010. Indeks fertilitas sapi PO dan persilangannya dengan Limousin.
Jurnal Ternak Tropika 11 : 82–87.
Jalius. 2011. Hubungan mortalitas progresif dan keutuhan membran sperma dalam
semen beku sapi Bali dengan keberhasilan inseminasi. Agrinak. 01 (1) : 44–
46
Kaiin EM, M Gunawan, S Said dan B Tappa. 2004. Fertilisasi dan Perkembangan
Oosit Hasil IVF dengan Sperma Hasil Pemisahan. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 4-5 Agustus, 2004 :
21-25.
Merthajiwa. 2011. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik pada Sapi. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung
Nur Ihsan, M dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan reproduksi sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro. Fakultas peternakan, universitas brawijaya, Malang.
J. Ternak Tropika Vol.12, No. 2:76 – 80
Nukra. 2005. Kontribusi Usaha Pemeliharaan Ternak Sapi Potong Terhadap Total
Penerimaan Petani Peternak di Desa Manuju Kecamatan Parangloe
Kabupaten Goa. Skripsi Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin.
Makasar
Saputra A. G. S. 2008. Evaluasi Program Inseminasi Buatan Pada Sapi Bali
Dikecamatan Skanto Kabupaten Jaya Pura.
Soekartawi. 2002. Analisis Usaha Tani. UI Press. Jakarta
Sugeng, Y. Bambang. 2007. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta Sugoro, I. 2009. Pemanfaatan Inseminasi Buatan Untuk Meningkatkan
Produktifitas Sapi. Kajian Bioetika Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Susilawati T. 2004. Keberhasilan IB menggunakan semen sexing setelah
dibekukan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan DanVeteriner : 199–
202
Susilawati,T. 2011a. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Dengan Kualitas
dan Deposisi Semen Yang Berbeda pada Sapi Peranakan Ongole. J. Ternak
Tropika 12 (2) : 15-24
Susilawati, T. 2011b. Spermatology. Universitas Brawijaya (UB) press. Malang
Tatipikalawan.J.M, 2006. Analisis produktivitas tenaga kerja keluarga Pada usaha
peternakan kerbau di pulau moa Kabupaten maluku barat daya. Jurnal
Agroforestri. Volume Nomor 1 Maret 2012. Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Pattimura – Ambon.
Tatipikalawan. J.M, 2006. Analisis produktivitas tenaga kerja keluarga Pada
usaha peternakan kerbau di Pulau Moa Kabupaten Maluku Barat Daya.
27
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Jurnal Agroforestri. Volume Nomor 1 Maret 2012. Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura – Ambon.
Utami, D,. Angris, A. 2012. Peran Insiminator Dalam Keberhasilan Inseminasi
Buatan pada Sapi. Hasil Penelitian Balai Inseminasi Buatan. Bandung.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
28
Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagai Pakan TambahanTernak
Ruminansia Di Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya
de Lima* dan C. K. Pattinasarany**
*) Dosen Jurusan Peternakan Faperta Unpatti
**) Dosen Jurusan Kehutanan Faperta Unpatti
ABSTRAK
Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagi Pakan Tambahan Ternak Ruminansia di
Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya.Di bawah bimbingan Penelitian
ini menggunakan metode survey melalui pengamatan dan pengukuran langsung
dilapangan yang dilakukan di 4 desa, sedangkan pengambilan sampel berdasarkan
jumlah populasi ternak terbanyak di ambil sebagai responden, dengan mengikuti
petunjukArifin (1994) dengan menggunakan petak-petak berukuran 20×20 m
(400m²). Hasil penelitian menujukan bawah pada inventarisasi hijau pohon
didominasi oleh pohon Aileru (Vicusspp), Titi (Gemelina luollvenan) dan Beringin
(Vicus Bejamin) dengan masing-masing nilai kerapatan adalah: 17.86, 14.86, 8.32.
Kata Kunci : Inventarisasi Hijauan Pohon, PakanTambahan Ternak Ruminansia
PENDAHULUAN
Ternak ruminansia di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan daging nasional. Kebutuhan daging nasional sebagian besar
merupakan kontribusi dari peternakan rakyat dan pemasokannya dipasokimpor.
Permasalahan-permasalahan yang di hadapi peternak saat ini adalah rendahnya
produktivitas ternak sebagai dampak dari rendahnya kualitas dan kuantitas pakan
hijaun. Menurur Bumualim (2009) rendahnya produktivitas ternak potong di
sebabkan karena status nutrisi dan suplai hijaun sepanjang tahun yang rendah
terutama pada musim kemarau khususnya di daerah kering wilayah Timur
Indonesia. Terbatasnya pasokan hijaun pakan selama musim kemarau bukan hanya
terjadi di Indonesia bagian timur, termasuk di Kabupaten Maluku Barat Daya
Propinsi Maluku dimana petani hanya mengandalkan hijauan pakan lokal yang
terdapat di sekitar pekarangan, perkebunan, hutan dan ladang. Ginting dan
Sukandi, (2012) jumlah penduduk yang besar telah memaksa masyarakat praktis
dan peneliti peternakan untuk mengarah perhatian pada usaha peningkatan
produksi ternak dan produksi pakan.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
29
Kabupataen Maluku Barat Daya khususnya Kecamatan Moa merupakan
salah satu daerah di Propinsi Maluku yang berpotensi untuk pengembanagan ternak
ruminansia (kerbau, sapi, kuda, kambing dan domba). Menurut data yang dilansir
BPS Kecamatan Moa pada tahun 2017, populasi hewan ternak di Kecamatan Moa
sangat berlimpah. Luas wilayah Kecamatan Moa 1.262,70 km2, dengan jumlah
populasi ternak yaitu 352 Sapi, 14,531 Kerbau, 4,832 Kambing, 856 ekor domba
dan 261 Kuda. Kelimpahan ternak ini tentu saja merupakan permasalahan yang
dihadapi oleh peternak dalam penyediaan hijauan pakan terutama pada musim
kemarau yang panjang ± 5 bulan.
Data ketersedian pakan di suatu daerah dapat di peroleh antara lain melalui
Inventarisasi dan data identifikasi hijaun pakan di daerah tersebut. Inventarisasi
adalah suatu kegiatan untuk membuat daftar data suatu barang, (Baumer, 1992).dan
pemberian makanan tambahan adalah upaya memberikan tambahan makanan dan
untuk menambah asupan gizi yang baik bagi ternak. Inventarisasi hijauan pohon
sebagai makanan tambahan ternak yaitu suatu kegiatan untuk membuat data, untuk
mengetahui nama, jenis dan asal suatu tumbuhan hijaun pohon sebagai pakan
ternak.
Inventarisasi jenis-jenis hijaun pohon Sebagai pakan tambahan ternak
ruminansia sangat dibutuhkan, sehinga dapat mengatasi kekurangan dan membantu
peternak dalam peningkatan produktifitas terutama musim kemarau. Berdasarkan
permasalahan tersebut dilaksanakan penelitian dengan judul: Inventarisasi Hijaun
Pohon sebagai Pakan Tambahan Ternak Ruminansia Di Kecamatan Moa,
Kabupaten Maluku Barat Daya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis-
jenis hijaun pohon dan presentasi pemanfaatan hijau pohon oleh peternak di
Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat
Daya yang telah berlangsung pada bulan November sampai Desember 2018.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dan pengukuran
lapangan yang dilakukan di desa sampel berdasarkan jumlah populasi ternak
terbanyak (strafied propusove sampling) diambil sebagai responden. Variabel yang
diamati pada penelitian ini adalah Inventarisasi dan presentasi pemanfaatan hijaun
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
30
pohon sebagai pakan tambahan bagi ternak, kerapatan dan frekwensi hijuan pohon
di Kecamatan Moa.
Untuk Inventarisasi potensi hijaun pohon dilakukan secara cluser sampling
pada padang pengembalan dan untuk mengetahui kepadatan populasi tanaman
digunakan petunjuk Arifin (1994). Analisis yang dibuat pada areal di Kecamatan
Moa berbentuk bujur sangkar dan dibuat dalam petak-petak secara kontinu 20 × 20
m² adalah sebagai berikut:
a. Ubinan pertama dengan luas 400 m² ditentukan secara acak, sedangkan ubinan
kedua diambil secara kontinu dari ubinan pertama dan seterusnya.
b. Dilakukan pendataan semua jenis tanaman hijaun pohon yang ada pada masing-
masing ubinan dengan jumlah individunya.
c. Untuk mengetahui Kondisi hijaun pohon khususnya tumbuhan yang membentuk
vegetasi sebagai kawasan hutan akan dianalisis menggunakan Analisis Vegetasi
oleh Suryanegara (1979), dalam Indriyanto (2006), sebagai berikut :
Kerapatan Σ individu
Luas petak contoh
Kerapatan Relatif (KR) Kerapatan suatu jenis
x 100% kerapatan seluruh jenis
Frekwensi Jumlah petak ditemukan species
x 100%
jumlah seluruh petak
Frekwensi Relatif (FR) Frekwensi suatu jenis
x 100%
Frekwensi seluruh Jenis
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Keadaan Umum
Kecamatan Moa merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah
Kabupaten Maluku Barat Daya. Kecamatan Moa menurut astronomis terletak
diantara 08º25,51 Lintang Selatan dan 127º 52,30 - 128º 28,15 Bujur Timur.
Luas wilayah Kecamatan Moa adalah 1.262,70 km2, terdapat 7 desa dan 3
dusun. Berdasarkan luasnya maka desa Patti merupkan desa yang paling memiliki
luas wilayah yang paling besar yaitu 17,700 km² yaitu sekitar 19% dari total luas
wilayah Kecamatan Moa, sedangkan desa Moain merupakan desa yang memiliki
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
31
luas wilayah terkecil yaitu 3,500 Km² atau 4% dari total luas wilayah Kecamatan
Moa
Iklim di daerah terebut didominasi oleh dua musim yairu musim barat
dengan intensitas hujan yang tinggi terjadi pada bulan April sampai Juli disertai
dengan angin. Sedangkan musim kemarau dimulai dari bulan Agustus sampaibulan
Desember diikuti dengan musim panjaroba (transisi) dengan temperatur berkisar
antara 26.60C - 30,40C
Hasil pengamatan diketahui bahwa di kecamatan Moa tidak terdapat
sungai.Namun masih ditemukan sumur-sumur alam yang terdapat pada lubang-
lubang batu karang atau celah-celah batu karang.Sumber air inilah masyarakat
setempat memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari dan juga untuk kebutuhan
ternak.
Penduduk masyarakat di kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya
mempunyai mata pencaharian utama yaitu bercocok tanam serta beternak.Tanaman
pangan utama masyarakat Kecamatan Moa yaitu .jagung, kacang-kacanagan dan
singkong.
2. Jenis Tanaman, Kerapatan dan Frekwensi Masing-Masing Hijaun Pohon
di Kecamatan Moa
a. Inventarisasi jenis-jenis Hijaun Pohon
Hasil inventarisasi jenis hijauan Pohon sebagai pakan tambahan ternak
ruminansia di Kecamatan Moa dengan luas areal padang penggembalaan alam yang
ada seluas 4.600 ha dari 1.262,70 km². Pada padang pengembalaan alam terdapat
beberapa jenis hijaun pohon yang dapat dikonsumsi ternak disaat musim kemarau
sebagai makanan tambahan ternak ruminansia antara lain pohon Titi (Gemelina
luollvenan), aitiman(nama lokal), weru (Albizia procera), kusambing (Schletchera
oleasa), turi(Sesbania grandiflora), aileru (Vicus spp), pnoa(nama lokal), Ara
(Drypetes sp), sirikaya (Annona squamosa), beringin (Vicus Bejamin),
haunama(nama lokal), lamtoro (Lecuena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium),
asam jawa (Tamarindus indica), dan nangka (Annona Muricata).
Kecamatan Moa sebagai salah satu daerah penghasil ternak Ruminansia
terutama ternak kerbau, tidak luput dari permasalahan penyediaan pakan. Hal ini
terlihat pada waktu musim kemarau dimana semua jenis rumput lapangan
(Graminae) tidak dapat bertahan hidup.Upaya penyedian pakan ternak sepanjang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
32
tahun selalu dibatasi oleh adanya perubahan iklim dan pola penggunaan lahan.Hal
tersebut sangat mempengaruhi jenis hijaun yang dipakai sebagai pakan ternak.
Pada musim hujan banyak jenis hijaun dapat disediakan, akan tetapi kemampuan
daerah sangat terbatas dalam menghasilkan hijaun pakan karena pada musim hujan
hampir semua areal dimanfaatkan oleh petani sebagai tanah pertanian. Sebaliknya,
musim kemarau selain hijaun berkurang, kualitas hijaun pun semakin rendah.Hasil
penelitian menunjukan bahwa luasn padang penggembalaan alam dipulau moa
adalah 4.600 ha. Luas padang pengembalaan sangat berpotensi untuk
penggembangan pakan ternak dalam bentuk hijaun pohon guna mendukung
terpenuhinya hijaun pakan sepanjang tahun. Menurut Lai (1998) Hijaun pohon juga
merupakan andalan untuk menyediakan pakan ternak khususnya pada musim
kemarau dimana produksi rumput menurun.
Pemanfaaatan hijaun pohon di Kecamatan Moa dapat disebabkan karena
ketebalan tanah lapisan atas (Top Soil) yang tipis sehingga hijauan seperti rumput
(Graminae) yang mempunyai sistem perakaran yang dangkal dengan melakukan
dorman sepanjang musim panas. Subagio dan Kusmartono (1988), lapisan tanah
atas merupakan bagian dari tanah yang ada didalamnya terkandung bahan-bahan
organik serta macam-macam mineral yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
tanaman.
Jenis - jenis hijauan pohon yang terdapat padang penggembalaan alam di
Moa dapat bertahan pada musim kemarau disebabkan karena pepohonan ini
merupakan tumbuhan xerofit yang dapat hidup di alam yang kering sehingga
mampu beradaptasi untuk bertahan hidup. Kondisi kekeringan yang ekstrim
dengan mengembangkan strategi untuk bertahan hidup yang bervariasi yaitu
dengan luas tajuk pohon yang kecil sehingga transpirasi air akan semakin sedikit
dan sistem akar yang sanggup untuk menembus kedalam tanah yang berbatu untuk
mendapatkan air secara kontinu sehingga dapat mengatasi kekeringan air pada
musim kemarau yang panjang. (Sumardi dan Widyastuti, 2004).
b. Kerapatan dan Frekwensi Hijaun Pohon
Penyebaran dari jenis hijaun pohon pada lokasi-lokasi penelitian tidak merata
karena pengelolahan dan pemeliharaan tanaman atau perubahan status tanah dan
sebagainya. Soerianegara dan Andry (1998), penyebaran tanaman kebanyakan
sebagai akibat manusia ditempat itu seperti: perubahan hutan, pengelolaan tanah,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
33
dan juga penanaman tanaman yang berubah-ubah. Dimana sumber pakan ternak
ruminansia adalah hijaun rumput, leguminosa dan konsentrat sehingga bila tidak
terpenuhi kebutuhan dari ternak maka tentu akan mengakibatkan kegagalan dalam
pemeliharan ternak.
Hasil perhitungan kerapatan dan frekwensi jenis-jenis hijaun pohon di
kecamatan Moa pada 4 (empat) Desa sampel, pada Tabel 1.
Hasil peneliitian menunjukan bahwa hijaun pohon aileru (Vicus spp), memiliki
nilai kerapatan dan frekwensi tinggi yaitu kerapatan 17,86 % dan frekwensi
11,63% (Tabel.1) bila dibandingkan dengan hijaun lain. Aileru (Vicus spp),
merupakan bangsa beringin yang memiliki ketinggian rata-rata 1-5 meter sehingga
tidak muda rusak akibat rengutan ternak. Tingginya nilai kerapatan dan frekwensi
aileru disebabkan karena hijaun ini memiliki tingkat kesukaran untuk di rengut
ternak kecuali diambil oleh peternak sebagai pakan. Selain itu aileru (Vicus spp),
mempunyai sistem akar tunggang dan berkembangbiak dengan biji serta
bersimbiosis dengan tawan beringin sehingga mendukung kelangsungan hidup dan
penyebarannya, (Anonymus 1997).
Hijauan pohon titi (Gemelina luollvenan), memiliki nilai kerapatan 14,86%
dengan nilai frekwensi 9,75% (Tabel 1), tingginya nilai kerapatan dan frekwensi ini
disebabkan karena hijaun pohon ini merupakan hijaun yang kurang dimakan oleh
ternak juga memiliki pohon yang agak lebih tinggi dan hijaun pohon ini juga
memiliki getah yang banyak sehingga kurang disukai oleh ternak. Tetapi kelebihan
dari hijaun ini dapat bertumbuh pada tanah yang kering, juga dapat bertahan hidup
pada musim kemarau panjang sehingga bisa digunakan hijaun sebagai tempat
bertedu, bagi ternak maupun peternak, bisa sebagai pakan tambahan bila musim
kemarau yang panjang. Siregar, (1999) keunggulan lain jenis tanaman tersebut
dapat tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi tanah, walaupun pada lahan
kering.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
34
Tabel 1. Nilai Rata-rata Kerapatan dan Frekwensi Masing-masing Hijaun Pohon
di Kecamatan Moa
No Jenis Hijaun Kerapatan Frekwensi (%) (%)
1 Titi (Gemelina luollvenan) 14,86 9,75
2 Aitiman (Nama Lokal) 8,32 8,10
3 Weru (Albizia procera) 6,08 6,67
4 Turi (Sesbania grandiflora) 4,10 3,66
5 Gamal (Gliricidia sepium) 4,35 4,05
6 Aileru (Vicus spp) 17,86 11,63
7 Kusambi (Schletchera oleasa) 6,93 8,08
8 Asam jawa (Tamarindus indica) 6,35 6,50
9 Beringin (Vicus Bejamin) 5,39 6,26
10 Haunama (Nama Lokal) 5,57 6,13
11 Pnoa (Nama Lokal) 6,40 7,17
12 Ara (Drypetes sp) 3,32 4,30
13 Sirikaya (Annona squamosa) 3,70 5,22
14 Nangka (Annona Muricata) 4,15 5,23
15 Lamtoro (Lecuena leucocephala) 2,77 5,08
Hijauan aitiman(nama lokal) dengan kerapatan 8,32% dan frekwensi
8,10%, hal ini disebabkan karena hijaun aitiman tidak di makan oleh ternak kerbau
tetapi dimakan oleh ternak kambing, sehingga kerapatan dan frekwensi yang tidak
berbeda jauh dengan pohon aileru (Vicus spp) dan titi (Gemelina luollvenan),
Hijauan pohon kaya akan nitrogen dan tidak tergantung pada kondisi nitrogen
dalam tanah atau pemberian pupuk karena sifatnya dapat memanfaatkan nitrogen
udara melalui bintil-bintil akar (Anonymous, 1997).
Di samping itu hijaun pohon ada yang memiliki tingkat kerapatan dan
ferkwensi lebih rendah yaitu lamtoro (Lecuena leucocephala), kerapatan 2,73%
dan frekwensi 5,08 (Tabel 1) dimana lamtoro merupakan hijaun pohon yang sering
digunakan pada musim kemarau untuk pakan ternak. Jenis hijauan ini dapat
tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi tanah, sekalipun ditanam pada lahan
yang kering (Siregar, 1999). Gamal (Gliricidia sepium), memiliki nilai kerapatan
4,10 dan nilai frekwensi 4,05, gamal(Gliricidia sepium), memiliki nilai frekwensi
yang rendah sama dengan lamtoro. Hal ini disebabkan karena peternak sering
menggunakan hijaun ini untuk pakan, selain itu peternak tidak hanya mengambil
daunnya sebagai pakan tetapi batang diambil atau di potong sebagai kayu bakar.
Hal ini merupakan suatu masalah bagi peternak dan harus diperbaiki karena disaat
musim kemarau yang panjang pakan hijaun berkurang sehingga bisa memanfaatkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
35
lamtoro (Lecuena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium), sebagai pakan
ternak. Kedua hijaun ini juga mempunyai kandungan protein tinggi sehingga dapat
dipakai sebagai makanan tambahan ternak terutama pada musim kemarau. Sosetyo
(1980), hijaun pohon merupakan sumber protein dan mineral yang berkadar tinggi
bagi ternak, disamping memperbaiki kesuburan tanah, sehingga.dengan adanya
sifat-sifat tersebut maka kedua jenis hijaun ini sangat baik untuk di kembangkan.
c. Persentase Pemanfaatan Hijauan Pohon
Rendahnya produktifitas hijaun padang pengembalaan di Kecamatan Moa
pada musim kemasrau disebabkan oleh curah hujan yang rendah dan suhu udara
yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan kerusakan pada tanaman, seperti
kematian anakan, luka pada bagian tanaman yang memiliki jaringan yang lemah.
Sumardi dan Wdyastuti, (2004) kekurangan air akan dapat menghambat terjadinya
proses regenerasi pada tanaman serta dapat menyebabkan daun rontok dan hangus,
hal ini terjadi karena hilangnya air dengan cepat.
Hal ini menyebabkan peternak memanfaatkan hijauan pohon sebagai
pakan. Hasil perhitungan presentase pemanfaatan jenis-jenis hijaun pohon di
kecamatan Moa pada 4 (empat) Desa sampel, pada tabel 2. Pemanfaatan daun
hijauan pohon seperti daun aileru (Vicus spp), titi (Gemelina luollvenan), weru
(Albizia procera), gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Lecuena leucocephala), dan
lain-lain sebagai pakan ternak dapat diberikan secara tunggal atau dicampurkan
(lebih dari satu jenis) dengan rumput atau pakan lainnya sebagai pakan tambahan.
Pemberian hijauan pohon sebagai pakan diKecamatan Moa, diberikan dalam
bentuk segar, menurut kebiasaan masyarakat/peternakHasil penelitian, masyarakat
belum mengetahui tentang teknik pengolahan hijauan khusus hijauan pohon
sebagai pakan ternak. Hijaun weru (Albizia procera), merupakan hijaun yang
sering diberikan untuk ternak pada musim hujan dan musim kemarau. Presentase
pemberian pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan yang
lain yaitu 35,71 % dan presentase pemberian musim hujan 14.28 % (Tabel 2). Akan
tetapi tetap menjadi permasalahan adalah pada musim hujan hijaun ini sangat
banyak didapat, tetapi pada musim kemarau sangat sulit didapat karena disaat
musim kemarau pada umumnya peternak mengambil hijaun ini untuk pakan ternak.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
36
Tabel 2. Presentase pemanfaatan hijaun pohon sebagai pakan ternak ruminansia
No Jenis Hijauan Pohon
Kemarau Hujan
1 Beringin (Vicus Bejamin) 17,85
2 Aitiman (Nama Lokal) 7,14
3 Weru (Albizia procera) 35,71 14,28
4 Turi (Sesbania grandiflora) 17,85 -
5 Gamal (Gliricidia sepium) 7,14 -
6 Aileru (Vicus spp) 10,71 -
7 Kusambi (Schletchera oleasa) 14,28 3,37
8 Asam jawa (Tamarindus indica) 10,71 -
9 Titi (Gemelina luollvenan) 14,28 7,21
10 Haunama (Nama Lokal) 7,14 -
11 Pnoa (Nama Lokal) 7,14 3,37
12 Ara (Drypetes sp) 14,28 -
13 Sirikaya (Annona squamosa) 7,21 -
14 Nangka (Annona Muricata) 7,21 -
15 Lamtoro (Lecuena leucocephala) 7,21 -
. Tingginya pemanfaatan hijaun weru sebagai pakan, mengakibatkan
kekurangan hijaun pakan pada saat musim kemarau. Menurut Lai (1998) Hijauan
Pohon juga merupakan andalan untuk menyediakan pakan ternak khususnya pada
musim kemarau dimana produksi rumput menurun. Hijauan ini juga bisa dapat
bertumbuh dan bertahan lama pada musim kemarau yang panjang tetapi peternak
tidak memanfaatkan hijaun ini dengan baik sehingga berdampak pada ternak yang
bisa mengakibatkan kekurangan hijaun dan akan mengakibatkan kematian pada
ternak. .
Hijaun pohon beringin (Vicus Bejamin) dan turi (Sesbania grandiflora),
memiliki presentase pemberian pada musim kemarau yaitu 17,85 %, (Tabel 2).
Pemberian untuk ternak dalam bentuk segar tanpa pengolahan, hal ini menjadi
suatu masalah bagi ternak, bila pengambilan hijaun disaat pagi hari dan langsung
diberikan pada ternak akan mengakibatkan kembung perut bagi ternak karena sisa-
sisa embun masih ada pada daun-daun tersebut sehingga bisa berdampak kematian
juga pada ternak.
Hijauan Pohon gamal (Gliricidia sepium) dan lamtoro (Lecuena
leucocephala) memiliki presentase pemberian yang rendah yaitu 7,14 %, kedua
hijaun pohon sangat sulit untuk dimanfaatkan pada saat musim hujan sehingga
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
37
sangat sulit didapat pada saat musim kemarau di padang pengembalaan karena
peternak belum mengetahui dengan pasti manfaat dari kedua jenis hijaun ini.
Keberhasilan usaha peternakan khususnya ruminansia sangat tergantung dari
kecukupan tersedianya pakan hijaun baik jumlah maupun kesinambungannya.
Menurut Tangendjaja (1985) usaha produksi peternakan saat ini sangat tergantung
dari ketersedian bahan pakan.Produktivitas peternakan dapat dinaikan apabila
pakan yang diberikan secara optimal memenuhi kebutuhan ternak.Jadi untuk
memenuhi tersedianya pakan sepanjang tahun maka harus meningkatkan jumlah
dan mutu pakan ternak.
Menurut Mathius dkk (1989), kebutuhan zat-zat makanan sangat tergantung
pada kondisi ternak.Misalnya ternak muda yang sedang tumbuh dan ternak yang
sedang bunting membutuhkan lebih banyak zat makanan. Di Kecamatan Moa,
musim kemarau lebih panjang dari musim hujan sehingga bila pada musim hujan
pakan hijauan melimpah, tetapi pada musim kemarau pakan hijauan menurun ini
menjadi tugas bagi para peternak di daerah tersebut, apabila kondisi tidak atasi
maka peternak yang menjadi mata pencaharian akan berdampak pada pendapatan
rumah tangga.
Jenis-jenis hijaun pohon yang ada di daerah tersebut sangat berpeluang
untuk dikembangkan, sebagai cadangan pakan hijauan pada musim kemarau yang
panjang. Hijaun pohon dapat bertahan dan tumbuh pada musim kemarau yang
panjang. Menurut Lai (1998) hijaun pohon juga merupakan andalan untuk
penyedian pakan ternak khususnya pada musim kemarau dimana produksi rumput
menurun.
Hijaun pohon mempunyai banyak fungsi antara lain untuk pakan ternak,
tanaman pagar, tanaman pelindung, kayu bakar, pupuk daun dan pencegah erosi.
Hijaun pohon sebagai pakan ternak mempunyai susunan zat makanan yang sangat
baik. Semua makanan ternak hijauan pohon yang sangat tinggi kadar proteinnya.
Disamping itu protein yang cukup tinggi sekitar 22 %, sehingga sangat tepat bila
dipakai sebagai sumber protein untuk ruminansia yang hanya diberi rumput saja.
Pemanfaatan hijaun pohon sebagai pakan ternak dapat diberikan secara tunggal
atau dicampur dengan rumput atau hijauan lainnya. Hijauan pohon adalah tanaman
yang sangat potensial digunakan sebagai hijaun pakan sumber protein untuk ternak
ruminansia didaerah tropis (Devendra, 1992). Hijaun Pohon perlu di kembangkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
38
di Kecamatan Moa untuk mengetasi kekurangan hijauan pada musim kemarau.
Kecamatan Moa berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia dimana
didaerah tersebut ternak ruminansia merupakan pendapatan utama bagi masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kerapatan dan pada masing-masing
desa sampel adalah sebagai berikut :
1. Kecamatan Moa memiliki nilai kerapatan didominasi oleh hijauan Pohon
Aileru (Vicus spp), dengan nilai kerapatan adalah 17,86% dengan frekuensi
11,63%. dan Pohon lamtoro (Lecuena leucocephala) yang terendah dengan
nilai kerapatan 2,73% .dengan nilai ferkuensi 4,82%
2. Jenis hijaun pohon Weru (Albizia procera) mempunyai persentase pemberian
pakan dimusim kemarau sebesar 35,71% dan di musim hujan 14,28%;
beringin (Vicus Bejamin) dan pohon turi (Sesbania grandiflora) dengan
presentase pemberian sebagai pakan di musim kemarau adalah 17,85 %.
3. Luas padang penggembala di Kecamatan Moa sebesar 4.600 ha, sangat
berpontesi untuk pengembangan hijaun pohon sebagai pakan pada musim
kemarau.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka ada beberapa saran yang perlu
dilakukan antara lain :
1. Untuk mengatasi kekurangan hijauan pada musim kemarau, perlu dilakukan
pembudidayaan hijauan pohon seperti weru (Albizia procera), beringin (Vicus
Bejamin), lamtoro (Lecuena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium)dan turi
(Sesbania grandiflora), karena mampu bertahan pada musim kemarau dan juga
bisa digunakan sebagai pakan tambahan untuk menambah asupan gizi bagi
ternak.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang kualitas dan kuantitas serta
penyediaan hijauan pohon sebagai pakan pada musim kemarau maupun musin
hujan
3. Perlu adanya penerapan teknologi untuk melakukan pengawetan hijaun pada
saat hijauan melimpah di musim hujan, untuk mengantisipasi kekurangan
makanan ternak pada musim kemarau.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
39
DAFTAR PUSTAKA
Anonymus, 1997. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah.
Dendrologi.Pusdiklat. Bogor.
Arifin. A. 1994. Hutan, Hakekat dan Pengharunya Terhadap Lingkungan, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Badan Pusat Satistik (BPS), 2016 Kecamatan Moa dalam angka. Badan Pusat
Statistik. Kecamatan Moa.
Bamualim, A.M. 2009. Dinamika Sumber Daya Rumput Asli Di Lahan Kering
Indonesia Untuk Mendukung Produksi Sapi Potong: Studi Kasus Nusa
Tenggara. Makalah Yang Di Presentasikan Pada Seminar Internasional
Tentang Sumber Pakan Berbasis. Pusat Teknologi Makanan Dan Fertilizer
ASPAC, Pusat Penelitian Peternakan-COA , ROC Dan Lembaga Penelitian
Indonesia Untuk Produksi Hewan, Bandung, 3-7 Agustus 2009.
Baumer, M. 1992. Pohon sebagai penjelajah dan untuk mendukung produksi
hewan.Pohon legume dan pohon pakan ternak ternak lainnya sebagai
sumber protein untuk ternak (Ed. Speedy, A. dan Pugliese, P.L).Produksi
Hewan dan Kertas Kesehatan, No. 102. FAO, Ro,a.
Devendra, 1992. Potensi Nutrisi Dari Pakan Ternak Perdu Sebagai Sumber Protein
Dalam Nutrisi Ruminansia Di Leguminosa Dan Pakan Ternak Lainnya
Sebagi Sumber Protein Unuk Ternak. Produksi Hewan Dan Kertas
Kesehetan. 102. Fao, Roma, Italy. Diakses Pada Maret 2004.
Ginting, A.N dan Sukandi, T. 2012. Penelitian agroforestry di Indonesia.Di
sulmana et al. (Eds) Pengembangan dalam Prosedur untuk Penelitian
Sistem Pertanian.AARD. Jakarta.
Indriyanto (2006).Ekelogi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Lai, R. 1998. Control Erosi Tanah dengan Alley Cropping. Konferensi Konservasi
Tanah Internasional kelima. Bangkok, Thailand.
Mathius.I.W..Dwi Yulistiani dan Agustinus Wilson.1989. Tata Laksana Pemberian
Pakan Kambing dan Domba Kumpulan Peragaan dalam Rangka Penelitian
Ternak Kambing dan Domba di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak. Siregar, S. B. 1999. Pengemukan Kerbau, Penebar Swadaya. Jakarta.
Soerianegara., I. Andry, I, 1998, Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Eklogi
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Subagio dan Kusmartono 1988.Ilmu Kultur Padangan.Universitas Brawijaya
Malang.
Sumardi dan S.M. Widyastuti, 2004.Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Susetyo, S. 1980. Hijauan Makanan Ternak. Dirjen Peternakan. Departemen
Pertanian, Jakarta. Tangendjaja, B. 1985.Analisa Bahan dan Manfaatnya dalam menyusun Ransum
Ternak.Journal Penelitian dan Pengembangan pertanian.
.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
40
Evaluasi Kualitas Fisik dengan beberapa Jenis Pengolahan Pakan
pada Pelepah Sawit Sebagai Pakan Ternak Kerbau
Rawa (Buffelus asiaticus)
W. Ibrahim dan J. Laksono
Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Musi Rawas
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik
terdiri dari warna, aroma, tekstur, pH, kadar air dan bahan kering. Metode
penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial terdiri dua faktor. Faktor pertama P1: Amoniasi, P2 : Silase, P3 :
Fermentasi Faktor kedua W1 : 18 hari W2 : 21 hari W3 : 24 hari. Untuk
mengetahui pengaruh perlakuan data yang didapat dianalisis ANOVA dan uji
Duncan. Hasil uji fisik warna pada perlakuan amoniasi memberikan warna coklat
muda, silase coklat muda, fermentasi hijau kekuningan. Hasil uji fisik aroma pada
perlakuan amoniasi berbau sedikit amoniak , silase berbau asam, fermentasi berbau
asamal segar. Hasil uji fisik tekstur pada perlakuan amoniasi agak lembut, silase
agak lembut, fermentasi sangat lembut. Sedangkan untuk pH, Kadar air dan Bahan
Kering berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Kualitas fisik pelepah sawit yang baik
pada perlakuan P3 dengan perlakuan Fermentasi dan W2 dengan perlakuan 21
hari memberikan hasil yang terbaik pada semua parameter pengamatan.
Kata kunci: Pelepah sawit, Amoniasi, Silase, Fermentasi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
41
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan ketersedian protein hewani untuk masyarakat Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun, ini disebabkan peningkatan pertambahan penduduk
dan tingkat kesejahteraan yang juga mempengaruhi pola konsumsi pangan
masyarakat. Dalam meningkatkan produksi ternak ruminansia pakan merupakan
faktor utama yang sangat utama untuk kebutuhan hidup pokok yang dikonsumsi, baik
secara kuantitas, maupun kualitas. Salah satu hijauan sebagai sumber utama pakan
ternak adalah limbah dari perkebunan kelapa sawit, limbah yang dapat di jadikan
sumber hijauan yaitu pelepah sawit. Pelepah kelapa sawit terdiri dari daun dan tulang
pelepah, pada daun mengandung N, K, P, Mg, Ca dan S masing-masing 2,05%,
0,88%, 0,13%, 0,23%, 0,36% dan 0,17% sedangkan pada tulang pelepah
mengandung 0,37%,1,49%, 0,07%, 0,19%, 0,21% dan 0,18% (Corley and Tinker,
2016). Kandungan gizi pelepah kelapa sawit terdiri dari bahan kering (BK) 97,39, abu
3,96%, protein kasar (PK) 2,23%, serat kasar (SK) 47,00%, lemak kasar (LK) 3,04%,
NDF 76,09%, ADF 57,56%, Hemiselulosa 18,51%, lignin14,23% dan selulosa
43,00% . Untuk meningkatkan kualitas dari pelepeh sawit dapat di lakukan denga
teknologi pengolahan pakan. Pakan memiliki pengertian segala sesuatu yang dapat
diberikan kepada ternak baik sebagian atau seluruhnya yang berasal dari bahan
organik dan anorganik yang tanpa mengganggu kesehatan ternak.
Teknologi dalam pengolahan limbah kelapa sawit seperti pelepah dan daun
kelapa sawit yang dapat dilakukan yaitu dengan fermentasi, amoniasi dan silase.
Kandungan lignin pelepah sawit mencapai 20% dari biomassa kering, sehingga
merupakan pembatas utama dalam penggunaan pelepah sawit sebagai pakan ternak
(Rahman et al., 2011). Ternak yang memiliki potensi untuk memanfaatkan hasil
teknologi pengolahan pelepa sawit ini adalah ternak kerbau rawa. Kerbau rawa hidup
di daerah tanah kotor berlumpur atau berawa-rawa, kesukaan kerbau rawa adalah
berkubang dan utamanya digunakan sebagai penghasil daging dan tenaga kerja
(Murti, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik dengan
beberapa jenis pengolahan pelepah sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
42
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Musi
Rawas Kelurahan Warterpang Kota Lubuklinggau Timur I Sumatra Selatan, dengan
ketinggian tempat 93 meter di atas permukaan laut. Penelitian berlangsung mulai
bulan April sampai dengan bulan Juni 2019.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pelepah sawit,
dedak, urea, molases, air, Mol Bonggol Pisang. Sedangkan alat-alat yang digunakan
adalah: mesin coper, mesin fakum, timbangan, oven, pelastik, gelas ukur, Ph meter,
alat tulis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode penelitian ini
menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
terdiri dua faktor. Faktor pertama P1: Amoniasi, P2 : Silase, P3 : Fermentasi. Faktor
kedua W1 : 18 hari W2 : 21 hari W3 : 24 hari. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan
data yang didapat dianalisis ANOVA dan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Uji Fisik Warna, Aroma dan Tekstur
Hasil pengamatan uji fisik pada beberapa jenis teknologi dan lama waktu
pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa dapat di lihat pada Tabel
1. Berdasarkan pada Tabel. 1, hasil dari pengamatan uji fisik pada beberapa jenis
teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
dapat dilihat adanya perubahan warna, aroma dan tekstur pada setiap parameter
pengamatan. Perubahan ini berbeda dikarenakan adanya perbedaan pelakuan seperti
P1 amoniasi P2 Silase dan P3 Fermentasi. Sedangkan waktu tidak memberikan
perbedaan terhadap warna, aroma dan tekstur.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
43
Tabel 1. Hasil Uji fisik beberapa jenis teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa
sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
Perlakuan Warna
W1 W2 W3
P1 Coklat Muda Coklat muda Coklat Muda
P2 Coklat Muda Coklat Muda Coklat Muda
P3 Hijau Kekuningan Hijau Kekuningan Hijau Kekuningan
Aroma
P1
P2
P3
Khas Amoniak
Asam
Asam Segar
Khas Amoniak
Asam
Asam Segar
Khas Amoniak
Asam
Asam Segar Tekstur
P1 Agak Lembut Agak Lembut Agak Lembut
P2 Lembut Lembut Lembut
P3 Sangat Lembut Sangat Lembut Sangat Lembut
B. pH, Kadar Air dan Bahan Kering
Berdasarkan hasil penelitian beberapa jenis teknologi dan lama waktu
pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa Berpengaruh sangat
nyata(P<0,01) pada parameter pH, Kadar air, Bahan Kering. Interaksi tidak terlihat
pada parameter pengamatan. Rata-rata jenis teknologi dan lama waktu pengolahan
pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa dapat di lihat pada Tabel. 2.
Tabel. 2. Rata-rata beberapa jenis teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa
sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
Perlakuan pH Kadar air Bahan Kering
Pengolahan Pakan
P1
P2
P3
Waktu
4,52 ± 2,26 bB
3,90 ± 1,95 abAb
3,66 ± 1,83 aA
6,13 ± 3,35
6,30 ± 3,38
6,60 ± 3,69
93,13 ± 46,65
93,68 ± 46,86
93,42 ± 46,74
W1
W2
4,04 ± 0,44
8,20 ± 0,50 cC
91,17 ± 1,04 aA
W3 4,05 ± 0,42 6,01 ± 0,24 abAB 93,97 ± 0,20 bB 3,98 ± 0,46 4,91 ± 0,25 aA 95,15 ± 0,14 bB
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukan
perbedaan sangat nyata pada taraf 1% Uji Berganda Duncan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
44
C. Warna
Berdasarkan hasil uji fisik Perlakuan P1 dan P2 menghasilkan warna coklat
muda sedangkan perlakuan P3 menghasilkan warna hijau kekuningan. Sedangkan
untuk perlakuan W1,W2 dan W3 menunjukan warna yang sama. P1 dan P2
Menghasilkan warna coklat muda hal ini di duga karena pelepah sawit yang di
gunakan dalam penelitian ini dalam bentuk segar, sehingga warna yang dihasilkan
selama proses pemeraman berwarna coklat muda hampir sama dengan warna sebelum
di lakukan pemeraman. Sedangkan pada pelakauan P3 berwarna hijau kekuningan hal
ini diduga karean adanya aktifitas mikro organisme yang berasal dari MOL bonggol
pisang yang dapat menghasilkan bakteri asam laktat BAL yang dapat mendegradasi
bahan sehingga menyebabkan warna hijau kekuningan, selain itu juga pengaruh panas
dari proses ensilase selama proses fermentasi Hal ini sesuai dengan pendapat Folley
et al. (1972) menyatakan Bakteri asam laktat akan mengubah glukosa atau
karbohidrat sederhana menjadi alkohol, asam asetat, asam karbonat dan asam laktat
D. Aroma
Berdasarkan uji fisik perlakuan P1 menghasilkan aroma khas amoniak, P2
Menghasilkan aroma sedikit asam dan P3 menghasilkan wangi. Sedangkan untuk
perlakuan W1, W2 dan W2 menunjukan aroma yang sama. Hal ini di duga karena
pada setiap perlakuan diberikan bahan tambahan yang berbeda-beda, seperti P1 di
tambahkan urea sehingga aroma yang di hasilkan aroma khas amoniak, sesuai
dengan pendapat Sumarsih et, al (2009) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang
baik yaitu bau yang khas amoniak. P2 di tambahkan molases dan dedak sehingga
aroma yang di hasilkan aroma asam, masam tersebut di sebabkan oleh bak teri
anaerob menghasilkan asam organik. Menurut Kurnianingtyas et al., (2012) aroma
asam pada silase disebabkan pada saat proses pembuatan silase, bakteri anaerob aktif
bekerja menghasilkan asam organik dan membuat aroma silase menjadi asam, aroma
silase yang baik berbau asam dan tidak tajam. P3 di tambahkan Mol Bonggol pisang
dan sehingga aroma yang di hasilkan wangi, aroma wangi tersebut di sebaabkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
45
adanya bakteri asam lakstat yang di hasilkan dari Mol Bonggol pisang dan di tambah
dengan tetes tebu sehingga aroma yang di hasilkan wagi.
E. Tekstur
Berdasarkan uji fisik perlakuan P1 menghasilkan tekstur Agak Lembut, P2 dan
P3 menghasilkan tekstur lembut. Sedangkan untuk perlakuan W1, W2 dan W2
menunjukan tekstur yang sama. Hal ini di duga karena Pada perlakuan P1 kandungan
air dalam bahan masih tinggi sehingga proses ureanase tidak berjalan dengan
maksimal, sehingga bahan tidak menjadi lunak. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
Sumarsih et al. (2009) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu tekstur
berubah menjadi lebih lunak dan kering. Perlakuan P2 dan P3 menghasilkan tekstur
lunak hal ini di duga karena bahan yang di gunaka serta bahan tambahan yang di
gunakan seperti Mol bonggol pisang. Hal ini sesuai dengan pendapat Schroeder
(2004), secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh bahan yang digunakan, kadar
air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian aditif.
F. pH
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama
waktu pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap pH (Tabel 2). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan
pada P1 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan P2 dan berbeda nyata dengan P3.
Hal ini di duga karena adanya perbedaan dalam pengolahan bahan. P1 proses
amoniasi, dimana pH amoniasi yang baik 6,5 -7 selain itu juga pengolah ini
menggunakan bahan kimia berupa urea yang bersifat basah. Pada perlakuan P2 dan
P3 pH yang di hasilkan reratif sama berkisar 3,0 - 4,0 dimanan pada kedua perlakuan
ini bersifat asam, sehingga dalam proses nya banyak melibatkan bakteri asam laktat
Keadaan asam pada silase dikarenakan oleh oksidasi etanol menjadi asetildehid yang
selanjutnya dioksidasi menjadi asam laktat, kondisi ini akan menyebabkan suasana
menjadi asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Sebayang (2006) bahwa keadaan asam
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
46
dari hasil fermentasi silase disebabkan oleh teroksidasinya etanol menjadi asetildehid
yang mengalami oksidasi lanjutan menjadi asam laktat.
G. Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama
waktu pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap Kadar Air Tabel 2. Uji lanjut menunjukkan bahwa
perlakuan pada W1 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan W3 dan berbeda nyata
dengan W2. Hal ini di duga karena waktu dalam proses pemeraman terlalu lama
menyebabkan peningktan kadar air dalam bahan yang di gunakan dalam proses
ensilase tersebut, ini dapat dilihat bahwa W1 dengan lama pemeraman 18 hari kadar
airnya 8,20 dan W3 dengan lama pemeraman 24 hari kadar air 4,91. Anggraeny et
al.,(2009) selama proses fermentasi akan terjadi peningkatan kadar air dalam subtrat
karena penguraiyan bahan kering total, yang akan di gunakan sebagai sumber energi
atau sebagai pembentuk sell baru sehingga kandungan bahan kerinya menurun.
H. Bahan Kering
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama
waktu pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap Bahan kering (Tabel 2) Uji lanjut menunjukkan bahwa
perlakuan pada W3 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan W1 dan berbeda nyata
dengan W2. Hal ini di duga karena semakin lama waktu yang di gunakan dalam
pemeramam sehingga menyebabkan kandungan air dalam bahan akan rendah
sehinga terjadi peningkatan pada kandungan bahan kering hal ini sesuai dengan
pendapat Anggraeny et al.,(2009) semakin basah bahan yang diensilase semakin
banyak panas yang di butuhkan untuk meningkatkan suhu silase dan semakin banyak
kehilangan bahan kering atau peneingkatan kadar air.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
47
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa uji fisik
yang baik yang baik pada pelakuan fermentasi, pada paremeter pH Kadar Air dan
Bahan Kering menghsilkan nilai terbaik pada perlakuan P3W3.
rawa.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang palatabilitas pada ternak kerbau
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeny, Y.N. dan Umiyasih. U. 2009. Pengarug Fermentasi cerevision Terhadap
kandungan Nutrisi dan Kecernaan Ampas Aren (Arenga pinata MERR). Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Hal 256-262.
Corler, R.H.V. and P.B. Tinker. 2016. The Oil Palm. Fifth Edition. Wiley
Blackwell, UK.
Folley, R.C., Bath, D.L., Dickinson, F.N and Tucker, H.A., 1972. Dairy Cattle:
Principles, Practice.
Kurnianingtyas, I.B., Pandansari, P.R., Astuti, I., Widyawati, S.D., dan Suprayogi,
W.P.S. 2012. Pengaruh Macam Akselerator terhadap Kualitas Fisik, Kimiawi
dan Biologis Silase
Murti,T.S. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta. Rahman, M.M., M. Lourenco, H.A. Hassim, J.J.P. Boars, A.S.M. Sonnenberg, J.W.
Cone J.W, J. De Boever, and V. Fievez. 2011. Improving ruminal degradability
of oil palm fronds using white rot fungi. Anim. Feed. Sci. and Tech. Vol. 169,
Issues 3-4:157-166.
Sumarsih, S., C. I. Sutrisno., B. Sulistiyanto.2009. Kajian Penambahan Tetes
Sebagai Aditif Terhadap Kualitas Organoleptik dan Nutrisi Silase Kulit
Pisang.Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang.
Schroeder, J.W. 2004. Silage Fermentation and Preservation. Extension Dairy
Specialist. AS-1254.
Sebayang, F. 2006. Pembuatan Etanol dari Molases secara Fermentasi
Menggunakan Sel Saccharomyces cerevisiae yang Terimobilisasi pada Kalsium
Alginat. Jurnal Teknologi Proses 5 (2) 75-80.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
48
Pengaruh Bioprosessing Kulit Buah Kakao (Theobroma Cacao)
Menggunakan Probiotik Terhadap Kandungan Fraksi Serat
Sri Rahayu dan Djoko Subagyo
Universitas Jabal Ghafur, Sigli
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah perkebunan yang ada di
Kabupaten Pidie, masyarakat menganggap bahwasanya limbah harus dibuang, tapi
pada kenyataannya limbah Kulit buah kakao sangat berpotensi sebagai pakan ternak.
Pemberian Kulit buah kakao kepada ternak harus melalui proses perbaikan zat nutrisi
terlebih dahulu, salah satunya dengan fermentasi. Penelitian ini bertujuan melihat
pengaruh dosis pemberian probiotik dan lama waktu fermentasi terhadap kandungan
fraksi serat kulit buah kakao yang telah difermentasi. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) Pola Faktorial dengan 3x2 dengan 3 ulangan.
Faktor A adalah dosis pemberian probiotik yaitu A1= 7,5%, A2= 10%, dan A3=
12,5%. Faktor B adalah lama waktu fermentasi B1= 25 hari dan B2= 30 Hari. Data
dianalisa mengguna analisa varian (Anova) dan uji Lanjut DMRT. Hasil penelitian
menunjukan bahwa perlakuan A3B2 dapat menurunkan kandungan fraksi serat
substrat setelah difermentasi yaitu SK sebesar 40,33%, NDF sebesar 23,07%, ADF
sebesar 11,50 %, selulosa sebesar 23,72%, dan hemiselulosa 58,43%.
Kata Kunci: Kulit buah kakao, Bioprosessing, Win Prob, Nutrisi
PENDAHULUAN
Semakin lama jumlah penduduk semakin bertambah, seiring dengan hal
tersebut kebutuhan akan pangan juga meningkat. Meningkatnya kebutuhan pangan
masyarakat menyebabkan peralihan fungsi lahan yang terjadi tidak dapat dibendung.
Peralihan fungsi lahan yang terjadi menyebabkan berkurangnya areal padang
pengembalaan dan lahan Hijauan Makanan Ternak (HMT). Kekurangan HMT
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi populasi ternak. Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak alternatif, mudah didapat,
harga murah, tersedia sepanjang waktu dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia
yaitu dengan memanfaatkan limbah perkebunan. Salah satu dari limbah perkebunan
tersebut yang dapat dimanfaatkan adalah kulit buah kakao (KBK). KBK sangat
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
49
berpotensi sebagai pakan ternak alternatif khususnya untuk ternak Ruminansia.
Pemanfaatan limbah KBK ini dapat membantu peternak dalam hal penyediaan pakan
ternak.
Luas areal perkebunan kakao di Pidie Tahun 2015 adalah 10.308 Ha dengan
jumlah produksi 4.568 ton. Sedangkan pada Tahun 2016 luas areal perkebunan
kakao meningkat menjadi 10.376 Ha dengan jumlah produksi sebesar 4.717 ton
(Aceh Dalam Angka, 2017). Dari data tersebut dapat kita lihat baik luas areal maupun
jumlah produksi Kakao mengalami peningkatan dengan masing-masingnya 0,7% dan
3,3%. Dengan demikian dapat kita artikan dengan adanya peningkatan luas areal dan
jumlah produksi kakao ini juga meningkatkan limbah dari kulit kakao. KBK
merupakan limbah dengan proporsi paling besar dihasilkan. Buah kakao terdiri dari 3
bagian yaitu: kulit buah kasar 74%, plasenta 2% dan biji 24% (Harsini dan
Susilowati, 2010). Limbah KBK yang semakin banyak dan menumpuk jika tidak
dimanfaatkan tentu akan menjadi limbah yang terbuang. Dengan memanfaatkan ilmu
dan teknologi yang ada pada sekarang ini limbah KBK dapat dimanfaatkan menjadi
pakan ternak inkonvensional.
Pemanfaatan limbah KBK ini dapat dijadikan sebagai pakan alternatif dengan
sentuhan teknologi fermentasi. Fermentasi KBK dapat meningkatkan kualitas dari
KBK itu sendiri. KBK memiliki kualitas yang rendah jika kita berikan secara
langsung kepada ternak. Kulit Buah Kakao sebelum fermentasi mengandung BK
78,91%, BO 71,58%, PK 5,251%, SK 35,23%, LK 1.7%, NDF 76,980 %, ADF
58,003%, Hemiselulosa 18,977%, Selulosa 29,47%, dan Lignin 36,00% (Hasil Uji
Labor TIP Unand, 2019).
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa fermentasi dengan
menggunakan mikroba hasil isolasi dan melalui proses sterilisasi terlebih dahulu
memiliki hasil yang baik, akan tetapi sulit untuk diterapkan pada masyarakat kita.
Saat ini sudah banyak produk probiotik yang dikeluarkan oleh para praktisi
peternakan untuk membantu para peternak agar menjadi lebih mudah dalam
melakukan fermentasi pakan berserat. Proses fermentasi Kulit Buah Kakao dilakukan
dengan bantuan Win Prob. Win Prob merupakan sebuah produk berupa probiotik
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
50
yang mengandung beberapa mikroba yang terdiri dari Aspergilus niger, Bacillus
subtilis, Lactobacyllus aeidophyllus, Rizhopus oligosporus, Saccharomyces
cereviciae, Trichoderma viride.
MATERI METODA
Bahan yang digunakan adalah limbah kulit buah kakao, aquadest, molasses,
Probiotik merk Win Prob (CV. Mukti Abadi, Perum Sidokare Indah Blok FF No. 8
Sidoarjo Jawa Timur). Seperangkat alat fermentasi, seperangkat alat analisa
proximat dan analisa vansoest. Penelitian ini menggunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) pola faktorial dengan (3x2) dengan 3 ulangan. Faktor A adalah
dosis penggunaan probiotik yaitu: A1=7,5%, A2=10% dan A3=12,5% sedangkan
yang menjadi Faktor B adalah lama waktu fermentasi dengan B1=25 hari, dan B=30
hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kandungan Serat Kasar (SK) setelah Fermentasi
Rataan kandungan serat kasar kulit buah kakao setelah difermentasi dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Kandungan SK dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 28,237a 26,642ab 23,630b 26,170
B2 27,594c 25,551d 21,022e 24,722
Rataan 27,915 26,096 22,326
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil sidik ragam pada serat kasar (SK) menunjukan adanya interaksi antara
dosis pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B).
Hasil uji lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap
kandungan SK menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata (P<0,05) dengan
perlakuan lainnya.
Pada Tabel 1 diatas memperlihatkan terjadinya penurunan kandungan SK pada
setiap perlakuan jika dibandingan dengan kandungan SK pada saat sebelum
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
51
dilakukan fermentasi, yaitu 35,23% atau mengalami penurunan sebesar 40,33%
(Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019). Penurunan SK ini diduga akibat
penurunan kandungan lignin pada kulit buah kakao, dimana kandungan lignin awal
adalah sebesar 36 % (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019) dan setelah
difermentasi kandungan lignin turun menjadi 21,02% (Hasil analisa Laboratorium
TIP Unand, 2019).
Penurunan kandungan lignin ini merupakan aktifitas dari mikroba yang bekerja
secara optimal dalam hal ini adalah kombinasi perlakuan A3B2 dengan kandungan
SK sebesar 21,02%. Proses degradasi lignin yang terjadi dengan optimal ini
mengindikasikan bahwa perlakuan ini dapat meningkatkan jumlah miselium kapang
dan menghasilkan enzim-enzim yang lebih banyak sehingga proses degradasi lignin
terjadi secara optimal. Semakin lama waktu fermentasi semakin baik pertumbuhan
mikroba, dalam penelitian ini waktu 30 hari merupakan waktu terbaik untuk aktifitas
mikroba dalam merombak zat pakan secara optimal jika dibandingkan dengan
perlakuan B1 (25 hari). Marlina (2004) menyebutkan bahwa fermentasi substrat
enceng gondok menggunakan Aspergillus niger dapat menurunkan kandungan serat
kasar dari 24,6% menjadi 19,00%. Nurhayati (2005) juga menambahkan bahwa
teknologi fermentasi banyak dilakukan untuk peningkatan nilai gizi bahan pakan
lokal atau asal limbah, misalnya melalui fermentasi dengan menggunakan Aspergillus
niger.
Pada Tabel 1, juga terlihat bahwa kandungan SK terendah yaitu pada
perlakuan A1B1, hal ini diduga karena pemberian dosis probiotik 7,5% dengan waktu
25 hari belum dapat mengoptimalkan pertumbuhan miselium-miselium pada kapang
sehingga enzim-enzim yang dihasilkan juga sedikit sehingga membuat aktifitas enzim
dalam mendegradasi SK belum terjadi secara maksimal. Penurunan kandungan SK
pada substrat sangat dipengaruhi oleh keberadaan lignin pada substrat. Kuswandi
(2011) menyatakan bahwa kandungan lignin dalam bahan pakan dan kecernaan bahan
kering pakan sangat berhubungan erat, oleh karena itu untuk mempermudah proses
pencernaan kulit buah kakao oleh mikroba rumen, maka diperlukan suatu teknologi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
52
yang dapat mendegradasi ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa dengan
selulosa yaitu dengan menguraikan komponen polisakarida yang terkandung di kulit
buah kakao melalui proses degradasi atau fermentasi menggunakan aktivitas mikroba.
B. Kandungan NDF Setelah Fermentasi
Rataan kandungan NDF Kulit Buah Kakao setelah difermentasi dapat dilihat
pada Tabel 2
Tabel 2. Rataan Kandungan NDF dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan B1 74,700a 73,167a 70,547b 72,804
B2 67,947c 65,453c 59,220d 64,207
Rataan 71,323 69,310 64,883
Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)
Hasil sidik ragam pada NDF menunjukan adanya interaksi antara dosis
pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). Hasil uji
lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap kandungan NDF
menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan
lainnya. Perlakuan A1B2 dan A2B2 tidak berbeda nyata (P>0,05), akan tetapi
perlakuan A1B2 dan A2B2 berbeda nyata (P < 0,05) dengan perlakuan A3B2, A1B1,
A2B1, dan A1B3.
Pada Tabel 2 diatas memperlihatkan terjadinya penurunan kandungan NDF
pada setiap perlakuan jika dibandingan dengan kandungan NDF pada saat sebelum
dilakukan fermentasi yaitu 76,98% (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019).
Penurunan NDF ini diduga akibat penurunan kandungan Lignin pada Kulit Buah
Kakao, dimana kandungan lignin awal adalah sebesar 36 % (Hasil analisa
Laboratotium TIP Unand, 2019) dan setelah difermentasi kandungan lignin Kulit
Buah Kakao turun menjadi 21,02% (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019).
Pada Tabel 2 diatas terlihat bahwa penurunan NDF terbaik terdapat pada
perlakuan A3B2 yaitu sebesar 59,220%, hal ini disebabkan oleh proses degradasi
lignin yang terjadi secara sempurna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
53
sehingga lignin serta fraksi serat lainnya mengalami penurunan. Proses fermentasi
menyebabkan degradasi terhadap dinding sel yang meliputi lignin, sellulosa, dan
hemisellulosa. Degradasi lignin yang terjadi menyebabkan putusnya ikatan
lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga memudahkan mikroba merombak
selulosa dan hemiselulosa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparjo, 2010 bahwa
degradasi lignin akan membuka akses untuk perombakan selulosa dan hemiselulosa.
Rendahnya NDF pada perlakuan A1B1 yaitu sebesar 74,70% diduga kombinasi
perlakuan 7,5 % (A1) dengan lama waktu fermentasi 25 hari (B1) belum mampu
mengoptimalkan kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroba, sehingga pengaruhi
aktifitas mikroba dalam mendegradasi pakan masih rendah mengakibatkan
kandungan NDF dan fraksi serat kasar lainnya menjadi rendah (Rahayu, 2014).
C. Kandungan ADF Setelah Fermentasi
Rataan kandungan ADF kulit buah kakao setelah difermentasi dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Kandungan ADF dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 57,071 56,176 53,058 55,435a
B2 53,607 52,412 51,332 52,450b
Rataan 55,339a 54,294a 52,195b
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil sidik ragam pada ADF menunjukan tidak adanya interaksi antara dosis
pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). akan
tetapi masing-masing faktor yaitu dosis pemberian probiotik (Faktor A) dan lama
waktu fermentasi (Faktor B) menunjukan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap
penurunan kandungan ADF kulit buah kakao setelah difermentasi.
Hasil uji lanjut DMRT terhadap dosis pemberian probiotik (Faktor A)
menunjukan pada perlakuan A3 berbeda nyata (P<0,05) terhadap penurunan
kandungan ADF dibandingkan dengan perlakuan A2 dan A1. Hasil uji lanjut DMRT
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
54
terhadap lama waktu fermentasi (Faktor B) menujukan perlakuan B2 berbeda nyata
(P<0,05) terhadap penurunan kandungan ADF dibandingkan dengan perlakuan B1.
Terlihat pada Tabel 3 bahwa hasil terbaik terdapat pada perlakuan A3 dan
perlakuan B2. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan penambahan dosis tertinggi
(12.5%) dan waktu fermentasi selama 30 hari merupakan kolaborasi perlakuan yang
dapat menurunkan kandungan ADF pada substrat. Penurunan ADF dibuktikan
dengan kandungan ADF substrat sebelum difermentasi adalah sebesar 58.003%
sedangkan substrat sebelum fermentasi memiliki kandungan ADF sebesar 51,332%.
Penurunan kandungan ADF merupakan konstribusi dari penurunan kandungan lignin
dan fraksi serat lainnya pada substrat setelah fermentasi. Hasil ini menunjukan bahwa
penambahan probiotik dapat meningkatkan produktifitas mikroorganisme dalam
merombak diding sel bahan pakan. (Ali et al, 2015) menyatakan bahwa penambahan
probiotik dalam proses fermentasi secara anaerob menunjukkan hasil yang lebih baik
dalam menurunkan kandungan ADF pelet silase pelepah kelapa sawit dibandingkan
dengan tanpa penambahan probiotik.
D. Kandungan Selulosa dan Hemiselulosa Setelah Fermentasi
Rataan kandungan selulosa dan hemiselulosa kulit buah kakao setelah
difermentasi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Hasil sidik ragam pada selulosa
(Tabel 4) menunjukan tidak adanya interaksi antara dosis pemberian Probiotik
(Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B), akan tetapi masing-masing
faktor yaitu dosis pemberian probiotik (Faktor A) dan lama waktu fermentasi (Faktor
B) menunjukan pengaruh berbeda nyata (P<0.05) terhadap penurunan kandungan
Selulosa Kulit Buah Kakao setelah difermentasi. Pada faktor A1 dan A2
memperlihatkan hubungan tidak berbeda nyata (P>0,05) dan perlakuan A2 dan A3
memperlihatkan hubungan tidak berbeda nyata (P>0,05),sedangkan pada Faktor B1
dan B2 memperlihatkan hubungan yang berbeda nyata (P< 0,05).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
55
Tabel 4. Rataan Kandungan Selulosa dalam % Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 28,987 27,618 25,714 27,440a
B2 24,381 22,700 22,481 23,187b
Rataan 26,684a 25,159ab 24,097b
Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)
Hasil sidik ragam pada Hemiselulosa (Tabel 5.) menunjukan adanya interaksi
antara dosis pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor
B). Hasil uji lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap
kandungan Hemiselulosa menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
Perlakuan A1B1 dan A2B1 dan A3B1 menunjukan hubungan tidak berbeda
nyata (P>0,05), perlakuan A1B2 dan A2B2 tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 5. Rataan Kandungan Hemiselulosa dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 17,929a 16,990a 17,488a 17,469
B2 14,340b 13,042b 7,888c 11,757
Rataan 16,135 15,016 12,688
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)
Terlihat pada Tabel 4 dan Tabel 5 bahwa perlakuan A3 dan B2 adalah perlakuan
yang terbaik dalam penurunan kandungan selulosa dan hemiselulosa, dimana
kandungan fraksi serat ini sebelum fermentasi adalah 29.47% dan 18.977%,
sedangkan setelah difermentasi kandungan selulosa dan hemiselulosa adalah sebesar
24.097% dan 12.688%. Penurunan kandungan fraksi serat dapat dilihat dari selisih
kandungan NDF dan NDF (Tabel 4 dan 5) terlihat semakin lama fermentasi semakin
kecil kandungan selulosa dan hemiselolusa. Penurunan kandungan selulosa
disebabkan oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba dalam merombak komponen
lignohemiselulosa dan lignoselulosa. (Hartono dalam Rahmawati, 2017) menyatakan
bahwa Aspergillus niger menghasilkan enzim sellulase disamping itu juga
menghasilkan enzim amilase, protease, glukoamilase, laktase, katalase, glukosa
oksidase, lipase, hemisellulase dan peptinase.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
56
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian perlakuan A3B2
(dosis 12,5% dan lama waktu fermentasi 30 hari) dapat menurunkan kandungan fraksi
serat substrat setelah difermentasi yaitu SK sebesar 40,33%, NDF sebesar 23,07%,
ADF sebesar 11,50 %, Selulosa sebesar 23,72%, dan Hemiselulosa 58,43%.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Riset
dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai penyandang dana. Telah
memberikan kepercayaan kepada kami menerima dana skema penelitian dosen pemula
Universitas Jabal Ghafur (UNIGHA) Sigli.
DAFTAR PUSTAKA
Ali A, Tarmizi M dan D. Febrina. 2017. Fraksi Serat Pelet Silase Pelepah Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis) dan Indigofera (Indigofera zollingeriana) dengan
Komposisi yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner.
BPS. 2017. Aceh Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Aceh. Aceh.
Harsini, T. dan susilowati. 2010. Pemanfaatan kulit buah kakao dari limbah
pekrebunan kakao sebagai bahan baku pulp dengan proses organosol V. Jurnal
Ilmiah teknik Lingkungan. 2(2):80-89
Kuswandi. 2011. Teknologi Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Menunjang Peningkatan
Produksi Ternak Ruminansia Pengembangan Inovasi Pertanian 4 (3):189-204.
Marlina, L. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Fermentasi dengan Aspergillus sp
terhadap pH, Kandungan Serat Kasar dan BETN Eceng Gondok (Eichornia
crassipes). Skripsi Fakultas Petemakan Universitas Andalas, Padang.
Nurhayati. 2005. Evaluasi nutrisi campuran bungkil inti sawit dan onggok yang
difermentasi menggunakan Aspergillus niger sebagai bahan pakan alternatif.
Tesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang, 71 hlm.
Rahayu, S. 2014. Biodelignifikasi pelepah sawit menggunakan kapang Phanerochaete
chrysosporium yang disuplementasi mineral Ca dan evaluasi kecernaan secara In
vitro. Tesis. Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang.
Rahmawati. 2017. Bioprosessing Limbah Kulit Kopi Arabika Dataran Tinggi Gayo
sebagai Pakan Ternak Alternatif. Laporan Hibah PDP. Universitas Gajah Putih.
Takengon, Aceh.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
57
Suparjo. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi kulit buah kakao sebagai pakan ternak
secara bioproses dengan Phanerochaete chrysosporium yang diperkaya ion Mn2+
dan Ca2+. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
58
Kualitas Reproduksi Sapi Jantan PO Sebagai Calon Bibit Yang Di
Beri Minum Terseuplementasi Ekstrak Buah Merah
Nurcholis*, S.M. Salamony, dan D Muchlis
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Musamus *Coressponding author: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas reproduksi sapi
jantan PO sebagai calon bibit yang diberi minum mengandung ekstrak buah merah di
kabupaten merauke. Metode yang diguankan dalam penelitian ini meliputi beberapa
tahapan yaitu tahap seleksi berdasarkan BCS dan seleksi berdasarkan BSE. Parameter
yang di ukur dalam penelitian ini meliputi skoring badan, lingkar skrotum, libido dan
kualitas semen segar yang di evaluasi secara makroskopis dan mikroskopis.
Rancangan yang dugunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 3 perlauan dan 4
ulangan, data dianalisis secara statistik dengan bantuan soft ware SPSS versi 21.0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi jantan PO yang berada di kabupaten
merauke memiliki BCS rata-rata 3 dan libido sedang - tinggi, selain itu rata-rata
lingkar skrotum mencapai 27 – 28 cm. Kualitas semen sapi PO yang diberi minuman
tersuplementasi ekstrak buah merah secara makroskopis dan mikroskopis tidak
berpengaruh nyata, namun angka penilaian secara grafik cenderung meningkat.
Kesimpulan penelitian ini bahwa sapi jantan PO yang ada dikabupaten merauke
memiliki potensi sebagai calon bibit lokal, karena kualitas reproduksi dalam keadaan
normal.
Kata kunci: Sapi PO; Kualitas semen; Buah Merah
PENDAHULUAN
Merauke sebagai kabupaten yang berkembang di wilayah papua selatan menjadi
salah satu ikon indonesia karena terletak di kawasan perbatasan RI/PNG. Merauke
meliliki potensi pertanian dan peternakan yang sangat baik, khusus bidang peternakan
hijauan pakan dan limbah pertanian yang cukup banyak menjadikan merauke
dijadikan daerah pembibitan sapi potong dikawasan indonesia timur berdasarkan
peraturan dirjen peternakan tahun 2016. Pengembangan sapi potong tentu tidak dapat
dipisahkan dengan potensi bibit, khusunya bibit sapi lokal yang telah teruji dan
mampu bertahan dengan kondisi iklim di merauke, rata-rata suhu di merauke hingga
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
59
agustus 2019 mencapai 30-33oC (BMKG, 2019). Khusus Pengujian calon bibit sapi
jantan dapat ditentukan dengan beberapa tahapan diantaranya adalah dengan seleksi
secara kuantitatif. Seleksi berdasarkan postur badan, dapat di lakukan dengan
mengitung BCS ( Body Condition scoring) dan BSE (Breeding Soundness
Evaluation).
Pengujian BSE salah satunya tentang kualitas semen segar, kualitas semen pada
sapi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya genetik, kualitas pakan, dan
suhu. Suhu yang terlalu panas dapat menyebabkan ternak menjadi stress dan dapat
menurunkan kualitas spermatzoa, selain itu pakan yang bernutrisi rendah tentunya
dapat menurunkan kualitas semen segar. Pakan tenak sebainya mengandung nutrisi
yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan reproduksi, nutrisi yang baik
selain dapat ditemukan pada pakan rumput juga dapat ditemukan pada limbah
pertanian seperti limbha jagung, limbah kacang dan limbah tauge (Nurcholis et al.,
2015). Selain itu nutrisi juga dapat diberikan melalui air minum. Proses pemberian
pada air minum diduga lebih cepat dalam proses penyerapan nutrisinya, minuman
yang baik untuk ternak selain air putih adalah minuman yang mengandung nilai
vitamin serta antioksidan yang tinggi. Buah merah telah diketahui memiliki
kandungan antiksidan dan vitamin yang banyak serta baik untuk kesehatan, sehingga
diharapkan dengan adanya suplementasi ekstrak buah merah dalam air minum pada
ternak sapi, dapat meningkatkan kualitas reproduksi ternak yaitu kualitas spermatozoa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas reproduksi sapi PO pada
suhu tinggi yang diberi air minum terseuplementasi ekstrak buah merah.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan mei hingga juli 2019, bahah yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 ekor sapi jantan umur 3-4 tahun, ekstrak
buah merah. Alat yang digunakan sepasang meter ukur rondo, jangka sorong, vagina
biatan dan alat evaluasi semen lengkap. Proses pembuatan ekstrak buah merah
dilakukan dengan merendam bulir-bulir buah merah dalam air hanggat bersuhu 35oC
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
60
dan di aduk-aduk hingga warna air menjadi merah, selanjutnya proses penyaringan
menggunakan kain saring dengan tujuan kotoran dapat terpisah dari sari buah merah.
Buah merah yang telah dieksrak disaring selanjutnya dapat dicampur dengan air
dengan perbandingan 100 ml EBM : 900 ml air , 200 ml EBM : 800 ml air dan 300 ml
EBM : 700 ml air. Pemberian air yang tersuplementasi ekstrak buah merah (EBM)
pada sapi dilakukan sebanyak 1 kali dalam sehari yaitu sore hari, dan pakan yang
dugunakan adalah rumput serta leguminosa pada porposi perbandingan 70% rumput
dan 30% leguminosa.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan x 3
perlakuan. data dianalisis secara anova menggunakan bantuan soft ware SPSS versi
21.0 Perhitungan korelasi antara lingkar skrotum dan volume semen menggunakan
analisis korelasi dan regresi sederhana. Analisis korelasi yang digunakan adalah
analisis koefisien korelasi (r) yaitu nilai tingkat keeratan hubungan antara peubah (X)
dengan peubah (Y) dan analisis koefisien determinasi (r2) yaitu menyatakan besarnya
peubah X yang mempengaruhi peubah Y. Adapun peubah X adalah lingkar skrotum
dan peubah Y adalah volume semen dan motilitas semen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sapi jantan pada umumnya memiliki kemampuan untuk berkembang lebih
cepat dari ternak betina, perkembangan tubuh ternak tentunya berhubungan dengan
BCS, rata-rata BCS dapat menjadi suatu tolak ukur apakah ternak tersebut pada
kondisi baik atau tidak baik. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata BCS adalah 3, hal
ini memberikan makna bahwa sapi-sapi yang dijadikan penelitian adalah sapi dengan
sedang tabel 1.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
61
Tabel 1 nilai BCS, lingkar skrotum dan libido n (9)
Parameter A
Nilai pengukuran ± SE
B
C
BCS (cm)
Lingkar Skrotum (cm)
Libido
3,00 ±1.05
28,30 ±1.02
Tinggi
2,66 ±0.52
27,40±1.01
Sedang
3,00±1.17
28,10±0.04
Tinggi
Keterangan : A, B dan C ulangan yang masing-masing terdiri dari 3 ekor sapi
Selain itu untuk mengetahui apakah ternak jantan ini baik untuk menjadi calon
pejantan maka harus dibuktikan untuk mengetahui libido dan kualitas semen segarnya.
Libido pada sapi PO dalam penelitian ini rata-rata sedang hingga tinggi yang
dibuktikan dengan cepat memanjat betina walaupun betina tersebut belum birahi.
Kualitas semen berhubungan dengan lingkar skrotum pada sapi, rata-rata lingkar
skrotum pada sapi adalah 27-28 cm, hal ini menunjukkan ciri-ciri yang normal.
Menurut saputra et al., (2017) bahwa rata-rata lingkar skrotum sapi pada usia 4 tahun
adalah 26 cm, Said et al., (2016) menunjukkan hasil relatif sama yaitu lingkar
skrotum sapi sumba ongole rata-rata 27,86 cm. lingkar skrotum berhubungan dengan
volume spermatozoa tabel 2. Pengujian korelasi antara lingkar skrotum, volume dan
motilitas dilakukan sebelum perlakuan pemberian minuman tersuplementasi buah
merah. . Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lingkar
skrotum dan volume semen dengan nilai koefisien kolerasi 0,63 (Saputra et al., 2017),
penelitian lain pada sapi bali koefisien kolerasi mencapai 0,72 ( Latif et al., 2009) dan
Sarder (2005) bahwa lingkar skrotum berkorelasi positif terhadap volume semen.
Tabel 2 Nilai lingkar skrotum, volume dan motilitas spematozoa n = (9)
Variabel X ±SB KK (%) K
Lingkar skrotum (cm) 28,30±1,37 4,32 27-28
Volume (ml) 4,35±1,05 22,10 2,6-7,5
Motilitas spermatozoa 75,60±2.37 4,27 60-80
(%)
Keterangan : SB (simpangan baku), KK ( koofisien keragaman) dan K (Kisaran)
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
62
Kualitas semen segar sapi yang diberi perlakukan tidak berpengaruh nyata
terhadap volume, motilitas dan konsentrasi (P>0.05) sedangkan nilai abnormalitas
berpengaruh nyata (P<0.05) tabel 3. Penelitian ini menjunjukkan bahwa asupan nutrisi
yang diberikan mampu meningkatkan kualitas spermatozoa, hal ini ditunjukkan
dengan rendahnya nilai abnormalitas primer yang terjadi pada bagian tubuliseminiferi.
Hal ini dapat terjadi diduga karena antioksidan dan vitamin yang terdapat dalam
minuman tersuplementasi buah merah bekerja secara efektif dalam pembentukan
spermatozoa pada proses permatogenesis. Namun demikian nilai motilitas cenderung
mengalami peningkatan.
Tabel 3 kualitas semen segar sapi Po yang diberi ekstrak buah merah dalam air minum
n (9)
Variabel A B C
Volume (ml) 4,35±1,08 4,15±1,13 4,10±1,02
Motilitas (%) 75,60±2,37 75,00±1,15 75,50±0,04
Viabilitas (%) 80,45±1,16 82,50±1,03 82,25±1,23
Abnormalitas (%) 8,20±2,10 5,11±0,72 2,00±1,06
Keterangan : A, B dan C ulangan yang masing-masing terdiri dari 3 ekor sapi
Abnormalitas yang terjadi sebagian besar terdiri dari narrow head yaitu kepala
lonjong, hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa ternak yang diberikan
pakan dan minum yang mengandung suplemen herbal serta bernilai gizi tinggi akan
memberikan peningkatan kualitas ternak. Menurut Garner dan Hafez, (2000) nilai
abnormalitas yang sesuai standar rata-rata antara 5 sampai dengan 20%. Rendahnya
nilai abnormalitas spermatozoa dalam penelitian ini diduga pakandan minum yang
diberikan sangat bagus sehingga mendukung proses spermatogenesis dan pematangan
spermatozoa dalam epididymis (Nurcholis et al., 2015). Selain itu Kandungan utama
dari minyak buah merah diantaranya antioksidan vitamin E dan γ- tokoferol, omega-3
dan asam lemak tak jenuh, asam lemak tak jenuh berguna bagi permiabilitas membran
sel (6) yang mampu mempertahankan dan melindungi spermatozoa dari radikal bebas.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
63
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ternak sapi dikabupaten merauke
dengan suhu yang cukup tinggi, kualitas repduksinya dalam kondisi normal dan
pemberian minum tersuplementasi ekstrak buah merah memberikan dampak positif
terhadap kualitas semen segar sapi PO dan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Riset Teknologi
Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian yang didanai oleh DRPM pada skema PDP.
DAFTAR PUSTAKA
Byrne CJ, Kenny DA, Fair S, English AM, Holden SA, Dick JR, Lonergan P. 2017.
Dietary polyunsaturated fatty acid supplementation of young postpubertal dairy
bulls alters the fatty acid composition of seminal plasma and spermatozoa but
has no effect on semen volume or sperm quality. Theriogenology. 90 : 289 –
300.
Garner, D.L. andE.S.E. Hafez. 2000.Spermatozoa and seminal plasma. In
Reproduction in Farm Animals.Hafez, E.S.E. andB. Hafez th (ed). 7.Lippincot
Williams and Wilkins,Philadelphia pp :206-227.
Latif, M.A., Ahmed, J.U., Bhuiyan, M.M.U., and Shamsuddin, M. 2009. Relationship
Between Scrotal Circumference and Semen Parameters in Crossbred Bulls. The
Bangladesh Veterinarian. 26 (2):61-67.
Nurcholis., R.I Arifiantini, M. Yamin. 2015.Pengaruh pakan limbah tauge dan
suplementasi omega-3 terhadap produksi spermatozoa domba garut. Agricola. 5
(2) : 133-142.
Said, S., Agung, P.P., Putra, W.P.B., Anwar, S., Wulandari, A.S., and Sudiro, A. 2016.
Selection of Sumba Ongole (SO) Cattle based on Breeding value and
Performance Test. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture. 41(4):
175-187.
Saputra D.J., M. N. Ihsan, N. Isnaeni. 2017. Korelasi antara lingkar skrotum dengan
volume semen, konsentrasi dan motilitas spermatozoa pejantan sapi bali. Jurnal
Ternak Tropik. 18 (2) :59-68.
Sarder, M.J.U. 2005. Scrotal Circumference Variaton on Semen Characteristics of
Artificial Insemination (AI) Bull. Journal of Animal and Vetenary Advances. 4
(3): 335-340.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
64
Pengaruh Pengunaan Tepung Biji Asam Kandis (Garcinia cowa)
Sebagai Imbuhan Pakan Alami (NGPs) Terhadap Kecernaan Protein,
Energi Metabolis, Lebar Kripta, dan Panjang Vili Usus Ayam
Pedaging
O.Sjofjan, D.N. Adli*, S. Lailiyah, dan M.J. Abdillah
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang *)
nama penulis sebagai korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Banyak usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak pelarangan
penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan di Indonesia. Salah satunya adalah
penggunaan fitogenik dan acidifier berupa biji asam kandis (Gracinia cowa).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji asam
kandis (Gracinia cowa) sebagai imbuhan pakan terhadap kecernaan protein, energi
metabolis, lebar kripta, dan panjang vili ayam pedaging. Metode penelitian yang
digunakan adalah percobaan lapang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan. Pakan perlakuan yang digunakan adalah P0=
pakan basal, P1= pakan basal + tepung biji asam kandis 0.25%/kg pakan basal, P2=
pakan basal + tepung biji asam kandis 0.5 %/kg pakan basal, P3= pakan basal + tepung
biji asam kandis 0.75%/kg pakan basal, P4= pakan basal + tepung biji asam kandis 1.0
%/kg pakan basal. Parameter yang diukur adalah kecernaan protein, energi metabolis,
lebar kripta, dan panjang vili ayam pedaging. Data dianalisis denga sidik ragam
(anova) dan apabila hasil penelitian menunjukan pengaruh nyata (P < 0,05) maka
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD). Hasil menunjukan pengunaan
biji asam kandis berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap kecernaan protein dan
berpengaruh nyata (P < 0.05) panjang villi usus ayam pedaging. Penambahan tepung
biji asam kandis dapat meningkatkan kecernaan protein dan meningkatkan panjang vili
ayam pedaging.
Kata kunci: asam kandis, ayam pedaging, kecernaan protein, panjang vili
PENDAHULUAN
Ayam pedaging merupakan salah satu komoditi ternak unggas yang banyak
diminati oleh masyarakat untuk di konsumsi. Ayam pedaging banyak dikonsumsi
untuk mencukupi kebutuhan protein hewani karena memiliki harga yang terjangkau
dan mudah di dapat. Perkembangan peternakan ayam pedaging di Indonesia
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan data yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
65
dihimpun oleh Direktorat Jendral Peternakan (2017) menyatakan bahwa pada tahun
2016 populasi ayam ras pedaging sebanyak 1.632.567.839 ekor dan mengalami
peningkatan sebanyak 65.800.902 ekor yaitu sebanyak 1.698.368.741 ekor pada tahun
2017. Meningkatnya populasi ayam ras pedaging di Indonesia juga diikuti dengan
meningkatnya produksi daging ayam. Pada tahun 2016 produksi daging ayam di
Indonesia mencapai 284.988 ton dan meningkat menjadi 296.189 pada tahun 2017.
Pakan merupakan salah satu dari tiga faktor yang menentukan keberhasilan dalam
pemeliharaan ayam. Peningkatan kecernaan nutrisi, terutama protein diperlukan untuk
mengatasi masalah tersebut, salah satunya dengan cara penambahan feed additive
dalam pakan untuk meningkatkan kecernaan nutrisi dari pakan (Indrasari, Yunianto,
dan Mangisah, 2014).
Feed additive merupakan bahan yang tidak termasuk zat makanan yang
ditambahkan ke dalam pakan dalam jumlah sedikit dan bertujuan untuk memacu
pertumbuhan dan meningkatkan populasi mikroba baik di dalam saluran pencernaan
dan menguntungkan untuk ayam. Namun, pengunaan feed additive dalam bentuk
antibiotik sudah dilarang oleh pemerintah dimulai dari tanggal 1 januari 2018, hal
tesebut tercantum pada pasal 1 ayat (14) Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Permentan nomor 14 tahun 2017. Feed additive selama ini banyak terbuat
dari bahan nonorganic yang kurang terjamin aspek keamanannya karena dapat
menimbulkan resistensi mikroba dan residu antibiotik di dalam tubuh ayam, hal ini
dapat menghasilkan produk daging ayam yang tidak sehat dan berbahaya untuk
manusia jika dikonsumsi. Solusi yang dapat dilakukan yaitu pemberian fitogenik dan
acidifier. Fitobiotik merupakan senyawa yang berasal dari tanaman yang digunakan
didalam pakan ternak untuk meningkatkan penampilan produksi ternak (Yuniarti,
Wahyono, dan Yunianto, 2015). Fitobiotik dapat dimanfaatkan sebagai antibiotics
growth promoters (AGPs) seperti asam organik dan probiotik Pemanfaatan bahan
organik berupa biji asam kandis (Garcinia cowa) sebagai fitogeik merupakan salah
satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tumbuhan Garcinia cowa atau
asam kandis merupakan tanaman asli Indonesia dari Sumatera Barat (Darwati dkk,
2018).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
66
Tanaman asam kandis memiliki aktivitas biologis dan farmakologis yang
bervariasi, seperti sitotoksik, antiinflamasi, antimikroba, antifungi, dan antioksidan
(Mahabusarakam dkk, 2004). Asam kandis banyak mengandung triterpen, flavonoid,
xanthan, dan phloroglucinol (Wahyuni dkk, 2017). Senyawa tersebut mampu berperan
sebagai antimikroba yang sangat efektif dalam menekan pertumbuhan bakteri dan
memperbaiki karakteristik morfologi usus. Senyawa pada tanaman asam kandis
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp dalm
usus sehingga meningkatkan penyerapan nutrisi pada villi usus. Semua bagian dari
tanaman asam kandis dapat dimanfaatkan, baik buah, kulit batang, daun, dan akar,
sedangkan untuk biji dari asam kandis tidak banyak dimanfaatkan, pada tanaman
genus Garcinia, biji dari buahnya banyak dimanfaatkan untuk pengobatan dan feed
additive pada ternak, seperti Garcinia kola sebagai feed additive untuk meningkatkan
pertumbuhan ayam ras pedaging (Muhammed and Abdulmalik, 2013). Pertumbuhan
ayam pedaging dipengaruhi oleh tingkat kecernaan protein dan energi metabolis pada
ayam. Semakin tinggi tingkat kecernaan protein dan energi metabolis maka semakin
baik pula tingkat pertumbuhan ayam.Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan
penelitian tentang kecernaan energi metabolis dan protein tepung biji asam kandis
sebagai imbuhan pakan untuk mengetahui mengetahui kecernaan protein, energi
metabolis, lebar kripta, dan panjang vili usus ayam pedaging.
MATERI DAN METODE
Materi
Ayam pedaging yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor ayam
pedaging platinum strain Cobb yang tidak dibedakan jenis kelaminnya (unsexed)
dengan rataan 49,67 ± 3,3 dengan koefisien keragaman 7,5% sedangkan untuk
mengukur kecernaan protein dan energi metabolis digunakan ayam pedaging fase
finisher umur 35 hari dengan rata-rata bobot badan 2.140 ± 0,084 g/ekor, dengan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
67
koefisien keragamaan 3,940%. Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum,
untuk pemberian pakan dan minum dilakukan pagi hari pada puku 07.00 dan sore hari
pada pukul 16.00. Biji asam kandis yang digunakan sebagai fitobiotik didapatkan dari
Padang, Sumatera Barat Komposisi kandungan nutrien pakan basal yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel. 1.
Tabel 1. Komposisi Kandungan Zat Makanan
Zat Makanan Kandungan
Bahan Kering (%) 89,54
Air (%) 10,46
Abu (%) 4,72
Protein Kasar (%) 20,36
Lemak Kasar (%) 5,68
Serat Kasar (%) 4,54
Gross Energy (Kkal/kg)* 4168
Sumber : Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya (2018). (*) Hasil Analisis Laboratorium Veteriner
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar.
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan pada Tepung Biji Asam Kandis
Zat Makanan Kandungan
Bahan Kering (%) 89,11
Abu (%) 4,77
Lemak Kasar (%) 24,67
Serat Kasar (%) 18,57
Protein Kasar (%) 0,99
GE (kkal/g) 5244
Ca %* 0,72
P %* 0,22
Sumber : Hasil uji proksimat di Labotaroriu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan. (*) Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian (2018)
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan in vivo dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang teridiri dari 5 perlakuan
percobaan dan 5 ulangan, sehingga terdapat 25 unit percobaan. Setiap kandang
percobaan terdiri dari 8 ekor DOC dengan total 200 ekor. Sementara untuk mengukur
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
68
kecernaan protein dan energi metabolis setiap 1 unit percobaan menggunakan 1 ekor
ayam, sehingga jumlah ayam yang digunakan sebanyak 25 ekor. Pakan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
P0 = Pakan Basal
P1 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,25%/kg
P2 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,5%/kg
P3 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,75%/kg
P4 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 1,0%/kg
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dari Rancangan Acak
Lengkap (RAL) menggunakan aplikasi SAS version 9.4. Apabila hasil penelitian
menunjukkan pengaruh nyatta (P<0,05) atau sangat nyata (P<0,01) maka dilanjutkan
dnegan Uji Jarak Berganda Duncan’s (UJBD). Metode dalam RAL yang digunakan
adalah sebagai berikut :
Yij = µ + πi + Ɛij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke j
µ = Nilai tengah umum
πi = Pengaruh perlakuan ke-i
Ɛij = Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan
i = Perlakuan ke 0, 1, 2, 3, 4
j = Ulangan ke- 1, 2, 3, 4
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
69
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran kecernaan protein dan energi metabolis serta hasil analisis
statik dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran kecernaan protein dan energi metabolis pada masing-
masing perlakuan.
Variabel Pengamatan Perlakuan
kcpk (%) AME (Kkal/kg) AMEn (Kkal/kg)
P0 76,95 ± 1,69a 3133,68 ± 68,55 3113,47 ± 70,31
P1 77,56 ± 2,13a 3163,12 ± 73,80 3145,99 ± 74,18
P2 81,15 ± 0,92b 3222,05 ± 34,97 3205,74 ± 33,03
P3 77,27 ± 1,72a 3176,42 ± 77,09 3159,62 ± 77,70
P4 76,65 ± 1,73a 3189,50 ± 54,29 3175,50± 58,48
Keterangan : Superskip (a-b) yang berbeda pada kolom yang sama yang menunjukkan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01).
Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam kandis
menunjukkan bahwa kecernaan protein berpengaruh sangat nyata terhadap kecernaan
protein ayam pedaging (P<0,01), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan
tepung biji asam kandis P2(0,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(0), P1(0,25),
P3(0,75), dan P4(1%) dengan nilai P2(81,15), P0(76,95), P1(77,56), P3(77,27),
P4(76,65 Kkal/kg), hal ini dapat dilihat pada pada Tabel 3. Peningkatan kandungan
protein disebabkan adanya senyawa flavonoid pada tepung biji asam kandis yang
dapat merangsang peningkatan sekresi enzim pepsin, trypsin, lypase, dan amylasee di
dalam lambung yang nantinya akan diteruskan ke dalam usus, sehingga proses
metabolisme zat-zat makanan di dalam usus meningkat. Mario, dkk (2014)
menyatakan bahwa enzim protease, amilase,dan lipase berperan dalam mencerna
protein, karbohidrat dan lemak. Zat antibakteri yang terdapat di dalam tepung biji
asam kandis berperan untuk menekan mikroorganisme pathogen yang terdapat di
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
70
dalam saluran pencernaan, sehingga mikroba non pathogen di dalam saluran
pencernaan dapat meningkat dan meningkatkan kecernaan protein.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai AME penambahan tepung biji
asam kandis sebanyak 0,5 (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tepung
biji asam kandis 0(P0), 0,25(P1), 0,75(P3) dan 1%(P4) dengan nilai P2(3222,05),
P0(3133,68), P1(3163,12), P3(3176,42), dan P4(3189,50 Kkal/kg). Hasil perhitungan
statistik dari bentuk atau perlakuan penambahan tepung biji asam kandis menunjukkan
bahwa energi metabolis tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi metabolis
ayam pedaging (P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10. Hasil
perlakuan yang tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti
stress, suhu yang kurang optimal, jenis kelamin ayam, dan kandungan nutrisi bahan
pakan yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Achmanu (1997) yang
menyatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis pada
ternak yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan faktir
yang berpengaruh dari dalam ternak itu sendiri seperti strain unggas, umur dan jenis
kelamin. Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berpengaruh dari luar seperti suhu,
kelembapan, dan bahan pakan. Ditambahkan oleh Andjani dkk, (1989) yang
menyatakan bahwa tinggi rendahnya energi metabolis sangat tergantung pada konsisi
fsik terak dan kandungan nutrien pada pakan. Ditambahkan oleh Asmari dan
suprajitna (2002) bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh metabolisme zat makanan
pada ternak dan akhirnya dapat meningkatkan komsumsi pakan.
Tingginya perlakuan penambahan tepung biji asam kandis sebnyak 0,5% (P2)
dikarenakan penambahan tepung biji asam kandis dengan konsentrasi tersebut dapat
menekan pertumbuhan bakteri pathogen, sehingga pertumbuhan bakteri non pathogen
dapat meningkat dan dapat memperbaiki sistem penyerapan di dalam usus. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Yang et al. (2009) bahwa antibiotik dalam pakan dapat
meningkatkan kesehatan dan performan unggas dengan meningkatkan pertumbuhan
bakteri yang menguntungkan dengan menurunkan potensi bakteri patogen. Kandungan
flavonoid di dalam tepung biji asam kandis juga dapat merangsang peningkatan
sekresi enzim pepsin, trypsin, lypase, dan amylasee di dalam lambung yang nantinya
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
71
akan diteruskan ke dalam usus, sehingga proses metabolisme zat-zat makanan di
dalam usus dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djunaedi dan Natsir
(2003) yang menyatakan bahwa semakin banyak zat makanan di dalam tubuh yang
ditimbulkan oleh peningkatan penyerapan zat makanan akan lebih efektif untuk diubah
menjadi energi. Ditambahkan oleh Wahju (2004), tinggi rendahnya energi metabolis
tergantung pada kandungan gross energy pakan dan banyaknya energi yang
digunakan oleh ternak.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai AMEn penambahan tepung biji
asam kandis sebanyak 0,5 (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tepung
biji asam kandis 0(P0), 0,25(P1), 0,75(P3) dan 1%(P4) dengan nilai P2(3113,47),
P0(3145,99), P1 (3205,74), P3(3159,62), dan P4(3175,50 Kkal/kg), hal ini dapat
dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis statistik dari perlakuan penambahan tepung biji
asam kandis terhadap energi metabolis terkoreksi nitrogen menunjukkan bahwa
AMEn tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi metabolis terkoreksi N
ayam pedaging (P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10. Energi
metabolis terkoreksi nitrogen tergantung pada besarnya kandungan retensi nitrogen
pada ayam pedaging, jika semakin besar retensi nitrogen pada ayam pedaging maka
akan semakin rendah retensi nitrogen pada ekskreta. Selain itu, kandungan protein di
dalam bahan pakan pada setiap perlakuan hampir sama, sehingga tidak berpengaruh
terhadap kecernaan energi metabolis terkoreksi N. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Anggorodi (1994) menyatakan bahwa ternak per individu dari spesies yang sama
memiliki perbedaan dalam setiap mencerna pakan yang diberikan. Hal ini sesuai pula
dengan Wuragil (2007) bahwa lebih banyak nitrogen yang di retensi antara lain
disebabkan oleh proses pencernaan dan absorbsi zat-zat makanan yang lebih baik
sehingga mempercepat rate of passage retensi nitrogen. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Sarma dkk, (2006) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya nitrogen
yang terkandung di dalam feses dapat berpengaruh terhadap retensi nitrogen. Semakin
banyak nitrogen yang tertinggal di dalam tubuh maka nitrogen yang terbuang bersama
feses akan semakin sedikit.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
72
Tabel 4. Rata-rata lebar kripta dan panjang vili ayam pedaging
Variabel Pengamatan Perlakuan
Lebar Kripta (µm) Panjang vili (µm)
P0 131,60 ± 0,61 600,57 ± 0,64a
P1 131,92 ± 0,32 621,71 ± 7,34a
P2 132,11 ± 0,38 632,46 ± 4,79a
P3 132,15 ± 0,22 657,76 ± 14,29a
P4 132,29 ± 0,32 700,89 ± 12,48b
Keterangan : Superskip (a-b) yang berbeda pada kolom yang sama yang menunjukkan
pengaruh yang nyata (P<0,05).
Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam
kandis menunjukkan bahwa pengunaan biji asam kandis tidak berpengaruh nyata
terhadap lebar kripta ayam pedaging (P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada
tabel 4. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari
penambahan tepung biji asam kandis P4 (132,29%) lebih tinggi dibandingkan dengan
P0(131,60), P1(131,92), P3(132,15), hal ini dapat dilihat pada pada Tabel 4. Hal
tersebut membuktikan bahwa jika bertambahnya konsentrasi tepung biji asam kandis
yang dicampurkan pada pakan basal maka lebar kripta semakin baik. Hasil analisis
statistik menunjukan penambahan asam kandis berpengaruh tidak nyata (P<0.05)
terhadap lebar kripta usus ayam pedaging. Hal tersebut terindikasi karena pemberian
asam kandis 1% masih dapat ditolerir sehingga kurang maksimalnya pengoptimalan
penyerapan nutrisi yang ada pada tepung biji asam kandis termasuk lebar kripta.
Adanya zat anti nutrisi berupa saponin disinyalir menghambat proses penyerapan
nutrisi ditambah faktor ekstrinsik yang menyebabkan ayam mudah stress. Walupun,
pemberian pada P4 memberikan hasil yang tertinggi hal ini diindikasikan karena
kandungan flavonoid pada aditif lebih banyak dibanding perlakuan lain. Hal lain yang
menjadi faktor penyebab tidak berpengaruh nyata karena kurang lamanya tepung biji
asam kandis yang dicampurkan tersebut yang mengacu pada pernyataan Wuragil
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
73
(2007) bahwa absorsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu kontak dan
luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus.
Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam
kandis menunjukkan bahwa pengunaan biji asam kandis berpengaruh nyata terhadap
panjang vili ayam pedaging (P<0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel 4.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan
tepung biji asam kandis P4 (700,89) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(600,57),
P1(621,71), P2 (632,46 ), P3(657,76). Hal ini tercantum pada tabel 4 yang
menunjukan bahwa semakin bertambahnya konsentrasi tepung biji asam kandis yang
dicampurkan pada pakan basal maka panjang vili pada usus ayam pedaging ikut
meningkat. Peningkatan tersebut diduga karena asam organic pada tanaman asam
kandis dapat meningkatkan penyerapan nutrisi. Lucida dkk, (2012) tanaman asam
kandis mengandung Hydroxycitric acid (-)- HCA ), asam laktat, asam oksalat, dan
asam sitrat. Hal itu didukung oleh pernyataan Natsir (2007) bahwa suasana asam yang
tercipta didaerah usus halus karena adanya penambahan asam laktat yang dapat
menguntungkan bagi perkembangan bakteri non patogen sehingga dapat
meningkatkan pencernaan zat zat makanan.
KESIMPULAN
Pemberian imbuhan pakan berupa tepung biji asam kandis dapat meningkatkan
kecernaan protein dan meningkatkan panjang vili pada ayam pedaging, namun belum
dapat meningkatkan kecernaan energi metabolis pada ayam pedaging.
DAFTAR PUSTAKA
Achmanu. 1997. Determinasi nilai eneri metabolis bahan ransum pada unggas. UB press, Universitas Brawijaya, Malang
Andjani, S. Susanto, M. Surisdiarto, E. Widodo, dan O. Sjofjan. 1989. Pengaruh
penggunaan yeast culture terhadap rasio efisiensi protein ayam pedaging. UB
Press, Universitas Brawijaya, Malang.
Anggorodi R. 1994. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT Gramedia, Jakarta.
Darwati., Nurlaelasari., T. Herlina, dan T. Mayanti. 2018. Depsidon dari buah tumbuhan asam kandis (Garcinia cowa). Chim. et Nat. Act. 6(1): 25-29.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
74
Indrasari V. D., B.I. Yunianto, dan I. Mangisah. 2014. Evaluasi kecernaan protein
kasar dan retensi notrogen pada ayam broiler dengan ransum berbeda level
protein dan asam asetat. J. Anim. Agr. 3(3): 401-408.
Lucida H., E.S. Ben, dan E. Delita. 2012. Pengembangan kulit buah kering asam
kandis sebagai herbal medicine: optimasi formulasi tablet effervesen dan uji
efeknya terhadap kenaikan berat badan dan pola makan tius. J. Sci dan Tek.
Farm. 17(2): 126-136.
Mahabuskaram W., P. Chairerk, and W.C. Taylor. 2005. Xanthones from Garcinia
cowa Roxb. latex. Phyt. J. 66: 1148-1153.
Mario W. L. M., E. Widodo, dan O. Sjofjan. 2014. Pengaruh penambahan kombinasi
tepung jahe merah, kunyit dan meniran dalam pakan terhadap kecernaan zat
makanan dan energi metabolisme ayam pedaging. JIIP. 24(1): 1-8.
Muhammed A. A., and M.A. Abdulmalik. 2013. Effect of bitter kola (Garcinia kola)
as a dietary additive on the performance of broiler chicks. J. of Env. and Eco.
4(2): 95-104.
Natsir M.H. 2007. Pengaruh penggunaan beberapa jenis enkapsulan pada asam laktat
terenkapsulasi sebagai acidifier terhadap daya cerna protein dan energi metabolis
ayam pedaging. J. T. Trop. 6(2):13-17.
Sarma S., R. Kumar, J. Reddy, and T. Thriveni. 2006. Studies of zinc (ii) in
pharmaceutical and biological samples by extractive spectrophotometry: using
pyridoxal-4-penyl-3-thiosemicarbazone as chelating reagent. J. Braz Chen. Soc.
17(3): 463-472.
Wahju J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Rev (ed). UGM Press, Yogyakarta.
Wahyuni, S. Fatma, I.A. Putri, dan D. Arsyanti. 2017. Uji toksisitas subkrnis fraksi etil
asetat kulit buah asam kandis (Garcinia cowa Roxb.) terhadap fungsi hati dan
ginjal mencit putih betina. J. Sci. Farm. dan Klin. 3(2): 202-212.
Wuragil L. R. 2007. Gambaran histopatologi pencernaan tius pada pemberian fraksi
asam amino non-protein dan fraksi polifenol lamtoro merah (Acasia villosa).
Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Yang Y., A. Iji, and M. Chot. 2009. Effects of different dietary levels of
mannanoligosaccharides on growth performances and gut development of
broiler chickens. As. Aust J. Anim. Sci. 20: 1084-1091.
Yuniarti M., F. Wahyono, dan V. D. Yunianto. 2015. Kecernaan protein dan energi
metabolis akibat pemberian zat aditif cair buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus) pada burung puyuh japonica betina umur16-50 hari. JIIP. 25(3): 45-
52.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
75
Potensi dan Produktivitas Ternak Itik di Kawasan Pasang Surut
Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Jalius* dan Musriadi** Fakultas Peternakan Universitas Jambi*
Dinas Peternakan Provinsi Jambi **
Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of the study was to analyze the productivity of ducks in the
Tides of Tanjung Jabung Barat District. The research method was conducted in a
survey in 3 Subdistricts of 13 Subdistricts in the West Tanjung Jabung Regency of
Jambi Province, Bram Itam, Senyerang and Kuala Betara Districts. Data were
analyzed descriptively and using SWOT. The results showed the productivity of ducks
obtained an average egg production of 141.20 eggs / year and hatched 15.92 eggs /
year and hatchability of 60.40%, consumed 29.51 eggs (21.10%), and sold 94.57 eggs
/ head / year (66.21%). The level of knowledge possessed by farmers were the
selection of seedlings 46.87%, feed 47.08%, housing system 42.88%, maintenance
management 40.77%, livestock reproduction 48.14% and livestock disease 16.07%.
The potential of duck feed is very abundant and the potential of tides is very
supportive. Threat Factors, worms, Butulismus and Coryza were still common, and
predators were monitor lizards and snakes. Weaknesses factor is that technology
mastery is still low. Duck duck business opportunities are not many that utilize vacant
land for livestock farming. Conclusion Tides potential for raising ducks in Tanjung
Jabung Barat Regency is in Senyerang District because of the potential of producing
natural food.
Keyword: Potential, duck, tides and Tanjung Jabung Barat.
PENDAHULUAN
Itik sudah sejak lama diketahui mempunyai eksistensi yang berarti bagi
kehidupan masyarakat petani di Pedesaan. Ternak itik sebagai jenis peternakan rakyat
yang banyak dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh keterbatasan. Populasi
ternak itik pada tiga tahun terakhir 2010 sebanyak 55600 ekor, tahun 2011 sebanyak
58493 ekor dan tahun 2012 sebanyak 68500 ekor atau terjadi peningkatan dari tahun
sebelumnya, meskipun peningkatan populasinya itik relatif paling kecil di Tanjung
Jabung Barat (1,05% per tahun) dibandingkan jenis unggas lainnya ayam ras layer
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
76
3,24% dan ayam broiler 35,88%, serta ayam buras 1,34% per tahun (Dinas Peternakan
2012).
Apabila ditinjau secara impirik kawasan Tanjung Jabung Barat berada pada
areal kawasan pasang surut. Ternak itik tersebar dan berkembang pada kawasan
tersebut dan memberikan kontribusi atau sumbangan yang sangat berarti dalam
perekonomian masyarakat. Oleh karena itu perlu dikaji Analisis Potensi dan
Produktivitas Ternak Itik di Kawasan Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung
Barat.
Kabupaten Tanjung Jabung Barat mempunyai 13 kecamatan sedangkan
kawasan pasang surut yang terdiri dari 7 kecamatan. Kawasan ini secara impirik
terdapat populasi ternak itik cukup banyak dipelihara oleh masyarakat dan
memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam menunjang perekonomian
masyarakat setempat. Namun belum ada kajian tentang analisis potensi dan
produktivitas ternak itik dari kawasan tersebut, terutama potensi species atau varitas
yang paling cocok ekosistem dari masing-masing kawasan tersebut. Apakah
produktivitas ternak itu tinggi atau rendah dan bagaimana pula kapasitas produksi
telurnya, dan juga bagaimana pula potensi ketersediaan pakan di kawasan tersebut,
serta bagaimana pula strategi kebijakan pengembangan ternak itik tersebut.
Tujuan Penelitian adalah melakukan analisis produktivitas ternak itik di
kawasan Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan bermanfaat memperoleh
informasi tentang produktivitas ternak itik di Kawasan Pasang Surut di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei
bertujuan untuk memperoleh fakta, gejala dan keterangan yang ada secara faktual, serta
keadaan sosial ekonomi pada daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, yang terdiri dari
13 Kecamatan. Sampel kecamatan yang diambil pada lahan pasang surut sebanyak 3
Kecamatan berdasarkan populasi yang tertinggi, sedang dan rendah sehingga diperoleh
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
77
yaitu, Kecamatan Bram Itam, Kecamatan Senyerang dan Kecamatan Kuala Betara.
Kecamatan Bram Itam terdiri atas 10 Desa, sampel desa yang diambil yaitu Desa
Pembengis, Desa Tanjung Senjulang, Desa Bram Itam Kiri, dan Desa Bram Itam
Kanan. Kecamatan Senyerang terdiri dari 10 Desa, sampelnya adalah Desa Sei Kayu
Aro, Lumahan, Kempas Jaya dan Sunsang. Kecamatan Kuala Betara terdiri 10 Desa,
sampelnya yaitu Desa Betara Kiri, Desa Sungai Gebar, Kuala Indah, dan Tanjung Pasir.
Sampel diambil masing-masing desa 15 peternak untuk dilakukan wawancara yang
dipandu dengan daftar pertanyaan. Data dianalisis secara deskriptif dan dengan
menggunakan SWOT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Luas 5.701 Km² terletak di Pantai Timur
Provinsi Jambi, tepatnya antara 0°53´ - 01°41´ Lintang Selatan dan antara 103°23´ -
104°21´ Bujur Timur, Sebelah Utara berbatas dengan Provinsi Riau, Sebelah Selatan
berbatas dengan Kabupaten Batanghari, Sebelah Timur berbatas dengan Selat Berhala
dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur serta Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten
Batanghari dan Kabupeten Tebo, secara administratf terdiri dari 13 Kecamatan 20
Kelurahan, dan 114 Desa.
Kecamatan tempat penelitian Bram Itam terdiri dari 10 desa, dengan luas
wilyah 468 Km² dan jumlah penduduk 15.113 jiwa. Kecamatan Senyerang terdiri dari
10 desa, dengan luas wilayah 471 Km² dan jumlah penduduk 22.988 jiwa, golongan
kelompok muda sebanyak 6.768 jiwa, golongan kelompok kerja 15.274 jiwa,
Kecamatan Kuala Betara terdiri dari 10 desa, dengan Luas wilayah 258 Km² dan
jumlah penduduk 10.656 jiwa.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
78
2. Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian
2.1. Umur Peternak
Umur peternak kelompok umur di Kecamatan Bram Itam dari 60 sampel
penelitian diperoleh umur 25 - 30 tahun serbanyak 20 %, , umur 30 - 35 tahun
sebanyak 20%, dan umur 35 - 50 tahun sebanyak 33,33%, serta diatas 40 tahun
berjumlah 26,67%. Pada Kecamatan Senyerang, dari 60 sampel penelitian diperoleh
umur 25 - 30 tahun sebanyak 13,33%, usia 30 - 35 tahun sebanyak 11,66%, usia 35 -
50 tahun sebanyak 36,67%, dan diatas 40 tahun berjumlah 38,34%. Pada Kecamatan
Kuala Betara dari 60 sampel penelitian diperoleh kelompok umur 25 - 30 tahun
sebanyak 13,33%, usia 30 - 35 tahun sebanyak 11,66%. dan umur 35 - 50 tahun
sebanyak 36,67%, dan diatas 40 tahun berjumlah 38,34%.(Tabel 1). Peternak sampel
dalam penelitian ini merupakan kelompok umur produktif, hal ini sesuai pendapat
Sidu (2002) bahwa umur antara 15 - 60 tahun merupakan usia produktif dan sesuai
dengan pendapat Soeharjo dan Polong (1984) mengelompokan rentang umur produktif
antara 15 sampai 54 tahun.
Tabel 1. Umur Peternak di Kecamatan Bram Itam,Senyerang dan Kuala Betara.
Desa
Kecamatan Umur
Kecamatan
Pembengis
Tanjung
Senjulang
Bram
Itam Kiri
Bram
Itam
Kanan
Total %
>40 16
Bram Itam 25 - 30 4
2 5 1 12
20 30 - 35
2 5 2 3
12 20
35 – 40 5
4 5 6 20
33,33
4 4 3 5 26,67
Kecamatan Senyerang 25 - 30
2
2
3
1
9
13,33
30 - 35 2 1 2 2 7 11,66
35 – 40 6 4 5 7 22 36,67
>40 5 8 5 5 23 38,34
Kecamatan
Kuala Betara 25 - 30 1
1
3
1
6
13,33
30 - 35 3 1 2 2 8 11,66
35 – 40 7 5 5 7 24 36,67
>40 5 8 5 5 23 38,34
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
79
2.2. Tingkat Pendidikan Peternak
Tingkat pendidikan peternak itik di Kecamatan Bram Itam tidak tamat SD
(41,67%), SD (38,33%), SLTP (08,33%), SLTA(11,67%) dan D3/S1 hanya 0,0,%.
Pada Kecamatan Senyerang tidak tamat SD (50,00%), SD (28,33%), SLTP (13,34%),
SLTA(08,33%), D3/S1 (00,00% dan pada Kecamatan Kuala Betara tidak tamat SD
(53,34%), SD (28,33%), SLTP (10,00%), SLTA(08,33%) dan D3/S1 tidak ada 00,00%
(Tabel 2). Keadaan ini mengambarkan bahwa tingkat pendidikan peternak masih
rendah dan berpengaruh terhadap kemampuan dalam penguasaan inovasi yang
diterima, sehingga berdampak dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan
serta pola pikir dalam mencari solusi penyelesaian berbagai permasalahan yang
dihadapi. Seperti yang diungkapkan oleh Evitaningsih (2014) bahwa tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerapan teknologi atau peningkatan
Sumber Daya Manusia peternak yang berpendidikan akan mudah menyerap ilmu
pelatihan dibanding dengan peternak yang tidak berpendidikan. Lebih lanjut menurut
Saragih (2002), tingkat pendidikan petani berpendidikan sangat rendah (87%) dari 35
juta tenaga kerja pertanian berpendidikan SD kebawah, keadaan ini berpengaruh
terhadap kemampuan menerapkan dan penguasaan terhadap inovasi yang diterima.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Peternak di Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan Kuala
Betara
Kecamatan
Bram Itam
Pendidi
kan
Pembengi
s
Tanjung
Senjulang
Desa Bram
Itam Kiri
Bram Itam %
Kanan Total
<SD 4 6 7 8 25 41,67
SD 8 6 4 5 23 38,33
SLTP 1 1 2 1 5 08,33
SLTA 2 2 2 1 7 11,67
D3/S1 0 0 0 0 0 00,00
Kecamatan
Kayu
Kempas
Lumahan
Sunsang
Total
Senyerang Aro Jaya
<SD 7
6 8 9 50,00
SD 6
5 3 3 30
28,33 SLTP
1 2 3
2 17
13,34 SLTA 1
2 1
1 8
08,33 D3/S1 0
0 0 0 5
00,00 0
Kecamatan Betara Sungai Gebar Kuala Tanjung Total
Kuala Kiri Indah Pasir
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
80
Betara
<SD 8
32
7 8 9 17 53,34
SD 6 5 4 2 6 28,33
SLTP 1 1 2 2 5 10,00
SLTA 0 2 1 2 0 08,33
D3/S1 0 0 0 0 00,00
Keterangan: <SD= Tidak tamat SD
Tingkat pendidikan peternak itik dari tiga Kecamatan Bram Itam, Senyerang
dan Kuala Betara rata- rata tingkat pendidikanya adalah tidak tamat SD (48,34%), SD
(31,66%), SLTP (10,56%), SLTA(09,44%) dan D3/S1(00,00%) (Tabel 3). Keadaan ini
menunjukan bahwa tingkat pendidikan peternak masih rendah dan berpengaruh
terhadap kemampuan menerapkan dan penguasaan terhadap inovasi yang baru. Sesuai
yang disampaikan Nugroho (2011) bahwa pendidikan yang dimiliki petani peternak
mempunyai pengaruh terhadap kemampuan adopsi teknologi dan keterampilan dan
menajemen.
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Peternak di Tiga Kecamatan Penelitian.
Kecamatan
No Pendidikan Bram Itam Senyerang
Kuala Total
%
2.3. Mata pencaharian Peternak
Mata Pencaharian peternak responden pada tiga Kecamatan yaitu Kecamatan
Bram Itam, Senyerang, dan Kuala Betara di kawasan Pasang Surut Kabupaten
Tanjung Jabung Barat pada umumnya sama yakni bertani/berkebun, sedikit sebagai
Nelayan, dominan bertani (42%), berkebun (50%), Swasta (3%), dan sebagai
pengayam atap Nipah sebanyak (4%) dan Nelayan sebanyak (1%), tidak sama yang
sampaikan Musriadi (2002), jumlah penduduk menurut matapencaharian terdiri dari
Betara
1 <SD
25
30
32
87
48,34
2 SD
23 17 17 57 31,66 3
SLTP 5
8 6 19 10,56 4
SLTA 7
5 5 17 09,44
5 D3/S1
0
0 0 0 00,00
Jumlah 60 60 60 180
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
81
Pengusaha, Buruh Pabrik, Buruh Tani, Pedagang, PNS/ABRI, Petani, Peternak
Pengrajin dan Penjahit.
2.4. Kepemilikan Ternak Itik
Populasi ternak itik dilokasi penelitian di Kecamatan Bram itam tingkat
kepemilikan ternak itik di bawah 10 ekor sebanyak 8 0rang (13,33%), 11 sampai 25
ekor sebanyak 31 orang (51,67%), dan diatas 26 ekor sebanyak 21 orang (35%), Pada
Kecamatan Senyerang diatas 11- 26 ekor 31 orang (51,67%), kepemilikan diatas 26
ekor 29 orang (48,33%). Pada Kecamatan Kuala Betara kepemilikan dibawah 10 ekor
sebanyak 26 orang (43,33%), kepemilikan 11-25 ekor sebanyak 34 orang (56,67%),
dan tidak ada yang memelihara lebih dari 25 ekor(Tabel 4). Tingkat kepemilikan
ternak itik masih rendah apabila dibandingkan hasil survei Paal dkk., (2006) tingkat
kepemilikan ternak itik antara 50 - 150 ekor di Sulawesi Utara. Jika populasi yang
demikian belum dapat memberikan pendapatan yang layak bagi keluarga peternak.
Tabel 4. Tingkat Kepemilikan Ternak Itik di Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan
Kuala Betara
Desa
Kecamatan Jumlah Tanjung Bram Bram % Bram Itam Itik Pembengis Senjulang Itam Kiri Itam
Kanan
Total
1 10 < 2 2 2 2 8 13,33
2 10 - 25 6 7 9 9 31 51,67
3 26 ≥ 7 6 4 4 21 35,00
Kecamatan
Senyerang
Jumlah
Itik
Kayu
Aro
Kempas
Jaya Lumahan Sunsang Total %
1 10 < 0
2 10 - 25 7
3 26 ≥ 8
0 0 0
7 9 8
8 6 7
0 00,00
31 51,67
29 48,33
Kecamatan
Kuala
Betara
Jumlah
Itik
Betara
Kiri
Sungai
Gebar
Kuala
Indah
Tanjung Total
Pasir
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
82
43,33
56,67
00,00
Tingkat kepemilikan ternak itik pada Tiga Kecamatan Bram Itam,
Senyerang dan Kuala Betara kepemilikan dibawah 10 ekor sebanyak 34 orang
(18,88%), kepemilikan 11-25 ekor sebanyak 96 orang (53,33%), dan kepemilikan
lebih dari 26 ekor sebanyak 50 orang (27,79%) (Tabel 5). Species ternak Itik yang
dipelihara dominan Entok 57%, disusul peranakan Itik Mojosari 33% dan peranakan
Itik Alabio 10%, tingkat kemilikan ternak itik yang belum menunjukan pada skala
usaha beternak itik petelur yaitu sebanyak 1000 ekor dengan R/C 1,2 berdasarkan
perhitungan perhitungan analisa usaha ternak itik petelur oleh Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (Anonim, 2008).
Tabel 5. Tingkat Kepemilikan Ternak Itik di Tiga Kecamatan
Jumlah Kecamatan No
Itik
1 10 <
Bram Itam Senyersng Kuala
Betara
26
Total %
34
2.5. Umur Ternak Itik di Tiga Kecamatan
Tingkat umur ternak itik di Kecamatan Bram Itam rata-rata peternak memiiliki
Induk itik sebanyak 11,1 ekor, itik dara 6,98 ekor dan anak itik 7,85 ekor (Tabel 6).
Dalam penetasan telur peternak telah menggunakan induk ayam dan entok, dengan
daya tetas 60%. Ada peternak itik di Desa Pembengis yang telah memulai
menggunakan mesin tetas dengan daya tetas masih rendah sekitar 45%. Keadaan ini
disebabkan peternak ini baru memulai dan belum terampil dalam penggunaan mesin
tetas karena pemilihan telur tetas kurang cermat atau telur tetas tersebut tidak tertunas.
Menurut Cahyono (2011) mengatakan telur yang telah dierami 24 jam harus dilakukan
1 10 < 7 7 6 6 26
2 10 - 25 8 8 9 9 34
3 26 ≥ 0 0 0 0 0
2 10 - 25 8
0 34
96 18,88 3 26 >-
31 31
0 50 53,33
21 29 27,79
Jumlah 60 60 60 180 100
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
83
pemeriksaan, pada telur yang subur akan tampak adanya benda berwarna putih
berbentuk bulat dibagian tengah kuning telur yang ikut bergoyang saat telur
digoyangkan.
Tabel 6. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Bram Itam.
No Desa Tingkat Umur (%)
%
Pada Kecamatan Senyerang memiliki rata-rata Induk itik sebanyak 7,32 ekor,
itik dara sebanyak 9,26 ekor dan anak sebanyak 9,33 ekor (Tabel 7), kalau dilihat
peternak di Kecamatan senyerang sudah melakukan penetasan telur itik untuk
mendapatkan anak itik/DOD yang tujuanya untuk premajaan atau menggantikan
ternak itik yang sudah tidak produktif lagi setelah berumur 2 -2,5 tahun, Hal ini sesuai
panduan Praktis Budidadya itik bagi KSM (Kelompok Sosial Mandiri) yang
mengatakan usia produktif 2 -2,5 tahun (Anonim 2009).
Tabel 7. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Senyerang.
No Desa Tingkat Umur (%)
% Induk % Dara % Anak % Total
1 Kayu Aro 103 23,46 161 28,95 127 22,67 391 25,14
2 Kempas Jaya 103 23,46 100 17,98 145 25,89 348 22,37
3 Lumahan 138 31,43 141 25,35 138 24,64 417 26,82
4 Sunsang 95 21,64 154 27,69 150 26,78 399 25,65
Jumlah 439 28,23 556 26,92 560 30,26 1555
Rata – rata 7,32 9,26 9,33 25,91
Tingkat umur ternak itik di Kecamatan Kuala Betara rata - rata
memelihara/memiliki Induk itik sebanyak 1,60 ekor, itik dara 1,11 ekor dan anak itik
0,65 ekor (Tabel 8). Peternak di kecamatan ini hanya 15 orang telah melakukan
pengeraman menggunakan ayam dan entok sebagai pengeram untuk mendapatkan
anak itik karena tingkat kepemilikan sangat kecil rata - rata 3,75 ekor saja, dipelihara
Induk % Dara % Anak % Total
1 Pembengis 209 42,39 135 27,38 149 30,22 493 31,68
2 Tanjung 148 44,71 91 27,49 92 27,79 331 21,27 Senjunlang
3 Bram Itam 160 43,47 93 25,27 115 31,25 368 23,65 Kiri
4 Bram Itam
Kanan
149 40,93 115 31,59 115 31,59 364 23,39
Jumlah 666 42,80 419 26,92 471 30,26 1556
Rata – rata 11,10 6,98 7,85 25,93
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
84
seadanya dan pemberian pakan dengan sisa makanan selebihnya itik mencari sendiri
makanan di parit dan sawah/kebun, hal ini sesuai pendapat Cahyono (2011) profil
peternakan itik rakyat yang skala pemeliharan kecil dapat dilakukan secara
diumbarkan.
Tabel 8. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Kuala Betara.
No Desa Tingkat Umur (%)
%
Tingkat umur ternak itik pada Tiga Kecamatan yaitu Bram Itam, Senyerang
dan Kuala Betara setelah digabungkan rata - rata memelihara/memiliki Induk itik
sebanyak 7,73 ekor, itik dara 6,93 ekor dan anak itik 6,36 ekor (Tabel 9). Tingkat
kepemilikan rata - rata 21,03 ekor dari tiga Kecamatan ini yang paling banyak
melakukan pengeraman/penetasan adalah pada peternak itik di Kecamatan Bram itam
disusul peternak di Kecamatan Senyerang dengan menggunakan ayam dan entok.
Hasil wawancara dengan bapak Suhendar (2014) mengatakan penggunaan entok daya
tetas dapat mencapai 70%.
Tabel 9. Tingkat Umur Ternak Itik Itik di Tiga Kecamatan
No Kecamatan Tingkat Umur (%)
%
2.6. Produktvitas Ternak Itik pada Tiga Kecamatan
Tingkat Produktivitas ternak itik pada Kecamatan Bram itam rata-rata produksi
telur 161,20 per tahun dan ditetaskan 12,96 butir per tahun dan menetas 18,92 ekor,
daya tetas 54,18 %, dikonsumsi 24,20 butir (16,46%), serta dijual 106,35
butir(72,93%) per ekor per tahun. Menurut Suharno dan Amri (2011), produksi telur
Induk % Dara % Anak % Total
1 Betara Kiri 72 25,00 78 28,67 23 20,00 173 25,62
2 Sungai Gebar 78 27,08 63 23,16 34 29,56 175 25,92
3 Kuala Indah 65 22,56 47 17,27 33 28,69 145 21,48
4 Tanjung 73
Pasir
25,34 84 30,88 25 21,73 182 26,96
Jumlah 288 28,23 272 26,92 115 30,26 675
Rata – rata 1,60 1,11 0,65 3,75
Induk % Dara % Anak % Total
1 Bram Itam 666 47,81 419 33,60 471 41,09 1556 41,09
2 Senyerang 439 31,51 556 44,58 560 44,86 1555 41,09
3 Kuala Betara 288 20,67 272 21,81 115 10,03 675 17,82 Jumlah 1393 36,72 1247 32,93 1146 30,26 3786
Rata – rata 7,73 6,93 6,36 21,03
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
85
itik Mojosari sebanyak 200 – 265 butir per tahun namun ditemukan pada Kecamatan
Bram Itam dibawah produksi. Tingkat Produktivitas ternak itik pada Kecamatan
Senyerang rata - rata produksi telur 159,03 per tahun dan ditetaskan 21,58 butir per
tahun dan menetas 13,65 ekor, daya tetas 63,74%, dikonsumsi 33,12 butir (20,98%),
serta dijual 101,80 butir (63,83%) per ekor per tahun. Menurut Saleh (2004),
Produktivitas ternak itik Mojosari yang dipelihara dengan baik akan berproduksi
sekitar 200 -300 butir pertahun dan selanjutnya ternak itik sebaiknya diafkir setelah
berumur 1,5 tahun, perbedaan produksi ternak ini disebabkan oleh faktor genetik,
dimana itik yang dipelihara peternak adalah itik keturunan itik Mojosari yang telah
mengalami perkawinan dengan itik lokal.
Dalam Kecamatan Kuala Betara produksi telur rata- rata 119,55 per tahun dan
ditetaskan 13,22 butir per tahun dan menetas 8,36 ekor, daya tetas 63,29%,
dikonsumsi 31,21 atau 25,85%, butir serta dijual 75,11 butir per ekor per tahun atau
62,47%. Produksi telur itik di Kecamatan Kuala Betara masih kurang bila
dibandingkan itik Kerinci sebanyak 180 butir pertahun (Anonim 2006), disebabkan
dalam budidaya ternak itik peternak memelihara seadanya tampa diberi pakan
kosentrat, hanya mengandalkan sisa dapur dan ternak itik mencari makan sendiri
disekitar lingkungan tempat tinggal peternak.
Tingkat Produktivitas ternak itik pada Tiga Kecamatan tempat penelitian rata -
rata produksi telur 141,20 per tahun dan ditetaskan 15,92 butir per tahun dan menetas
13,64 ekor dengan daya tetas 60,40%, dikonsumsi 29,51 butir (21,10%), serta dijual
94,57 butir per ekor per tahun (66,21%). Ketidakseragaman umur itik yang di pelihara
misal dalam satu kandang 100 ekor masa produksi menghasilkan 60 butir telur perhari,
maka dapat dihitung tingkat produktivitasnya adalah 60% dengan demikian 40%
diantaranya masa produksi terhenti atau sudah terlewat masa produktifnya hal ini
disebabkan bibit yang tidak seragam dari sumber bibit (Srigandono, 1991).
2.7. Penerapan Teknologi Budidaya Itik pada Tiga Kecamatan
Tingkat penerapan Teknologi budidaya ternak itik pada Kecamatan Bram
Itam dijadikan sampel adalah Desa Pembengis, Bram Itam Kanan, Bram itam Kiri dan
Tanjung Senjulang sebanyak 60 orang responden. Hasil penerapan Teknologi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
86
budidaya ternak itik pada Kecamatan Bram sebagai berikut; Tingkat penerapan pada
Bibit dari nilai harapan tertinggi 24 dan mendapat nilai rata - rata 11,57, sehingga
diasumsikan dalam penerapan teknologi bibit sekitar 48,21%. Penguasaan
pengetahuan pakan ternak itik dari nilai harapan tertinggi 20 diperoleh nilai rataan
9,41 sehingga diasumsikan kemampuan peternak dalam hal teknologi pakan 47.05%.
Penguasaan pengetahuan perkandangan ternak itik dari nilai harapan tertinggi 20
diperoleh rataan 8,45, sehingga penerapan teknologi perkandangan sekitar 42,25%.
Sedangkan tatalaksana pemeliharaan ternak itik dari nilai harapan tertinggi 36
diperoleh nilai rataan 14,01 sehingga penerapan tatalasana oleh peternak sekitar
38,92%. Pengetahuan reproduksi ternak itik dari nilai harapan tertinggi 16 diperoleh
rataan 7,46 sehingga penguasaan teknologi reproduksi mencapai 46,62%. dan
pengetahuan pengendalian penyakit ternak itin dari harapan tertinggi 40 mendapat
nilai rata -rata 6,06 sehingga penguasaan pengetahuan pengendalian penyakit oleh
peternak diperoleh sekitar 15,15%.
Hasil penerapan teknologi budidaya Itik pada Kecamatan Senyerang sebagai
berikut; Tingkat penerapan teknologi Bibit dari nilai harapan teringgi 24 dan diperoleh
rataan 11,18, atau dengan kata lain diasumsikan peternak menguasai pengetahuan
teknologi pemilihan bibit sekitar 46,58%. Pengusaan pengetahuan teknologi pakan
dari nilai harapan tertinggi 20 diperoleh rataan 9,67 sehingga penguasaan pengetahuan
teknologi pakan diperoleh sekitar 48,35%. Penguasaan pengetahuan perkandangan
dari nilai harapan tertinggi 20 dan didapat rataan 8,33, sehingga diinterprestasikan
penguasan pengetahuan ini sekitar 41,65%. Pada Tatalaksana dari nilai harapan
tertinggi 36 mendapat rata -rata 14,25. Pada Reproduksi dari nilai harapan tertinggi 16
mendapat rata - rata 7,93 atau 49,81% peternak menguasai tatalaksana reproduksi dan
pada Pengendalian penyakit ternak itik dari harapan tertinggi 40 mendapat rata - rata
6,61 atau 16,52% pengetahuan peternak tentang penyakit.
Penelitian penerapan teknologi budidaya beternak itik juga dilakukan di
Kecamatan Kuala Betara dan desa yang dijadikan sampel adalah Betara Kiri, Sungai
Gebar, Kuala Indah dan Tanjung Pasir sebanyak 60 Orang responden. Pada point
penerapan teknologi sebagai berikut; Pada penerapan teknologi Bibit dari nilai harapan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
87
teringgi 24 mendapat nilai rata - rata 11,00 atau diasunsikan 45% responden
menguasai teknologi pemilihan bibit. Pada penerapan teknologi Pakan dari nilai
harapan tertinggi 20 mendapat nilai rata - rata 10,54 atau sekitar 52,70% peternak itik
menguasai pengetahuan pakan ternak. Sistem perkandangan dari nilai harapan
tertinggi 20 mendapat rata - rata 8,95 atau sekitar 44,75% peternak menguasai system
perkandang. Sistem tatalaksana budidaya itik diperoleh dari nilai harapan tertinggi 36
mendapat nilai rata - rata 16,13 atau berarti penguasaan pengetahuan tatalaksana
peternak itik sekitar 44,81%. Pengetahuan Reproduksi dari nilai harapan tertinggi 16
mendapat nilai rata - rata 7,68 diasumsikan sekitar 48,00% peternak telah menguasai
tentang pengetahuan reproduksi ternak itik. Pada pengetahuan pengendalian penyakit
ternak itik dari harapan tertinggi 40 mendapat nilai rata - rata 6,62 diasumsikan sekitar
16,55% atau rendahnya pengetahuan peternak mengenal tentang penyakit ternak itik.
3. Analisis Faktor Internal Kekuatan dan Kelemahan.
Faktor Internal Kekuatan yang ada pada Lahan pasang Surut dianggap sebagai
kekuatan dalam pemeliharaan ternak itik yang harus dimanfaatkan secara maksimal
sesuai dengan potensi lahan dengan kondisi lahan yang cocok untuk beternak itik
lahan yang masih cukup luas di Kecamatan Bram Itam lahan yang belum
dimanfaatkan seluas 939 Km², Demikian juga Kecamatan Senyerang potensi lahan
seluas 960 Km², dan di Kecamatan Kuala Betara lahan yang belum dimanfaatkan
seluas 516 Km². Potensi sebagai sumber pakan di Sawah Pasang Surut Tanjung
Jabung Barat produksi padi pada tahun 2011 sebanyak 93.379 ton, produksi Jagung
sebanyak 1.516 ton, Kedelai produksi 1.786 ton, Ubi kayu sebanyak 3.3391 ton,
Kelapa dalam sebanyak 59.499 ton, produksi ikan 18.275 ton. Luas panen padi
25.7903 ha dengan produksi 3.633 ton dan jagung luas panen 691 ha dan produksi
2.194 ton cukup sebagai sumber pakan ternak(Widodo dkk., 2013). Diasumsikan
bahwa bahan pakan tersebut cukup sebagai sumber pakan ternak itik, sedangkan
bahan untuk pembuatan Kandang itik seperti Kayu Bulat dan Bambu serta atap Nipah
masih banyak tersedia.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
88
Faktor Internal Kelemahan adalah Sumber Daya Manusia peternak itik masih
rendah, karena belum optimalnya penyuluhan dan belum terbentuknya wadah
kelompok tani, sehingga partisipasi keluarga dalam beternak masih kurang, dilain sisi
juga kekurangan modal dalam kelansungan beternak dan penggunaan bibit unggul
masih belum dilaksanakan Sesuai yang disampai Raharjo (2004), mengatakan
alternatif strategi dalam pengembangan usaha ternak itik antara lain peningkatan
sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan terkait dengan optimalisasi
penggunaan sumberdaya lokal, peningkatan jiwa kewirausahaan peningkatan peran
kelompok dan koperasi dan kemitraan lainnya serta pengembangan ekonomi mikro di
Pedesaan.
Peternak itik pada kawasan padat penduduk dengan rumah panggung, yang
rapat hanya batas rumah kerumah 0.5 - 1 meter saja di kawasan Pasang Surut dalam
satu RT (Rukun Tetangga yang di huni 25 - 100 KK (Kepala keluarga) hasil observasi
menunjukkan bahwa peternak dapat memelihara 60 - 100 ekor Itik petelur dengan
pemberian pakan tambahan dedak dan nasi aking/kering pada pagi hari dan sore hari
selebihnya itik mencari makan dikolong-kolong rumah sisa-sisa pakan dan dan
binatang atau cacing di kolong rumah, namun itik dapat berproduksi 60%, Keadaan ini
dapat menjadikan alternatif cara pemeliharan ternak itik di kawasan pasang surut.
4. Analisis Faktor Eksternal Peluang dan Ancaman
Faktor eksternal peluang usaha ternak itik pada Lahan pas5ang surut pada
lokasi penelitian Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan Kuala Betara adalah belum
banyak yang memanfaatkan lahan yang kosong dan mudah dalam pemasaran serta
permintaan telur itik cukup tinggi Keadaan ini sesuai perdapat Suryana (2007),
prospek yang cerah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya
kesadaran masyarakat akan konsumsi protein asal ternak.
Faktor eksternal Ancaman adalah masih seringnya terjadinya ancaman
penyakit, berdasarkan survey lapangan menunjukan bahwa faktor penyakit yang sering
menyerang ternak itik seperti penyakit cacingan, Butulismus dan Coryza/Pilek pada
ternak itik. Juga terjadi ancaman musim seperti musim kemarau dan air pasang, serta
ancaman predator seperti Biawak dan Ular. Usaha peternak dalam mengatasi serangan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
89
predator adalah dengan pemasangan jaring atau membuat pagar keliling dan
pembersihan lahan dan pengembalaan itik ditempat yang tidak ada predatornya,
Ancaman penyakit dapat diatasi dengan melakukan sanitasi kandang itik mutlak perlu
dilakukan dalam pemeliharan ternak itik dan tindakan pencegahan penyakit perlu
dilakukan secara dini sehingga peternak dapat waspada terhadap serangan penyakit
pada itik. Sesuai apa yang dilakukan Evitaningsih (2014) lakukanlah pengawasan atau
pengontrolan secara menyeluruh apabila ada tanda - tanda ternak itik kurang sehat.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Strategi pengembangan ternak itik dilahan pasang surut pada 3 Kecamatan
Bram Itam, Senyerang dan Kuala Betara dapat disimpulkan sebagai berikut :Lahan
Pasang Surut merupakan lahan yang cocok untuk beternak itik, Sawah pasang surut
yang cukup luas, sebagai penghasil dedak padi sebagai bahan pakan, masih mudah
diperoleh dari hasil penggilingan padi sendiri atau dibeli dengan harga yang masih
rendah, selain dari sumber dedak padi diperoleh juga pakan alami misalnya anak
ikan , udang, cacing, kiong mas dan rumput alami,Penggunaan bibit unggul dan
pengembangan usaha ternak itik antara lain peningkatan sumberdaya manusia melalui
penyuluhan dan pelatihan terkait dengan optimalisasi penggunaan sumberdaya lokal,
peningkatan jiwa kewirausahaan peningkatan peran kelompok dan koperasi dan
kemitraan lainnya serta pengembangan ekonomi mikro di Pedesaan.Berdasarkan hasil
analisis indek potensi terhadap kondisi lapangan terhadap faktor internal kekuatan,
kelemahan dan faktor eksternal peluang dan ancaman pada lokasi terdapat pada
keadaan antara kekuatan dan kelemahan 10 dan 15 berarti posisi faktor Internal
Kekuatan yang ada pada Lahan pasang surut dianggap sebagai kekuatan dalam
pemeliharaan ternak itik yang harus dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan
potensi lahan dengan kondisi lahan yang cocok untuk beternak itik lahan yang masih
cukup luas.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
90
Saran
Dari hasil Studi kasus direkomendasikan untuk melakukan pengembangan
itik di Kecamatan Senyerang karena memiliki potensi pakan ternak yang cukup dan
dianjurkan pemerintah daerah dapat mendirikan pabrik pada mini, perbaikan mutu
bibit ternak itik dengan mengganti ternak itik yang unggul, dukungan modal usaha
yang bertujuan peningkatan skala usaha dan penyuluhan dan pelatihan terus
ditingkatkan serta perbaikan sistim pemasaran yang dapat menguntungkan peternak,
dengan menguatkan lembaga perekonomian dipedesaan seperti KUD dan unit simpan
pinjan lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Itik Kerinci Sebagai Sumber Daya Genetik (SDG) Provinsi Jambi,
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi.
Anonim, 2008. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Cahyono, B, 2011. Pembibitan Itik. Penerbit: Penebar Swadaya, Jakarta. Dinas Peternakan. 2013, Laporan Statistik Peternakan Kabupaten tanjung Jabung
Barat.
Evitaningsih, 2014. Strategi Pengembangan Peternakan Itik di Kecamatan Curup
Selatan Kabupaten Rejang Lebong.
Musriadi, 2002. Produksi Bakalan Domba Sebagai Alternatif Usaha di Desa Srogol
Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Karya Ilmiah Praktek Akhir.
Nugroho, T K, 2011. Pengaruh Faktor-faktor Sosial terhadap Perilaku Beternak Itik di
KTTI Kabupaten Brebes. Skripsi Fakultas Peternakan Univ. Diponegoro.
Semarang.
Paal, P, Polakitan, D dan Toulu, L, 2006. Sistem Produksi Ternak Itik di Sulawesi
Utara, Lokakarya Inovasi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing.
Raharjo, R, 2004. Analisis Sistem Pemeliharaan dan Strategi Pengembangan Usaha
Ternak Itik Tegal di Kelurahan Pesurungan Lor, Kecamatan Margadana Kota
Tegal. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bogor.
Saleh, E, 2004. Pengelolaan Ternak Itik di Pekarangan Rumah, Digitzed by USU digital library
Saragih, B, 2002. Kebijakan Nasional Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, Departemen Pertanian
Sidu, D, 2002. Prilaku Masyarakat Tani dalam Konservasi Tanah dan Air di Kawasan
DAS Wirongo Kabupaten Seleman. Tesis Progran Pasca Sarjana UGM,
Jogjakarta.
Srigandono, B, 1991. Produksi Unggas Air. Penerbit: UGM-Press. Yogyakarta.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
91
Suharno, B. dan Amri, K. 2011. Panduan Beternak Itik Secara Intensif Penebar
Swadaya, Jakarta
Suhendar, 2014. Wawancara langsung tanggal 19 April, Kuala Tungkal.
Suryana, 2007. Prospek dan Peluang Pengembangan Itik Alabio di Kalimantan
Selatan. Jurnal Litbang Pertanian. 26 (3).
Soeharjo, A dan Polong, D 1984. Sendi Sendi Pokok Ilmu Usahatani Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Widodo, H, Usman, S dan Lamsursyah, 2013. Programa Penyuluh
Pertanian,Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
92
Strategi Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan
Berdasarkan Modal Sosial Dan Ekonomi Di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur
Afriani H1*, Syafril Hadi1 dan Firmansyah1
1Fakultas Peternakan Universitas Jambi
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis strategi pengembangan BUMDesa
unit usaha berbasis peternakan berdasarkan modal sosial di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur. Pengukuran variabel kualitatif digunakan kuesioner bentuk pertanyaan
dengan Scala Likert’s Summated Rating’s yang diuji dengan uji validitas dan
reliabilitas. Model analisisnya adalah analisis SWOT serta QSPM. Strategi
pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) unit usaha berbasis peternakan
di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah penguatan kapasitas modal sosial dengan
peningkatan kepercayaan masyarakat pengelolaan BUMDesa yang transparan,
akuntabel, dan berlandana nilai-nilai kejujuran. Strategi penguatan kapasitas modal
ekonomi dengan cara kerjasama dengan pihak swasta (perusahaan) melalui dana
Corporate Social Responsibility (CSR).
Kata Kunci : Strategi, BUMDesa, Peternakan
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ditambah dengan Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun
2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik
Desa (BUMDesa) mengamatkan kepada desa untuk mengelola sumberdaya yang ada
di desa, termasuk pengembangan ekonomi masyarakatnya melalui pembentukan
BUMDesa. BUMDesa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha
lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
93
Lembaga perekonomian desa atau disebut BUMDes yang menjadi pendekatan
baru dalam upaya pemerintah mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa melalui
kemandirian masyarakat desa itu sendiri. BUMDes sebagai pilar baru kegiatan
ekonomi di desa berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial
(commercial institution). Konsep lembaga sosial dapat dijelaskan bahwa seluruh hasil
akhir kegiatan BUMDes ditunjukan pada kepentingan masyarakat melalui
kontribusinya dalam penyediaan berbagai kebutuhan dan pelayanan sosial. Pendekatan
semacam ini setidaknya menjelaskan bahwa BUMDes merupakan instrumen modal
sosial (social capital) yang dimiliki desa untuk mencapai proses kesejahteraan
sekaligus pemberdayaan.
Untuk mengembangkan BUMDes dengan unit usaha berbasis peternakan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur dibutuhkan modal sosial. Menurut Carpenter
(2004), modal sosial merupakan kemampuan yang muncul dari kelaziman
kepercayaan dalam suatu masyarakat atau dalam bagian tertentu dari masyarakat.
Masyarakat yang saling percaya akan lebih baik dalam inovasi organisasi karena
kepercayaan yang tinggi memungkinkan munculnya rentang hubungan sosial yang
lebar.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
survei. Teknik penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Cluster
Random Sampling (Rahmatina, 2010) yaitu sebagai cluster adalah Kabupaten Tanjung
Jabung Timur. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan
metoda iterati (Harun Al Rasyid, 1994).
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keaslian suatu alat ukur
(instrumen). Uji validitas alat ukur kuesioner menggunakan rumus Korelasi Product
Moment Pearson berdasarkan Singarimbun dan Effendy (1995). Reliabilitas adalah
derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
94
𝑘
𝑘 − 1
pengukuran. Untuk mengetahui koefisien reliabilitas instrumen (Cronbach) dapat
menggunakan rumus :
r11 = 1 −
Ket :
r11 = reliabilitas instrument 1 = konstanta
k = banyak butir pertanyaan,
Santoso dan Ashari (2005) menyatakan bahwa suatu kuesioner dikatakan reliabel jika
nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60 sehingga kuesioner layak digunakan dalam
penelitian.
Metode Analisis
Untuk menyusun strategi pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis
Peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menggunakan analisis SWOT.
Menurut Rangkuti (2006) matrik SWOT adalah metode yang dipakai untuk menyusun
faktor-faktor strategis. Matriks SWOT ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan
alternatif strategi SO, strategi WO, strategi WT, dan strategi ST.
Tabel 1. Matriks SWOT Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Faktor Eksternal
PELUANG-O
Daftar peluang
ANCAMAN-T
Daftar ancaman
KEKUATAN-S
Daftar kekuatan
STRATEGI SO
Menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
STRATEGI ST
Menggunakan kekuatan untuk
menghindari ancaman
KELEMAHAN-W
Daftar kelemahan
STRATEGI WO
Mengatasi kelemahan dengan
memanfaatkan peluang
STRATEGI WT
Meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman
𝜎 ℎ²
𝜎 1²
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
95
Analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matriks)
Penggunaan QSPM dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 2. Matriks QSPM Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Faktor Kunci Rating
Peluang
Ancaman
Kekuatan
Kelemahan
Jumlah
Sumber : Umar, 2008
Alternatif Strategi
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
AS TAS AS TAS AS TAS
Ket : Nilai daya tarik (Attractiveness Scores – AS)
Total nilai daya tarik (Total Attractiveness Scores – TAS)
HASIL PENELITIAN
Modal Sosial
Partispasi pada Kegiatan Sosial
Modal sosial menunjuk pada segi-segi organisasi sosial, seperti kepercayaan,
norma-norma, dan jaringan-jaringan sosial yang dapat memfasilitasi tindakan kolektif.
Tindakan kolektif masyarakat pedesaan berupa kegiatan sosial di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur terdiri dari berbagai kegiatan yaitu mulai dari gotong royong, ronda
malam, menyumbang kegiatan desa, menyumbang untuk musibah, arisan ibu-ibu,
yasinan bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, perayaan keagamaan, melayat orang
meninggal, menjenguk orang sakit, acara 17 Agustus, memberi bingkisan untuk bayi
yung baru dilahirkan, dan membagi makanan kepada tetangga. Hasil survey di
lapangan menemukan bahwa keaktifan kegiatan sosial masyarakat di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur sebagian besar aktif, hanya kegiatan roda malam dan kegiatan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
96
membagi makanan kepada tetangga yang kurang aktif, secara rinci tersaji pada Grafik
berikut ini.
Fukuyama (1995) menyebutkan bahwa modal sosial memiliki peran penting
dalam keberhasilan pembangunan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik), tidak
terkecuali pembangunan desa. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat
gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas,
dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Penelitian ini juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat pada kegiatan
sosial di Kabupaten Tanjung Jabung Timur beragam, sebagian partisipasi masyarakat
pada kegiatan sosial tetap tinggi yaitu menjenguk orang sakit, melayat orang
meninggal, acara yasinan bapak-bapak dan lain-lain. Sedangkan sebagian lagi
partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial rendah contohnya berbagi makanan
kepada tetangga, pengajian Ibu-ibu, Arisan Ibu-ibu dan lain-lain, secara rinci tersaji
pada Grafik 2.
80.10
80.00 100.00 120.00 60.00 40.00 20.00
19.90
97.01
100.00
99.50 100.00
99.00 98.01
99.50
96.52
74.75
82.09
20.00 Membagi Makanan kpd Tetangga
Memberi Bingkisan utk Bayi yg Baru Dilahirkan
Acara 17 Agustusan
Menjenguk Orang sakit
Melayat Orang Meninggal
Perayaan Keagamaan
Pengajian Ibu-Ibu
Yasinan Bapak-Bapak
Arisan Ibu-Ibu
Menyumbang Musibah
Menyumbang Kegiatan Desa
Ronda Malam
Gotong Royong
0.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
97
Menurut Fadil et al. (2013) bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan
sangat berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan suatu program pembangunan.
Menurut Elida Imro’atin et al. (2015), partisipasi masyarakat dalam pembangunan
sangat penting karena partisipasi/keikut sertaan masyarakat tersebut akan
menumbuhkan rasa memiliki terhadap proses pembangunan khususnya pelaksanaan
program pembangunan di desa.
Hasil penelitian Latif (2014) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam
setiap pembangunan di desa masih kurang maksimal, terutama dalam tahap
pelaksanaan pembangunan. Kurang aktifnya masyarakat dalam tahapan pembangunan
desa ini disebabkan masih kurang pahamnya masyarakat akan pentingnya partisipasi.
Potoboda (2011) menjelaskan bahwa dalam perencanaan program pembangunan,
peran partisipasi masyarakat juga belum secara maksimal dilibatkan.
Partispasi pada Institusi Sosial
Secara sosiologis, lembaga sosial merupakan sistem norma yang memiliki tujuan
tertentu yang dianggap penting oleh masyarakat. Mengacu pada Kepmensos RI Nomor
12/HUK/2006, kelembagaan sosial lokal adalah suatu sistem nilai dan norma yang
mengatur tata hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat lokal. Kelembagaan
Membagi Makanan kpd Tetangga
Memberi Bingkisan utk Bayi yg Baru Dilahirkan
Acara 17 Agustusan
Menjenguk Orang sakit
Melayat Orang Meninggal
Perayaan Keagamaan
Pengajian Ibu-Ibu
Yasinan Bapak-Bapak
Arisan Ibu-Ibu
Menyumbang Musibah
Menyumbang Kegiatan Desa
Ronda Malam
Gotong Royong
0.00
30.35
55.22
56.22
96.52
97.01
84.58
22.89
93.03
20.40
94.03
94.03
50.25
20.00 40.00 60.00
87.06
80.00 100.00 120.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
98
sosial lokal berfungsi sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku menghadapi
permasalahan kehidupan dalam masyarakat lokal, menjaga keutuhan masyarakat
(integrasi), sebagai kontrol sosial. Pandangan lain mengungkapkan bahwa
kelembagaan sosial lokal merupakan sistem nilai dan norma yang berwujud pada
pendirian organisasi sosial sebagai sentra warga masyarakat lokal menjalankan hak
dan kewajiban ketika mengimplimentasikan nilai dan norma sebagai acuan kehidupan
bersama (Rusmin Tumanggor, 2006).
Temuan penelitian ini bahwa cukup banyak institusi sosial di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur yang aktif, misalnya posyandu, kelompok tani, Bumdesa,
PKK, kelompok olahraga dan karang taruna. Namun lebih banyak lagi institusi sosial
di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang kurang aktif, misalnya koperasi, LSM,
organisasi politik, kelompok kesukuan dan lembaga adat.
4.48 1.49 9.45
28.36 26.37
54.73 53.23 61.69
75.62 73.13 70.15
81.09
94.03 87.56 100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
99
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat pada institusi
sosial di Kabupaten Tanjung Jabung Timur hampir seluruhnya masih rendah kecuali
tingkat partisipasi masyarakat pada kelompok tani (77,61 %). Menurut Adisasmita
(2006) peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk
pemberdayaan masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorentasi pada
pencapaian hasil pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat pedesaan.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya masyarakat pedesaan secara lebih aktif dan efisien.
Sumodingrat (1998) menyebutkan bahwa partisipasi sebagai salah satu elemen
pembangunan. Partisipasi mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan,
dimana untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dibutuhkan keikutsertaan
anggota masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Conyers (1991) memberikan
tiga alasan utama pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (1)
partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan dan proyek akan gagal, (2) masyarakat mempercayai program
pembagunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena
masyarakat lebih mengetahui seluk beluk proyek dan merasa memiliki proyek
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
77.61
36.82
22.89 25.87 22.89 18.41 21.89
6.47 6.97 3.48 3.48 2.99 0.00 0.50
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
100
tersebut, (3) partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat dalam keterlibatannya
di pembangunan
Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa
Strategi merupakan sebuah rencana atau pendekatan secara keseluruhan yang
berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas
untuk dapat mencapai sebuah tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan BUMDesa
sangat memerlukan adanya sebuah strategi agar pengembangan BUMDesa dapat
maksimal dalam mencapai tujuan BUMDesa yaitu a). meningkatkan perekonomian
Desa; b). mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa; c).
meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomiDesa; d).
mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau denganpihak ketiga; e).
menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum
warga; f). membuka lapangan kerja; g). meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan
h). meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.
Strategi pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan berdasarkan
modal sosial dan ekonomi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah memperkuat
permodalan BUMDesa menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT terdiri
dari analisis Matriks IFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
internal dan menggolongkannya menjadi kekuatan dan kelemahan pengembangan
BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
melalui pembobotan :
a. Faktor kekuatan dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah dukungan kebijakan pemerintah melalui
dana desa dalam bentuk APB desa dan pendamping desa, sumberdaya alam
khususnya pakan yang mendukung pengembangan ternak, peternak yang
berpengalaman, dan modal sosial masyarakat yang tinggi.
b. Faktor kelemahan dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan
di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah struktur organisasi BUMDesa yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
101
tidak efisiensi, kualitas sumberdaya manusia pelaksana operasional yang masih
rendah, modal kerja yang terbatas, dan pola pembagian hasil usaha yang belum
optimal.
Sedangkan, matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
lingkungan eksternal dan menggolongkannya menjadi peluang dan ancaman
pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur dengan melakukan pembobotan :
a. Faktor peluang dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah harga produk ternak yang mahal, tingkat
permintaan produk ternak yang tinggi, jaringan BUMDesa bersama, kerjasama
kemitraan dengan berbagai pihak.
b. Faktor ancaman dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah banyak pesaing BUMDEsa sejenis,
regulasi pemerintah yang berubah-ubah
Siagian (2004) menyatakan bahwa strategi adalah serangkaian keputusan dan
tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh
seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Pengertian strategi lainnya seperti yang diutarakan Craig & Grant (1996) adalah
strategi merupakan penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang sebuah perusahaan
dan arah tindakan serta alokasi sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran
dan tujuan.
Berdasarkan analisis SWOT diperoleh strategi pengembangan BUMDesa unit
usaha berbasis peternakan berdasarkan modal sosial dan ekonomi di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur adalah memperkuat permodal BUMDesa adalah :
1. Strategi penguatan kapasitas modal sosial untuk pengembangan BUMDesa unit
usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
2. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi untuk pengembangan BUMDesa unit
usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Setelah mengembangkan sejumlah alternatif strategi, BUMDesa Unit Usaha
Berbasis Peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur harus mampu mengevaluasi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
102
dan kemudian memilih strategi yang terbaik dan paling cocok dengan kondisi internal
serta lingkungan eksternal berdasarkan Analisis QSPM (Quantitative Strategic
Planning Matriks) yaitu :
1. Penguatan kapasitas modal sosial terutama kepercayaan dan jaringan untuk
pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur melalui pemeliharaan kearifan lokal (local wisdom) yang mempunyai
makna bahwa struktur sosial masyarakat masih mengandung sifat arif yaitu nilai-
nilai sosial yang digunakan sebagai sumber pemikiran dan pedoman berperilaku
anggota dan pengurus BUMDesa. Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap
BUMDesa melalui pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan
berlandana nilai-nilai kejujuran.
2. Penguatan kapasitas modal ekonomi untuk pengembangan BUMDesa unit usaha
berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur melalui penambahan
modal kerja BUMDesa. Peningkatan modal kerja BUMDesa dengan cara kerjasama
dengan pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social
Responsibility (CSR).
KESIMPULAN
Penelitian tentang ini menyimpulkan bahwa strategi pengembangan Badan
Usaha Milik Desa (BUMDesa) unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur adalah penguatan kapasitas modal sosial dengan peningkatan
kepercayaan masyarakat pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan
berlandana nilai-nilai kejujuran. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi dengan
cara kerjasama dengan pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social
Responsibility (CSR).
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. Carpenter, J.P, et al. 2004. Social Capital and Trust in South-east Asian Cities, Urban
Studies 41 (4), 853-874.
Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: UGM Press.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
103
Craig & Grant. 1996. Manajemen Strategi. Jakarta: Alex Media Komputindo
Kelompok Gramedia.
Elida Imro’atin et al. 2015. “Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan
Partisipatif”. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik, volume 3, nomor 2.
Fadil, Fathurrahman et al. 2013. “Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan di Kelurahan Kotabaru Tengah”. Dalam Jurnal Ilmu
Politik dan Pemerintahan Lokal, Volume II Edisi 2.
Fukuyama, F. (1995) Trust: The Social Virtues and Creation of Prosperity. New York:
Free Press Paperbacks.
Harun Al Rasyid. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. disunting
oleh Teguh Krismantoroadji dkk., Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Latif Farid. 2014. Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial pada
Direktorat Jendral Perbendaharaan, Undergraduate thesis, Fakultas Ekonomika
dan Bisnis.
Lin, N. 2001 Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. USA:
Cambridge University Press.
Potoboda AC. 2011. Partisipasi masyarakat dalam menunjang pelaksanaan
pembangunan dalam pembangunan di Desa Tarohan Kec. Beo Selatan.
[internet]. Tersedia pada: Http://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Jurnal
eksekutif/ Article/ Viewfile/ 7816/7379
Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Desa.
Rahmatina, Desi. 2010. Prosedur Menggunakan Stratified Random Sampling Method
dalam Mengestimasi Parameter Populasi, JEMI, Volume I, No.1. Universitas
Maritim Ali Haji.
Rosana, E.A., Saleh, dan Hadiyanto. 2010. Hambatan-hambatan komunikasi yang
dirasakan peternak dalam pembinaan budidaya sapi potong di Kabupaten Ogal
Ilir. Jurnal Komunikasi Pembangunan Februari 2010. Vol. 08. No. 1. Hal : 27 –
41.
Santosa dan Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan Microsoft Axcel dan SPSS.
Yogyakarta.
Siagian,Sondang P, 2004, Teori Motivasi Dan Aplikasinya,Bina Aksara Jakarta
Singarimbun, M. dan Effendy. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta.
Sumodiningrat, Gunawan. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramediza
Pustaka Utama. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
Tumanggor, Rusmin.2010. Review Conceptual About Family.Information. 15 (2).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
104
Pengaruh Pemberian Probio_FM Powder Dalam Pakan Terhadap
Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit Dan Kadar Hemoglobin Kambing
Kacang
Alexander, Pudji. R*, Anie. I, Famida. M dan Darlis
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Alamat Kontak : Jl. Jambi-Ma. Bulian KM 15 Mendalo Darat Jambi 36361 *e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Probio_FM
Powder dalam pakan terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin
kambing kacang. Penelitian ini dilakukan di Farm Fakultas Peterakan Universitas
Jambi dan analisis di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Penelitian ini menggunakan 12 ekor kambing kacang jantan umur 6-8 bulan, dengan
bobot badan rata-rata 14.33±2.14, rumput lapang, dedak padi dan Probio_FM Powder.
Perlakuan yang diberikan yaitu: P0 (0% Probio_FM Powder), P1 (1% Probio_FM
Powder), P2 (2% Probio_FM Powder), P3 (3% Probio_FM Powder). Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4
perlakuan dan 3 kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
Probio_FM Powder dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah
eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin darah. Berdasarkan hasil pada
penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
pakan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar
hemoglobin.
Kata kunci : kambing kacang, Probio_FM Powder, Eritrosit, Hematokrit, Hb.
PENDAHULUAN
Secara umum pakan ternak ruminansia di Indonesia mempunyai kualitas rendah,
sehingga di perlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pakan alternatif
yang berpotensial, memiliki harga yang relatif murah, mudah diperoleh serta tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia, Salah satu bahan pakan alternatif yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak kambing adalah dedak padi. Dedak padi
merupakan salah satu dari limbah hasil pertanian yang ketersediaannya cukup banyak
dan mudah untuk didapatkan. Selain harga dedak padi yang relatif murah, menjadi
salah satu pertimbangan penggunaan dedak sebagai pakan ternak. Menurut Utami
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
105
(2011), dedak padi mengandung nutrisi bahan kering 88,93%, protein kasar 12,39%,
serat kasar 12,59%, kalsium 0,09% dan posfor 1,07%. Salah satu cara yang dapat
ditempuh untuk meningkatkan nilai nutrisi dedak padi adalah dengan menambahkan
Probio_FM Powder yang dapat meningkatkan kinerja fungsi rumen, yang
mengandung bakteri selulolitik tinggi, secara efisien untuk menghasilkan produk
ternak yang maksimal. Fuller (1989), menyatakan bahwa probitiotik merupakan pakan
aditif berupa mikroba hidup yang dapat meningkatkan keseimbangan dan fungsi
pencernaan inang, manipulasi mikroflora saluran pencernaan untuk tujuan peningkatan
kondisi kesehatan serta meningkatkan produksi. Menurut Raguati dan Rahmatang
(2012), ternak yang sehat mendapat nutrisi yang cukup dapat terlihat dari gambaran
darahya yaitu jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin yang stabil atau
normal.
Darah merupakan cairan ekstra seluler yang berada dalam system vaskular dan
menjalani sirkulasi di seluruh tubuh. Darah mempunyai fungsi sebagai transportasi
(pembawa zat-zat makanan dan oksigen ke seluruh sel di dalam tubuh, pembawa
karbondioksida, sisa metabolisme atau zat lainnya yang berbahaya untuk dibuang,
termoregulasi pengatur suhu tubuh, pertahanan tubuh mengandung antibodi) dan
homeostatis mengatur keseimbangan zat, PH. (Frandson, 1996).
Volume darah total adalah 5-13% dari bobot badan tergantung dari spesies, umur,
jenis kelamin dan status fisiologi (Frandson, 1996). Melihat fungsi penting darah
tersebut maka kondisi fisiologi darah yang baik dapat mencerminkan kondisi
kesehatan ternak yang baik. Berdasarkan fungsi atau khasiat dari Probio_FM Powder
dalam dedak diharapkan dapat meningkatkan proses pencernaan menjadi lebih baik,
dan memperbaiki nilai fisiologi darah pada ternak kambing kacang.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
106
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Farm Fakultas Peterakan Universitas Jambi dan
analisis di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi dari tanggal 26
September s/d 21 November 2018.
Alat dan Bahan
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah, ternak kambing kacang jantan
sebanyak 12 ekor, Probio_FM Powder, dedak padi, larutan turk, larutan hayem, HCl
0,1 N, aquades, alcohol 70 %, es batu dan EDTA.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spuit ukuran 5 cc, tabung darah,
pipa kapiler, rak tabung darah, dan cool box, pipet pengencer, untuk eritrosit,
mikroskop, mikrohematokrit reader, pipet Pasteur, kamar hitung, counter, tissue, dan
kapas.
Metode Penelitian
Sebelum melakukan penelitian ini terlebih dahulu dilakukan sanitasi pada
kandang dengan cara menyemprotkan air ke lantai dan dinding kandang untuk
membersihkan kotoran kambing dan sisa pakan. Setelah kandang kering, dilakukan
pengapuran keseluruh kandang dengan tujuan untuk mencegah penyakit pada ternak.
Semua kambing kacang ditimbang untuk mendapatkan bobot badan yang menentukan
kebutuhan hidup pokok dan menentukan perlakuan penelitian. Dalam masa adaptasi,
kambing kacang diberi pakan hijauan berupa rumput lapang dan dedak padi yang
dicampur sedikit Probio_FM Powder selama seminggu. Setelah masa adaptasi,
pemberian kebutuhan pakan dari masing-masing kambing berdasarkan bobot badan
dan sesuai perlakuan penelitian.
Pembuatan pakan pada penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan dedak
padi, Probio_FM Powder dan air. Ransum yang diberikan sesuai bobot badan dan
perlakuan, setiap kambing menggunakan satu ember untuk tempat ransum. Dalam
proses pembuatan pakan dedak dan Probio FM_Powder di campurkan sampai merata
(homogen) dan tambahkan sedikit air.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
107
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama delapan minggu. Dimulai pada minggu
pertama masa adaptasi ternak terhadap lingkungan, pakan dan lain-lain. Pengambilan
sampel dilakukan 3 kali yaitu pada mingggu ke 0, minggu ke 4 dan minggu ke 8.
Darah diambil langsung melalui vena jugularis sebanyak 5 ml kemudian dimasukan ke
dalam tabung darah yang berisi EDTA, pemeriksaan sampel darah yang di lakukan
meliputi jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemaglobin.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari 4
perlakuan (P0,P1,P2,P3) dan 3 kelompok dengan 12 unit percobaan perlakuan yang
diberikan adalah :
P0 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi)
P1 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 1% Probio_FM Powder
P2 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 2% Probio_FM powder
P3 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 3% Probio_FM powder
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah Jumlah Eritrosit dinyatakan
sel x 106/µl, Nilai Hematokrit dinyatakan %. dan Kadar Hemoglobin dinyatakan g/dl
pada ternak kambing kacang.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari setiap parameter yang diamati dan dianalisis
menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan model persamaan berikut :
Υij = µ +Ai + Bj + Eij
µ = nilai tengah umum dari perlakuan
i = 1,2,3,4 ( kelompok perlakuan)
j = 1,2,3 ( Banyak kelompok)
Ai = pengaruh perlakuan
Bj = pengaruh Kelompok
Eij = galat percobaan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
108
Jika analisis memperlihatkan pengaruh yang nyata (p <0,05) maka dilanjutkan
dengan menggunakan Uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie,1989)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian pengaruh pemberian probiotik powder terhadap kandungan
eritrosit,hematokrit dan hemoglobin darah dapat dilihat pada Tabel 1. pada kambing
kacang.
Tabel 1. Rata-rata Eritrosit, Hematokrit dan Hemoglobin kambing kacang jantan.
Perlakuan Rataan
Jumlah Eritrosit
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
pakan terhadap jumlah eritrosit ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata
(P>0,05). Rataan jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar
antara 10,39-10,92 x 106/µl. Jumlah eritrosit kambing kacang pada semua perlakuan
masih dalam kisaran normal sesuai dengan pernyataan Blood (1989), yang
menyatakan bahwa jumlah eritrosit ternak kambing berkisar 8 - 18 x 106/µl.
Jumlah eritrosit tergantung pada bangsa, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur
hewan (Dellman dan Brown, 1989). Selain itu jumlah eritrosit juga dipengaruhi suhu
lingkungan, ketinggian tempat dan iklim (Dukes et al., 1995). Jika tubuh hewan
mengalami fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Secara
internal seperti kesehatan, stres dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal akibat
infeksi kuman, fraktura, dan perubahan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 1997).
Menurut Pearce (1985), pembentukan eritrosit membuhtukan nutrisi yang cukup dan
seimbang.
Eritrosit (106/µL) Hematokrit (%) Hemoglobin (g/dl)
P0 10.66±0.46 29.22±1.08 8.97±0.46
P1 10.69±0.14 29.39±1.40 9.11±0.75
P2 10.39±0.22 29.11±0.42 9.49±0.40
P3 10.92±0.60 29.45±0.39 9.25±0.55
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
109
Nilai Hematokrit
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
pakan terhadap nilai hematokrit ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata
(P>0,05). Rataan nilai hematokrit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar
antara 29,11-29,45%. Nilai hematokrit yang diperoleh masih dalam kisaran normal,
sesuai dengan pendapat Pendapat Blood (1989), bahwa nilai normal hematokrit pada
kambing adalah 22-38%. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran sel
eritrosit, sehingga apabila eritrosit dalam jumlah normal persentase hematokrit juga
normal karena eritrosit merupakan massa sel terbesar dalam darah. Menurut Frandson
(1996), nilai hematokrit adalah persentase volume darah yang terdiri sel-sel darah
merah, semakin besar hematokrit sehingga eritrosit berbanding lurus dengan
hematokrit.
Kadar Hemoglobin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
pakan terhadap kadar hemoglobin ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata
(P>0,05). Rataan jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar
antara 8,97-9,49 g/dl. Kadar hemoglobin ini sesuai dengan pernyataan Blood (1989),
berkisar antara 8 - 12 g/dl darah pada ternak kambing.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
110
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam pakan berpengaruhi tidak
nyata terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin kambing
kacang.
Terima kasih kepada Ristekdikti yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Blood, 1989. Veterinary Medicine. A Textbook of the Diseases of Cattle, Sheep, Pigs,
Goats and Horses. Seventh Edition. Bailliere Tindall Ltd. 24-18 Oval Road,
London NW1 7DX.
Dellman H.D and E.M. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Dukes, E.H. 1995. The Physiology of Domestic Animals. 7th ed. Comstock Pub., Asso.
A division of Cornell Univ. Press Itacha and London
Frandson. R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Fuller, R. 1989. Probiotic in man and animals. J. Appl. Bacteriol. 66: 365 – 378. Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan
Penerjemah, jakarta : EGC.
Pearce, C.E. 1985. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta.
Raguati dan Rahmatang. 2012. Suplementasi urea multi nutrien blok plus terhadap
hemogram darah kambing peranakan ettawa. Jurnal Peternakan Sriwijaya
(JPS). 1(1): 55-64.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie.1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Edisi Kedua. PT. Gramedia, Jakarta.
Utami, Y. 2011. Pengaruh imbangan feed suplemen terhadap kandungan protein kasar,
kalsium dan fosfor dedak padi yang difermentasi dengan Bacillus amylo-
liquefaciens. Skripsi, Fakultas Peternakan Universitas Andalas, hal. 21 Padang.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
111
Efektivitas Senyawa Antibakteri Asal Pediococcus pentosaceus
BAF715 Untuk Meningkatkan Kualitas Mikrobiologis Fillet Ikan
Gabus (Channa Striata) Pada Penyimpanan Suhu Chilling
Afriani dan Haris Lukman
Fakultas Peternakan Universitas Jambi (36361) E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Fillet ikan gabus merupakan produk pangan yang sangat mudah mengalami
kerusakan (perishable food), kerusakan ini salah satunya disebabkan oleh aktivitas
mikroba. Cara yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan ikan adalah dengan
pengawetan.Pengawet yang digunakan sebaiknya aman bagi kesehatan seperti bakteri
asam laktat. Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang aman untuk
dikonsumsi menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat mematikan bakteri patogen
dan pembusuk. Penelitian ini bertujuan unutk mengetahui efektivitas senyawa
antibakteri asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 terhadap kualitas mirobiologis
fillet ikan gabus yang disimpan pada suhu dingin. Filet gabus direndam dalam substrat
antibakteri, kemudian disimpan pada suhu chilling. Penyimpanan dilakukan selama 0
hari (P), 2 hari (P1),4 hari (P4), 6 hari(P6), 8 hari (P8), 10 hari (P10) dan 12 hari
(P12). Rancangan yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 7 perlakuan
dan 3 ulangan dan analisis statistik akan dilakukan terhadap peubah yang diamati. Bila
terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji jarak berganda. Peubah yang diamati : pH
daging ikan, total bakteri, total Escherichia coli, total Staphilococcus aureus dan total
Salmonella sp. Hasil analisis menunjukkan bahwa selama penyimpanan terjadi
peningkatan pH, penghambatan terhadap total bakteri dan total S. aureus dan tidak
ditemui keberadaan E. coli dan Salmonella. Fillet ikan gabus yang diawetkan dengan
senyawa antibakteri asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 dapat disimpan selama 8
hari pada suhu chilling.
Kata kunci: Fillet ikan gabus, Pediococcus pentosaceus, antibakteri, suhu chilling
PENDAHULUAN
Ikan gabus (Channa striata) merupakan salah satu jenis ikan air tawar asli
perairan Indonesia yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Ikan ini diperoleh dari
penangkapan di perairan umum seperti rawa-rawa, danau, dan kolam. Ikan gabus
diketahui mengandung senyawa-senyawa penting yang berguna bagi tubuh, di
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
112
antaranya protein yang cukup tinggi, lemak, air, dan beberapa mineral (Mulyadi et al.
2011). Ikan gabus memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan.
Kandungan tersebut terdiri dari protein terutama albumin dan asam amino esensial,
lemak esensial, mineral khususnya zink/seng (Zn) dan beberapa vitamin yang sangat
baik untuk kesehatan. Menurut Nugroho (2013), kandungan protein ikan gabus
sebesar 25,5 %. Kadar albumin ikan gabus bisa mencapai 6,22%, selain itu ikan gabus
mengandung mineral yang erat kaitannya dengan proses penyembuhan luka, yaitu Zn
sebesar 1,7412 mg/100 g.
Untuk mempertahankan kesegaran ikan sampai ke konsumen salah satu bentuk
penanganannya adalah membuatnya menjadi fillet. Fillet ikan gabus merupakan
produk pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan (perishable food),
kerusakan ini salah satunya disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk seperti
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella thypii dan lainnya.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kualitas fillet ikan
agar tidak cepat mengalami kerusakan , antara lain adalah preparasi fillet melalui
praktek sanitasi yang baik dan proses pendinginan, namun upaya itu belum optimal.
Penggunaan bahan pengawet dapat memperpanjang masa simpan ikan, berupa
pengawet alami dan pengawet sintetis.
Senyawa antibakteri yang berasal dari bakteri asam laktat merupakan
pengawet alami yang aman untuk dikonsumsi. Penggunaan biopreservatif yang berasal
dari bakteri asam laktat (BAL) dapat memperpanjang waktu penyimpanan dan
menekan jumlah mikroorganisme yang tidak diinginkan. Bakteri ini tidak bersifat
toksik sehingga aman untuk dikonsumsi, yang disebut dengan food grade
microorganism (Holzapfel et al. 1995).
Sifat terpenting dari bakteri asam laktat adalah kemampuanya untuk merombak
senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana sehingga dihasilkan asam laktat.
Produksi asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat menyebabkan pertumbuhan
mikroba lain yang tidak diinginkan dapat dihambat. Komponen lain yang dihasilkan
olah BAL adalah komponen peptide antimikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai
biopreservatif pangan yaitu bakteriosin. Bakteriosin adalah senyawa antibakteri yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
113
umumnya merupakan peptide kationik yang menunjukkan property hidrofobik atau
amphifilik, sehingga sebagian besar target aktivitasnya adalah membrane bakteri, baik
bakteri gram positif maupun gram negative (Yusra et al, 2014). BAL dapat
menurunkan pH bahan pangan. Penurunan pH tersebut dapat memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme pathogen serta
mikroorganisme penghasil racun akan mati (Buckle et al. 1987).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan dan
Laboratorium Dasar dan Terpadu Universitas Jambi yang dilaksanakan pada bulan
Juni sampai Agustus 2019.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan Gabus (Channa
striata) yang berasal dari pasar Angso Duo, dan bakteri Pediococcus pentosaceus
BAF715 yang diisolasi dari bekasam (Afriani, 2018). Media yang digunakan adalah
MRSAgar, MRS broth, nutrient broth,nutrient agar, dan pepton, bacto Agar, alkohol,
spritus, larutan standart pH 7 dan 4, Media untuk pengujian mikroorganisme pada
fillet ikan adalah buffer peptone water (BPW), nutrient agar (NA), eosyin methylen
blue agar (EMBA), bismuth sulphite agar (BSA), mannitol salt agar (MSA) dan
aquadest steril.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tabung reaksi, rak
tabung reaksi, petri dish, gelas ukur, Erlenmeyer, beker glass, inkubator shaker
,mikroskop, sentrifuse refrigerated, autoklaf, spektrofotometer, laminar air flow, water
bath, vortex, pH meter, lampu bunsen, pipet volumetrik, botol scott, timbangan
analitik, cling wrap, alumunium foil, sudip, mikro pipet, ose, refrigerator, plastik tahan
panas, hot plat stirer, dan kapas.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
114
Prosedur Penelitian
Penyegaran Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat yang disimpan beku dilakukan peyegaran sebanyak 1 ml
masukkan ke dalam 9 ml MRSB yang diperkaya YE. Setelah itu, dihomogenisasi dan
diinkubasi selama 24 jam.
Produksi Supernatan Bebas Sel (SBS)
Bakteri asam laktat yang sudah disegarkan dihomogenisasi kemudian diambil
sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml MRSB yang diperkaya YE. Kemudian
dihomogenisasi dan diinkubasi selama 20 jam. Setelah 20 jam, bakteri asam laktat
Pediococcus pentosaceus BAF715 dimasukkan ke dalam tabung Ependorf kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan putar 6000 rpm dalam 20 menit. Setelah itu,
supernatan (bagian atas yang terpisah, hasil dari sentrifugasi) tersebut disaring dengan
kertas saring Sartorius 0,22 µml ke dalam wadah tabung Scott steril. Substrat
antimikroba yang sudah disaring dinamakan Supernatan Bebas Sel (SBS). Kemudian
SBS tersebut disimpan pada refrigerator selama 7 jam.
Uji pengawetan fillet ikan dengan filtrate senyawa antibakteri
Fillet ikan segar dipotong seberat ± 100 g. Filtrate senyawa antibakteri
dipersiapkan ke dalam beker glass steril kemudian potongan fillet ikan segar
dimasukkan ke dalamnya dan didiamkan selama 30 menit. Setelah 30 menit, fillet ikan
diangkat dari larutan dan dipindahkan ke dalam plastik steril kosong yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Kemudian potongan fillet ikan tersebut dan sampel
potongan fillet ikan tanpa perendaman dalam filtrate senyawa antibakteri (P0)
disimpan ke dalam suhu chilling selama 12 hari. Pada hari ke-2 , 4, 6, 8 ,10 dan 12.
fillet ikan tersebut dilakukan pengujian kualitas mikrobiologi secara kuantitatif
terhadap total bakteri, E. coli, S. aureus dan Salmonella sp.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
115
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7
perlakuan 3 ulangan. Perlakuan digunakan adalah penyimpanan fillet ikan yang telah
diawetkan dengan substrat antibakteri selama : tanpa penyimpanan (P0), 2 hari (P2),
4 hari (P4),
6 hari (P6), 8 hari (P8), 10 hari (P10) dan 12 hari (P12).
Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam
(Anova). Apabila analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan
dengan uji Duncan. Semua analisis yang digunakan dalam penelitian ini dikerjakan
menurut program SAS, 2003.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Supernatan Bebas Sel
Kualitas supernatant bebas sel dengan mengukur pH dan total asam tertitrasi
dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715. Nilai pH merupakan nilai yang
penting karena menunjukkan kondisi keasaman suatu substrat yang akan
mempengaruhi pertumbuhan mikroba pembusuk pada fillet ikan gabus. Nilai pH
dipengaruhi oleh besarnya nilai total asam tertitrasi (TAT). Nilai pH dan TAT pada
supernatan bebas sel (SBS) dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Supernatan Bebas Sel (SBS)
Peubah Nilai
pH 4,30 ± 0,00
Total Asam Tertitrasi (%) 0,72 ± 0,02
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai pH supernatan bebas sel adalah 4,30
dengan kandungan asam sebesar 0,72. Hasil ini menunjukkan bahwa supernatan bebas
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
116
sel dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 bersifat asam. Keasaman ini
karena bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 merupakan bakteri homofermentatif
yaitu bakteri yang memfermentasi karbohidrat sebagian besar menghasilkan asam
laktat sebagai produk akhirnya. Menurut Putri et al. (2012) bahwa bakteri tipe
homofermentatif mampu memproduksi asam laktat dalam jumlah yang cukup besar.
Nilai pH pada supernatan bebas sel dapat dipengaruhi dengan besarnya nilai
total asam tertitrasi. Semakin besar nilai total asam tertitrasi maka nilai pH supernatan
bebas sel semakin rendah. Hal tersebut disebabkan total asam tertitrasi merupakan
persentase asam yang terdapat di dalam supernatan bebas sel.
Kualitas Fillet ikan Gabus Segar
Nilai pH, total bakteri, total E. Coli, total Staphylococcus aureus dan total
Salmonella tiphymurium pada fillet ikan gabus segar yang belum mendapat perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Kualitas Fillet Ikan Gabus Segar
Peubah Nilai
pH 6,7
Total bakteri 36x104koloni/g
Total E. coli 41x101 koloni/g
Total Staphylococcus aureus 16x102 koloni/g
Total Salmonella 0
Pada Tabel 2 terlihat nilai pH fillet ikan gabus segar yaitu 6,7. Nilai pH ini
masih dalam kisaran pH ikan segar. Nilai pH ikan segar menurut Eskin (1990) yaitu
berkisar 6,2-7. Nilai tersebut menunjukkan fillet ikan gabus dalam kondisi yang baik.
Analisis total bakteri dapat menunjukkan tingkat pencemaran bahan pangan
oleh bakteri pembusuk. Total bakteri fillet ikan gabus segar mencapai 36x104cfu/g
dibawah batas maksimal menurut badan standar mutu SNI. Nilai TPC ikan segar
menurut BSN (2013) (SNI 2729-20136) adalah maksimal 5 x 105 cfu/g atau 5,69 log
cfu/g. Perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa fillet ikan gabus segar masih
baik.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
117
Total bakteri E. coli yang mencemari fillet ikan gabus segar mencapai 41x101
koloni/g. Batas cemaran bakteri E. coli pada ikan segar menurut BSN (2013) (SNI
2729-20136) adalah maksimal bakteri E. coli <3 APM/g. Perbandingan data tersebut
menunjukkan bahwa total bakteri E. coli yang mencemari fillet ikan gabus segar
melebihi batas maksimal SNI. Pencemaran fillet ikan oleh E. coli berasal dari tempat
pencualan ikan hingga proses penangan fillet ikan sebelum diberi perlakuan.
Total bakteri S.aureus yang mencemari fillet ikan gabus segar mencapai
16x102 koloni/g. Batas cemaran bakteri S.aureus pada ikan segar menurut surat
keputusan kepala badan karantina ikan, pengendalian mutu, dan keamanan hasil
perikanan nomor 37/kep-bkipm/2017 adalah maksimal 103 koloni/g. Perbandingan
data tersebut menunjukkan bahwa total bakteri S.aureus yang mencemari fillet ikan
gabus segar di bawah batas maksimal mutu ikan segar.
Fillet ikan gabus segar yang akan digunakan sebagai sampel tidak tercemar
oleh bakteri Salmonella. Hal ini sesuai menurut BSN (2013) (SNI 2729-20136),
bahwa ikan segar tidak tercemar oleh bakteri Salmonella yaitu negatif/25 g.
Nilai pH fillet Ikan Gabus
Nilai ph fillet Ikan Gabus berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
lama penyimpanan pada suhu chilling berpengaruh nyata terhadap pH fillet ikan
gabus (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan pH fillet ikan penyimpanan hari
ke-0 = hari ke 2 < hari ke 4, 6, 8, 10, dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan
hari ke-2 = hari ke 4 < hari ke 6, 8, 10 dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan
hari ke-4 < hari ke 6, 8, 10 dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 6 <
hari ke 8, 10 dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 8 < hari ke 10
dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 10 = hari ke 12. Nilai pH fillet
ikan pada penyimpanan hari ke-0 sampai ke 6 berkisar antara 5,27 sampai 5,78. Nilai
pH fillet ikan ini berada dibawah nilai kisaran pH ikan segar. Hal ini disebabkan
karena substrat antimikroba bersifat asam selama perendam antimikroba tersebut
meresap kedalam fillet ikanmengakibatkan pH fillet ikan turun. Substrat antimikroba
yang digunakan bersifat asam dengan nilai pH 4,3 dan kadar asam sebesar 0,72 %.
Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke-8 yaitu 6,23. Nilai pH fillet ikan ini
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
118
berada didalam kisaran pH ikan segar. Sedangan nilai pH fillet ikan pada penyimpanan
ke 10 dan 12 yaitu 7,30 sampai 7,43. Nilai pH ini di atas kisaran nilai pH ikan segar.
Nilai pH ikan segar yaitu berkisar 6,2-7 (Eskin, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa
penyimpanan pada hari ke 10 dan 12 sudah mengalami penurunan kualitas yang
ditandai dengan pembusukan. Hasil analisis kualitatif Nilai pH fillet ikan gabus yang
diberi perlakuan yang disimpan pada suhu chilling terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Nilai pH fillet ikan gabus selama penyimpanan
Selama penyimpanan pH fillet ikan gabus mengalami kenaikan hingga
penyimpanan hari ke 10 dan ke 12. Hal ini diduga selama penyimpanan pada suhu
chilling aktifitas bakteri pembusuk masih berlangsung yang meguraikan zat makanan
yang terkandung dalam ikan tersebut hingga terjadi pembusukan. Menurut Weeber et
al. (2008), proses perubahan kenaikan pH pada fillet ikan dapat terjadi karena
aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat
kesegaran ikan menurun. Kristoffersen et al. (2006) menyatakan bahwa akibat dari
aktivitas bakteri pembusuk merusak asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam
aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asam-asam amino tersebut dapat bertindak
sebagai pemicu timbulnya senyawa biogenik amin. Senyawa-senyawa seperti asam
amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi
produk yang dapat digunakan sebagai indikator pembusukan.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
119
Hasil Analisis Kualitatif Total Bakteri
Hasil analisis kualitatif total bakteri yang terdapat pada fillet ikan gabus yang
diberi perlakuan disimpan selama 12 hari pada suhu chilling terlihat pada Gambar 2.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan pada suhu chilling
berpengaruh nyata terhadap total bakteri fillet gabus (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan
penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6,8, menunjukkan bahwa nilai total mikroba berbeda
nyata (P<0,05) dengan penyimpanan hari ke 10 dan ke 12, penyimpanan ke 10
berbeda nyata dengan
penyimpanan hari ke12 (P<0,05). Total bakteri fillet ikan penyimpanan hari ke 0, 2, 4,
6 dan 8 berkisar antara 37,67x10 4 (cfu/g) sampai 73,00x10 4(cfu/g), total bakteri fillet
ikan yang disimpan hari ke 10 dan 12 hari sebesar 39,40x10 5(cfu/g) dan 136,67x10
5(cfu/g).
Aa
Bb
Cc c c c c
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 2. Grafik Total bakteri fillet ikan gabus selama penyimpanan
Hasil ini menunjukkan total bakteri fillet ikan yang disimpan pada hari ke 0
sampai 8 masih di bawah batas maksimum total bakteri pada ikan menurut standar
mutu SNI 012696-2006. Sedangkan total bakteri fillet ikan yang disimpan pada hari ke
10 dan 12 melebihi batas cemaran mikrobiologis yang ditentukan SNI. Nilai total
bakteri ikan segar menurut BSN (2013) (SNI 2729-20136) adalah maksimal 5 x 105
cfu/g. Fillet ikan yang disimpan pada hari ke 0 sampai 8 masih dalam kondisi baik,
namun penyimpanan ke 10 dan 12 total bakteri fillet ikan semakin meningkat yang
menunjukkan bahwa fillet ikan sudah mengalami pembusukan. Hal ini diduga
Tota
l B
akte
ri (
log c
fu)
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
120
aktivitas penghambatan senyawa antimikroba makin lama penyimpanan semakin
lemah sehingga pertumbuhan mikroba pembusuk tumbuh pesat.
Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Staphylococcus sp.
Hasil analisis kualitatif bakteri Staphylococcus sp pada fillet ikan gabus yang
disimpan pada suhu chilling terlihat pada Tabel 3.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa lama penyimpanan fillet ikan pada suhu
chilling dari hasil pengatan total koloni bakteri S. aureus semakin meningkat. Media
selektif yang digunakan untuk uji keberadaan S. aureus adalah media selektif media
Mannitol salt agar (MSA). Koloni S. aureus yang tumbuh pada media Mannitol salt
agar (MSA) berwarna hitam. Pada penyimpanan hari 0,2,4,6 dan 8 total bakteri S.
aureus fillet ikan gabus masih dibawah standar mutu BSN (2013) (SNI 2729-20136),
penyimpanan pada hari ke 10 dan 12 total bakteri S. aureus fillet ikan gabus telah
melebihi yaitu 42x103 dan 69x103. Menurut standar mutu BSN (2013) (SNI 2729-
20136), produk ikan kandungan S. aureus maksimum 103 koloni/g. Pada sampel fillet
ikan gabus segar diketahui kandungan S. aureus sebesar 16x102 koloni/g. Setelah
fillet ikan gabusdiberi perlakuan, penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6 dan 8 populasi S.
aureus menurun, penyimpanan hari ke 10 dan 12 populasi S. aureus meningkat pesat.
Diduga senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus kurang efektif
menghambat diberi perlakuan, penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6 dan 8 populasi S. aureus
menurun, penyimpanan hari ke 10 dan 12 populasi S. aureus meningkat pesat. Diduga
senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus kurang efektif
menghambat Yulinery et al (2009), senyawa antimikroba dari Lactobasillus lebih
menghambat bakteri Vibrio sp. (gram negative) dibandingkan bakteri S. aureus (gram
positif).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
121
Tabel 3. Hasil pengamatan koloni S. aureus pada fillet ikan gabus selama
penyimpanan suhu chilling
Penyimpanan (hari) Pengenceran Hasil koloni (CFU/g)
Po 10-1 18
10-2 0
10-3 0
P2 10-1 12
10-2 16
10-3 1
P4 10-1 9
10-2 5
10-3 0
P6 10-1 13
10-2 8
10-3 0
P8 10-1 34
10-2 14
10-3 6
P10 10-1 11
10-2 23
10-3 42
P12 10-1 265
10-2 215
10-3 69
Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Escherichia coli
Media selektif yang digunakan untuk uji keberadaan Escherichia coli adalah
media Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA). Koloni E. coli yang tumbuh pada media
Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA) berwarna kehijauan kilap jika diletakkan di
bawah sinar matahari atau sinar lampu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa E. coli
tidak ditemukan dalam fillet ikan gabus yang telah diberi perlakuan. Aktivitas
senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh Pediococcus pentosaceus dan penyimpanan
fillet ikan gabus pada suhu chilling dapat menghambat E. coli. Pengaruh suhu
penyimpanan, yaitu penanganan dingin juga mampu menghambat E. coli. E. coli.
tumbuh optimum pada suhu mesofilik sehingga sensitif terhadap suhu rendah.
Menurut Kusumawati (2000), penghambatan pertumbuhan suatu mikroba dikarenakan
adanya kerja sinergis antara aktivitas antimikroba dengan suhu penyimpanan. Menurut
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
122
Liviawaty (1999), suhu rendah akan mengurangi aktivitas dan jumlah mikroba.
Disamping itu E. coli. merupakan bakteri gram negatif yang memiliki lapisan
dinding peptidoglikan lebih tipis bila dibandingkan dengan bakteri gram positif (S.
aureus). Sehingga dapat dikatakan senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus
pentosaceus lebih efektif menghambat E. coli.
Uji Keberadaan Salmonella sp.
Pengujian fillet ikan gabus terhadap keberadaan bakteri Salmonella sp. Dengan
menggunakan media selektif Bismuth Sulphite Agar (BSA). Pertumbuhan koloni
Salmonella sp pada media BSA, koloni berwarna hitam, coklat atau abu-abu dengan
tampilan logam (BSN 2013).
Hasil pengamatan tidak ditemui bakteri Salmonella sp. pada fillet ikan gabus
selama penyimpanan pada suhu chilling. Fillet ikan gabus segar keberadaan
Salmonella sp tidak ditemukan dan setelah penyimpanan selama 12 hari pada suhu
chilling juga tidak ditemui keberadaan Salmonella sp pada fillet ikan gabus. Sesuai
dengan standar mutu dari BSN (2013) (SNI 2729-20136), fillet ikan yang bermutu
baik tidak boleh terdapat cemaran Salmonella sp.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Senyawa antibakteri asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 sebagai pengawet
fillet ikan gabus yang disimpan pada suhu chilling selama 12 hari dapat
menurunkan total bakteri, dan S. aureus dan menghambat pertumbuhan E. coli,
dan Salmonella sp.
2. Fillet ikan gabus yang diawetkan dengan senyawa antibakteri asal Pediococcus
pentosaceus BAF 715 dapat disimpan selama 8 hari pada suhu chilling.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
123
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Depdiknas atas pendanaan penelitian melalui penelitian DIPA PNBP LPPM
pada Fakultas Peternakan Skema Terapan Fakultas Universitas Jambi Tahun Anggaran
2019 Nomor: SP DIPA-042.01.2.400950/2019 Tanggal 05 Desember.
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Persyaratan mutu dan keamanan ikan
segar. SNI 2729:2013. Jakarta.
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food Second Edition. Sandiego (US): Academic
Press Inc. Hlm 27-29.
Holzapfel, W. H., R. Geisen, and U. Schillinger. (1995). Biological preservation of
foodswith referance to protective cultres, bacteriosins and food-grade
enzymes.International J.Food Microbiol 24: 343-362.
Kristoffersen S, Tobiassen T, Esaiassen M, Olsson GB, Godvik LA, Seppola MA,
Olsen R. 2006. Effects of pre-rigor filleting on quality aspects of Atlantic cod
(Gadus morhua L.). Aquaculture Research. 37:1556-1564.
Kusumawati N, 2000. Peranan Bakteri Asam Laktat.. Jurnal Teknologi Pangan dan
Gizi. 1(1) : 14-28.
Liviawaty E, 1999. Mempelajari Efek Kondisi Post Mortem 1999. Mempelajari Efek
Kondisi Post Mortem Mempelajari Efek Kondisi Post Mortem Ikan Nila Merah
terhadap Perubahan Karakteristik Fillet Selama penyimpanan suhu rendah.
Lembaga Penelitian. Universitas Padjadjaran.
Mulyadi A.F., M. Effendi and J. M. Maligan . 2011. Teknologi Pengolahan Ikan
Gabus. Malang: Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Nugroho, 2013. Uji Biologi Ekstrak Kasar dan Isolat Albumin Ikan Gabus
(Ophiocephalusstriatus) terhadap Berat Badan dan Kadar Serum Albumin
Tikus Mencit. Jurnal Saintek Perikanan .9(1): 49-54.
Putri, W. D. R., D. W. M Haryadi dan M. N. Cahyanto. 2012. Isolasi dan karakterisasi
bakteri asam laktat amilolitik selama fermentasi growol, makanan tradisional
Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian. 13(1):52-60.
Weber J, V. C. Bochi, C.P. Ribeiro, A. M. Victo and T. Emanuelli . 2008. Effect of
different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid
composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry
106:140–146
Yulinery T., I. Y. Petria dan N. Nurhidayat. 2009. Penggunaan Antimikroba dari
Isolat Lactobacillus Terseleksi Sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk
Menghambat Pertumbuhan Vibrio sp. dan Staphylococcus aureus pada Fillet
Ikan Kakap. Berkala Penelelitian Hayati. 15 :85–92.
Yusra dan Y. Efendi.2014. Penggunaan Antimikroba dari Bakteri Terseleksi Bacillus
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
124
Sp.28 Sebagai Pengawet Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Segar. Prosiding.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.
245-252
Analisis Struktur, Perilaku Dan Kinerja
(Structure-Conduct-Performance) Pasar Ternak Sapi Untuk
Meningkatkan Efisiensi Pemasaran
Di Kabupaten Batanghari
Firmansyah1, Afriani H1, dan Aulia Arum Chandra Kartika2
1Fakultas Peternakan Universitas Jambi
2Program Studi Magister Ilmu Peternakan Pasca Sarjana Universitas Jambi
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur pasar ternak sapi pada pasar
ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan konsentrasi pedagang, konsentrasi
pembeli dan hambatan masuk pasar, kemudian untuk mengetahui perilaku pasar dan
kinerja pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari, serta untuk
menganalisis hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap
efisiensi pemasaran ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari.
Teknik penarikan sampel yang digunakan pada riset ini adalah Stratified
Random Sampling yang terdiri dari 2 Strata yaitu : Strata I adalah pedagang dan
pembeli dari dalam (lokal), dan Strata II adalah pedagang dan pembeli dari luar. Untuk
analisis struktur pasar ternak sapi digunakan analisis Pangsa Pasar (Market Share),
Indeks Hirschman Herfindahl (IHH), CR4 (Concentration ratio for biggest four),
konsentrasi ratio (Kr). Selanjutnya untuk mengetahui hambatan masuk pasar
digunakan analisis Minimum Efficient Scale (MES). Analisis kinerja industri dilakukan
dengan menggunakan analisis Price – Cost – Margin (PCM).
Struktur pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari
berdasarkan konsentrasi pedagang adalah oligopsoni konsentrasi rendah, berdasarkan
konsentrasi pembeli adalah pasar mengarah pada oligopsonistik, dan berdasarkan
hambatan masuk pasar adalah masuk kategori hambatan masuk pasar yang tinggi.
Terdapat hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap
efisiensi pemasaran pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari .
Kata Kunci : Struktur, Perilaku, Kinerja Pasar Ternak, Sapi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
125
PENDAHULUAN
Pasar ternak di Kabupaten Batanghari merupakan jenis pasar transit, dimana
pasar ternak ini bisa terbentuk dikarenakan banyaknya jumlah ternak sapi yang masuk
dari daerah sentra ternak sapi seperti Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Lampung
menuju ke daerah sentra yang jarang populasi ternaknya, seperti Provinsi Sumatra
Barat, Provinsi Riau dan daerah lainnya. Selain dari luar Provinsi Jambi, ternak sapi
juga didatangkan dari dalam Provinsi Jambi seperti Kabupaten Kerinci, sedangkan
dari daerah lokal (Kabupaten Batanghari) ternak sapi banyak didatangkan dari
Kecamatan Bahar, Mersam, Bathin XXIV, Muaro Sebo Ulu dan Sebo Ilir. Menurut
Ciamarra et al., (2010), pasar ternak di negara berkembang termasuk tipe priodik,
dimana hari pasar hanya sekali atau dua kali seminggu. Pasar ternak semacam ini amat
berbeda satu sama lainnya, lantaran persoalan jarak, kondisi jalan, dan biaya transit.
Perbedaan tersebut mempengaruhi pembentukan harga, dimana pembentukan harga
ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari diawali dengan cara penafsiran
oleh calon pembeli setelah melihat ternak sapi yang akan dibeli, proses selanjutnya
terjadilah proses tawar-menawar. Berbagi studi empiris menunjukkan bahwa struktur
pasar komoditas pertanian tidak sempurna sehingga pedagang mempunyai kekuatan
untuk mempengaruhi harga pasar (Tjahjono et al., 2008). Penelitian Arifin dkk.,
(2015) bahwa pasar komoditas daging sapi di wilayah pemasaran Kabupaten
Banyumas merupakan pasar oligopoli ketat dengan karakteristik utama adalah adanya
konsentrasi pasar yang kuat terfokus pada kekuatan beberapa penjual dan adanya
hambatan masuk yang tinggi.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode survei. Teknik penarikan
sampel yang digunakan pada riset ini adalah Stratified Random Sampling (Harun Al
Rasyid, 1994) yang terdiri dari 2 Strata yaitu : Strata I adalah pedagang dan pembeli
dari dalam (lokal), dan Strata II adalah pedagang dan pembeli dari luar.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
126
Model Analisis
Analisis Struktur Pasar Ternak Sapi
Rumus dari Indeks Hirschman Herfindahl (IHH) adalah:
IHH = (Kr₁)² + (Kr₂)²+……+(Krn)²
Keterangan :
IHH : Indeks Hirschman Herfindahl
n : Jumlah pedagang yang ada pada suatu wilayah pasar daging sapi
Krᵢ : Pangsa pembelian komoditas daging sapi dari pedagang ke-i
(i=1,2,3,….,n) (Baladina, 2012)
CR4 (Concentration ratio for biggest four)
CR4 digunakan untuk mengetahui derajat konsentrasi empat pembeli terbesar
dari suatu wilayah pasar, sehingga bisa diketahui secara umum gambaran imbangan
kekuatan posisi tawar-menawar penjual terhadap pembeli :
CR! = Kr! + ⋯ + Kr!
x 100%
Kr!"!#$
Hay dan Morris dalam Widiyantana (1995) menyatakan bahwa konsentrasi ratio
(Kr) dapat diketahui dengan menggunakan rumus berikut.
Jumlah yang diperdagangkan
Kr = X 100 %
Jumlah yang dibeli
Hambatan Masuk Pasar (Barrier to Entry)
Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam Alistair (2004) hambatan masuk
pasar, untuk pengukuran hambatan masuk pasar dapat digunakan MES (Minimum
Efficiency of Scale)
MES = !"#$"# !"#$%&'&&( !"#$"%&#
X 100%
!"#$"# !"!#$
Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam jurnal Alistair (2004) nilai MES yang
lebih besar dari 10 % mengambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi.
Analisis Konsentrasi Ratio
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
127
Analisis Perilaku dan Kinerja Pasar Ternak Sapi
Perilaku pasar menganalisis tingkah laku serta penerapan strategi yang
digunakan oleh perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan
mengalahkan pesaingnya.
Kinerja pasar merupakan indikator kritis tentang bagaimana sebaiknya aktivitas
pemasaran dari petani atau pedagang yang dikonsentrasikan untuk kesejahteraan
umum. Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost-
Margin (PCM).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Pasar Ternak Sapi di Kabupaten Batanghari
Skala penjualan ternak sapi oleh pedagang ternak sapi di pasar ternak Kabupaten
Batanghari sangat bervariasi yaitu 4 – 30 ekor per pedagang dengan rata-rata 11 ekor
per pedagang. Untuk pedagang ternak sapi dari dalam Provinsi Jambi bervariasi yaitu
4 – 30 ekor per pedagang dengan rata-rata sebanyak 10 ekor per pedagang, sedangkan
pedagang ternak sapi dari luar Provinsi Jambi bervariasi yaitu 6 – 28 ekor per
pedagang dengan rata-rata sebanyak 14 ekor per pedagang. Hasil penelitian
menyatakan bahwa struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten Batanghari
adalah oligopsoni konsentrasi rendah.
Pedagang dari Dalam Prov Jambi Pedagang dari Luar Prov Jambi
Total Pedagang
> 20 16 s/d 20 11 s/d 15 6 s/d 10
0.00
1 s/d 5
9.09 9.52 9.38
18.18
9.38 4.76
23.81 27.27 21.88
31.25 28.57 28.13 33.33
Skala Penjualan Ternak Oleh Pedagang di Pasar Ternak Kabupaten Batanghari (ekor)
45.45 50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
128
Pedagang
Jumlah Ternak
yang dijual
(ekor)
Konsentrasi
Ratio (%)
Kriteria
1
30
8.20
a. Jika terdapat satu pedagang (Kr1)
memiliki nilai Kr 95%, maka pasar
cenderung ke pasar persaingan monopsoni
4
104
28.42
a. Jika terdapat empat pedagang (Kr4)
memiliki nilai Kr < 80%, dinamakan
oligopsoni konsentrasi sedang.
b. Jika terdapat empat pedagang (Kr4)
memiliki nilai Kr ≥ 80%, dinamakan
oligopsoni konsentrasi tinggi
8
167
45.63
a. Jika terdapat delapan pedagang (Kr8)
memiliki nilai Kr ≥ 80%, dinamakan
oligopsoni konsentrasi sedang
b. Jika terdapat delapan pedagang (Kr8)
memiliki nilai Kr < 80%, dinamakan
oligopsoni konsentrasi rendah.
.
Konsentrasi Pembeli Ternak sapi
Skala pembelian ternak sapi oleh pedagang ternak sapi di pasar ternak
Kabupaten Batanghari sangat bervariasi yaitu 1 – 18 ekor per pembeli dengan rata-rata
sebanyak 4 ekor per pembeli. Untuk pembeli ternak sapi dari dalam Provinsi Jambi
bervariasi yaitu 1 – 18 ekor per pembeli dengan rata-rata sebanyak 4 ekor per
pembeli, sedangkan pembeli ternak sapi dari luar Provinsi Jambi bervariasi yaitu 2 –
18 ekor per pedagang dengan rata-rata sebanyak 10 ekor per pembeli.
Skala Penjualan Ternak Oleh Pedagang di Pasar Ternak Kabupaten Batanghari (ekor)
80.00 72.22 70.00
60.00 0.0 50.00
40.00 27.78 25.00
20.00 0.00 0.000.000.00 0.00
5.00 0.000.000.00
0.00 1 s/d 5 6 s/d 10 11 s/d 15 16 s/d 20 > 20
Pembeli dari Dalam Prov Jambi Pembeli dari Luar Prov Jambi Total Pedagang
0 5
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
129
Pembeli Jumlah Ternak yang
Dibeli (ekor) Kr
Indeks Hirschman
Herfindahl (IHH)
1 18 0.214 0.046
2 10 0.119 0.014
3 8 0.095 0.009
4 6 0.071 0.005
5 6 0.071 0.005
6 6 0.071 0.005
7 5 0.060 0.004
8 4 0.048 0.002
9 4 0.048 0.002
10 4 0.048 0.002
11 3 0.036 0.001
12 2 0.024 0.001
13 1 0.012 0.000
14 1 0.012 0.000
15 1 0.012 0.000
16 1 0.012 0.000
17 1 0.012 0.000
18 1 0.012 0.000
19 1 0.012 0.000
20 1 0.012 0.000
84 0.098
Index-Herfindahl-Hirschman (IHH) muncul dikarenakan adanya kelemahan
pada perkembangan rasio konsentrasi. IHH merupakan jumlah dari kuadrat market
share untuk semua pembeli dalam suatu pasar, yang bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar derajat konsentrasi pembeli dari suatu wilayah pasar (Baladina, 2012).
Hasil penelitian menyatakan bahwa struktur pasar ternak sapi di pasar ternak
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
130
Kabupaten Batanghari adalah pasar mengarah pada oligopsonistik karena IHH sebesar
0,098.
Hasil penelitian di pasar ternak Kabupaten Batanghari diperoleh CR4 sebesar
0,50 artinya struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten Batanghari bersifat
oligopoli/oligosopni. Pasar persaingan oligopsoni adalah kondisi pasar dimana
didominasi oleh beberapa pelaku usaha yang memiliki skala produksi atau modal yang
besar. Derajat konsentrasi pasar pada bentuk oligopsoni sangatlah tinggi (sebagian
besar pangsa pasar dikuasai oleh beberapa perusahaan terbesar). Pelaku usaha di
dalam bentuk pasar demikian terdapat hambatan masuk bagi pelaku usaha lainnya
yang ingin beroperasi di pasar bersangkutan yang sama (Agustino, 2010).
Hambatan Masuk Pasar Ternak Sapi
Hasil penelitian diperoleh nilai Minimum Efficient Scale (MES) adalah 28,42 %.
Hasil ini lebih besar dari pendapat dari Comanous dan Wilson (1967) dalam jurnal
Alistair (2004) nilai MES yang lebih besar dari 10 % mengambarkan hambatan masuk
pasar yang tinggi. Beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu pasar. 1)
hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya legal ataupun dalam
bentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat. 2) hambatan terbagi dalam
beberapa tingkatan, mulai dari tanpa hambatan sama sekali, hambatan rendah, sedang
hingga tingkatan tinggi dimana tidak ada lagi jalan masuk. 3) hambatan merupakan
sesuatu yang kompleks dimana hambatan yang besar dapat memperkuat kekuatan
pasar suatu perusahaan dominan.
Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat didefenisikan
sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang (entrant) baru
untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam
defenisi ini, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan skala ekonomi dapat menjadi
barrier to entry. Menurut Bain (1956) penentu utama kondisi entry adalah skala
ekonomi yang besar, diferensiasi produk dan keuntungan biaya absolut antara
perusahaan yang ada dengan yang baru. Kondisi entry sangat menentukan degree of
competition baik yang aktual maupun yang potensial sehingga dapat diduga
mempengaruhi kinerja dan struktur. Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
131
di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang
sebenarnya (Jaya, 2001).
Perilaku Pasar dan Kinerja Pasar Ternak Sapi di Kabupaten Batanghari
Analisis yang digunakan untuk mengetahui perilaku pasar adalah penetapan
harga dan sistem kelembagaan pasar. Harga merupakan faktor yang penting dalam
suatu industri. Perilaku pasar mendorong terjadinya kerjasama dalam penetapan harga.
Ada dua macam alasan mengenai hal ini. Pertama, harga adalah senjata yang paling
efektif dan berbahaya dalam persaingan. Kedua, harga adalah bagian kritis yang harus
dikontrol (Kirana, 2003).
Pada ternak sapi di Kabupaten Batanghari, dalam menentukan harga ternak sapi
dilakukan dengan cara penafsiran oleh calon pembeli, penafsiran berdasarkan pada
tafsiran berat karkas dan kondisi sapi, namun pada kenyataannya pembeli kurang atau
tidak dapat menafsirkan berat karkas, hal ini disebabkan pembeli kurang mengetahui
tentang tingkat kualitas ternak. Diawal perdagangan, biasanya pedagang sapi
membuka harga bagi sapi yang akan dijual, kemudian akan terjadi proses tawar-
menawar antara pedagang dengan pembeli. Pedagang akan menetukan harga yang
tinggi apabila ternak sapi yang di jual mempunyai kualitas yang bagus dilihat dari
umur, dan ukuran badan. Pada proses penentuan harga yang ada di pasar ternak sapi
Kabupaten Batanghari dengan cara penafsiran dari bobot hidup ternak tersebut,
dimana setiap per kilogram bobot hidup di tafsir dengan harga Rp 110.000 – 120.000
per bobot badan hidup.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
132
No Jenis Sapi Umur Ternak Harga (Rp)
1 Bali 8 bulan - 1 tahun
1 ,5 tahun – 3 tahun
8.000.000 – 10.000.000
12.000.000 – 18.000.000
2 Limosin dan Simental < 2 tahun
2 tahun - 3,5 tahun
25.000.000 – 20.000.000
20.000.000 – 40.000.000
3 Brahman 10 Bulan – 1 tahun
>3 tahun
16.000.000 – 20.000.000
26.000.000
4 Peranakan Ongol (PO) 7 bulan – 2 tahun 11.000.000 – 25.000.000
5 Sapi Lokal 5 bulan – 3 tahun 6.000.000 – 16.000.000
Harga yang ditawarkan para pedagang kepada pembeli tidaklah terlalu mahal,
dari data yang didapat bahwa harga ternak tertinggi didapat pada ternak sapi Limosin
dan Simental yaitu berkisar antara Rp 20.000.000 – 40.000.000, disusul dengan sapi
Brahman dengan harga berkisar antara Rp 16.000.000 – 26.000.000 dan untuk sapi
Peranakan Ongol, Bali dan sapi lokal berkisar dengan harga Rp 6.000.000-
25.000.000. Ningsih (2017) yang menyatakan bahwa kisaran harga sapi tertinggi
terdapat pada sapi jenis Limosin dimana harga saat pembelian berkisar antara Rp
3.500.000 – Rp 15.000.000 untuk sapi Limosin berumur 2 tahun. Sedangkan harga
sapi limosin berumur >2 tahun yakni antara ±Rp 27.000.000. Harga sapi Peranakan
Ongol (PO) umumnya lebih rendah dari pada Simental dan Limosin, hal ini karena
sapi Peranakan Ongol yang ada di lapang umumnya lebih kecil bentuk badannya
dibanding Simental dan Limosin.
Kinerja Pasar Ternak Sapi
Kinerja pasar merupakan indikator kritis tentang bagaimana sebaiknya aktivitas
pemasaran dari petani atau pedagang yang dikonsentrasikan untuk kesejahteraan
umum. Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost-
Margin (PCM). Analisis PCM digunakan untuk menganalisis hubungan struktur pasar
terhadap kinerja perusahaan. PCM merupakan salah satu indikator kinerja yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
133
digunakan sebagai perkiraan kasar dari keuntungan industri. Semakin tinggi nilai PCM
maka keuntungan perusahaan juga akan besar.
Pedagang yang memiliki nilai PCM yang tinggi karena pedagang memiliki
pangsa pasar yang besar. PCM biasanya diambil sebagai indicator kekuatan pasar
karena semakin besar margin, semakin besar perbedaan antara harga dan biaya
marjinal. PCM tergantung pada elastisitas permintaan yang ada di pasar. Nilai CR4
akan mempengaruhi PCM dengan arah yang sama. Nilai positif terlihat dari CR4 dan
PCM. Oleh karena itu tingkatan konsentrasi akan mempengaruhi peningkatan PCM
atau sebaliknya. Rata-rata PCM perusahaan empat teratas lebih besar dibandingkan
nilai PCM pedagang non empat besar hal ini terjadi karena pangsa pasar empat
pedagang teratas tinggi.
Muslim dan Nurasa (2007) menyatakan bahwa struktur pasar yang terjadi akan
mempengaruhi perilaku pasar, sementara perilaku pasar akan berdampak terhadap
kinerja pasar. Hubungan paling sederhana dari ketiga variabel tersebut adalah
hubungan linier dimana struktur mempengaruhi perilaku kemudian perilaku
mempengaruhi kinerja. Pendekatan SCP ini dilakukan untuk mengawasi persaingan
diantara produsen – produsen dalam suatu pasar. Bagaimana produsen melakukan
tindakan akibat struktur pasar yang ada dan lebih lanjut terhadap penampilan pasar.
Menurut Suryawati (2009), akan mempengaruhi peningkatan PCM atau
sebaliknya. Rata-rata PCM perusahaan empat teratas lebih besar dibandingkan nilai
PCM menyatakan bahwa struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku
perusahaan dalam pasar tersebut yang secara bersama-sama menentukan kinerja sistem
pasar secara keseluruhan. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara
struktur dan kinerja pasar yaitu bila pangsa pasar produsen tinggi maka nilai PCM
juga tinggi, bila nilai CR4 tinggi maka nilai PCM akan tinggi dan bila nilai MES
tinggi maka nilai PCM juga tinggi. Hubungan yang terjadi antara struktur pasar dan
perilaku pasar adalah bila nilai MES tinggi maka harga jual akan rendah. Hubungan
antara perilaku pasar dan kinerja pasar adalah bila nilai PCM tinggi maka harga jual
produk akan rendah.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
134
KESIMPULAN
1. Struktur pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan
konsentrasi pedagang adalah struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten
Batanghari adalah oligopsoni konsentrasi rendah. Struktur pasar ternak sapi
berdasarkan konsentrasi pembeli adalah pasar mengarah pada oligopsonistik. Serta
struktur pasar ternak sapi berdasarkan hambatan masuk pasar adalah masuk
kategori hambatan masuk pasar yang tinggi.
2. Pada proses penentuan harga yang ada di pasar ternak sapi Kabupaten Batanghari
dengan cara penafsiran dari bobot hidup ternak tersebut, dimana setiap per kilogram
bobot hidup di tafsir dengan harga Rp 110.000 – 120.000 per bobot badan hidup. di
pasar ternak Kabupaten Batanghari terdapat tingkat pemasaran yaitu dari peternak
ke pedagang penampung, dan dari pedagang penampung ke pedagang besar
3. Terdapat hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap
efisiensi pemasaran ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta: Bandung.
Alistair, Armytha. 2004. Analisis pendekatan struktur-perilakukinerja pada industri
tepung terigu di Indonesia pasca penghapusan bulog. [skripsi]. Bogor:
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Al-Rasid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Universitas
Padjadjaran. Bandung.
Aminursita O., dan M. F. Abdullah. 2018. Identifikasi Struktur Pasar Pada Industri
Keramik Di Kota Malang. Jurnal Ilmu Ekonomi Vol 2 Jilid 3 Hal. 409 – 418
Arifin, I. M. 2015. Deteksi Salmonella sp. pada daging sapi di pasar tradisional dan
modern di kota Makassar. Jurnal penelitian. Universitas Hasanuddin, Makassar. .
4(6):117- 122.
Baladina, N. (2012). Analisis Struktur, Perilaku, dan Penampilan Pasar Wortel di Sub
Terminal Agrobisnis (STA) Mantung (Kasus pada Sentra Produksi Wortel di
Desa Tawangsari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Agrise, XII(2), 1412–
1425 Britton, Chris, and Ian Worthingto 1994. The Business Enviroment. London : Pitman
Publishing.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
135
Ciamerra, Ungo Pica ; Joachim Otte dan Chiara Martin. 2010. Liveatock Sector
Policies and Programmes in Developing Countries. A Menu for Praticioners.
FAO. Rome.
Cramer. 2009. Agriculture Economicsand Agribusiness. John Willey and Son. New
York
Dahl DC, Hammond..NV. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry. New York : Me. GrawHill Book Company.
George, P. S. And G. A. King, 1971. Consumer Demand for Food Commodities in
The Unites States With Project for 1980. Giannini Foundation Monograph, No.
26. March, 1971 Hay, Donald A. dan Morris, Derek J., 1991. Industrial Economic and Organization,
Theory and Evi-dence. Second Edition, Oxford University Press.
Jaya, Wihana, K. 2001. Ekonomi Industri; Konsep Dasar, Struktur, Prilaku dan kinerja pasar, Edisi 2, BPFE. Yogyakarta.
Khavidhurrohmaningrum. 2013. Strategi dan Perilaku Industri Pengolahan di Kota
Semarang Tahun 2007-2011. Economics Development Anaylis Journal, EDAJ,
2(3):220-233.
Kirana, A & Moordiningsih. 2010. Studi Korelasi Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial
Dengan Prestasi Akademik: Telaah Pada Siswa Perguruan Tinggi.Indigenous,
Jurrnal Ilmiah Berskala Psikologi vol.12, No. 1, Hal 37-46.
Madarisa, F. Edwardi, Armadiyan dan Lazuardi. 2012. Potret Pasar Ternak Sumatera
Barat. Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2012. Vol. 14 (3). Hal : 433-440
Martin, Stephen. 1994. "Industrial Economics", Economic Analysis and Public Policy,
Second Edition, New York : Macmillan.
Martin, S. 2002. Advance Industrial Economics. Blackwell Publisher Inc. Massachusetts.
Natalia, Paulien, Mei 2015 “Pengaruh Profitabilitas, Pertumbuhan Penjualan, Struktur
Aktiva, dan Risiko Bisnis terhadapa Struktur Modal pada Emiten Kompas 100
(non perbankan)”. Jurnal Manajemen, Vol 14, No 2.
Panagiotou, G. 2006. The Impact of Managerial Cognitions on the Structure-
ConductPerformance (SCP) Paradigm: A Strategic Group Perspective.
Management 423 – 441. Decision. 44:
Shepher, William G., 1990, "The Economic of Industrial Organizatiom", Parentice
Hall. 3rd Ed. Internasional Editions.
Suryawati, (2009), Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Tekstil dan Pakaian
Jadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Akuntansi dan Manajemen,
Vol.20, No.1, April 2009, hal. 36-46 Tjahjono, et al., 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008 - 2013. Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
136
Keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus
Siwab) Berdasarkan Pemeriksaan Status Dan Gangguan Reproduksi
Serta Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif Di Kabupaten
Tebo
Fachroerrozi Hoesni1 dan Firmansyah1, 1Program Studi Magister Ilmu Peternakan Pasca Sarjana Universitas Jambi
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis tingkat keberhasilan UPSUS SIWAB
berdasarkan sistem manajemen reproduksi berupa pemeriksaan status reproduksi dan
gangguan reproduksi ternak sapi betina di Kabupaten Tebo; untuk menganalisis
tingkat keberhasilan UPSUS SIWAB berdasarkan sistem manajemen reproduksi
berupa pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tebo
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah survei dan
laboratorium, dengan teknik penarikan sampel Cluster Random Sampling yaitu
kawasan sentra ternak sapi di Kabupaten Tebo. Ukuran sampel dalam penelitian ini
ditentukan dengan menggunakan metoda iterati. Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan UPSUS SIWAB dipengaruhi oleh sistem manajemen reproduksi berupa
pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi ternak sapi betina serta
pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tebo digunakan path
analysis.
Realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Provinsi Jambi adalah capaian
Akseptor (95,50%), Kebuntingan (86,11 %) dan Kelahiran adalah (81,24 %).
Sedangkan realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Kabupaten Tebo adalah capaian
Akseptor (92,100%), Kebuntingan (82,32 %) dan Kelahiran adalah (61,44 %). Tingkat
keberhasilan Program UPSUS SIWAB dipengaruhi oleh pemeriksaan status dan
gangguan reproduksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh pengendalian pemotongan sapi
betina produktif.
Kata Kunci : UPSUS SIWAB, Ganguan Reproduksi, Betina Produktif
PENDAHULUAN
Kementerian Pertanian pada tahun 2017 melakukan upaya sistematis dan
komprehensif untuk meningkatkan produktivitas ternak melalui program Upaya
Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) yang ditetapkan melalui
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya
Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting. Upaya khusus
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
137
p
tersebut merupakan kegiatan yang terintegrasi melalui sistem manajemen reproduksi
yang terdiri dari unsur-unsur : 1) pemeriksaan status reproduksi dan gangguan
reproduksi; 2) pelayanan inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam
(INKA); 3) pemenuhan semen beku dan nitrogen cair; 4) pengendalian pemotongan
sapi/kerbau betina produktif; dan 5) pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat.
Untuk kesuksesan program UPSUS SIWAB ini perlu didukung sains dan
teknologi reproduksi (Inounu, 2017 ). Meski baru tahap awal, namun program ini telah
berhasil membuat keteraturan dalam pelaporan kegiatan IB, pola kerja menjadi
terukur, organisasi pelayanan IB meningkat, menjadikan peternak lebih teredukasi,
dan pemetaan distribusi semen menjadi lebih jelas (Ilham et al., 2017). Namun tentu
saja keberhasilan ini harus terus ditingkatkan, sehingga dapat terjadi secara merata di
seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu wilayah di Provinsi Jambi yang melaksanakan program UPSUS
SIWAB adalah Kabupaten Tebo yang mendukung mewujudkan swasembada daging
sapi tahun 2022. Hasil penelitian Hoesni dan Firmansyah (2018) menunjukkan bahwa
tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten
Tebo yang tercermin dari service per conception (S/C) yang diperoleh dari hasil
penelitian di lapangan adalah rata-rata sebesar 1,34 ± 0,17. Temuan ini menunjukkan
bahwa IB pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten Tebo adalah
berhasil atau tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi
Kabupaten Tebo adalah baik.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei.
Penelitian ini menggunakan tehnik penarikan sampel Cluster Random Sampling.
Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metoda iterati
(Harun Al Rasyid, 1994). Pada iterasi pertama digunakan rumus :
n Z
1 Z1
3
U ' 2
2
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Model Analisis
A. Identifikasi Status Reproduksi Ternak Sapi Betina (Akseptor)
a. Surveillans aktif gangguan reproduksi :
b) Inspeksi melalui Body Condition Score dalam status praesens (present status)
c) Palpasi per rektum dan per vagina
d) Laboratorium dengan pengembilan dan pemeriksaan sampel darah
e) Lendir vagina (discharge vagina)
b. Surveillans pasif gangguan reproduksi
a) Setelah 14 hari melahirkan
b) Adanya discharge abnormal
c) Adanya siklus estrus abnormal
d) Estrus tidak termati setelah 50 hari kelahiran
e) Sapi yang bunting lebih dari 280 hari
f) Sapi yang mengalami abortus, prematur atau lahir mati
B. Pemeriksaan dan Penetapan Status Reproduksi
a. Bunting
b. Tidak Bunting dengan status reproduksi normal
c. Tidak Bunting dengan status mengalami gangguan reproduksi
d. Tidak Bunting dengan status mengalami gangguan reproduksi permanen
Path Analysis
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib
Bunting (UPSUS SIWAB) dipengaruhi oleh sistem manajemen reproduksi berupa
pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi ternak sapi betina serta
pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tebo digunakan analisis
jalur (path analysis). Model struktural analisis jalur yaitu :
Yi = YiX1 X1 + YiX2 X2 + Yiεi εi
X1
rX1X2
138
ρYiX1
εi
ρεi
Yi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
139
Gambar 1. Struktur Hubungan X1-5 dengan Y
Keterangan :
Y = Keberhasilan UPSUS SIWAB
X1 = Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi X2 = Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif
YiX1 – 2 = Koefisien Jalur
ε = Variabel residu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberhasilan UPSUS SIWAB
a. Akseptor dan Pelayanan IB
Realiasasi akseptor pada UPSUS SIWAB tahun 2019 di Provinsi Jambi sampai
bulan Juni adalah 50,99 %, namun realiasasi akseptor bulan Juni tahun 2019 di Provinsi
Jambi dari target sampai bulan Juni sudah mencapai 95,50 %. Untuk Kabupaten Tebo,
realiasasi akseptor pada UPSUS SIWAB tahun 2019 sampai bulan Juni adalah 49,73 %
yaitu hampir sama dengan rata-rata realiasasi akseptor sampai bulan Juni untuk
kabupaten/kota di Provinsi Jambi (49,64 %). Namun realiasasi akseptor bulan Juni tahun
2019 di Kabupaten Tebo dari target sampai bulan Juni sudah mencapai 92,10 % yaitu
hampir sama dengan rata-rata realiasasi akseptor sampai bulan Juni untuk
kabupaten/kota di Provinsi Jambi (92,39 %).
Tabel 2. Realisasi Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai dengan Juni
2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Target Akseptor
tahun 2019
Target
Aseptor
Realisasi
Akseptor
Realisasi
Pelaksanaan
(ekor) Juni 2019 Juni 2019 IB Juni 2019 (ekor) (Ekor) (dosis)
1 Batanghari 950 513 448 428
2 Bungo 2.700 1.458 1.559 1.886
3 Kerinci 900 486 393 507
4 Kota Jambi 265 146 115 153
5 Merangin 1.950 953 784 970
6 Muaro Jambi 1.100 594 528 602
X2
ρYiX1
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
149
7 Sarolangun 950 513 479 596
8 Sungai Penuh 785 429 411 490
9 Tanjab Barat 1.300 702 674 751
10 Tanjab Timur 1.850 999 1.138 1.388
11 Tebo 2.250 1.215 1.119 1.354
Jumlah 15.000 8.008 7.648 9.125
Dilihat dari capaian realisasi akseptor untuk bulan Januari sampai dengan Juni
2019 di atas realisasi capaian terhadap aseptor Provinsi Jambi sampai dengan bulan
Juni 2019 adalah 7.648 ekor (95,50 %) terhadap target sampai bulan Juni 2019 dan
50,99 terhadap target tahun 2019 dengan rataan capaian di Kabupaten/Kota melebihi
angka 80% terhadap target sampai Juni 2019.
Tabel 3. Capaian Realisasi Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Target Aseptor
Juni 2019 (ekor)
Realisasi Akseptor
Juni 2019
(Ekor)
Capaian
akseptor Juni
2019 (%)
1 Batanghari 513 448 87,3
2 Bungo 1458 1559 106,9
3 Kerinci 486 393 80,9
4 Kota Jambi 146 115 78,8
5 Merangin 953 784 82,3
6 Muaro Jambi 594 528 88,9
7 Sarolangun 513 479 93,4
8 Sungai Penuh 429 411 95,8
9 Tanjung Jabung Barat 702 674 96,0
10 Tanjung Jabung Timur 999 1138 113,9
11 Tebo 1215 1119 92,1
Jumlah 8008 7648 95,5
Tabel 4. Realisasi Kumulatif Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per Kabupaten/Kota
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
141
No
Kabupaten/
Kota
Target
Akseptor
2019
(ekor)
Target
Aseptor
Juni 2019
(ekor)
Realisasi
Akseptor
Juni 2019
(Ekor)
Aseptor dari
target
Tahunan (%)
Aseptor
dari
target
Bulanan
1 Batanghari 950 513 448 47,16 87,33
2 Bungo 2.700 1.458 1.559 57,74 106,93
3 Kerinci 900 486 393 43,67 80,86
4 Kota Jambi 265 146 115 43,40 78,77
5 Merangin 1.950 953 784 40,21 82,27
6 Muaro Jambi 1.100 594 528 48,00 88,89
7 Sarolangun 950 513 479 50,42 93,37
8 Sungai Penuh 785 429 411 52,36 95,80
9 Tanjab Barat 1.300 702 674 51,85 96,01
10 Tanjab Timur 1.850 999 1.138 61,51 113,91
11 Tebo 2.250 1.215 1.119 49,73 92,10
Jumlah 15.000 8.008 7.648 50,99 95,50
b. Realisasi Kebuntingan
Parameter yang diukur untuk pelaksanaan IB adalah service per conception
(S/C) yakni berapa kali dilakukan inseminasi sampai terjadi kebuntingan, conception
rate (CR) yang merupakan angka kebuntingan dari sekelompok induk yang
diinseminasi, dan jumlah kelahiran (Bearden et al., 2004). Menurut Hunter (1995)
bahwa angka konsepsi setelah inseminasi buatan pada sapi berkisar 60 sampai 73%.
Serta Toelihere (1993) menyatakan bahwa service per concepsi (S/C) yang baik adalah
berkisar 1,6 sampai 2,1. Selain itu evaluasi keberhasilan pelaksanaan IB di suatu
daerah dapat juga dilihat dari perkembangan jumlah akseptor peserta IB (Hafez, 2000).
Capaian realisasi kebuntingan selama bulan Januari sampai dengan Juni 2019
tergambar dalam tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Realisasi Kebuntingan Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per
Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Bulan (Ekor) Jumlah s.d
bulan Juni
2019 (ekor) Januari s.d
Maret April Mei Juni
1 Batanghari 156 65 90 92 403
2 Bungo 388 114 152 195 849
3 Kerinci 201 34 33 37 305
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
142
4 Kota Jambi 40 14 13 15 82
5 Merangin 193 181 115 104 593
6 Muaro Jambi 189 53 86 33 361
7 Sarolangun 109 34 39 50 232
8 Sungai Penuh 103 30 78 37 248
9 Tanjab Barat 351 78 55 17 501
10 Tanjab Timur 303 100 144 101 648
11 Tebo 275 75 182 206 738
Jumlah 2.308 778 987 887 4.960
Tabel 6. Capaian Realisasi Kumulatif Kebuntingan Bulan Januari sampai dengan
Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/
Kota
Target
Kebuntingan
2019 (ekor)
Target
Kebuntingan
Juni 2019
(ekor)
Jumlah
Kebuntingan
(Ekor)
Kebuntingan
dari target
Tahunan (%)
Kebuntingan
dari target
Bulanan (%)
1 Batanghari 665 365 403 60,60 110,41
2 Bungo 1.890 1.040 849 44,92 81,63
3 Kerinci 630 345 305 48,41 88,41
4 Kota Jambi 185 102 82 44,32 80,39
5 Merangin 1.365 740 593 43,44 80,14
6 Muaro Jambi 770 425 361 46,88 84,94
7 Sarolangun 665 368 232 34,89 63,04
8 Sungai Penuh 550 305 248 45,09 81,31
9 Tanjab Barat 910 495 501 55,05 101,21
10 Tanjab Timur 1.295 710 648 50,04 91,27
11 Tebo 1.575 865 738 46,86 85,32
Jumlah 10.500 5.760 4.960 47,24 86,11
Dilihat dari tabel di atas capaian realisasi kebuntingan untuk bulan Januari
sampai dengan Juni 2019 di Provinsi Jambi masih kurang dari target yaitu 86,11%.
Hanya 2 Kabupaten yang melebihi target yaitu Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
143
Tanjung Jabung Barat sedangkan Kabupaten lainnya belum ada yang mencapai target
dan terdapat satu Kabupaten yang kurang dari 75% (kabupaten Sarolangun 63, 04%).
Service per conception (S/C) adalah jumlah IB per satu kebuntingan. S/C adalah
jumlah perkawinan atau inseminasi hingga diperoleh kebuntingan. Semakin rendah
S/C semakin tinggi kesuburan ternak sapi betina tersebut, sebaliknya semakin tinggi
S/C kesuburan ternak sapi betina semakin rendah (Partodiharjo, 1992). Perhitungan
S/C adalah perbandingan jumlah straw yang digunakan untuk IB dengan jumlah
keseluruhan ternak sapi yang diinseminasi dan menjadi bunting. Menurut Dwiyanto
(2012), nilai S/C yang ideal berkisar antara 1,6 dan 2,0. Makin rendah nilai S/C makin
subur sapinya, sebaliknya nilai S/C yang tinggi menunjukkan rendahnya tingkat
kesuburan sapinya. Direktorat Jenderal Peternakan (2010), memberikan pedoman
dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) dengan
memberikan nilai standar service per conception (S/C) adalah 1,6.
c. Realisasi Kelahiran
Capaian realisasi kelahiran selama bulan Januari sampai dengan Maret 2019
tergambar dalam Tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Realisasi Kelahiran Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Bulan (Ekor) Jumlah
Kelahiran
Januari s.d
Juni 2019
Januari
-Maret April Mei Juni
1 Batanghari 56 1 115 117 289
2 Bungo 255 94 99 145 593
3 Kerinci 72 26 73 80 251
4 Kota Jambi 38 11 11 13 73
5 Merangin 72 79 29 71 251
6 Muaro Jambi 54 14 33 34 135
7 Sarolangun 79 17 23 8 127
8 Sungai Penuh 96 27 60 26 209
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
144
9 Tanjung Jabung Barat 351 78 55 17 501
10 Tanjung Jabung Timur 289 80 151 80 600
11 Tebo 237 52 60 43 392
Jumlah 1.599 479 709 634 3.421
Capaian realisasi kelahiran untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2019 angka
kelahiran di Provinsi Jambi adalah 3.421 ekor yaitu telah mencapai 81,24 % dari
target sampai bulan Juni 2019 dan 40,73 % dari target tahun 2019, terdapat 5
Kabupaten yang melebihi target (lebih dari 100%) namun terdapat 3 Kabupaten yang
capaian kelahirannya di bawah 50% (target Juni 2019) yaitu Kabupaten Merangin,
Muaro jambi dan Sarolangun.
Tabel 8. Realisasi Kumulatif Kelahiran Bulan Januari sampai dengan Juni 2019
per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/
Kota
Target
Kelahiran
Tahun
2019
(ekor)
Target
Kelahiran
Juni 2019
(ekor)
Jumlah
Kelahiran
Januari-
Juni 2019
(Ekor)
Kelahiran
dari target
Tahunan
(%)
Kelahiran
dari target
Bulanan
(%)
1 Batanghari 525 265 289 55,05 109,06
2 Bungo 1 525 759 593 38,89 78,13
3 Kerinci 500 250 251 50,20 100,40
4 Kota Jambi 145 71 73 50,34 102,82
5 Merangin 1 095 544 251 22,92 46,14
6 Muaro Jambi 615 309 135 21,95 43,69
7 Sarolangun 530 280 127 23,96 45,36
8 Sungai Penuh 435 219 209 48,05 95,43
9 Tanjab Barat 725 363 501 69,10 138,02
10 Tanjab Timur 1 035 515 600 57,97 116,50
11 Tebo 1 270 636 392 30,87 61,64
Jumlah 8 400 4 211 3 421 40,73 81,24
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
145
Apabila proses kebuntingan berhasil maka tidak banyak hal yang perlu
dilakukan, hanya cukup menjaga agar ternak cukup pakan dan pada saat umur
kebuntingan tujuh bulan dapat disuntikan ETEC K-99 agar anak yang lahir dapat kebal
dari serangan Escsherichia coli enterotoksigenik yang dapat menyebabkan terjadinya
diare dan kematian pada anak prasapih (Supar et al. 1997; Esfandiari et al. 2014).
Penanganan kelahiran yang baik akan menentukan keberhasilan ternak sampai umur
disapih yang kemudian dapat diandalkan untuk menjadi ternak bakalan penghasil
daging. Untuk itu, diperlukan manajemen perawatan ternak dari lahir sampai menjadi
ternak bakalan, untuk itu diperlu pengetahuan yang cukup, disini peran penyuluh
sangat diperlukan.
d. Penanganan Gangguan Reproduksi
Penanggulangan gangguan reproduksi :
1. Terapi
Ternak yang telah ditetapkan status reproduksinya dan mengalami
gangguan reproduksi akan diterapi dengan perlakuan dan pengobatan,
proses kesembuhan bervariasi tergantung permasalahan reproduksinya
sehingga memerlukan terapi 2-3 kali tergantung ketersediaan anggaran.
Selanjutnya sapi yang telah dilakukan tindakan perbaikan atau terapi dan
dinyatakan sembuh dijadikan sebagai akseptor IB.
2. Pemeriksaan Ulang Gangguan Reproduksi
Sapi yang tidak sembuh pada terapi pertama dilakukan pemeriksaan dan
terapi kedua. Sapi yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan kedua tersebut
dijadikan sebagai akseptor IB. Sementara Sapi yang tidak sembuh pada terapi
kedua, selanjutnya dpat dilakukan pemeriksaan dan terapi ketiga
tergantung kepada ketersediaan anggaran di masing-masing satker. Sapi
yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan ketiga tersebut dijadikan
sebagai akseptor IB. Sementara sapi yang tidak sembuh dinyatakan sebagai
sapi tidak produktif atau mengalamai gangguan reproduksi permanen.
3. Tindak lanjut terhadap sapi yang dinyatakan sembuh
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
146
Sapi yang telah dinyatakan sembuh dan siap menjadi akseptor dilaporkan
kepada petugas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan IB. Petugas
penanggulangan gangguan reproduksi yang bertanggung jawab di lokasi
tersebut memonitor tentang realisasi pelaksanaan IB.
Sistem Manajemen Reproduksi Berupa Pengendalian Pemotongan Sapi Betina
Produktif
Pengendalian ternak ruminansia betina produktif juga diatur dalam Peraturan
Menteri Pertanian nomor 35/permentan/OT.140/7/2011. Pengendalian ternak
ruminansia betina produktif adalah serangkaian kegiatan untuk mengelola
penggunaan ternak ruminansia betina produktif melalui identifikasi status reproduksi,
seleksi, penjaringan, dan pembibitan. Pengidentifikasian dilakukan sesuai kriteria
yaitu ternak ruminansia besar yang melahirkan kurang dari 5 kali atau berumur di
bawah 8 tahuan, tidak cacat fisik, organ reproduksi normaldan/atau tidak cacat
permanen dan memenuhi persyaratan kesehatan hewan. Provinsi Jambi telah
mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengendalian Ternak
Sapi dan Kerbau Betina Produktif. Dalam Perda No 5 tahun 2015 tersebut
pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif dilakukan dengan cara
penjaringan untuk mencegah pengurasan dalam bentuk pemotongan dan mengatur
pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina produktif keluar wilayah administrasi
Provinsi Jambi. Kasus pemotongan betina produktif di Kabupaten Malang dilaporkan
di RPH Singosari 15,10% dan RPH Gadang 26% (Soejosopoetro 2011).
Tabel 10. Pengendalian Pemotongan Betina Produktif Bulan Januari sampai
dengan Bulan Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Jenis Ternak (Ekor) Jumlah
(Ekor) Kambing
Betina
Produktif
Kerbau Betina
Produktif
Sapi Betina
Produktif
1
2
Bungo 3 3
Sarolangun 8 0 8
3 Sungai Penuh 8 8
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
147
4 Tanjung Jabung Barat 1 1
5 Tanjung Jabung Timur 36 3 39
Jumlah 36 8 15 59
Secara lebih luas Tawaf et al. (2013) telah melakukan studi di 20 RPH di Pulau
Jawa dan Nusa Tenggara, serta mendapatkan jumlah pemotongan sapi lokal betina
umur produktif 31,04% dari jumlah sapi lokal yang dipotong. Untuk pengendalian
pemotongan betina produktif pemerintah melalui Menteri Pertanian telah
mengeluarkan peraturan tentang pengendalian pemotongan betina produktif
(Kementrian Pertanian 2011). Studi penyelamatan betina produktif di beberapa
provinsi menyimpulkan bahwa penyelamatan betina produktif ini dapat dilakukan
melalui pembentukan perusahaan atau Badan Usaha Milik Daerah yang menjaring
ternak-ternak betina yang masuk ke rumah potong hewan (Priyanti et al. 2017).
Faktor Keberhasilan UPSUS SIWAB
Sebelum dibuat kesimpulan mengenai koefisien jalur, terlebih dahulu harus
dilakukan pengujian mengenai keberartian koefisien jalur, baik secara simultan
maupun parsial. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor
Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan Pengendalian Pemotongan
Sapi Betina Produktif (X2) secara simultan terhadap keberhasilan Program Upaya
Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) adalah uji F (F-test).
Untuk menguji keberartian koefisien jalur secara simultan, maka pasangan
hipotesis dirumuskan adalah : H0 : PYX1 = PYX2 = 0 dan H1 sekurang-kurangnya ada
sebuah PYXi 0. Hasil analisis uji F diperoleh nilai Fhitung = 33,545 dengan significant =
0,000 yang berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, artinya
sekurang-kurangnya terdapat satu nilai koefisien jalur yang berarti (signifikan). Hasil
ini menunjukkan bahwa Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan
Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif (X2) secara simultan mempengaruhi
keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB)
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
148
Oleh karena hasil pengujian secara simultan (uji F) adalah signifikan, maka
selanjutnya dilakukan pengujian secara parsial (uji t). Uji t dilakukan untuk melihat
secara parsial pengaruh faktor Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan
Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif (X2) secara parsial terhadap
keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB).
Berdasarkan uji t diperoleh hasil untuk kedua jalur yang ada (X1 dan X2),
ternyata satu jalur yang tidak signifikan yaitu koefisien jalur untuk Pengendalian
Pemotongan Sapi Betina Produktif (X2) sedangkan satu jalur lainnya yaitu koefisien
jalur Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) adalah signifikan. Adanya
koefisien jalur yang tidak signifikan berarti menunjukkan bahwa koefisien jalur
tersebut tidak berarti. Dengan demikian koefisien jalur yang tidak signifikan tersebut
harus dihilangkan, sehingga terjadi perubahan struktur jalur yaitu dari bentuk struktur
jalur awal (melibatkan dua variabel independen = X1 dan X2) menjadi bentuk struktur
jalur baru yang hanya melibatkan satu variabel independen yang signifikan (X1).
KESIMPULAN
1. Realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Provinsi Jambi adalah capaian Akseptor
(95,50%), Kebuntingan (86,11 %) dan Kelahiran adalah (81,24 %). Sedangkan
realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Kabupaten Tebo adalah capaian Akseptor
(92,100%), Kebuntingan (82,32 %) dan Kelahiran adalah (61,44 %).
2. Tingkat keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS
SIWAB) dipengaruhi oleh pemeriksaan status dan gangguan reproduksi, tetapi
tidak dipengaruhi oleh pengendalian pemotongan sapi betina produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Ashari, Ilham N, dan Nuryanti S. 2012. Dinamika program swasembada daging sapi:
reorientasi konsepsi dan implementasi. Analisis Kebijakan Pertanian. 10 (2):181-
198.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
149
Aritonang W. M.. 2017. Kecendrungan Pemotongan Sapi Dan Kerbau Betina
Produktif Di Provinsi Jambi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Vol. 20 No.1, Hal 17-
23.
Atmakusuma J, Harmini, dan Winandi R. 2011. Mungkinkah swasembada daging
terwujud. Jurnal Risal Kebijak PertanLingkung. 1(2):105-109.
Diwyanto, K. 2011. Inovasi Pendukung Ternak Rakyat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. dalam : Sinar Tani Edisi 30 Maret – 5 April 2011 No.
3399 Tahun XLI, Jakarta
Friggens, N.C., K.L. Ingvarsten, and G.C. Emmans, 2004. Predition of body
lipid cahne in pregnancy and lactation. Journal of Dairy Science 87 : 988-
1000
Haddi AH, Rombe MB, Fahrul. 2011. Analisis pendapatan peternakan sapi potong di
Kecamatan Tanete, Kabupaten Barru. J Agribisnis Peternak.10(3):98-109.
Inounu I. 2017. Dukungan Sains dan Teknologi Reproduksi untuk Mensukseskan
Program Sapi Indukan Wajib Bunting. Jurnal Wartazoa Vol. 27 No. 1
Lestari S, Saleh DM, Maidaswar. 2013. Profil kualitas semen segar sapi pejantan
Limousin dengan umur yang berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa
Barat. J Ilmu Peternakan. 1:1165-1172.
Santosa B. 2014. Penanggulangan penyakit gangguan reproduksi pada sapi potong. Bukittinggi (Indonesia): Balai Veteriner Bukittinggi.
Soejosopoetro, B. 2011. Studi Tentang PemotonganSapi Betina Produktif Di RPH
Malang, Jurnal Ternak Tropika, 12 (1) : hal 22-26
Suardana, I.W., I. M. Sukada, I. K. Suada, D. A. Widiasih. 2013. Analisis Jumlah dan
Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan
Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. JSV 31 (1)
Suharno. 2017. Upsus SIWAB jadi prioritas pembangunana peternakan 2017.
Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan 2017 [Internet]. [Diunduh 2017
Jul 28] Tersedia dari: http://www majalahinfovet.com /2017/01/ upsus-
siwabjadi-prioritas-pembangunan.html.
Sutawidjaya. M.S., 2000. Statistik Sosial. Bandung: Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Sutiyono, D. Samsudewa, dan A. Suryawijaya. 2017. Identifikasi Gangguan
Reproduksi Sapi Betina di Peternakan Rakyat. Jurnal Veteriner. Vol. 18 No. 4 .
Hal 580-588
Undang-Undang No 18. 2009. Peternakan dan Kesehatan Hewan. Widiati R. 2014. Membangun industri peternakan sapi potong rakyat dalam
mendukung kecukupan daging sapi. Wartazoa. 24(4):191-200.
Wiguna A. A. Wayan, N. W. T. InggriatI, S. Pasaribu, R. Indrasti, N. Kusuma, N.
Budiana dan I. G. M. Widianta. 2015. Upaya Mengatasi Pemotongan Betina
Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Bali.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
150
Evaluasi Penggunaan Berbagai Jenis Dan Konsentrasi Bahan Perekat
Terhadap Kualitas Fisik Biskuit Konsentrat Mengandung Indigofera
Untuk Ternak Kambing
R. A. Muthalib, Afzalani, Wati N, Dianita, R*
Fakultas Peternakan, Universitas Jambi
Jl. Raya Jambi – Ma. Bulian KM. 15 Mendalo Indah, Mendalo Jambi
*) koresponden e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai jenis
dan konsentrasi bahan perekat terhadap kualitas biskuit pakan konsentrat mengandung
Indigofera zolingeriana sebagai pakan ternak kambing. Penelitian ini disusun dengan
menggunakan rancangan acak lengkat dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah
jenis bahan perekat yang terdiri atas molasses, tepung ubi kayu dan tapioka. Faktor
kedua adalah konsentrasi bahan perekat yang digunakan yaitu 3,5,7% dari total bahan
yang digunakan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas fisik biskuit
pakan meliputi uji organoleptik (warna, aroma dan kepadatan), kadar air, berat jenis,
kerapatan bahan dan ketahan benturan biskuit yang dihasilkan. Penelitian ini
menunjukan bahwa jenis bahan perekat berpengaruh nyata (P<0,05) pada hampir di
semua peubah yang diamati, sementara itu konsentrasi bahan perekat berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kerapatan bahan dan ketahan benturan. Interaksi hanya
ditemukan pada peubah ketahan benturan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa jenis bahan perekat yang terbaik adalah tepung ubi kayu, dengan konsentrasi
5%.
Kata Kunci: Biskuit konsentrat, Indigofera zollingeraiana, perekat
PENDAHULUAN
Beberapa hijauan legum juga berpotensi untuk dijadikan sumber bahan pakan
konsentrat seperti Indigofera zollingeriana dan sengon. Tanaman I. zollingeriana ini
memiliki kandungan nutrisi sangat baik. Hal ini sesuai dengan laporan penelitian
Muthalib et al., (2017) bahwa tepung daun Indigofera mengandung bahan kering
93,53%, protein kasar 28,12%, serat kasar 9,11%, lemak kasar 5,91%, BETN 49,25%,
Ash 7,61%, dan TDN 66,97%. Penggunaan Indigofera sebagai suplemen pakan
sampai 30% dari konsentrat pakan mampu meningkatkan produktivitas ternak
kambing PE, namun masih banyak protein pakan yang terdegradasi dalam rumen
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
151
(Muthalib et al., 2018). Penambahan tannin asal sengon mampu menekan degradasi
protein pakan dalam rumen yang dicerminkan oleh menurunnya N-NH3 dan
meningkatkan nilai VFA pada kambing PE (Rizky, 2019).
Salah satu pengolahan yang dapat dilakukan dengan teknologi pengolahan
biskuit konsentrat pakan ternak. Biskuit pakan adalah suatu campuran yang berupa
hijauan dan konsentrat berbentuk blok yang sesuai dengan kebutuhan ternak akan
nutrisi dan protein. Biskuit ini sangat mudah diberikan kepada ternak karena
bentuknya yang kompak dan juga mudah dikunyah oleh ternak. Biskuit yang
berdiameter sekitar 7 cm dengan tebal 1 cm ini dapat dimakan oleh domba dalam
bentuk utuh karena bentuknya yang bulat sesuai dengan morfologi mulut domba,
sehingga mempermudah domba untuk memakannya. Namun, adapula domba yang
menghancurkan biskuit terlebih dahulu atau mematahkan biskuit dengan bantuan bibir
dan gigi Retnani et al., (2009a).
Perekat (binder) yang tepat sangat diperlukan dalam proses pembuatan biskuit
dalam. Jenis perekat yang dapat digunakan yaitu molasses, tepung ubi kayu dan
tepung tapioka. Molasses dapat mempengaruhi kualitas fisik pellet, semakin banyak
molasses yang ditambahkan akan mengakibatkan penyerapan molasses semakin
banyak dan terjadinya perubahan warna menjadi lebih pekat (Ismi et al., 2017). Selain
molasses, tepung ubi kayu dan tepung tapioka juga dapat dijadikan sebagai bahan
perekat. Kandungan pati tepung ubi kayu berkisar 79.85% (Rasulu et .al., 2012).
Tepung tapioka merupakan bahan perekat alami yang dapat dengan mudah dicerna
(Sari et al., 2016).
Selain jenis perekat, konsentrasi bahan perekat akan mempengaruhi daya rekat
bahan yang digunakan yang nantinya akan menentukan kualitas biskuit pakan baik
secara fisik maupun secara kimia. Menurut Ismi et al., (2017) dan Syamsu (2007)
penggunaan berbagai macam bahan perekat dengan konsentrasi 3% lebih mampu
meningkatkan kualitas fisik pellet, sehingga menjadi kompak dengan kerapatan
tumpukan dan ketahanan benturan yang baik serta menghasilkan aroma yang segar dan
tidak tengik.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
152
Daun indigofera dan daun sengon dipanen lalu dipisahkan dari tangkainya,
kemudian dijemur dan digiling menjadi tepung.
Seluruh bahan dihomogenkan, lalu dimasukkan ke dalam mesin pencetak
biskuit.
Ditambah bahan konsentrat sesuai dengan perlakuan , konsentrasi bahan
perekat (3%, 5%, 7%).
Dilakukan analisis fisik aroma, warna, kepadatan, kadar air, daya serap, berat
jenis, kerapatan bahan dan ketahanan benturan terhadap biskuit yang
dihasilkan.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan rumah kaca dan labolaturium Fakultas Peternakan
Universitas Jambi, mulai bulan Agustus sampai dengan bulan September tahun 2019.
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu daun hijauan Indigofera,
daun sengon, jagung, dedak, bungkil kedele, bungkil kelapa, molasses, tepung ubi
kayu dan tepung tapioka. Sedangkan, peralatan yang digunakan jangka sorong, gelas
ukur, timbangan analitik, plastik, piring plastik, mesin giling hijauan (Hammer mill)
dan alat pencetak biskuit.
Prosedur Pembuatan Biskuit
Gambar 1. Bagan Pembuatan Biskuit pakan Konsentrat
Biskuit dioven pada suhu 60 °C selama 24 jam. Setelah itu, didinginkan pada
suhu ruang.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
153
Tabel 1. Komposisi Penyusun Bahan Biskuit Konsentrat(%)
Bahan Pakan Presentase (%)
Indigofera zollingeriana 30
Sengon 6
Dedak Halus 20
Jagung Giling 20
Bungkil Kedele 12
Bungkil Kelapa 10
Garam 1
Mineral mix 1
Jumlah 100
Tabel 2. Komposisi Kimia Bahan Penyusun Biskuit Pakan konsentrat(%)
Bahan Pakan BK PK LK SK ABU BETN TDN
Indigofera
zollingerianaa
99.53
28.12
5.91
9.11
7.61
49.25
66.97
Sengon (Albizia
falcataria)b
43.78
18.13
3.34
19.81
5
45.6
0
Dedak Halusc 89.1 8.7 13.81 9.28 11.83 51.75 55.52
Jagung Gilingc 88 8.5 5.89 3.37 2.41 77.49 81.9
Bungkil Kedelec 89.41 13.3 1.01 25.52 6.97 33.29 40.26
Bungkil Kelapac 89 19.2 11.21 6.85 6.04 49.7 75.33
Garamd 0 0 0 0 0 0 0
Mineral mixe 0 0 0 0 0 0 0
Molasesf 82 3.94 0.3 0.88 11 0 70.7
Tepung Ubi Kayug 35 2.9 0.7 4.9 2.3 0 79
Tapiokah 0 0.5-0.7 0.2 0.5 0 0 0
Sumber : a(Muthalib et al.,2018), b(Afzalani et al.,2017) f(Sutardi, 1981), g Tim laboratorium (2013), c(NRC 19)
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial 3x3 dengan
3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis bahan perekat (binder) yaitu: P1 = Molasses,
P2 = Tepung ubi kayu, P3 = Tepung tapioka. Faktor kedua adalah konsentrasi bahan
perekan yang digunakan yaitu: K1= konsentrasi perekat 3% dari total bahan, K2 =
konsentrasi perekat 5% dari total bahan, K3 = konsentrasi perekat 7% dari total bahan.
Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali dan setiap ulangan terdapat 3 unit
biskuit, sehingga jumlah keseluruhan unit biskuit yaitu 81 unit.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
154
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah uji organoleptik meliputi
warna, aroma, kepadatan (Istinganah et al., 2017), kadar air (AOAC 2005), kerapatan
bahan (Daud et al., 2013), ketahanan benturan (Syahri et al., 2018), dan berat jenis
(Jaelani, 2007).
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan analisi ragam (ANOVA) sesuai dengan
rancangan dalam percobaan faktorial. Bila terdapat pengaruh yang nyata dilakukan uji
jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Biskuit
Biskuit konsentrat merupakan suatu produk pengolahan pakan ternak yang
berbahan dasar legum hijauan Indigofera zollingeriana dan sengon yang dapat
digunakan sebagai supplemen pakan (pakan tambahan). Biskuit konsentrat dalam
penelitian ini berbentuk bulat, padat dan memiliki kerapatan yang baik. Diameter
biskuit berkisar 9.4 cm, ketebalannya 3.5 cm dengan berat ± 150 g/biskuit. Biskuit
yang dihasilkan berwarna coklat dan memiliki aroma khas yang berasal dari reaksi
dengan masing – masing bahan perekat. Gambar 1 merupakan biskuit dari masing-
masing perlakuan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan.
Gambar 1. Biskuit konsentrat
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
155
Uji Organoleptik
Hasil uji organoleptik yang meliputi warna, aroma dan kepadatan biskuit
konsentrat disajikan pada Tabel 4. Warna biskuit yang dihasilkan dari mulai dari
coklat kehijauan sampai coklat dan aromanya wangi ini. Biskuit konsentrat
mempunyai komposisi 30% Indigofera dan 6% sengon serta selebihnya adalah bahan-
bahan penyusun konsentrat konvensional lainnya. Warna hijau dimungkinkan karena
total hijauan yang digunakan sebanyak 36% dari total bahan keseluruhan. Sedangkan
kepadatan biskuit yang dihasilkan yaitu keras sampai sangat keras. Kualitas fisik
biskuit pakan ternak kambing yang baik seperti warna yaitu yang berasal dari bahan
yang digunakan yaitu coklat kehijauan, dengan tekstur yang keras dan aroma yang
wangi/tidak tengik (Ismi, 2017).
Tabel.4. Rataan nilai uji organoleptik biskuit konsentrat. Uji Organoleptik
Jenis Perekat
Warna Aroma Kepadatan
Molases Coklat Wangi Keras
Tepng ubi kayu Coklat kehijauan Wangi Keras
Tepung tapioka Coklat Asam/Tengik Sangat Keras
Warna biskuit dengan menggunakan jenis perekat molases dan tepung tapioka
menghasilkan warna coklat. Sedangkan, warna biskuit yang menggunakan jenis
perekat tepung ubi kayu bewarna coklat kehijauan. Hal ini diduga kerena perubahan
warna yang dihasilkan pada biskuit konsentrat sebagai pengaruh dari reaksi maillard.
Menurut Retnani et al. (2009) bahwa warna coklat disebabkan adanya reaksi browning
non enzimatis karena pemanasan pada saat pengovenan. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Ismi, (2017) bahwa semakin ttinggi level molases yang ditambahkan
mengakibatkan penyerapan molases yang semakin banyak dan menyebabkan
terjadinya perubahan warna pellet pakan kambing menjadi lebih pekat.
Aroma biskuit dengan menggunakan jenis perekat molasses dan tepung ubi kayu
menghasilkan aroma yang wangi. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan gula pada
molasses, sehingga menghasilkan aroma wangi karamel dan begitupun tepung ubi
kayu yang menghasilkan aroma wangi karena adanya kandungan karbohidrat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Riswandi et al., (2017) bahwa aroma yang ditimbulkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
156
disebabkan adanya molases dalam campuran formula biskuit. Saat pengovenan
biskuit, tercium aroma yang ditimbulkan biskuit yaitu aroma gula terbakar.
Kepadatan fisik biskuit secara umum dengan menggunakan semua jenis perekat
menghasilkan biskuit yang keras, hanya saja semakin tinggi konsentrasi bahan perekat
yang digunakan menjadikan biskuit cenderung sangat kompak/keras. Kondisi pakan
yang terlalu kompak/keras dapat mempengaruhi konsumsi ternak terhadap pakan
yang diberikan. Saleh (2013) menyatakan bahwa kandungan pati pada bahan perekat
juga menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi yang mengikat tiap komponen pakan,
sehingga pellet menjadi kompak, utuh, dan bobot yang berat.
Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis dan konsentrasi perekat
berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air biskuit konsentrat. Tidak terdapat
interaksi antara jenis perekat dan konsentrasinya terhadap kadar air biskuit. Rataan
kadar air yang rendah dihasilkan pada perlakuan tepung ubi kayu dengan konsentrasi
5% masih dalam kisaran aman untuk penyimpanan. Hal ini diduga karena pengaruh
kandungan air dari bahan dasar perekat dan proses pemanasan dalam pembuatan
biskuit. Kadar air merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas bahan. Kadar air
yang baik yaitu kadar air yang rendah sehingga tidak menimbulkan jamur pada biskuit
pada saat penyimpanan dan pakan dapat menjadi lebih awet (Retnani et al., 2009).
Ditambahkan oleh Trisyulianti (2003) bahwa aktivitas mikroorganisme dapat ditekan
pada kadar air 12-14%. Kadar air yang lebih tinggi dapat menyebabkan pakan mudah
ditumbuhi jamur dan membusuk.
Tabel 5. Nilai kadar air biskuit konsentrat
Jenis Perekat Konsentrasi (%)
Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf
yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
3 5 7
Molases 18.67 ± 4.25 33.83 ± 8.38 35,00± 17.08 29.17 ± 12.54a
Tepung ubi kayu 10.67 ± 3.75 15.17± 4.19 16.17 ± 4.04 14.00± 4.29b
Tepung tapioka 11.5 ± 3.60 15.66 ± 3.32 32.55 ± 0.29 14.77 ± 3.96b
Rataan 13.61 ± 0.34b 21.56 ±2.71a 22.78± 7.66a
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
157
Kerapatan Bahan
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis dan konsentrasi perekat
berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat. Tidak
terdapat interaksi antara jenis perekat dengan konsentrasinya terhadap kerapatan bahan
dari biskuit. Kerapatan bahan pada perlakuan tepung tapioka menghasilkan kerapatan
paling tinggi yaitu sebesar 0.74%. Perekatan dengan menggunakan tepung tapioka
lebih baik dibandingkan dengan tepung ubi kayu, sehingga sedikit terbentuk rongga-
rongga pada biskuit. Hal ini sejalan dengan pendapat Saleh (2013) bahwa kandungan
pati pada bahan perekat menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi yang mengikat
tiap komponen pakan, sehingga pellet menjadi kompak, utuh, dan bobot yang berat.
Perekat dari tumbuh-tumbuhan seperti ubi kayu (tapioka) memiliki keuntungan bahwa
jenis perekat ini dengan konsentrasi yang rendah sudah menghasilkan biskuit yang
kompak. Semakin tinggi nilai kerapatan, maka semakin kompak bahan tersebut. Bila
suatu bahan semakin kompak, maka semakin mudah dalam penanganan baik dalam
transportasi maupun dalam penyimpanan (Riswandi et al., 2017). Rendahnya
kerapatan pada jenis perekat molases hal ini diduga karena tingginya kandungan air
pada bahan perekat molasses tersebut. Hal ini didukung oleh Retnani et al., (2009)
bahwa semakin meningkatnya kadar air wafer menyebabkan ruangan yang diisi air
lebih banyak sehingga kerapatan wafer menurun.
Tabel 6. Nilai kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat (g/cm3)
Jenis Perekat Konsentrsi (%)
Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf
yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa konsentrasi perekat berpengaruh nyata
(P<0.05) terhadap kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat. Hasil penelitian
menunjukkan semakin tinggi penggunaan konsentrasi perekat, maka semakin kuat dan
semakin baik kerapatan yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh Hermawan et al.,
3 5 7
Molases 0,63 ± 0,023 0,63 ± 0,017 0,74 ± 0,27 0,67 ± 0,07b
Tepung ubi kayu 0,66 ± 0,01 0,68 ± 0,03 0,72 ± 0,01 0,69 ± 0,03b
Tepung tapioka 0,70 ± 0,01 0,75 ± 0,04 0,78 ± 0,02 0,74 ± 0,04a
Rataan 0,67 ± 0,01b 0,69 ± 0,01b 1,75 ± 0,15a
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
158
(2015) bahwa semakin tinggi level konsentrasi perekat yang digunakan, maka semakin
kompak kerapatan dan semakin renyah bahan biskuit. Pakan biskuit yang baik
diterapkan kepada ternak yaitu mempunyai kerapatan yang tinggi memberikan
penampilan kepadatan yang kompak dan keras. Namun, biskuit yang kerapatanya
sangat keras tidak baik diterapkan kepada ternak bahwa sulitnya ternak mengkonsumsi
pakan tersebut (Syahri et al.,2018).
Ketahan Benturan
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis perekat dan konsentrasi serta
interaksinya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap ketahan benturan biskuit pakan
konsentrat. Ketahan benturan biskuit pakan konsentrat yang baik yaitu pada perlakuan
jenis perekat ubi kayu dengan konsentrasi 3 dan 5% yaitu masing-masing ketahan
benturan 86.14 dan 89.01%.
Tabel 7. Ketahan Benturan Biskuit Pakan Konsentrat (%)
Konsentrasi (%) Jenis Perekat Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf
yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Hal ini diduga karena pada saat perekat tepung ubi kayu yang dilarutkan di
dalam air terbentuk gelatin yang sangat kental, sehingga pada waktu pengovenan
bahan mengikat dengan baik. Semakin tinggi konsentrasi perekat yang digunakan
maka semakin kompak namun, apabila ketahan benturan biskuit melebihi kisaran
normal maka sulitnya ternak mengkonsumsi pakan biskuit tersebut. Nilai ketahan
benturan pada interaksi perlakuan tepung ubikayu dengan konsentrasi 3 dan 5% ini
masih memenuhi kisaran normal. Menurut Syahri (2018) sifat fisik wafer paling baik
yaitu yang memiliki nilai ketahanan benturan 94,45%. Hal ini sejalan dengan
3 5 7
Molases 22,23 ± 1,48ac 94,20 ± 0,08ab 99,74 ± 0,22a 72,05 ± 37.45a
Tepung ubi kayu 86,14 ± 5,15bc 89,01 ± 2,71b 99,30 ± 0,07ab 91,67 ± 6.51b
Tepung tapioka 92,43 ± 1,20ac 97,00 ± 1,08bc 99,88 ± 0,20ac 96,44 ± 3.35c
Rataan 66,94 ± 2,21c 93,59 ± 0,85b 99,64 ± 0,08a
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
159
penelitian Syahrir et al., (2017) bahwa semakin tinggi penggunaan level perekat, maka
semakin kuat kerapatan bahan dan semakin kompak terbentuknya wafer.
Berat Jenis
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis perekat yang berbeda berpengaruh
nyata (P<0.05) terhadap berat jenis biskuit pakan konsentrat. Tidak terdapat interaksi
antara jenisperekat dengan konsentrasinya terhadap berat jenis biskuit. Berat jenis
biskuit konsentrat dengan menggunakan molases (1,25g/cm3) nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung ubi kayu (1,15g/cm3) dan tapioka (1,17g/cm3).
Komposisi dan ukuran partikel bahan penyusun biskuit konsentrat semuanya sama,
yang membedakan hanya bahan perekat dan konsentrasinya dalam setiap perlakuan.
Jenis bahan perekat dengan konsentrasinya akan mempengaruhi komposisi dari biskuit
konsentrat.
Tabel 8.Rataan Berat Jenis Biskuit Pakan Konsentrat (g/cm3)
Jenis Perekat
Konsentrasi (%) Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf
yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Suadnyana (1998) menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh komposisi
kimia bahan pakan. Ditambahkan oleh pendapat Krisnan (2008) bahwa berat jenis
memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan
penyimpanan, disamping itu juga akan menentukan terhadap kerapatan pakan.
KESIMPULAN
Jenis bahan perekat tepung ubi kayu, dan konsentrasi bahan perekatnya sebesar
5% yang merupakan perlakuan terbaik yang dilihat dari kualitas fisik biskuit pakan
konsentrat secara keseluruhan. Semua bahan perekat dengan konsentrasi 5%
merupakan interaksi kombinasi yang terbaik yang ditunjukkan oleh nilai ketahanan
3 5 7
Molases 1,25 ± 0 1,25 ± 0 1,25 ± 0 1,25 ± 0a
Tepung ubi kayu 1,16 ± 0,08 1,11 ± 0 1,18 ± 0,07 1,15 ± 0.52b
Tepung tapioka 1,20 ± 0,04 1,15 ± 0,04 1,17 ± 0,07 1,17 ± 0.05c
Rataan 1,20 ± 0,04 1,17 ± 0,02 1,20 ± 0,04
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
160
benturan biskuit pakan konsentrat yang berhubungan dengan penerapan ke ternak
kambing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. 2014. Prospektif Agronomi dan Ekofisikologi Indigofera zollingeriana
Sebagai Tanaman Penghasil Hijauan Pakan Berkualitas Tinggi. Pastura 3, 79–
83.
Daud, M., Z. Fuadi, dan Azwis. 2013. Uji Sifat Fisik dan Daya Simpan Wafer
Ransum Komplit Berbasis Kulit Buah Kakao. J. Ilm. Peternak. 1, 18–24.
Hermawan, R. Sutrisna, dan Muhtarudin. 2015. Kualitas Fisik, Kadar Air, dan Sebaran
Jamur pada Wafer Limbah Pertanian dengan Lama Simpan Berbeda 3, 55–60.
Ismi, R, S., R. I. Pujaningsih and S. Sumarsih. 2017. Pengaruh Penambahan Level
Molases Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Pellet Pakan Kambing
Periode Penggemukan. J. Ilm. Peternak. Terpadu 5, 58–62.
Istinganah, M., R. Rauf., dan E. N. Widyaningsih. 2017. Tingkat Kekerasan dan Daya Terima Biskuit dari Campuran Tepung Jagung dan Tepung Terigu Dengan
Volume Air yang Proporsional. J. Kesehat. 10, 83–93.
Jaelani, A., 2007. Peningkatan Kulaitas Bungkil Inti Sawit Oleh Kapang Trichoderma
reesei Sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap
Penampilan Ayam Pedaging. Institut Pertanian Bogor.
Krisnan, R., 2008. Perubahan Karakteristik Fisik Konsentrat Domba Selama
Penyimpanan (Physical Characteristic Condition Of Sheep Diet During Storage
). Semin. Nas. Teknol. Peternak. dan Vet. 491–497. Muthalib, R, A., R. Dianita, dan Afzalani. 2018. Suplementasi Indigofera
zollingeriana Sumber Protein By Pass dalam Pakan Berbasis Rumput Rawa
Terhadap Produktivitas Kambing Peranakan Etawa. Laporan Penelitian.
Fakultas Peternakan, Universitas Jambi.
Nurhayatin, T., dan M. Puspitasari. 2017. Pengaruh Cara Pengolahan Pati Garut
(Maranta arundinacea) Sebagai Binder dan Lama Penyimpanan Terhadap
Kualitas Fisik Pellet Ayam Broiler. J. Ilmu Peternak. 2, 32–40.
Nurhayu, A., dan D. Pasambe. 2016. Indigofera Sebagai Substitusi Hijauan Pada
Pakan Sapi Potong di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Semin. Nas.
Peternak. 2 52–56.
Pade, S, W., dan H. Akuba. 2018. Pemanfaatan Tepung Ubi Kayu (Manihot utilisima)
Sebagai Substitusi Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit 2, 1–9. Rasulu, H., S. Y. Sudarminto, dan J. Kusnadi. 2012. Karakteristik Tepung Ubi Kayu
Terfermentasi Sebagai Bahan Pembuatan Sagukasbi. J. Teknol. Pertan. 13, 1–7.
Retnani, Y., S. Basymeleh, dan L. Herawati. 2009. Pengaruh Jenis Hijauan Pakan dan
Lama Penyimpanan Terhadap Sifat Fisik Wafer. J. Ilmu Ilmu Peternak. 12,
196–202..
Retnani, Y., N. Hasanah, Rahmayeni dan L. Herawati. 2010. Uji Sifat Fisik Ransum
Ayam Broiler Bentuk Pellet yang Ditambahkan Perekat Onggok Melalui Proses
Penyemprotan Air. Agripet 10, 13–18.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
161
Retnani, Y., L. Herawati, W. Wirdiati, dan E. Indahwati. 2009a. Uji Kualitas Sifat
Fisik Dan Palatabilitas Biskuit Limbah Tanaman Jagung Sebagai Substitusi
Sumber Serat Untuk Domba. Bul. Peternak. 33, 162–169.
Retnani, Y., W. Widiarti, I. Amiroh, L. Hermawati, dan K. B. Satoto. 2009b. Daya
Simpan dan Palatabilitas Wafer Ransum Komplit Pucuk dan Ampas Tebu untuk
Sapi Pedet. Media Peternak. 32, 130–136.
Riswandi, A., S. Imsya, Sandi, dan A. S. S. Putra. 2017. Evaluasi Kualitas Fisik
Biskuit Berbahan Dasar Rumput Kumpai Minyak dengan Level Legum Rawa
(Neptunia oleracea lour) yang Berbeda. J. Peternak. Sriwij. 6, 1–11.
https://doi.org/10.33230/jps.6.1.2017.5071
Rochani, A., S. Yuniningsih, dan Z. Ma’Sum. 2016. Pengaruh Konsentrasi Gula
Larutan Molases Terhadap Kadar Etanol Pada Proses Fermentasi. J. Reka
Buana 1, 43–48.
Saleh, A. 2013. Efisiensi Konsentrasi Perekat Tepung Tapioka Terhadap Nilai Kalor
Pembakaran Pada Biobriket Batang Jagung (Zea mays L .). J. Teknosains 7, 78–
89.
Sandi, S., A. I. M. Ali, dan A. A. Akbar. 2015. Uji In-Vitro Wafer Ransum Komplit dengan Bahan Perekat yang Berbeda. J. Peternak. Sriwij. 4, 7–16.
https://doi.org/10.33230/jps.4.2.2015.2802
Sari, I, Y., L. Santoso, dan Suparmono. 2016. Kajian Pengaruh Penambahan Tepung
Tapioka Sebagai Binder dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila
Gift (Oreochromis Sp.). e-Jurnal Rekayasa dan Teknol. Budid. Perair. V.
Susilawati, I., Z. I. Islami, dan H. Pembahasan. 2012. Penggunaan Berbagai Bahan
Pengikat Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pelet Hijauan Makanan Ternak.
Ilmu ternak 121, 47–50.
Susilawati, S. Nurdjanah, dan S. Putri. 2008. Karakter Sifat Fisik dan Kimia Ubi Kayu
(Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan Umur Panen Berbeda.
J. Teknol. Ind. dan Has. Pertan. 13, 59–72.
Syahri, M., Y. Retnani, dan L. Khotijah. 2018. Evaluasi Penambahan Binder Berbeda
Terhadap Kualitas Fisik Mineral Wafer. Bul. Makanan Ternak 16, 24–35.
Syahrir, S., M. M. Mide, dan Harfiah. 2017. Evaluasi Fisik Ransum Lengkap
Berbentuk Wafer Berbahan Bahan Utama Jerami Jagung Dan Biomassa Murbei.
JITP 5.
Syamsu, J, A. 2007. Karakteristik Fisik Pakan Itik Bentuk Pellet Yang Diberi Bahan
Perekat Berbeda Dan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. J. Ilmu Ternak 7,
128–134. https://doi.org/10.24198/jit.v7i2.2246
Toharmat, T., E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, dan T. Q. Noerzihad, N. A. Sigit,
and Y. Retnani. 2006. Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap
Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing. Media Peternak. 29,
146–154. https://doi.org/10.5398/medpet.v29i3.817
Trisyulianti, E., J. Jacka., dan Jayusmar. 2001. Pengaruh Suhu dan Tekanan
Pengempaan Terhadap Sifat Fisik Wafer Ransum dari Limbah Pertanian
Sumber Serat dan Leguminose Untuk Ternak Ruminansia. Media Peternak. 24,
76–81.
Trisyulianti, E., Suryahadi, dan V. N. Rakhma. 2003. Pengaruh Penggunaan Molases
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
162
dan Tepung Gaplek Sebagai Bahan Perekat Terhadap Sifat Wafer Ransum
Komplit. 26, 35–39.
Widiyastuti, T., C. H. Prayitno., dan Munasik. 2004. Kajian kualitas fisik pelet pakan
komplit dengan sumber hijauan dan binder yang berbeda. Animal Production.
6 (1) : 43 – 48.
Wulansari, R., Y. Andriani, dan K. Heatami. 2016. Penggunaan Jenis Binder Terhadap
Kualitas Fisik Pakan Udang. J. Perikan. Kelaut. VII, 140–149.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
163
PENGARUH BIOURIN DAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA TERHADAP HASIl,
KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK HIJAUAN KUMPAI
(Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.) PADA LAHAN BEKAS
TAMBANG BATU BARA
H. Syafria1) dan N. Jamarun2) 1Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak Mendalo Jambi, Kode Pos 36361 Telp/Fax:
(0741) 582907, HP: 081366818797, E-mail: [email protected]
2Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis Padang, Kode Pos 25163
Telp/Fax: (0751) 71464, HP: 08126608179, E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Biourin dapat memberikan pengaruh terhadap kesuburan fisik, kimia dan biologis tanah. Sedangkan
mikoriza dapat membantu tanaman untuk penyediaan dan penyerapan unsur hara, terutama posfor
yang rendah ketersediaannya pada tanah masam/kritis. Tujuan penelitian adalah untuk menemukan,
mendapatkan dan membuktikan bahwa, pemberian biorin dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
sebagai agen bioteknologi, mampu memperbaiki produkstivitas lahan bekas tambang batu bara, juga
berpengaruh terhadap hasil hijauan, kecernaan bahan kering dan bahan organik. Percobaan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan terdiri
dari: 1) konsentrasi 0% biourin + FMA 20 g/pot, 2) konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot, 3)
konsentrasi 30% biourin + FMA 20 g/pot dan 4) konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot. Peubah
yang diamati adalah hasil bahan kering hijauan, kecernaan bahan kering dan bahan organik metode
In-Vitro. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh (P<0.01) terhadap hasil
bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik hijauan. Perlakuan konsentrasi 45%
biourin + FMA 20 g/pot menghasilkan bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik
tertinggi, diikuti konsentrasi 30% biourine + FMA 20 g/pot, konsentrasi 15% biourine + FMA 20
g/pot dan konsentrasi 0% biourine + FMA 20 g/pot. Kesimpulan penelitian ini adalah perlakuan
konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot adalah perlakuan terbaik dari semua peubah yang diamati.
Kata Kunci: Biourin, Fungi Mikoriza Arbuskula, Kumpai, Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik.
PENDAHULUAN
Memperluas penganekaragaman hijauan makanan ternak, maka hijauan lokal perlu
dikembangkan, karena hijauan lokal menunjukkan kelebihan dibanding introduksi, salah satunya
adalah rumput kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Ness). Rumput ini merupakan sumber
daya alam yang memiliki nilai biologis tinggi, cukup berpotensi untuk menunjang ketersediaan
hijauan pakan bagi ternak ruminansia, yang berbasis sumber daya lokal (Syafria, 1996, Syafria, 1998
dan Syafria, 2016).
Kendala peningkatan produksi dan kualitas hijauan yang berhubungan dengan sumberdaya
lahan di daerah tropika, antara lain adalah defisiensi unsur hara, kemasaman, toksisitas, dan
kandungan air tanah. Sedangkan lahan untuk penanaman hijauan juga semakin berkurang, karena
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
164
lahan yang subur pada umumnya untuk tanaman pangan, perkebunan dan berbagai keperluan non
pertanian (Jamarun dan Mardiati Zain, 2012). Salah satu contoh adalah semakin luasnya lahan bekas
tambang batubara yang terdapat di dalam wilayah Propinsi Jambi. Hal ini disebabkan, karena
semakin tingginya aktivitas penambangan. Ratusan dan bahkan ribuan hektar lahan telah menjadi
rusak dan berubah menjadi lahan yang tidak produktif, karena adanya kerusakan struktur fisik dan
terdegradasinya unsur hara tanah, sehingga sulit bagi tanaman untuk tumbuh. Salah satu solusi
dalam pemecahannya adalah dengan memanfaatkan kembali lahan tersebut, dengan sentuhan
aplikasi teknologi biourin dan pupuk hayati mikoriza. Pemanfaatan biourin dan mikoriza sebagai
agen bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan bekas tambang merupakan salah satu
alternatif yang perlu dilakukan. Hal ini disebabkan, karena penggunaan pupuk kimia meskipun
meningkatkan hasil dan kualitas, tetapi penggunaannya secara berlebihan dan terus-menerus akan
merusak kelestarian lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mendapatkan dan
membuktikan bahwa pemanfaatan biourin dan fungi mikoriza arbuskula dalam menngkatkan
produktivitas lahan bekas tambang batu bara serta pengaruhnya terhadap hasil, kecernaan bahan
kering dan bahan organik hijauan.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kotabaru Kota Jambi selama 5 (lima) bulan. Analisis
bahan kering hijauan di laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi, dan analisa kecernaan
bahan kering dan bahan organik secara In-Vitro di laboratorium Nutrisi Ruminansia Fakultas
Peternakan Universitas Andalas.
Bahan dan Peralatan
Sebagai media tanam digunakan tanah bekas tambang batubara masing-masing 5 kg/pot.
Hijauan yang ditanam adalah rumput kumpai, dengan bahan tanam berupa potongan batang (stek),
masing-masing terdiri dari 3 stek, Fungi mikoriza arbuskula yang digunakan adalah jenis multiple
spora dengan merk dagang Cemiko I yang terdiri dari (Glomus sp, Acaulospora sp dan
Scutellospora sp,.), dan pupuk organik biourin. Sebagai pupuk dasar digunakan TSP (45% P2O5),
KCl (60% K2O), Urea (46% N), dan kapur pertanian CaCO3.
Peralatan yang digunakan adalah: peralatan pengolah tanah, pemotong rumput, mistar, alat
penyiram, kantong plastik, timbangan, dan peralatan laboratorium untuk analisa bahan kering dan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
165
kecernaan bahan kering dan bahan organik hijauan.
Metode Penelitian
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan empat macam perlakuan
dan lima kali ulangan. Keempat macam perlakuan tersebut adalah: 1) konsentrasi 0% biourin +
FMA 20 g/pot, 2) konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot, 3) konsentrasi
30% biourin + FMA 20 g/pot, dan 4) konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati adalah hasil bahan kering hijauan, kecernaan bahan kering dan
kecernaan bahan organik metode In-Vitro.
Pelaksanaan Penelitian
Sebelum rumput ditanam terlebih dahulu dilakukan pengambilan tanah untuk media tanam
secara komposit dari kedalaman 0-20 cm. Tanah tersebut dikering anginkan dan dibersihkan dari
akar tanaman dan bahan-bahan lain yang tidak diperlukan. Pemberian fungi mikoriza arbuskula
sebagai perlakuan berdasarkan pada hasil penelitian Syafria (2016) yaitu 20 g/pot. Sedangkan untuk
biourin sebagai perlakuan, digunakan biourin hasil aerasi selama 6 jam dan difermentasi selama 21
hari. Dua minggu sebelum tanam, kantong polybag disiapkan dan diisi tanah 5 kg/pot. Pemberian
pupuk TSP, KCl, Urea dan CaCO3, diberikan pada waktu yang bersamaan, dengan cara dicampur
dengan tanah dalam pot, kemudian diaduk agar homogen. Tanah yang sudah diberikan pupuk dasar
tersebut dibiarkan selama seminggu sampai saat penanaman. Pemberian mikoriza dilakukan pada
saat penanaman rumput, dengan cara memasukkan inokulum kedalam setiap lubang tanam.
Pemberian biourin dilakukan pada saat rumput berumur lebih kurang dua minggu setelah tanam).
Pengolahan Data
Pengolahan data secara statistik dalam Rancangan Acak Lengkap. Analisis ragam
dipergunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Hasil analisis
ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan Uji DNMRT (Duncan Multiple-
Range Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Bahan Kering Hijauan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
166
Hasil analisis ragam pada periode pemotongan pertama dan kedua, memperlihatkan bahwa
perlakuan berpengaruh (P<0,01) terhadap hasil bahan kering. Hasil bahan kering hijauan
ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Biourine dengan Fungi Mikoriza Arbuskula terhadap Hasil Bahan Kering
Hijauan (g/pot).
Perlakuan Periode Pemotongan
Pertama Kedua
Konsentrasi 0 % biourin + FMA 20 g/pot 50.60 d 56.60 d Konsentrasi 15 % biourin + FMA 20 g/pot 65.10 c 70.25 c
Konsentrasi 30 % biourin + FMA 20 g/pot 72.40 b 75.60 b Konsentrasi 45 % biourin + FMA 20 g/pot 78.10 a 82.34 a
Ket : Angka-angka pada lajur yang sama diikuti huruf kecil berbeda, adalah berbeda nyata
pada Uji DNMRT taraf 5%.
Hasil bahan kering hijauan periode pemotongan pertama dan kedua perlakuan konsentrasi
45% biourin + FMA 20 g/pot menunjukkan hasil tertinggi (P<0.05) dibanding perlakuan lainnya.
Rataan hasil bahan kering hijauan periode pemotongan kedua untuk semua perlakuan lebih tinggi
dibanding pemotongan pertama. Peningkatan hasil bahan kering ini erat hubungannya dengan
pertumbuhan bagian vegetatif tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif tanaman
pada setiap perlakuan menunjukkan hasil berbeda. Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20
g/pot menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih baik dibanding perlakuan
lainnya, baik pada periode pemotongan pertama maupun kedua.
Secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa hasil bahan kering pada perlakuan biourine +
FMA lebih tinggi dibanding perlakuan FMA saja. Hal ini disebabkan, karena mikoriza
membutuhkan pupuk organik sebagai sumber energi dan nutrisi, dan konsumsi oksigen menjadi
meningkat, sehingga tanaman lebih mampu menyerap garam–garam mineral dan suplai ion hidrogen
yang dapat dipertukarkan. Oleh karena itu, akar yang terinfeksi mikoriza memiliki energi kinetik
penyerapan jauh lebih besar dari akar yang tidak terinfeksi. Beinroth (2001) menyatakan bahwa
mikoriza dapat meningkatkan penyerapan hara dan air dari dalam tanah, yang memungkinkan
tanaman menghasilkan sel-sel baru dan hormon-hormon untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman,
memperbaiki agregat tanah sehingga proses aliran massa berjalan lebih baik. Oleh sebab itu,
perlakuan biourin dengan FMA lebih mampu berpengaruh terhadap peningkatan hasil bahan kering
dibanding perlakuan mikoriza tanpa biourin. Pada kondisi iklim yang sama, maka kesuburan tanah
lebih memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Syafria, 2009;
Mardani. 2004). Hasil penelitian Syafria (2016) pemberian FMA dan pupuk organik (kompos,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
167
kotoran sapi) di tanah kritis Ultisol juga dapat meningkatkan hasil bahan kering hijauan kumpai.
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Kecernaan bahan kering hijauan merupakan salah satu indikator untuk menilai kualitas hijauan
makanan ternak, karena dapat mencerminkan tingkat ketersediaan energi bagi ternak. Sedangkan
kecernaan bahan organik berhubungan dengan ketersediaan bahan organik hijauan, karena semakin
tinggi kandungan bahan organik, normalnya akan meningkatkan persentase bahan organik. Data
kecernaan bahan kering dan bahan organik dicantumkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Biourine dengan FMA terhadap Kecernaan Bahan Kering dan
Bahan Organik (%)
Perlakuan Kecernaan In-vitro
Bahan
Kering
Bahan
Organik Konsentrasi 0 % biourin + FMA 20 g/pot 50.43 c 48.43 c
Konsentrasi 15 % biourin + FMA 20 g/pot 51.54 c 49.15 c Konsentrasi 30 % biourin + FMA 20 g/pot 54.58 b 51.14 b
Konsentrasi 45 % biourin + FMA 20 g/pot 57.13 a 55.24 a
Ket : Angka-angka pada lajur yang sama diikuti huruf kecil berbeda, adalah berbeda
nyata pada Uji DNMRT taraf 0,05.
Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan berpengaruh (P<0,01) terhadap
kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Peningkatan kecernaan bahan kering dan
bahan organik organik ini disebabkan, karena adanya kemampuan mikoriza dalam membantu
penyerapan unsur hara dan air dalam tanah. Pupuk organik biourin diperlukan sebagai sumber
nutrisi dan energi bagi pertumbuhan dan perkembangan mikoriza, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan penyerapan unsur hara dan air oleh tanaman. Hal ini menyebabkan tanaman tumbuh
menjadi lebih subur, dan menghasilkan bahan kering serta kualitas lebih baik. Semakin meningkat
konsentrasi biourine dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Hal ini
berkaitan dengan kandungan bahan organik hijauan, semakin tinggi kandungan bahan organik akan
meningkatkan kecernaan bahan organik. Namun demikian, kecernaan bahan kering yang berbeda
pada tiap perlakuan, juga berpengaruh terhadap kecernaan bahan organik. Bahan organik merupakan
bagian dari bahan kering sehingga apabila bahan kering meningkat akan meningkatkan kandungan
bahan organik. Sutardi (1980) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering berkorelasi positif dengan
kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan kering yang berbeda akan mengakibatkan kecernaan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
168
bahan organik juga berbeda, dan peningkatan kecernaan bahan kering, juga memberikan indikasi
terhadap meningkatnya kecernaan bahan organik hijauan. Faktor lain yang juga berperan dalam
peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik adalah perkembangan mikroorganisme
tanah. Perkembangan mikroorganisme tanah adalah sebagai awal proses transfomasi nitrogen secara
biologis dalam tanah, yang akan menghasilkan konversi bentuk nitrogen organik menjadi bentuk
anorganik yang tersedia bagi tanaman (Widjayanto et al., 2001). Pupuk organik didalam tanah, akan
mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau
bahan organik tanah, sehingga bermanfaat bagi peningkatan produktivitas tanaman baik kuantitas
maupun kualitas.
KESIMPULAN
Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot menghasilkan bahan kering hijauan,
kecernaan bahan kering dan bahan organik lebih tinggi dibanding perlakuan konsentrasi 30%
biourin + FMA 20 g/pot, konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot dan konsentrasi 0% biourin +
FMA 20 g/pot.
DAFTAR PUSTAKA
Beinroth, F. H. 2001. Land resources for forage production in the tropics In Sotomayor-Rios A. Pitman
Wd (eds) Tropical Forage Plants Development and Use CRC Press. Pp 3 - 15. Jamarun, N. dan
Mardiati Zain. 2012. Dasar nutrisi ruminansia. Penerbit Jasa Surya Padang.
Mardani, Y, D. 2004. Pengaruh pupuk organik pada lahan marginal bekas penambangan pasir
terhadap produktivitas kacang tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Yogyakarta.
Sutardi, T. 1980. Landasan ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Syafna. 1996. Pengaruh penggenangan, pemupukan nitrogen dan interval pemotongan terhadap
pertumbuhan dan produksi rumput lokal kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.).
Thesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syafria, H. 1998. Pengaruh pemupukan nitrogen dan interval pemotongan terhadap pertumbuhan
dan perkembangan rumput lokal kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.). Laporan
Hasil Penelitian Kerja Sama Proyek Pengembangan Sebelas Lembaga Pendidikan Tinggi
(ADB Loan). Jambi.
Syafna. H. 2009. Efek pemupukan nitrogen dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi
rumput lokal kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.). Majalah Ilmiah Percikan
Bandung. Edisi Mei 2009. ISSN :0854 - 8986. Hal: 97-100. Bandung
Syafna. 2016. Peningkatan hasil dan nilai nutrisi rumput kumpai (Hymenachne amplexicaulis
(Rudge) Nees.) dengan fungi mikoriza arbuskula dan pupuk organik di Ultisol sebagai
makanan ternak. Disertasi. Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang.
Widjajanto, D.W., Honmura, T., Matsushita, K., and Miyauchi, N. 2001. Studies on the release of
Nfrom water hyacinth incorporated into soil-crop systems using N- labeling techniques. Pak.
J. Biol. Sci., 4 (9): 1075 - 1077.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
169