+ All Categories
Home > Documents > PEMBERIAN VITAMIN C PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS PUTIH …

PEMBERIAN VITAMIN C PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS PUTIH …

Date post: 03-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 3 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
93
TESIS PEMBERIAN VITAMIN C PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS PUTIH YANG TERPAPAR ALKOHOL MEMILIKI DIAMETER KALUS LEBIH TEBAL SERTA JUMLAH OSTEOBLAS DAN EKSPRESI OSTEOCALCIN LEBIH BANYAK DIBANDINGKAN TANPA PEMBERIAN VITAMIN C PUTU MEGA WIYASTHA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
Transcript

TESIS

PEMBERIAN VITAMIN C

PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS PUTIH YANG

TERPAPAR ALKOHOL MEMILIKI DIAMETER

KALUS LEBIH TEBAL SERTA JUMLAH

OSTEOBLAS DAN EKSPRESI OSTEOCALCIN LEBIH

BANYAK DIBANDINGKAN TANPA PEMBERIAN

VITAMIN C

PUTU MEGA WIYASTHA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

i

TESIS

PEMBERIAN VITAMIN C

PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS PUTIH YANG

TERPAPAR ALKOHOL MEMILIKI DIAMETER

KALUS LEBIH TEBAL SERTA JUMLAH

OSTEOBLAS DAN EKSPRESI OSTEOCALCIN LEBIH

BANYAK DIBANDINGKAN TANPA PEMBERIAN

VITAMIN C

PUTU MEGA WIYASTHA

NIM 1114118201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

ii

PEMBERIAN VITAMIN C

PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS PUTIH YANG

TERPAPAR ALKOHOL MEMILIKI DIAMETER

KALUS LEBIH TEBAL SERTA JUMLAH

OSTEOBLAS DAN EKSPRESI OSTEOCALCIN LEBIH

BANYAK DIBANDINGKAN TANPA PEMBERIAN

VITAMIN C

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PUTU MEGA WIYASTHA

NIM 1114118201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

iii

Lembar Pengesahan

Tesis Ini Telah Disetujui

Tanggal: 8 Nopember 2016

Mengetahui,

Pembimbing I,

Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT (K)

NIP 19480909 197903 1 002

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK

NIP 19580521 198503 1 002

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)

NIP 19590215 198510 2 001

Pembimbing II,

dr. K G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)

NIP 19660709 199412 1 001

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 8 Nopember 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No: 5389/UN14.4/HK/2016 Tanggal 2 Nopember 2016

Ketua: Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp. B., Sp.OT (K)

Anggota:

1. Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes

2. dr. K.G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)

3. dr. I Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K)

4. Dr. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)

v

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat-Nya tesis yang berjudul Pemberian Vitamin C Pada Fraktur Femur Tikus

Yang Terpapar Alkohol Memiliki Diameter Kalus Lebih Tebal Serta Jumlah

Osteoblas Dan Ekspresi Osteocalcin Lebih Banyak Dibandingkan Tanpa

Pemberian Vitamin C dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM, sebagai Rektor

Universitas Udayana.

Prof. Dr. dr Putu Astawa, SpOT, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), sebagai Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, sebagai Ketua Program

Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT (K), sebagai Ketua Program

Studi Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar

dan selaku pembimbing I, atas bimbingan dan arahannya dalam perbaikan

penelitian ini.

Dr. dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K), selaku Kepala Sub-Bagian/SMF

Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar, atas nasihat

dan bimbingannya untuk bisa terselesainya penelitian ini.

vii

dr. K G Mulyadi Ridia, SpOT (K), selaku pembimbing II, atas nasihat dan

bimbingannya untuk bisa terselesainya penelitian ini.

Seluruh staf pengajar Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana RSUP

Sanglah Denpasar atas dukungan guna terselesaikannya penelitian ini.

Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes dan staff atas dukungannya

terselesainya penelitian ini.

Semua dosen pengajar Combined Degree Pascasarjana Universitas Udayana

yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan.

Keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan demi

terselesainya penelitian ini serta rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu

dalam penelitian ini ini.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu

dengan segala keredahan hati penulis menerima saran dan kritik untuk perbaikan

penelitian ini.

Denpasar, Agustus 2016

Penulis

viii

ABSTRAK

PEMBERIAN VITAMIN C PADA FRAKTUR FEMUR TIKUS PUTIH

YANG TERPAPAR ALKOHOL MEMILIKI DIAMETER KALUS LEBIH

TEBAL SERTA JUMLAH OSTEOBLAS DAN EKSPRESI OSTEOCALCIN

LEBIH BANYAK DIBANDINGKAN TANPA PEMBERIAN VITAMIN C

Penyembuhan fraktur yang terpapar alkohol secara akut menyebabkan

terhambatnya proliferasi dan diferensiasi osteoblas akibat penekanan pada jalur

signal wnt/β catenin. Vitamin C memiliki efek merangsang proliferasi dan

diferensiasi osteoblas dengan menginduksi ekspresi EB1 untuk menstabilisasi jalur

signal wnt/β catenin. Pemberian vitamin C pada fraktur femur yang terpapar

alkohol diharapkan dapat meningkatkan penyembuhan fraktur yang ditandai

dengan diameter kalus yang lebih besar serta jumlah osteoblas dan ekspresi

osteocalcin yang lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian vitamin C.

Penelitian eksperimental randomized post-test only group design dengan

sampel 32 ekor tikus jantan jenis Wistar. Semua tikus terpapar alkohol selama 3

hari sebelum frakturisasi dengan dosis 2 gr/kg bb, kemudian dibagi menjadi 2

kelompok. Kelompok pertama tidak diberikan vitamin C, kelompok kedua

diberikan viamin C 200 mg/kg bb setiap 2 hari selama 2 minggu. Pada akhir minggu

kedua dilakukan sakrifasi untuk menilai efek perlakuan dengan pemerikasaan

histopatologi diameter kalus, jumlah osteoblas dan pemeriksaan imunohistokimia

ekspresi osteocalcin pada daerah fraktur.

Analisis statistik didapatkan rerata diameter kalus (µm) pada tikus dengan

pemberian vitamin C (3200,845 ± 1149,272) lebih tebal dibandingkan tanpa

pemberian vitamin C (2369,807 ± 550,756). Jumlah rerata osteoblas pada tikus

dengan pemberian vitamin C (484,000 ± 19,782) lebih banyak dibandingkan tanpa

pemberian vitamin C (468,250 ± 17,280). Ekspresi osteocalcin pada tikus dengan

pemberian vitamin C (20,562 ± 3,540) lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian

vitamin C (10,625 ± 1,784), pada uji independent t-test didapatkan perbedaan yang

signifikan antara kedua kelompok dengan diameter kalus p = 0,014 (p < 0,05),

jumlah osteoblas p = 0,023 (p< 0,05) dan ekspresi osteocalcin p = 0,000 (p < 0,05).

Pemberian vitamin C pada fraktur femur tikus putih yang terpapar alkohol

memiliki diameter kalus yang lebih tebal, jumlah osteoblas dan ekspresi osteocalcin

yang lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian vitamin C.

Kata kunci: Penyembuhan Fraktur, Alkohol, Vitamin C, Diameter Kalus,

Osteoblas, Osteocalcin

ix

ABSTRACT

ASCORBIC ACID ADMINISTRATION ON FEMORAL FRACTURED

RAT WITH ALCOHOL EXPOSURE HAVE HIGHER CALLUS

DIAMETER, OSTEOBLAST AND OSTEOCALCIN EXPRESION

COMPARED WITHOUT ASCORBIC ACID ADMINISTRATION

Fracture healing with acute alcohol exposure can lead to delayed bone healing.

Depression of wnt/β catenin signaling pathway that was caused by alcohol result in

decreased of proliferation and differentiation in osteoblast. Ascorbic acid has the

ability to promote proliferation and differentiation in osteoblast with induced EB1

for stabilization of wnt/β catenin signaling pathway. Ascorbic acid administration

was hoped to increase fracture healing time with increase callus diameter, increase

number of osteoblast and increase in number of osteocalcin expression compared

to those without ascorbic acid administration

The research was an experimental study with randomized post-test only group

design that was consists of 32 male Wistar rat as subject. All of rat were exposed

by alcohol with dossage 2 gr/kb bw for 3 days and divided into 2 groups. The first

group was without ascorbic acid administration and the second group with ascorbic

acid administration at a dosage of 200 mg/kg bw every 2 day for 2 weeks. At the

end of the second week callus diameter, osteoblast and osteocalcin expression on

fracture area was measured.

Statistical analysis showed that was higher callus diameter (µm) with ascorbic

acid administration (3200,845 ± 1149,272) compared with the group without

ascorbic acid administration (2369,807 ± 550,756). Osteoblast count was higher

with ascorbic acid administration (484,000 ± 19,782) compared with the group

without ascorbic acid administration (468,250 ± 17,280) and osteocalcin expression

count was higher with ascorbic acid administration (20,562 ± 3,540) compared with

the group without ascorbic acid administration (10,625 ± 1,784). Independent t-test

analysis showed that the difference was significant, with callus diameter p=0,014

(p< 0,05), osteoblast number p=0,023 (p< 0,05) and osteocalcin expression p=0,000

(p < 0,05).

Ascorbic acid administration on femoral fractured rat with alcohol exposure

have higher callus diameter, osteoblast and osteocalcin expression compared with

group without ascorbic acid administration.

Keywords: fracture healing, alcohol, ascorbic acid, callus diameter, osteoblast,

osteocalcin

x

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM .................................................................................................. i

PRASYARAT GELAR ........................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................................................... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. vi

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

ABSTRACT ........................................................................................................... ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL DAN SKEMA ....................................................................... xiv

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 6

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 6

1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................ 6

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 7

1.4.1 Manfaat akademis .......................................................................... 7

1.4.2 Manfaat praktis .............................................................................. 7

xi

BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 8

2.1 Anatomi dan Histologi Tulang .............................................................. 8

2.2 Proses Penyembuhan Pada Fraktur ..................................................... 13

2.3 Regulasi molekular osteoblas .............................................................. 17

2.4 Nutrisi yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur ........................... 19

2.5 Alkohol ................................................................................................ 20

2.6 Vitamin C ............................................................................................ 25

2.7. Perlakuan Hewan Coba ...................................................................... 28

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ....................... 30

3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................... 30

3.2 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................... 32

3.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 33

BAB IV METODELOGI PENELITIAN .............................................................. 34

4.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 34

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 35

4.3 Populasi dan Sampel ........................................................................... 36

4.3.1 Populasi ....................................................................................... 36

4.3.2 Kriteria Subjek ............................................................................. 36

4.3.3 Besar Sampel ............................................................................... 36

4.3.4 Teknik penentuan sampel ............................................................ 38

4.4 Variabel Penelitian .............................................................................. 38

4.4.1 Klasifikasi variabel ...................................................................... 38

4.4.2 Definisi operasional variabel ....................................................... 38

4.5 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................... 40

4.6 Prosedur Penelitian .............................................................................. 42

xii

4.6.1 Hewan coba ................................................................................. 42

4.6.2 Cara kerja ..................................................................................... 42

4.6.3 Pembuatan Sediaan Histopatologis dan Imunohistokimia .......... 45

4.7 Alur Penelitian ..................................................................................... 47

4.8 Analisis Data ....................................................................................... 48

BAB V HASIL PENELITIAN.............................................................................. 49

5.1 Analisis Sampel ................................................................................... 49

5.1.1 Analisis deskriptif ........................................................................ 49

5.2 Analisis Inferensial .............................................................................. 50

5.2.1 Uji normalitas dan homogenitas .................................................. 51

5.2.2 Uji Independent T-Test ................................................................ 52

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ................................................ 54

6.1 Subjek Penelitian ................................................................................. 54

6.2 Hubungan Pemberian Vitamin C dengan Diameter Kalus Pada Fraktur

Femur Tikus Yang Terpapar Alkohol. ................................................ 55

6.3 Hubungan Pemberian Vitamin C dengan Jumlah Osteoblas Pada Fraktur

Femur Tikus Yang Terpapar Alkohol. ................................................ 56

6.4 Hubungan Pemberian Vitamin C dengan Ekspresi Osteocalcin Pada

raktur Femur Tikus Yang Terpapar Alkohol. .................................... 57

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 59

7.1 Simpulan ............................................................................................. 59

7.2 Saran .................................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... 63

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi tulang panjang ...................................................................... 9

Gambar 2.2 Gambaran Histologi Osteoblas.......................................................... 11

Gambar 2.3 Gambaran Histologi Osteosit ............................................................ 12

Gambar 2.4 Gambaran Histologi Osteoklas.......................................................... 12

Gambar 2.5 Fase Penyembuhan Fraktur Tulang Panjang pada Manusia .............. 13

Gambar 2.6 Tahap Penyembuhan Fraktur pada Tikus .......................................... 15

Gambar 2.7 Faktor transkripsi dan faktor pertumbuhan yang merangsang

proliferasi osteoblas di setiap stadium yang berbeda ....................... 17

Gambar 2.8 Intracellular Signaling Pathways dalam regulasi pembentukan

osteoblas ........................................................................................... 18

Gambar 2.9 Asam askorbat (Asc) memfasilitasi diferensiasi osteogenik dengan

meningkatkan sekresi kolagen tipe 1 ............................................... 27

Gambar 2.10 Mekanisme pengaruh EB1-β catenin pada diferensiasi osteoblas

yang diinduksi oleh asam askorbat .................................................. 28

xiv

DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Skema 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian .............................................................. 31

Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................... 32

Skema 4.1 Rancangan Penelitian…........................................................................34

Skema 4. 2 Alur Penelitian.................................................................................... 47

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok…......49

Tabel 5. 2 Rerata diameter kalus, jumlah osteoblas dan ekspresi osteocalcin pada

masing-masing kelompok ..................................................................... 50

Tabel 5.3 Uji normalitas data variabel penelitian dengan Shapiro-Wilk .............. 51

Tabel 5.4 Uji homogenitas varian data variabel penelitian dengan Levene's test . 51

Tabel 5.5 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok

perlakuan dan kontrol ........................................................................... 52

xv

DAFTAR SINGKATAN

AA : Asam Askorbat/Vitamin C

AP-1 : activator protein-1

BMD : Bone Marrow Density

BMU : Basic multicellular units

BMP-2 : bone morphogenic protein 2

BRU : Bone remodeling units

Cox-2 : cyclo-oxygenase-2

CREB : cAMP responsive element binding protein

CTX : C-terminal telopeptide

DPD : deoxypyridinoline

ER-α : estrogen receptor-α

GSK-3β : glikogen sintase kinase-3β

HYP : hydroxyproline

IGF-1 : Insulin Growth Factor-1

MAPK : mitogen-activated protein kinase

MSC : Mesenchymal stem cell

NF-B : nuclear factor-B

NTX : N-terminal telopeptide

OPG : Osteoprotegerin

PYD : pyridinoline

PKA : protein kinase-A

PLC : Phospholipase-C

RANKL : Receptor activator of nuclear factor kappa-B ligand

SMADs : mothers against decapentaplegic homolog

TCF/LEF : T-cell factor/lymphoid enhancer factor

TGF-β : Transforming Growth Factor-β

TRAP : tantrate-resistant acid phospatase

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian

Lampiran 3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Histopatologi dan

Imunohistokimia

Lampiran 4. Data Analisis SPSS

Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Histopatologis dan Imunohistokimia

Lampiran 6. Foto Dokumentasi Penelitian

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alkohol merupakan faktor risiko untuk kerusakan tulang dan

penyembuhan fraktur. Konsumsi alkohol yang berlebihan menyebabkan

terhambatnya penyembuhan fraktur. Penyembuhan fraktur yang terhambat

menyebabkan morbiditas dan pembiayaan yang tinggi pada penanganannya, oleh

karena itu perlu dilakukan bagaimana cara memperbaiki penyembuhan fraktur yang

terhambat pada penderita dengan konsumsi alkohol yang berlebihan.

Konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan salah satu faktor yang

menghambat penyembuhan fraktur selain faktor usia, komorbiditas dan obat-

obatan. Peningkatan usia merupakan faktor dalam penghambatan penyembuhan

fraktur. Studi klinis telah menunjukkan pasien dengan komorbid diabetes mellitus

memiliki insiden nonunion, delayed union mencapai dua kali lipat dibandingkan

dengan pasien non diabetes. Pasien dengan fraktur harus memiliki status gizi yang

baik terutama kalsium, fosfor, protein, vitamin C dan D yang merupakan faktor

yang mempengaruhi penyembuhan patah tulang (Gaston & Simpson 2007).

Faktor yang mempengaruhi penyembuhan patah tulang yaitu faktor lokal

dan sistemik, dimana faktor lokal meliputi infeksi, tumor/keganasan, radioterapi,

jaringan lunak yang cedera, derajat bone loss, reduksi fraktur, Cedera

neurovaskular, tempat cedera pada tulang (daerah diafisis lebih lambat dari

metafisis), interposisi jaringan lunak pada tempat fraktur, fiksasi fraktur yang

2

digunakan. Konsumsi alkohol, merokok, diabetes mellitus, nutrisi, umur, obat-

obatan, dan hormon merupakan contoh faktor sistemik yang menyebabkan

penghambatan penyembuhan fraktur (Little et al. 2011).

Faktor sistemik seperti pemberian kortikosteroid yang berkepanjangan

menyebabkan osteoporosis dan peningkatan risiko fraktur sebagai akibat dari efek

penghambatan pada produksi IGF-1 (Insulin Growth Factor 1) dan TGF-β (Tumor

Growth Factor β). Faktor sistemik yang lain yaitu konsumsi alkohol meningkatkan

insiden terhambatnya penyembuhan fraktur dibandingkan dengan pasien tanpa

alcohol. Alkohol menyebabkan osteopenia karena penurunan pembentukan tulang

dan peningkatan penyerapan tulang (Gaston & Simpson 2007).

Tingkat fraktur antara pecandu alkohol hingga empat kali lebih tinggi

dibandingkan dengan non-pecandu alkohol dimana sering datang dengan

osteopenia atau osteoporosis. Selain itu, keracunan alkohol akut ditunjukkan dalam

25-40% dari pasien dengan trauma orthopaedi. Penyembuhan fraktur memerlukan

mobilisasi dan diferensiasi sel-sel mesenchymal dan prekursor osteoblas dari

tempat cedera (Lauing et al. 2013).

Konsumsi alkohol jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan dan

penggantian jaringan tulang (bone remodeling) yang mengakibatkan kepadatan

tulang menurun dan peningkatan risiko fraktur. Secara histologis penurunan

pembentukan tulang ditandai dengan berkurangnya serum osteocalcin, protein yang

disekresikan oleh osteoblas. Penurunan tingkat osteocalcin setelah asupan alkohol

menunjukkan bahwa alkohol memiliki efek toksik pada aktivitas dan proliferasi

osteoblast (Elmali et al. 2002).

3

Konsumsi alkohol kronis dikaitkan dengan peningkatan risiko fraktur dan

kejadian osteoporosis. Dalam studi in vitro yang menyelidiki efek alkohol pada

tulang telah menunjukkan berkurangnya jumlah dan fungsi osteoblas dan juga

menunjukkan kemungkinan peningkatan jumlah osteoklas yang mengakibatkan

peningkatan resorpsi tulang (Dyer et al. 1998).

Pada studi in vitro menunjukkan bahwa paparan etanol menghambat

proliferasi sel osteoblas. Analisis histomorfometrik pada tulang manusia

menunjukkan penurunan volume tulang trabekular, penurunan jumlah osteoblas,

penurunan tingkat aposisi mineral tulang, dan penurunan tingkat pembentukan

tulang dengan peningkatan waktu mineralisasi tulang serta terjadi peningkatan

resorpsi tulang, yang menunjukkan gangguan pembentukan dan mineralisasi tulang

(Dyer et al. 1998).

Pada studi in vivo, alkohol menyebabkan penekanan fungsi dan jumlah

osteoblas, sedangkan pada penelitian in vitro menunjukkan dampak langsung

alkohol pada diferensiasi osteoblas. Pada sumsum tulang manusia terdapat

mesenchymal stem cell (MSC), yang merupakan cikal bakal dari adiposit, osteoblas

dan kondrosit, dimana pada penelitian in vitro paparan alkohol menyebabkan

induksi osteogenik yang menurunkan ekspresi kolagen tipe I, yang merupakan 90

% dari matriks tulang. Selain itu, paparan alkohol menekan marker osteogenesis

pada MSC pada saat pembentukan osteoblas (Wezeman & Gong 2004).

Pada penelitian hewan coba pada tikus dimana alkohol diberi secara

peroral yang mengandung 35 % etanol selama 6 minggu. Pada pemeriksaan

histopatologi tulang tibia menunjukkan penurunan jumlah permukaan tulang yang

4

mengandung osteoblas aktif dan penurunan ketebalan dinding tulang secara

signifikan (Dyer et al. 1998). Pada studi Eksperimental lain yaitu penyembuhan

fraktur tibia pada tikus yang diberi diet cair yang mengandung 7,2 % etanol selama

8 minggu kemudian dilakukan studi histologis dan osteodensitometrik

menunjukkan bahwa tikus yang diberi diet yang dicampur dengan etanol secara

histologis terjadi penyembuhan fraktur yang tertunda. Selain efek negatif etanol

pada metabolisme tulang, juga mengganggu proses penyembuhan fraktur (Elmali

et al. 2002).

Pada percobaan hewan coba pada tikus yang diberi alkohol jenis etanol

20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan perhari

selama 3 hari berturut-turut kemudian dilakukan frakturisasi tibia dan difiksasi

intramedulary wire. Pada hari ke-14 post fraktur didapatkan penurunan volume

kalus fraktur, diameter, dan kekuatan biomekanik tulang. Secara histologi

menunjukkan penurunan pembentukaan tulang dan tulang rawan pada daerah

fraktur, dan alkohol yang menghambat maturasi tulang rawan (Lauing et al. 2013).

Vitamin C atau asam askorbat (AA) adalah vitamin yang larut dalam air

yang penting untuk pembentukan kolagen, kulit, tendon, ligamen, dan pembuluh

darah serta penyembuhan luka dan pemeliharaan tulang rawan, tulang, dan gigi.

Asam askorbat merupakan antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas

yang dapat merusak organ-organ, jaringan, dan sel (Hon 2013). Vitamin C

menunjukkan dapat menginduksi mesechymal stem cell untuk berubah menjadi

osteoblas. Mekanisme vitamin C yang menginduksi proliferasi osteoblas dimediasi

melalui sintesis kolagen tipe I, interaksi antara alpha2- dan beta1-integrin, aktivasi

5

dari mitogen-activated protein kinase pathway, dan fosforilasi osteoblast-specific

transcription factors (Carinci et al. 2005).

Proses penyembuhan fraktur memerlukan nutrisi untuk sistem skeletal

lebih banyak daripada normal (Brown 1999). Nutrisi yang diperlukan dapat berupa

bahan yang bersifat antioksidant seperti vitamin E, Vitamin C, atau alpha-lipoic

acid, serta beberapa mineral penting dalam bone turnover seperti kalsium, fosfor,

atau zinc. Protein dalam bentuk asam amino juga dibutuhkan untuk pembentukan

produk kolagen tipe-I sebagai bahan matriks tulang (Brown 1999; Sousa et al.

2015).

Pada percobaan hewan coba pada tikus dimana diberi vitamin C dengan

cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan perhari selama 3

hari berturut-turut sebelum dilakukan fraktur dan fiksasi pada tulang tibia dan

dilanjutkan pemberian 3 kali seminggu selama 3 minggu, menunjukkan pada

minggu kedua dan ketiga kalus pada tikus yang diberi vitamin C lebih tinggi secara

radiologis dan histologis dibandingkan dengan kalus pada tikus tanpa pemberian

vitamin C (Sarisözen et al. 2002).

Mekanisme penyembuhan fraktur yang terhambat akibat terpapar alkohol

disebabkan karena penekanan terhadap aktivitas dan proliferasi osteoblas. Jika

aktivitas dan proliferasi osteoblas dapat diperbaiki maka penyembuhan fraktur yang

terhambat akibat terpapar alkohol dapat ditanggulangi. Vitamin C memiliki efek

menginduksi proliferasi osteoblas, maka perlu dilakukan penelitian efek vitamin C

pada penyembuhan fraktur yang terpapar alkohol.

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih yang

terpapar alkohol menunjukkan diameter kalus yang lebih tebal

dibandingkan tanpa pemberian vitamin C

2. Apakah pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih yang

terpapar alkohol menunjukkan jumlah osteoblas yang lebih banyak

dibandingkan tanpa pemberian vitamin C

3. Apakah pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih yang

terpapar alkohol menunjukkan ekspresi osteocalcin yang lebih banyak

dibandingkan tanpa pemberian vitamin C

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Membuktikan pemberian vitamin C pada fraktur femur tikus putih yang

terpapar alkohol menunjukkan penyembuhan fraktur yang lebih baik

dibandingkan tanpa pemberian vitamin C.

7

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membuktikan pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih

yang terpapar alkohol menunjukkan diameter kalus yang lebih tebal

dibandingkan tanpa pemberian vitamin C

2. Membuktikan pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih

yang terpapar alkohol menunjukkan jumlah osteoblas yang lebih banyak

dibandingkan tanpa pemberian vitamin C.

3. Membuktikan pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih

yang terpapar alkohol menunjukkan ekspresi osteocalcin yang lebih banyak

dibandingkan tanpa pemberian vitamin C.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pengaruh vitamin C

mempercepat penyembuhan fraktur yang terpapar alkohol.

1.4.2 Manfaat praktis

Bila hasil penelitian vitamin C terbukti dapat mempercepat penyembuhan

fraktur yang terpapar alkohol, maka vitamin C dapat digunakan sebagai

salah satu alternatif untuk mempercepat penyembuhan fraktur yang terpapar

alkohol.

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Tulang

Tulang merupakan salah satu organ terbesar dalam tubuh yang menerima

sekitar 5-10 % darah dari cardiac output. Tulang berperan dalam memberikan

dukungan biomekanik yang memungkinkan terjadinya gerakan, haematopoiesis

dan homeostasis kalsium. Tulang juga merupakan suatu biomaterial viskoelastis

yang terdiri dari sel-sel (10%) yang terdapat di dalam matriks (90%). Matriks terdiri

dari komponen organik dan anorganik (Little et al. 2011).

Komponen selular dari tulang terdiri dari osteogenic precursor cell,

osteoblas, osteoklas, osteosit, dan elemen hematopoietik dari sumsum tulang.

Osteogenic precursor cell terdapat pada periosteum dan endosteum. Periosteum

merupakan jaringan ikat yang menutupi tulang, kecuali pada permukaan

persendian, yang terdiri atas lapisan luar dan lapisan dalam. Lapisan luar terdiri dari

jaringan ikat padat yang iregular sedangkan lapisan dalam disebut juga osteogenic

layer terdiri dari sel-sel osteogenic. Pada endosteum hanya terdapat selapis sel

osteogenic dan tidak mengandung komponen jaringan ikat (Kalfas, Iain 2001).

Tulang aktif secara metabolik, merupakan jaringan ikat khusus yang

terus-menerus mengalami renovasi (remodeling), dimana terjadi proses pergantian

jaringan tulang lama dengan jaringan tulang baru untuk beradaptasi terhadap beban

dan tegangan secara mekanik. Tulang pada dasarnya berfungsi untuk menyediakan

tidak hanya dukungan struktural dan perlindungan terhadap organ tubuh, tetapi juga

9

sebagai reservoir untuk kalsium, magnesium, dan fosfat, ion yang penting dalam

fisiologi tubuh. Tulang merupakan suatu komposit yang unik dari sel-sel yang

tertanam dalam struktur matriks ekstraselular yang distabilkan oleh mineral, yaitu

kalsium hidroksiapatit (Lauing et al. 2013).

Gambar 2.1 Anatomi tulang panjang (Lauing et al. 2013).

Ada dua tipe dasar tulang: lapisan luar tulang korteks yang padat

(compact) berfungsi terutama untuk proteksi, dan lapisan dalam tulang kanselus

(trabecular, spons) yang terdiri dari kompartemen sumsum merah di ujung tulang

panjang. Lapisan jaringan ikat padat yang disebut periosteum mengelilingi

permukaan luar dari tulang kortikal dan berisi pembuluh darah yang memberikan

nutrisi untuk tulang, fibroblas, pericytes dan sel-sel progenitor multipoten dengan

kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi tulang, tulang rawan, lemak, dan otot.

10

Rongga sumsum dibatasi oleh endosteum, yang juga berisi pembuluh darah,

osteoklas, osteoblas, dan sel-sel progenitor hematopoietik (Lauing et al. 2013).

Tipe tulang dibagi menjadi tulang imatur dan matur. Tulang imatur

dikenal sebagai woven bone. Fibril kolagen yang dibentuk oleh osteoblas

mengurangi kekuatan tetapi meningkatkan fleksibilitas tulang. Tulang imatur

terlihat pada masa janin/embryonic bone, pada penyembuhan patah tulang dan

keadaan patologis pada tulang (tumor atau infeksi dengan tingkat turnover tulang

yang tinggi). Tulang matur yaitu tulang kortikal (kompak) atau tulang kanselus

(trabekular, spon). Tulang kortikal membentuk 80% dari keseluruhan tulang dan

ditandai oleh sistem Haversian atau osteons. Dimana fibril kolagen secara paralel

membentuk cincin di sekitar kanal Haversian. Osteosit terperangkap di dalam

lakuna yang berkomunikasi satu sama lain dan kanal Haversian melalui kanalikuli.

Di dalam lanal Haversian terdapat anyaman neurovaskular. Kanal Volkmann

berjalan tegak lurus dengan kanal Haversian dan bergabung dengan suplai darah

periosteal menuju sirkulasi pusat (Little et al. 2011).

Osteoblas dan osteoklas terdapat pada permukaan tulang kompak dan

tulang kanselus untuk membentuk dan menyerap tulang. Sel-sel progenitor

multipoten di periosteum dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang dan tulang

rawan, yang penting ketika cedera terhadap tulang. Dua jenis sel utama langsung

bertanggung jawab untuk pemeliharaan massa tulang adalah osteoklas (penyerapan

tulang) dan osteoblas (pembentuk tulang). Sel ini diatur dalam bone remodeling

units (BRU) atau basic multicellular units (BMU), yang mempertahankan aktivasi

yang berkesinambungan dari osteoklas diikuti oleh osteoblas yaitu resorpsi diikuti

11

pembentukan tulang. Osteoblas mensekresikan matriks organik unmineralized

yaitu osteoid, yang sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I, selain proteoglikan,

glikoprotein, dan protein noncollagenous lainnya seperti osteocalcin (Lauing et al.

2013).

Osteoblas yang telah dewasa/ matang secara metabolik aktif dan merupakan

bone forming cells. Osteoblas mensekresikan osteoid yang merupakan

unmineralized organic matrix yang kemudian mengalami proses mineralisasi yang

menyebabkan tulang menjadi keras dan kaku. Sebagian dari osteoblas berubah

menjadi osteosit, sedangkan sebagian lainnya tetap berada di permukaan

periosteum dan endosteum (Kalfas, Iain 2001).

Osteoblas juga mengeluarkan enzim seperti alkali fosfatase dan

osteocalcin, yang penting untuk mineralisasi matriks dan berfungsi sebagai

penanda aktivasi dan maturasi osteoblas. Osteoblas mengontrol pembentukan

osteoklas dengan mengeluarkan receptor activator of nuclear factor kappa-B

ligand (RANKL) yang mendukung (Lauing et al. 2013).

Gambar 2.2 Gambaran Histologi Osteoblas (Nasution 2016).

12

Osteosit merupakan osteoblas dewasa yang terjebak dalam bone matriks.

Setiap osteosit melakukan kontak dengan osteosit lainnya dan pembuluh darah

melalui kanalikuli. Osteosit berperan dalam regulasi konsentrasi kalsium dan fosfat

ekstraseluler serta dalam reaksi adaptasi terhadap lingkungan local (Kalfas, Iain

2001).

Gambar 2.3 Gambaran Histologi Osteosit (Nasution 2016).

Osteoklas adalah multinucleated, bone-resorbing cells, yang diregulasi

oleh mekanisme hormonal dan seluler. Sel ini berperan dalam resorpsi tulang. Pada

proses tersebut osteoklas melekat pada permukaan tulang dan melepaskan enzim

hidrolitik yang menyebabkan hidrolisis dari matriks tulang dan calcified cartilage.

Proses tersebut menghasilkan terbentuknya cekungan pada tulang yang disebut

lakuna Howship (Kalfas, Iain 2001).

Gambar 2.4 Gambaran Histologi Osteoklas (Nasution 2016).

13

2.2 Proses Penyembuhan Pada Fraktur

Penyembuhan fraktur dibagi menjadi dua kategori yaitu penyembuhan

fraktur primer (langsung) dan penyembuhan fraktur sekunder (tidak langsung).

Penyembuhan fraktur primer terjadi apabila dilakukan reduksi anatomis pada

fragmen patahan tulang dimana terjadi kontak langsung antar tulang kortikal.

Kemudian terjadi kompresi antar fragmen dan tidak ada gerakan pada permukaan

fraktur. Hal ini menyebabkan stabilitas yang absolut (Little et al. 2011; Sfeir et al.

2005).

Pada penyembuhan fraktur sekunder ditandai dengan penyembuhan

fraktur yang spontan tanpa adanya fiksasi yang rigid pada daerah fraktur, tapi

memerlukan adanya micromotion dan weight-bearing, namun apabila terjadi

pergerakan dan beban yang berlebih dapat menyebabkan delayed union atau

nonunion (Sfeir et al. 2005). Pada penyembuhan fraktur sekunder terjadi dalam

beberapa tahap yaitu fase inflamasi/hematoma, fase perbaikan/reparasi (soft callus

dan hard callus) dan fase remodeling (Little et al. 2011).

Gambar 2.5 Fase Penyembuhan Fraktur Tulang Panjang pada Manusia (Lauing et

al. 2013).

14

Proses penyembuhan fraktur diatur dan dikoordinasikan oleh proses yang

memerlukan diferensiasi tulang dan tulang rawan dari mesenchymal stem cell

(MSC) dan sel osteoprogenitor. Pada awalnya proses inflamasi memicu

pembentukan hematoma yang memicu perekrutan dan proliferasi MSC pada tempat

fraktur dan pembentukan jaringan granulasi. Jaringan ini mendukung diferensiasi

MSC menjadi kondrosit dan osteoblas, yang mensintesis tulang rawan dan tulang

melalui jaringan kalus tulang (Lauing et al. 2013).

Pada fase inflamasi terjadi kerusakan endotel vaskular menyebabkan

pembentukan hematom, kaskade komplemen dan kaskade pembekuan yang

mengakibatkan akumulasi polymorphonuclear neutrophil’s (PMN), lymphocytes,

platelets, monocytes, macrophages, neutrophils, osteoklas dan undifferentiated

cells. Sel-sel tersebut mengekspresikan TGF-β, FGF-I, FGF-II, PDGF, IGF-I, IGF-

II, BMP-2,-4,-7, osteonectin, BMPR I/II, IL-1, IL-6 dan GMCSF. Pada fase

pembentukan kalus fibrokartilago (soft callus) terjadi pembentukan jaringan

fibrous, tulang rawan baru dan revaskularisasi. Sel yang terlibat diantaranya

makrofag, kondroblas, kondrosit, osteoklas, fibroblas, endothelial cell dan adanya

ekspresi TGF-β, FGF-1, FGF-2, PDGF, IGF-I, IGF-II, BMP-2,-4,-7, osteonectin,

fibronectin, BMPR I/II, smads I/II, IL-1, IL-6 dan kolagen (II,III,IV,V,VI,IX,X)

(Sfeir et al. 2005).

Pada fase pembentukan bony kalus (hard callus) terjadi osifikasi

intramembranous dan endochondral. Sel yang terlibat diantaranya makrofag,

kondroblas, kondrosit, osteoklas, osteoblas, endothelial cell dan adanya ekspresi

TGF-β, FGF-1, FGF-2, PDGF, IGF-I, IGF-II, BMP-2,-4,-7, osteonectin,

15

osteopontin, osteocalcin, BMPR I/II, smads 2,3,4, IL-1, IL-6 dan kolagen

(I,II,III,IV,V,VI,IX,X). Pada fase remodeling terjadi pergantian woven bone

menjadi lamellar bone dan penyerapan kalus yang berlebih. Perubahan yang

bertahap pada daerah fraktur merestorast bentuk normal tulang (Sfeir et al. 2005).

Waktu dan durasi dari setiap tahap proses penyembuhan fraktur pada

tulang tikus dijelaskan pada gambar dibawah ini. Tahap inflamasi terjadi dalam 0-

3 hari, tahap periosteal proliferationi terjadi dalam 3-5 hari, tahap

intramembraneous bone formation terjadi dalam 5-10 hari, tahap condrogenesis

terjadi dalam 10-16 hari, tahap endochondral bone formation terjadi dalam 16-21

hari, tahap callus remodeling terjadi dalam 21-35 hari. Kalus yang terbentuk pada

union tulang tikus terjadi dalam waktu 4 minggu penyembuhan fraktur (Strohbach

et al. 2011).

Gambar 2.6 Tahap Penyembuhan Fraktur pada Tikus

(Strohbach et al. 2011).

16

Bone turnover marker merupakan produk dari aktivitas sel tulang dan secara

umum dibagi menjadi 3 katergori: bone resorption marker, bone formation marker

dan osteoclast regularity protein. Bone resorption marker merupakan hasil dari

degradasi kolagen tipe I seperti C-terminal telopeptide (CTX), N-terminal

telopeptide (NTX) of type I collagen, CTX-matrix metalopreteinase (ICTP),

hydroxyproline (HYP), collagen crosslinks [pyridinoline (PYD), deoxypyridinoline

(DPD)] dan enzim yang dikeluarkan oleh sel osteoklas yang bernama tantrate-

resistant acid phospatase (TRAP) 5b isoform (Sousa et al. 2015).

Marker dari bone formation berasal dari aktivitas sel osteoblas, yang

terbentuk dari proloferasi dan diferensiasi osteoblas, yaitu bone alkali phospatase

(BALP), osteocalcin (OC), N-terminal propeptide (PINP) dan C-

terminalpropeptide (PICP) of type I procollagen. Yang termasuk dalam osteoclast

regulatory protein adalah receptor activator of nuclear factor NF-kB ligand

(RANKL) yang di produksi oleh osteosit, osteoblas dan sistem sel imun, yang mana

bertanggung jawab untuk aktivasi, diferensiasi dan ketahanan sel osteoblas, dan

juga membrane-bound reseptor (RANK) dalam osteoclast precussor cell.

Osteoblas, osteosit dan stem sel juga memproduksi osteoprotegerin (OPG), yang

mana menghambat bone resorption dengan berikatan RANKL. Keseimbangan

antara OPG dan RANKL berperean dalam regulasi aktifitas sel osteoklas (Sousa et

al. 2015).

17

Gambar 2.7 Faktor transkripsi dan faktor pertumbuhan yang merangsang

proliferasi osteoblas di setiap stadium yang berbeda (Strohbach et al. 2011).

2.3. Regulasi molekular osteoblas

Regulasi pertumbuhan dan diferensiasi osteoblas dipengaruhi oleh growth

factor yaitu transforming growth factor-β (TGF-β), insulin-like growth factors

(IGFs), bone morphogenetic proteins (BMPs), vascular endothelial growth factor

(VEGF) sedangkan faktor transkripsi meliputi Runx2, Osterix (Osx) dan Wnt/β

catenin. Diferensiasi osteoblas dimulai dengan pembentukan sel osteoprogenitor

dari sel mesenchymal , diikuti oleh diferensiasi progresif mereka menjadi osteoblas

matur yang mengekspresikan gen osteoblas, dan berakhir dengan menjadi osteosit

dalam matriks tulang (Papachroni et al. 2009).

18

Runx2 berinteraksi dengan beberapa protein dalam inti sel untuk

megaktifkan gen yang mengontrol program ploriferasi dan diferensiasi osteoblas.

Transkripsi osx diatur oleh runx2 dengan berikatan dengan nuclear factor of

activated T cells (NFAT) yang mengakibatkan aktifasi COLIA1. Pada studi lain

juga menunjukkan osx-NFAT mengaktifasi wnt/β catenin yang menyebabkan

meningkatnya pembentukan dan massa tulang (Papachroni et al. 2009).

Stimulasi mekanoreseptor pada sel osteoblast (integrin dan calcium

channels) beserta dengan faktor pertumbuhan (TGF-/BMP, IGF, VEGF, PDGF)

akan menginduksi beberapa faktor transkripsi yang mengatur pembentukan dan

diferensiasi osteoblast. Aktifasi Wnt-β catenin signaling pathway memiliki fungsi

anabolik terhadap osteoblas, dimana akumulasi β catenin dan translokasinya di

Gambar 2.8 Intracellular Signaling Pathways dalam regulasi pembentukan

osteoblas (Papachroni et al. 2009).

19

nukleus kemudian berikatan dengan faktor transkripsi yaitu T-cell factor (TCF) atau

lymphoid enhancer factor (LEF) mengaktifasi runx2 yang penting dalam

diferensisasi osteoblas (Papachroni et al. 2009).

2.4. Nutrisi yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur

Penyembuhan fraktur memerlukan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan

dengan kondisi normal. Tahap awal penyembuhan fraktur memerlukan energi yang

cukup besar yang biasanya diperoleh dari kalori yang berasal dari makanan. Pada

tahap berikutnya, diperlukan sintesis protein sehingga diperlukan suplai asam

amino yang diperoleh dari makanan yang mengandung protein. Pada fraktur juga

terjadi proses pembentukan radikal bebas yang menyebabkan terjadinya oxidative

stress yang kemudian dapat menyebabkan habisnya cadangan antioksidan dalam

tubuh sehingga diperlukan antioksidan tambahan yang berasal dari makanan-

makanan yang mengandung antioksidan. Selain itu diperlukan juga asupan mineral

dan vitamin untuk membantu penyembuhan tulang (Brown 1999).

Pada fraktur terjadi kerusakan jaringan yang kemudian akan menghasilkan

radikal bebas. Radikal bebas tersebut berkaitan dengan proses pengrusakan

terhadap kolagen tulang dan bone turnover yang berlebihan. Pada penyembuhan

fraktur, meningkatnya produksi radikal bebas dapat menyebabkan habisnya

cadangan antioksidan dalam tubuh. Pada keadaan tersebut, pemberian antioksidan,

seperti vitamin E, vitamin C, lycopene, dan alpha-lipoic acid, dapat mengurangi

efek destruktif yang disebabkan oleh radikal bebas sehingga akan dapat membantu

penyembuhan fraktur (Brown 1999).

20

Protein dan mineral diperlukan untuk membangun struktur tulang,

sedangkan vitamin diperlukan sebagai katalis terhadap beberapa reaksi biokimia.

Pada penyembuhan fraktur diperlukan sejumlah vitamin, yaitu vitamin B, vitamin

C, vitamin D, dan vitamin K. Vitamin B6 berperan dalam penyembuhan fraktur

dikarenakan vitamin B6 memodulasi efek dari vitamin K terhadap tulang melalui

jalur biokimia yang kompleks. Vitamin C diperlukan untuk sintesis collagen

protein matrix, selain itu vitamin C juga berfungsi sebagai antioksidan (Brown

1999).

Pada beberapa penelitian pada hewan ditemukan bahwa pemberian

suplemen vitamin C pada tikus dapat mempercepat penyembuhan fraktur dan

didapatkan juga pada tikus dengan kadar vitamin C dalam darah yang lebih tinggi

mempunyai kalus yang lebih kuat daripada tikus dengan kadar vitamin C dalam

darah yang lebih rendah. Vitamin D merupakan regulator utama absorpsi kalsium,

selain itu ditemukan juga bahwa vitamin D dan vitamin K menstimulasi perubahan

stem cell pada area fraktur untuk menjadi sel osteoblas. Vitamin K berperan dalam

proses biokimia untuk melekatkan kalsium pada tulang serta vitamin K berperan di

dalam pembentukan protein tulang osteocalcin. Vitamin K juga berperan untuk

menyimpan kalsium dengan cara mengurangi hilangnya kalsium pada urin

(Delgado-Martinez et al. 1998; Brown 1999).

2.5 Alkohol

Alkohol sering dipakai untuk menyebut etanol, yang juga disebut grain

alkohol dan kadang untuk minuman yang mengandung alkohol. Hal ini disebabkan

21

karena etanol yang digunakan sebagai bahan dasar pada minuman tersebut, bukan

metanol, atau grup alkohol lainnya. Begitu juga dengan alkohol yang digunakan

dalam dunia farmasi. Alkohol yang dimaksudkan adalah etanol.

Dalam kimia, alkohol (atau alkanol) adalah istilah yang umum untuk senyawa

organik yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon, yang

ia sendiri terikat pada atom hidrogen dan/atau atom karbon lain (Blaha & Rusnak

2004; Mcdonnell & Russell 1999; Smith & Becker 1983).

Alkohol dapat dikelompokkan menjadi alkohol primer, alkohol sekunder,

dan alkohol tersier, tergantung dari berapa banyak atom karbon lain yang berikatan

dengan atom karbon yang juga mengikat gugus hidroksil. Etanol dan n-propil

alkohol adalah contoh alkohol primer; isopropil alkohol adalah contoh alkohol

sekunder. Dosis lethal etanol (LD50) yaitu 8300mg/kg berat badan peroral yang

diujikan pada hewan coba tikus, dimana gejala yang timbul akibat paparan akut

alkohol yaitu efek toksik pada hati, depresi sistem saraf pusat, distres pernafasan

dan koma (Blaha & Rusnak 2004).

Etanol atau etyl-alkohol merupakan suatu senyawa unik yang memiliki

formula kimia C2H5OH dengan massa jenis 0,7893 g/cm3 sering digunakan sebagai

obat karena sifat berat molekulnya dan sifat larut dalam air. Alkohol mudah

terbakar, tidak berwarna, dan menyerap air dengan cepat dari udara. Memiliki titik

didih 78,5°C dan titik bekunya -130°C. Alkohol umumnya dibentuk dari fermentasi

gula oleh ragi. Wine dan bir umumnya mengandung 2 sampai 20 persen alkohol

(Smith & Becker 1983). Beberapa alkohol telah terbukti efektif sebagai antimikroba

yaitu etil alkohol (etanol, alkohol), isopropil alkohol (isopropanol, propan-2-ol)

22

dan n-propanol (khususnya di Eropa). Alkohol menunjukkan aktivitas antimikroba

spektrum luas terhadap bakteri vegetatif (termasuk mikobakteri), virus, dan jamur

tapi tidak sporisida. Mereka, bagaimanapun, diketahui menghambat sporulasi dan

spora tetapi efek ini reversibel. Umumnya, antimikroba yang aktivitas alkohol

secara signifikan optimal dalam kisaran 60% sampai 90% (Mcdonnell & Russell

1999).

Tingkat fraktur antara pecandu alkohol hingga empat kali lebih tinggi

dibandingkan dengan non-pecandu alkohol dimana sering datang dengan

osteopenia atau osteoporosis. Selain itu, keracunan alkohol akut ditunjukkan dalam

25-40% dari pasien dengan trauma orthopaedi. Penyembuhan fraktur memerlukan

mobilisasi dan diferensiasi sel-sel mesenchymal dan prekursor osteoblas dari

tempat injuri. Secara molekuler alkohol secara langsung menekan signal β-catenin

pada jalur wnt yang menyebabkan gangguan pembentukan osteoblas (Lauing et al.

2013).

Konsumsi alkohol jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan dan

penggantian jaringan tulang (bone remodeling) yang mengakibatkan kepadatan

tulang menurun dan peningkatan risiko fraktur. Secara histologis penurunan

pembentukan tulang ditandai dengan berkurangnya serum osteocalcin, protein yang

disekresikan oleh osteoblas. Penurunan tingkat osteocalcin setelah asupan alcohol

menunjukkan bahwa alkohol memiliki efek toksik pada aktivitas dan proliferasi

osteoblast (Elmali et al. 2002).

Konsumsi alkohol jangka panjang dikaitkan dengan peningkatan risiko

fraktur dan kejadian osteoporosis. Dalam studi in vitro yang menyelidiki efek

23

alkohol pada tulang telah menunjukkan berkurangnya jumlah dan fungsi osteoblas

dan juga menunjukkan kemungkinan peningkatan jumlah osteoklas yang

mengakibatkan peningkatan resorpsi tulang (Dyer et al. 1998).

Pada studi in vitro menunjukkan bahwa paparan etanol menghambat

proliferasi sel osteoblasik. Analisis histomorphometrik pada tulang manusia

menunjukkan penurunan volume tulang trabekular, penurunan jumlah osteoblas,

penurunan tingkat aposisi mineral tulang, dan penurunan tingkat pembentukan

tulang dengan peningkatan waktu mineralisasi tulang serta terjadi peningkatan

resorpsi tulang, yang menunjukkan gangguan pembentukan dan mineralisasi tulang

(Dyer et al. 1998).

Pada studi in vivo, alkohol menyebabkan penekanan fungsi dan jumlah

osteoblas, sedangkan pada penelitian in vitro menunjukkan dampak langsung

alkohol pada diferensiasi osteoblas. Pada sumsum tulang manusia terdapat

mesenchymal stem cell (MSC), yang merupakan cikal bakal dari adiposit, osteoblas

dan kondrosit, dimana pada penelitian in vitro paparan alkohol menyebabkan

induksi osteogenik yang menurunkan ekspresi kolagen tipe I, yang merupakan 90

% dari matriks tulang. Selain itu, paparan alkohol menekan marker osteogenesis

pada MSC pada saat pembentukan osteoblas (Wezeman & Gong 2004).

Pada percobaan hewan coba pada tikus yang diberi alkohol jenis etanol

20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan perhari

selama 3 hari berturut-turut kemudian dilakukan frakturisasi tibia dan difiksasi

intramedulary wire. Pada hari ke-14 post fraktur didapatkan penurunan volume

kalus fraktur, diameter, dan kekuatan biomekanik tulang. Secara histologi

24

menunjukkan penurunan pembentukaan tulang dan tulang rawan pada daerah

fraktur, dan alkohol yang menghambat maturasi tulang rawan (Lauing et al. 2013).

Pada studi eksperimental yang dilakukan oleh Chen et al (2010)

menunjukkan konsumsi etanol mengakibatkan penurunan kepadatan mineral tulang

(BMD) dibandingkan dengan kontrol. Real-time array analisis RNA total yang

diisolasi dari jaringan tulang menunjukkan bahwa Wnt/β-catenin signaling

mengalami downregulated selama pemberian ethanol. Ekspresi protein canonical

Wnt/β-catenin signaling dihambat, sedangkan glikogen sintase kinase-3-β

mengalami defosforilasi oleh etanol pada tulang dan sel-sel preosteoblastik.

Pemberian etanol menginaktivasi transkripsi gen TCF/LEF, mengeliminasi

translokasi β-catenin pada osteoblas, penekanan pada proses osteoblastogenesis dan

peningkatan adipogenesis. Etanol menghambat pembentukan tulang melalui

stimulasi stres oksidatif untuk menekan Wnt/β-catenin signaling (Chen et al. 2010).

Etanol seperti glukokortikoid menurunkan proses osteogenesis dan

meningkatkan adipogenesis melalui Wnt/β-catenin signaling pada sumsum tulang

sel stroma manusia dan etanol menurunkan intranuklear translokasi β-catenin. Jalur

wnt signaling dan berbagai keluarga Wnt terlibat dalam morfogenesis,

organogenesis, oncogenesis, regulasi proliferasi sel dan diferensiasi selama

embriogenesis. Penelitian terbaru menunjukkan jalur Wnt signaling terlibat dalam

regulasi homeostasis massa tulang. Protein wnt mengaktifkan dua jenis jalur sinyal:

canonic dan noncanonic. Protein Wnt kanonik berikatan dengan reseptor Frizzled

family dan koreseptornya, LRP5 / LRP6, pada membran sel yang menyebabkan

inaktivasi glikogen sintase kinase-3β (GSK-3β) dan akumulasi nuclear β-catenin

25

dengan menghambat fosforilasi β-catenin. Nuclear β-catenin bertindak sebagai

koaktivator transkripsi yang berinteraksi dengan transkripsi faktor dari T-cell factor

(Tcf)/Limphoid enhancher factor (Lef) family untuk mengatur ekspresi gen. Low-

density-lipoprotein receptor-related protein 5 dan 6 (LRP5 / LRP6) adalah protein

transmembran yang sangat diperlukan untuk Wnt/β-catenin signaling dan

cenderung bertindak sebagai Wnt coreceptors. Penghilangan LRP5 pada tikus

menyebabkan osteopenia sedangkan over-ekspresi dari LRP5 meningkatkan massa

tulang dan mengurangi apoptosis osteoblas (Yeh et al. 2008).

2.6 Vitamin C

Vitamin C atau Asam askorbat yang memiliki senyawa kimia C6H8O6

dengan massa jenis 1,65 g/cm3 merupakan vitamin yang larut dalam air yang

penting untuk pembentukan kolagen, kulit, tendon, ligamen, dan pembuluh darah

serta penyembuhan luka dan pemeliharaan tulang rawan, tulang, dan gigi. Asam

askorbat merupakan antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas yang

dapat merusak organ-organ, jaringan, dan sel (Hon 2013). Vitamin C menunjukkan

dapat menginduksi mesechymal stem cell untuk berubah menjadi osteoblas.

Mekanisme vitamin C yang menginduksi proliferasi osteoblas dimediasi melalui

sintesis kolagen tipe I, interaksi antara alpha2- dan beta1-integrin, aktivasi dari

mitogen-activated protein kinase pathway, dan fosforilasi osteoblast-specific

transcription factors (Carinci et al. 2005).

Meskipun vitamin C cenderung ditoleransi dengan baik oleh tubuh,

bahkan dengan dosis tinggi, dosis maksimum yang ditentukan sebagai dosis tunggal

26

yang ditoleransi adalah 3 gram, sedangkan dosis maksimum yang masih bisa

ditoleransi tubuh adalah 18 gram perhari. Dosis tersebut tidak dapat dicapai dari

konsumsi makanan dan minuman, dimana harus diberikan baik melalui

suplementasi oral atau injeksi intravena (Pacier et al. 2015).

Pada percobaan hewan coba pada tikus dimana diberi vitamin C dengan cara

injeksi intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan perhari selama 3 hari

berturut-turut sebelum dilakukan fraktur dan fiksasi pada tulang tibia dan

dilanjutkan pemberian 3 kali seminggu selama 2 dan 3 minggu, menunjukkan pada

minggu kedua dan ketiga kalus pada tikus yang diberi vitamin C lebih tinggi secara

radiologis dan histologis dibandingkan dengan kalus pada tikus tanpa pemberian

vitamin C (Sarisözen et al. 2002).

Pada penelitian Aghajanian (2015) menunjukkan efek vitamin C pada

diferensiasi sel stromal sumsum tulang menjadi osteoblas matur dimana vitamin C

penting untuk peningkatan ekspresi osterix yang terjadi selama diferensiasi

osteoblas. Data menunjukkan bahwa efek dari vitamin C pada ekspresi gen osterix

ekspresi pada tahap awal diferensiasi osteoblas karena efek langsung dari vitamin

C pada transkripsi gen osterix, sebagian melalui jalur yang melibatkan peningkatan

pengikatan Nrf1 ke promotor ARE (Aghajanian et al. 2015).

Studi terbaru telah menunjukkan mekanisme untuk vitamin C stimulasi

diferensiasi osteoblas beberapa growth factor dan hormon berperan dalam

diferensiasi dan proliferasi sel osteogenik. Vitamin C meningkatkan ekspresi

transforming growth factor (TGF)-β, estrogen receptor (ER)-α, dan OPN, semua

regulator ini penting pada pembentukan tulang. Vitamin C memodulasi

27

MAPK/ERK signaling, bone morphogenic protein 2 (BMP-2), dan ekspresi Sox9

melalui induksi matrik kolagen (Aghajanian et al. 2015).

Gambar 2.9 Asam askorbat (Asc) memfasilitasi diferensiasi osteogenik dengan

meningkatkan sekresi kolagen tipe 1 (Langenbach & Handschel 2013).

Asam Askorbat memfasilitasi diferensiasi osteogenik dengan

meningkatkan sekresi kolagen tipe 1 yang mengakibatkan peningkatan pengikatan

integrin α2β1 terhadap kolagen tipe 1. Hal ini memicu fosforilasi ERK1/2 pada

MAPK signaling pathway dan berikutnya translokalisasi PERK1/2 ke inti sel, di

mana ia mengikat Runx2 dan menginduksi ekspresi gen protein osteogenik

(Langenbach & Handschel 2013).

Vitamin C dapat menginduksi ekspresi EB1 (end-binding protein 1) untuk

menstabilisasi β-catenin signaling pada wnt pathway, dimana β-catenin yang

terstabilisasi sangat penting untuk ekspresi gen osteoblas yang dimediasi oleh

runx2. Asam Askorbat menstimulasi osteoblas dengan cara menginduksi ekspresi

EB1 untuk mempromosikan nukleasi dan stabilisasi mikrotubule (MT).stabilisasi

28

b-catenin pada perifer sel sangat penting pada early ostepoblast gene expresion

yang dimediasi oleh runx2 (Pustylnik et al. 2013).

Gambar 2.10 Mekanisme pengaruh EB1-β catenin pada diferensiasi osteoblas

yang diinduksi oleh asam askorbat (Pustylnik et al. 2013).

2.7. Perlakuan Hewan Coba

Perlakuan terhadap hewan coba dapat melalui oral dan parenteral. Secara

parenteral yang paling sering dilakukan pada hewan coba tikus adalah injeksi

intraperitoneal (i.p.), selain itu dapat dilakukan injeksi intramuscular (i.m.),

subkutan (s.c.), intravena (i.v.) (Turner et al. 2011; Nebendahl 2000). Injeksi

intraperitoneal adalah injeksi substansi tertentu kedalam kavum peritoneal. Injeksi

29

intraperitoneal merupakan perlakuan yang umum pada hewan coba penelitian yang

biasanya digunakan pada hewan yang kecil dimana perlakuan secara intravena sulit

dilakukan (Turner et al. 2011).

Secara farmakokinetik pemberian secara intraperitoneal mirip dengan

pemberian secara oral karena penyerapannya melalui pembuluh darah mesenterika

kemudian disalurkan ke hepar melalui vena portal (Turner et al. 2011). Injeksi

diberikan pada kuadran bawah kanan perut tikus dengan sudut insersi 20°-45°

dengan hanya memasukkan ujung dari jarum injeksi (Turner et al. 2011; Nebendahl

2000).

Pada percobaan hewan coba pada tikus yang diberi alkohol jenis etanol

20% dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan perhari

selama 3 hari berturut-turut kemudian dilakukan frakturisasi tibia dan difiksasi

intramedulary wire (Lauing et al. 2013). Etanol 20% didapat dari pelarutan 21 ml

etanol murni 95% dengan aquabides 79 ml maka didapatkan 100ml etanol 20%

(Plackett & Kovacs 2008).

30

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Penyembuhan fraktur yang terhambat merupakan masalah yang serius karena dapat

menyebabkan morbiditas dan pembiayaan yang tinggi pada penanganannya.

Penyebab Penyembuhan fraktur yang terhambat merupakan proses yang

melibatkan berbagai faktor yaitu disebabkan oleh proses lokal ataupun sistemik.

Faktor lokal meliputi infeksi, tumor, radioterapi, tingkat jaringan lunak yang

cedera, derajat bone loss, reduksi fraktur, cedera neurovaskular, tempat injury

(diaphyseal lebih lambat dari metaphyseal), interposisi jaringan lunak, fiksasi

fraktur yang digunakan. Faktor sistemik yaitu alkohol, merokok, diabetes mellitus,

nutrisi, umur, obat-obatan, dan hormon.

Alkohol menghambat diferensiasi dari marrow stem cells menjadi osteoblas,

sehingga jumlah osteoblas untuk pembentukan tulang yang fraktur menjadi

berkurang. Kurangnya jumlah osteoblas menyebabkan proses penyembuhan fraktur

menjadi terhambat. Secara molekuler alkohol secara langsung menekan β catenin

signaling pada wnt pathway yang menyebabkan gangguan pembentukan osteoblas.

Vitamin C atau Asam askorbat merupakan antioksidan yang berguna untuk

menekan radikal bebas yang dapat merusak organ-organ, jaringan, dan sel. Vitamin

C dapat menginduksi mesechymal stem cell untuk berubah menjadi osteoblas.

Mekanisme vitamin C yang menginduksi proliferasi osteoblas dimediasi melalui

sintesis kolagen tipe I, interaksi antara alpha2- dan beta1-integrin, aktivasi dari

31

mitogen-activated protein kinase pathway, dan fosforilasi osteoblast-specific

transcription factors. Secara molekuler, vitamin C dapat menginduksi ekspresi EB1

(end-binding protein 1) untuk menstabilisasi β-catenin signaling pada wnt pathway.

β-catenin yang terstabilisasi sangat penting untuk ekspresi gen osteoblas yang

dimediasi oleh runx2.

Berdasarkan hal tersebut maka vitamin C mempunyai potensi untuk

menurunakan kejadian penyembuhan fraktur yang terhambat yang disebabkan oleh

konsumsi alkohol yang berlebihan.

Skema 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian

Alkohol

Pembentukan Kalus ↑

Proliferasi Osteoblas ↑

↓ Diferensiasi Mesenchymal Stem Cells

Penyembuhan fraktur

Pembentukan Matriks tulang ↑

VITAMIN C

Fraktur Tulang Femur

Jumlah ekspresi

osteocalcin ↑

Proliferasi Osteoblas ↓

β-catenin signaling Stimulasi

RUNX-2

Wnt pathway

Ekspresi EB-1 ↑

(-)

(+)

32

3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Variabel Bebas

: Variabel Tergantung

: Variabel Kendali

V

Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian

FAKTOR INTERNAL

Jenis tikus Umur Berat Badan Jenis kelamin

Tikus Putih

Paparan Alkohol

Frakturisasi Tulang femur kanan tikus

Fiksasi

FAKTOR EKSTERNAL

Lingkungan Nutrisi Perawatan

Luka

Vitamin C

Penyembuhan Fraktur:

Diameter kalus fraktur Jumlah sel osteoblas Ekspresi osteocalcin

33

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih yang terpapar

alkohol menunjukkan diameter kalus yang lebih tebal dibandingkan tanpa

pemberian vitamin C.

2. Pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih yang terpapar

alkohol menunjukkan jumlah osteoblas yang lebih banyak dibandingkan

tanpa pemberian vitamin C.

3. Pemberian vitamin C pada fraktur tulang femur tikus putih yang terpapar

alkohol menunjukkan ekspresi osteocalcin yang lebih banyak dibandingkan

tanpa pemberian vitamin C.

34

BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dirancang dengan

menggunakan rancangan randomized post-test only control group design.

Rancangan penelitian ini digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Skema 4.1 Rancangan Penelitian

Keterangan

P: Populasi

S: Sampel

R: Randomisasi

P0: Kelompok Kontrol (dengan pemberian alkohol jenis etanol 20% dengan cara

injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan sekali sehari selama 3

hari berturut-turut sebelum fraktur dan fiksasi dilakukan)

P

P0

O1

O0

R S P1

35

P1: Kelompok Perlakuan (dengan pemberian alkohol jenis etanol 20% dengan cara

injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan sekali sehari selama 3

hari berturut-turut sebelum fraktur dan fiksasi dilakukan dan pemberian

vitamin C dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat

badan setiap 2 hari sekali selama 14 hari setelah fraktur dan fiksasi dilakukan,

dimulai 1 jam setelah fraktur dan fiksasi dilakukan)

O0: Hasil pemeriksaan diameter kalus, jumlah osteoblas dan ekspresi osteocalcin

pada fraktur tulang femur tikus putih setelah difiksasi dengan intramedulary

wire yang terpapar alkohol pada hari ke 14 paska fiksasi.

O1: Hasil pemeriksaan diameter kalus, jumlah osteoblas dan ekspresi osteocalcin

pada fraktur tulang femur tikus setelah difiksasi dengan intramedulary wire

yang terpapar alkohol kemudian diberikan vitamin C pada hari ke 14 paska

fiksasi.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada dua tempat yaitu:

1. Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedoteran Universitas Udayana, Bali,

sebagai tempat perlakuan dan pemeliharan tikus.

2. Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Udayana sebagai tempat pemeriksaan histopatologis (diameter kalus dan

jumlah osteoblas) dan pemeriksaan imunohistokimia (ekspresi osteocalcin)

Waktu dilaksanakan penelitian mulai bulan Juni 2016 sampai bulan Juli 2016

36

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah tikus putih jantan jenis wistar.

4.3.2 Kriteria Subjek

Sampel pada penelitian ini adalah tikus putih dewasa, yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

Kriteria Inklusi

1. Tikus jantan

2. Usia 10-14 minggu

3. Berat 200-250 gram

4. Sehat, ditandai gerakan aktif

Kriteria Eksklusi

1. Tikus sakit (gerak tidak aktif) dan tidak mau makan

2. Cacat atau deformitas pada ekstrimitas

Kriteria drop-out

1. Tikus mati saat penelitian

2. Timbul faktor eksklusi selama penelitian

4.3.3 Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Federer (Supranto 2000):

(t-1)( n-1) ≥ 15

(2-1)(n-1) ≥ 15

1( n-1) ≥ 15

n-1 ≥ 15

37

n ≥ 16

keterangan :

n = Besar sampel

t = Jumlah perlakuan

Dari hasil perhitungan rumus di atas, besar sampel minimal yang diperlukan

sebesar 16 sampel dalam satu kelompok. Untuk mengantisipasi kemungkinan drop

out, sampel ditambahkan 10%, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah:

N = n/(1-f)

Dimana:

N = jumlah hewan coba yang diperlukan tiap kelompok.

n = jumlah sampel minimal untuk tiap kelompok.

f = perkiraan proporsi drop out.

Maka:

N = 16/(1 – 0,1)

N = 16/0,9

N = 17,778 N dibulatkan menjadi 18

Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sampel yang diperlukan pada

penelitian ini sebanyak 18 ekor hewan coba untuk tiap kelompok atau total 36 tikus.

Teknik pengambilan sampel digunakan cara simple randomization karena populasi

relatif homogen.

38

4.3.4 Teknik penentuan sampel

Teknik penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cara berikut:

1. Dari populasi tikus diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi

dan eksklusi.

2. Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi dua kelompok secara

random yaitu kelompok kelompok kontrol, dan kelompok perlakuan.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi variabel

Variabel bebas: vitamin C

Variabel tergantung: diameter kalus, jumlah sel osteoblas dan ekpresi

osteocalcin.

Variabel kendali: alkohol, jenis tikus, umur, berat badan, jenis kelamin,

nutrisi, perawatan luka, lingkungan, frakturisasi tulang femur, fiksasi interna

4.4.2 Definisi operasional variabel

1. Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dengan formula kimia

C6H8O6 yang didapat dari Laboratorium Farmakologi FK UNUD.

Pemberian vitamin C dengan dosis 200 mg/kg berat badan dengan cara

injeksi intraperitoneal setiap 2 hari sekali selama 14 hari setelah fraktur dan

fiksasi dilakukan.

2. Alkohol merupakan alkohol primer jenis etanol dengan formula kimia

C2H5OH dengan kadar 20% yang didapat dari Laboratorium Farmakologi

FK UNUD. Pemberian alkohol dengan dosis 2 g/kg berat badan dengan cara

39

injeksi intraperitoneal sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum

fraktur dan fixasi dilakukan.

3. Injeksi intraperitoneal dilakukan pada kuadran kanan bawah perut tikus

dengan sudut insersi jarum suntik 20°-45° kearah kranial dengan

menggunakan jarum suntik ukuran 1cc (Nebendahl 2000; Turner et al.

2011).

4. Diameter kalus adalah diameter terlebar kalus pada lokasi daerah fraktur

yang diukur dengan mikroskop dengan skala mikrometer (tiga angka

desimal) pada penampang sagital. Pengukuran dilakukan dengan

menjumlahkan eksternal kalus superior, eksternal kalus inferior dan internal

kalus.

5. Osteoblas adalah jenis sel pada daerah fraktur yang memproduksi matriks

tulang. Jumlah osteoblas (number of osteoblast per bone surface - N.OB/BS)

adalah jumlah sel osteoblas yang ditemukan dalam mikroskop berbanding

dengan luas permukaan tulang yang diperiksa dalam jumlah per millimeter

per lapang pandang (Dempster et al. 2014).

6. Osteocalcin adalah sebuah asam amino rantai tunggal yang berikatan

dengan vitamin K yang diproduksi oleh osteoblas yang merupakan

komponen utama dari matriks tulang non-kolagen. Ekspresi osteocalcin

pada penelitian ini menggunakan analisis immunohistochemical anti

peroxidase (osteocalcin antibody) untuk evaluasi ekspresi osteocalcin pada

matriks tulang dengan menghitung jumlah osteoblas perlapang pandang

40

yang aktif mengekskresikan osteocalcin yang ditandai dengan osteoblas

berwarna coklat.

4.5 Alat dan Bahan Penelitian

Alat Penelitian yang dipakai:

1. Peralatan bedah minor; pinset anatomis dan sirurgis, scalpel atau mesh

no.20, no.15, gunting, klem, serta needle holder.

2. Sarung tangan steril

3. Doek steril

4. Bor listrik

5. Label nomor hewan coba

6. K – wire 1,2 mm; 1,0 mm

7. Benang jahit tidak diserap (Nilon 5.0)

8. Pisau cukur bulu

9. Kasa steril

Bahan Penelitian yang dipakai:

1. Spuit injeksi (1 cc dan 3 cc)

2. Ketamine

3. Antibiotik injeksi (Ceftriakson)

4. Analgetik injeksi (Ketorolac)

5. Antisepsis (Betadine)

6. Alkohol 70%

7. Aquabides

41

8. Formalin buffer

9. Vitamin C (generik) (didapat dari Laboratorium Farmakologi

Universitas Udayana) dengan dosis 200 mg/kg berat badan dengan cara

injeksi intraperitoneal setiap 2 hari sekali selama selama 14 hari setelah

fraktur dan fiksasi dilakukan.

Dimana dengan rata-rata berat tikus 200 mg maka dosis yang diberikan

40mg/200mg berat badan. Sediaan vitamin C injeksi 100 mg/ml

sehingga diperlukan 0,4 ml vitamin C untuk sekali perlakuan.

10. Alkohol dengan jenis etanol 20% (didapat dari Laboratorium

Farmakologi Universitas Udayana) dengan dosis 2 g/kg berat badan.

Pemberian etanol 20% dengan cara injeksi intraperitoneal sekali sehari

selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan fixasi dilakukan. Etanol

20% didapat dari pelarutan 21 ml etanol murni 95% dengan aquabides

79 ml maka didapatkan 100ml etanol 20% (Plackett & Kovacs 2008).

Dosis etanol 20% yaitu 400mg/200mg berat badan tikus dan berat jenis

etanol yaitu 0,78 gr/cm3 maka dengan rumus massa jenis (Supple 2008):

ρ = m/v

dimana : ρ = massa jenis (gr/cm3)

m = massa (gr)

V = volume (cm3)

Maka : 0,78 = 0,4/v

v = 40/78 v = 0,51 cm3

jadi, dosis yang diinjeksikan sebanyak 0,5 ml etanol 20%.

42

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Hewan coba

Digunakan 36 ekor tikus putih jantan, usia 10-14 minggu, berat badan 200-

250 gram dengan kesehatan yang baik yang ditandai dengan gerakan aktif, bulu

tidak kusam, serta memiliki respon yang baik terhadap rangsangan sekeliling.

4.6.2 Cara kerja

1. Tikus diadaptasi selama 1 minggu

2. Tikus diberikan injeksi intraperitoneal alkohol jenis etanol 20% dengan dosis

2 g/kg bb pada kuadran kanan bawah perut tikus dengan sudut insersi jarum

suntik 20°-45° kearah kranial dengan menggunakan jarum suntik ukuran 1cc

(Nebendahl 2000; Turner et al. 2011).

3. Tikus kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

P0: Kelompok Kontrol (dengan pemberian alkohol jenis etanol 20%

dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan

sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan fixasi

dilakukan)

P1: Kelompok Perlakuan (dengan pemberian alkohol jenis etanol 20%

dengan cara injeksi intraperitoneal dengan dosis 2 g/kg berat badan

sekali sehari selama 3 hari berturut-turut sebelum fraktur dan fixasi

dilakukan dan pemberian vitamin C dengan cara injeksi

intraperitoneal dengan dosis 200 mg/kg berat badan setiap 2 hari

sekali selama 14 hari setelah fraktur dan fiksasi dilakukan, dimulai

1 jam setelah fraktur dan fiksasi dilakukan)

43

4. Persiapan pembedahan diawali dengan dilakukan pencukuran terhadap bulu

hewan coba pada tungkai bawah kanannya.

5. Pembedahan dimulai dengan pembiusan menggunakan bius umum dengan

ketamine berdosis 50 mg/kgBB diberikan secara intramuskular (Santoso et

al. 2011)

6. Dilakukan tindakan disinfeksi pada tungkai bawah kanan hewan coba

dengan betadine dan alkohol 70%.

7. Dilakukan insisi kulit parapatellar median yang dilanjutkan dengan insisi

pada kapsul sendinya melalui midline melalui otot vastus medial sampai

dengan insersi patellar tendon, kemudian dilakukan retraksi patella ke

lateral pada posisi lutut ekstensi.

8. Titik insersi fiksasi internal adalah intercondylar notch. Dilakukan insersi

K-wire 1,2 mm dengan menggunakan bor secara intramedullar, kemudian

wire dicabut. Dilakukan pembengkokan ujung K-wire secara manual

kemudian dipotong ujung K-wire tersebut. Ujung K-wire ditanam pada

tulang rawan sendi lutut, kemudian luka ditutup dengan benang

monofilamen 5.0.

9. Dilakukan frakturisasi pada diafisis tulang femur kanan secara tertutup pada

hewan coba.

10. Setelah fraktur dan fiksasi dilakukan, diberikan gentamisin salep sebagai

obat antibakteri serta diberikan injeksi intramuskular antibiotika ceftriaxon

60mg/kg berat badan selama 3 hari.

44

11. Penelitian dilakukan pada pagi hari pukul 08.00 WITA, pada hari pertama

penelitian.

12. Kedua kelompok tikus dikandangkan di Laboratorium Veteriner Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana dengan ukuran 30x20cm dengan

suhu kandang 20o-25oC dan kondisi kandang disesuaikan dengan diberikan

serbuk gergaji. Setiap kandang berisi 2-4 ekor tikus (Smith & Soesanto

Mangkoewidjojo 1988).

13. Berat badan masing-masing tikus ditimbang setiap minggu selama

penelitian.

14. Diet normal tikus adalah pelet. Pelet yang diberikan mengandung protein

(20%), Lemak (5%), Karbohidrat (45%), serat kasar (5%), serta vitamin dan

mineral. Masing-masing tikus mendapat diit 12-15 gr/hari (Smith &

Soesanto Mangkoewidjojo 1988).

15. Air minum diberikan secara ad libidum

16. Apabila dalam perjalanan tikus jatuh sakit maka tikus tersebut akan di

eksklusi

17. Pada hari ke-14 setelah frakturisasi dan fiksasi pada fraktur tulang femur,

tikus disuntik dengan ketamin dosis 200mg/kgbb dan femur tikus diambil

dengan sisa tubuh dikubur. Kemudian dilakukan pengukuran diameter kalus

serta dilakukan pengambilan sampel jaringan kalus untuk dilakukan

pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia untuk menilai tebal

diameter kalus, jumlah osteoblas dan ekspresi osteocalcin (Santoso et al.

2011)

45

4.6.3 Pembuatan Sediaan Histopatologis dan Imunohistokimia

Setelah tikus dieuthanasia, femur kanan diangkat secara utuh, dibersihkan

dari otot yang melekat kemudian K-wire dicabut. Setelah itu tulang di fiksasi

dengan buffer formalin 10% dan dilakukan dekalsifikasi selama 7-10 hari.

1. Pembuatan preparat histologi jaringan tulang fraktur menggunakan pewarna

hematoksilin-eosin (HE)

Setelah tulang menjadi lentur kemudian diiris tipis dan dilanjutkan dengan

proses dehidrasi menggunakan alkohol berbagai konsentrasi mulai dari alkohol

70%, 80%, 95%, dan alkohol absolut. Tahap selanjutnya memasukkan jaringan

tulang kedalam larutan xylene untuk proses clearing. Setelah dirasankan matang

jaringan tulang kemudian diinfiltrasi dengan paraffin cair. Selanjutnya jaringan

tulang kembali disiram dengan paraffin cair agar terbentuk sebuah blok. Blok ini

kemudian di sectioning menggunakan microtome dengan ketebalan 5 micron.

Jaringan tulang yang telah diiris tipis dengan ketebalan 5 micron kemudian

dideparaffinisasi dengan xylne dan rehidrasi menggunakan alkohol. Jaringan

tulang kemudian dicelupkan kedalam larutan Harris hematoksilin selama 15

menit, dilanjutkan ke dalam asam alkohol. Cek diferensiasi warna dan hindari

jangan sampai pucat. Berikutnya kembali dicelupkan kedalam larutan

ammonium dan lithium karbonat. Kembali jaringan tulang diinkubasikan dalam

larutan eosin selama 2 menit. Selanjutnya jaringan tulang kembali di dehidrasi

menggunaka alkohol berbagai konsentrasi. Terakhir preparat jaringan tulang di

mounting cover glass menggunakan perekat entelan dan siap diperiksa dibawah

mikrospkop.

46

2. Imunohistokimia (IHK) antibodi anti-mouse osteocalcin pada fraktur femur

Jaringan tulang femur tikus pada daerah fraktur difiksasi dengan netral

buffer formalin 10% dan diproses rutin untuk preparat histologi. Preparat

jaringan tulang dengan ketebalan 5 mikron ditempelkan pada slide yang telah di

coating xylene sebelumnya. Slide kemudian direhidrasi menggunkan xylene

berturut-turut 3x2 menit dan dilanjutkan dengan ethanol juga 3x2 menit. Sediaan

dicuci dengan PBS (Phosphate Buffer Saline) 2x5 menit. Setelah penyucian

dengan PBS, epitop kemudian dibuka dengan pemanasan menggunakan

microwave pada temperature mulai temperature 7000C sampai dengan 1400C.

Setelah pemanasan kembali dilakukan endogenous peroksidase blocking

menggunakan 3% H2O2 dalam PBS. Slide kemudian diteteskan 100 µL anti-

mouse osteocalcin antibody dalam 2% skim milk dan diinkubasi semalaman

pada temperature 40 C. Kemudian di cuci kembali dengan PBS 3x2 menit, slide

kembali diteteskan dengan antibodi sekunder anti-mouse IgG/Biotin yang telah

dikonjugasikan dengan horseradish peroxidase. Reaksi positif ditandai dengan

adanya warna coklat dilakukan dengan menambahkan substrat

diaminobenzidine (DAB). Sebagai counterstain berikutnya diteteskan kembali

meyer-hematoksilin dan siap untuk diperiksa dibawah mikroskop.

47

4.7 Alur Penelitian

Skema 4. 2 Alur Penelitian

Perlakuan

Vitamin C (+)

Sampel diadaptasi selama 1 minggu

Sampel tikus diberikan alkohol 3 hari berturut-turut

Kontrol

Vitamin C (-)

Kontrol Perlakuan

Pemeriksaan pada akhir hari ke 14: - Diameter kalus fraktur - Jumlah sel osteoblas - Ekspresi osteocalcin

Analisis Data

ada akhir hari ke Pemeriksaan pada akhir hari ke 14: - Diameter kalus fraktur - Jumlah sel osteoblas - Ekspresi osteocalcin

Pemeriksaan

- Dilakukan frakturisasi tulang femur kanan dan fiksasi interna - Sampel dibagi 2 kelompok

48

4.8 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Analisis Deskriptif

2. Analisis Normalitas dan Homogenitas :

a. Uji Normalitas data dengan Saphiro wilk Test untuk mengetahui data sampel

berdistribusi normal atau tidak.

b. Uji Homogenitas = test of the equality of variances = F test (Levene’s Test for

Equality of Variance).

3. Analisis Inferensial :

a. Bila distribusi normal dilakukan uji independent t-test

b. Bila distribusi tidak normal dilakukan uji Non Parametrik dengan Mann-

Whitney U Test

49

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Analisis Sampel

Analisis penelitian mencakup sebaran data secara deskriptif, diameter kalus,

jumlah osteoblas dan ekspresi osteocalcin. Selanjutnya data yang terkumpul

dilakukan analisis secara statistic dengan SPSS for Windows version 22.0.

5.1.1 Analisis deskriptif

Analisis data secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih

jelas mengenai distribusi dan simpangan baku dari masing-masing variabel

penelitian.

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok

Kelompok Frekuensi (n) Persentase (%)

Perlakuan

(Dengan Vitamin C)

16 50

Kontrol

(Tanpa Vitamin C)

16 50

Total 32 100

Dari distribusi di atas dapat dilihat bahwa total jumlah subjek penelitian adalah

sebanyak 32 dengan kelompok perlakuan dengan pemberian vitamin C adalah

sebanyak 16 atau 50% dari total seluruh subjek dan kelompok kontrol tanpa

pemberian vitamin C sebanyak 16 atau 50%.

50

Tabel 5. 2 Rerata diameter kalus, jumlah osteoblas dan ekspresi osteocalcin pada

masing-masing kelompok

Variabel

Kelompok

Perlakuan dengan

Vitamin C

(n=16)

(Mean SD)

Kontrol tanpa

Vitamin C

(n=16)

(Mean SD)

Diamter Kalus (µm)

3200,845 ± 1149,272 2369,807 ± 550,756

Jumlah Osteoblas

484,000 ± 19,782 468,250 ± 17,280

Ekspresi osteocalcin

20,562 ± 3,540 10,625 ± 1,784

Rerata diameter kalus (µm) pada kelompok perlakuan adalah sebesar 3200,845 ±

1149,272 sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebesar 2369,807 ± 550,756.

Jumlah osteoblas pada kelompok perlakuan memiliki rerata sebesar 484,000 ±

19,782 sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebesar 468,250 ± 17,280.

Ekspresi osteocalcin pada kelompok perlakuan memiliki rerata sebesar 20,562 ±

3,540 sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebesar 10,625 ± 1,784.

5.2 Analisis Inferensial

Analisis ini bertujuan untuk melakukan generalisasi hasil penelitian ke

populasi. Uji statistik inferensial yang digunakan pada penelitian ini adalah

independent t-test bila data berdistribusi normal dan varian datanya homogen.

Penilaian hasil uji menggunakan 95% CI dan nilai p pada batas kemaknaan 0.05.

51

5.2.1 Uji normalitas dan homogenitas

Variabel-variabel penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan

uji normalitas. Dengan jumlah data sebanyak 32 (n < 50), maka uji normalitas yang

digunakan terhadap data hasil penelitian adalah Shapiro-Wilk test, sedangkan uji

homogenitas varian data dilakukan dengan menggunakan Levene’s test.

Tabel 5.3 Uji normalitas data variabel penelitian dengan Shapiro-Wilk

Variabel Kelompok N P Keterangan

Diameter Kalus Perlakuan 16 0,059 Normal

Kontrol 16 0,938 Normal

Jumlah Osteoblas Perlakuan 16 0,419 Normal

Kontrol 16 0,561 Normal

Ekspresi osteocalcin Perlakuan 16 0,980 Normal

Kontrol 16 0,240 Normal

Tabel di atas menunjukkan bahwa data diameter kalus, jumlah osteoblas dan

ekspresi osteocalcin berdistribusi normal, dimana nilai p > 0,05

Tabel 5.4 Uji homogenitas varian data variabel penelitian dengan Levene's test

Variabel Kelompok N P Keterangan

Diameter Kalus Perlakuan 16 0,068 Homogen

Kontrol 16

Jumlah Osteoblas Perlakuan 16 0,492 Homogen

Kontrol 16

Ekspresi osteocalcin Perlakuan 16 0,040 Tidak Homogen

Kontrol 16

52

Tabel di atas menunjukkan bahwa data diameter kalus dan jumlah osteoblas

memiliki varian data yang homogen dimana nilai p > 0,05. Sedangkan ekspresi

oseocalcin memiliki varian data yang tidak homogen dimana nilai p < 0,05.

5.2.2 Uji Independent T-Test

Untuk variabel numerik dilakukan uji kemaknaan untuk data dua kelompok

tidak berpasangan yaitu independent t-test untuk data yang berdistribusi normal.

Untuk mengetahui efek dari masing-masing variabel pada kelompok perlakuan dan

kontrol dilakukan dengan membandingkan rerata post-test dari masing-masing

kelompok.

Tabel 5.5 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok

perlakuan dan kontrol

Variabel

Kelompok

Beda

rerata

95% CI

Nilai

p

Perlakuan

dengan

vitamin C

(n = 16)

Kontrol

tanpa

vitamin C

(n = 16)

Diameter

Kalus

3200,845 ±

1149,272

2369,807 ±

550,756

831,038 180,358 -

1481,718

0,014

Jumlah

Osteoblas

484,000 ±

19,782

468,250 ±

17,280

15,750 2,339 - 29,161 0,023

Ekspresi

osteocalcin

20,562 ± 3,540 10,625 ± 1,784 9,937 7,8883 –

11,991

0,000

Tabel di atas menunjukkan bahwa diameter kalus pada kelompok perlakuan

lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar

53

kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,014

(p< 0,05). Jumlah osteoblas pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan

dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar kelompok perlakuan dan

kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,023 (p< 0,05). Ekspresi

osteocalcin pada kelompok perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan

kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar kelompok perlakuan dan kontrol

signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,000 (p< 0,05).

54

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Data hasil penelitian yang telah diolah dan dianalisis dengan metode

statistik sesuai dengan hipotesis penelitian yang telah dibuat. Berikutnya hasil

interpretasi data tersebut akan dibahas untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil penelitian ini.

6.1. Subjek Penelitian

Untuk mengetahui dan menguji efek dari pemberian vitamin C terhadap

diameter kalus, jumlah sel osteoblas dan ekspresi osteocalcin pada penyembuhan

fraktur yang terpapar alkohol, maka dilakukan penelitian pada tikus putih jenis

wistar dengan jenis kelamin jantan umur 10-14 minggu dengan berat 200-250 gram

dan dalam kondisi sehat tanpa cacat. Pada penelitian eksperimental penyembuhan

fraktur pada tikus dengan konsumsi alkohol menggunankan tikus wistar berumur 3

bulan (Chakkalakal et al. 2005), dengan berat 218-280 gram (Elmali et al. 2002).

Sebagai hewan coba digunakan tikus sebanyak 32 ekor yang terbagi

menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-

masing berjumlah 16 ekor. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali

dilakukan, sebelumnya belum pernah ada yang meneliti tentang pengaruh

pemberian vitamin C pada patah tulang femur tikus putih yang terpapar alkohol.

55

6.2 Hubungan Pemberian Vitamin C dengan Diameter Kalus Pada Fraktur

Femur Tikus Yang Terpapar Alkohol.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dapat

meningkatkan diameter kalus pada fraktur femur tikus putih yang terpapar alkohol,

dimana alkohol dapat menghambat penyembuhan fraktur yang ditandai dengan

diameter kalus yang lebih tipis pada kelompok dengan alkohol. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Elmali et al 2002 yang secara histologi

menunjukkan terhambatnya penyembuhan fraktur pada tulang tikus yang diberikan

alkohol dengan adanya jaringan fibrous pada kalus pada kelompok yang diberikan

etanol (Elmali et al. 2002). Diameter kalus pada tikus yang terpapar alkohol secara

signifikan lebih tipis dibandingkan tanpa paparan alkohol (Lauing et al. 2013).

Sedangkan vitamin C memiliki efek meningkatkan pembentukan kalus pada

fraktur sesuai dengan penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Sarizosen et al

2009, menunjukkan rata-rata diameter kalus pada tikus yang diberikan vitamin C

signifikan berbeda dibanding tanpa pemberian vitamin C. Vitamin C meningkatkan

akselerasi mineralisasi matrik tulang dengan peningkatan kolagen pada matrik

tulang (Sarisözen et al. 2002).

Sehingga pada penelitian ini efek alkohol terhadap fraktur dapat dihambat

dengan pemberian vitamin C yang dibuktikan dengan diameter kalus yang lebih

tebal pada kelompok vitamin C dibandingkan dengan kelompok tanpa vitamin C.

56

6.3. Hubungan Pemberian Vitamin C dengan Jumlah Osteoblas Pada

Fraktur Femur Tikus Yang Terpapar Alkohol.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dapat

meningkatkan jumlah osteoblas pada fraktur femur tikus putih yang terpapar

alkohol, dimana alkohol dapat menghambat penyembuhan fraktur yang ditandai

dengan jumlah osteoblas yang lebih sedikit pada kelompok dengan alkohol. Hal ini

sesuai dengan studi in vitro yang dilakukan oleh Dyer et al 1998 yang menunjukkan

bahwa paparan etanol menghambat proliferasi sel osteoblasik (Dyer et al. 1998) dan

pada studi in vivo, alkohol menyebabkan penekanan fungsi dan jumlah osteoblas,

sedangkan pada penelitian in vitro menunjukkan dampak langsung alkohol pada

diferensiasi osteoblas (Wezeman & Gong 2004)..

Etanol menghambat pembentukan tulang melalui stimulasi stres oksidatif

untuk menekan Wnt/β-catenin signaling (Chen et al. 2010). Secara molekuler

alkohol secara langsung menekan β catenin signaling pada wnt pathway yang

menyebabkan gangguan pembentukan osteoblas (Lauing et al. 2013).

Sedangkan vitamin C menunjukkan dapat menginduksi mesechymal stem

cell untuk berubah menjadi osteoblas. Mekanisme vitamin C yang menginduksi

proliferasi osteoblas dimediasi melalui sintesis kolagen tipe I, interaksi antara

alpha2- dan beta1-integrin, aktivasi dari mitogen-activated protein kinase pathway,

dan fosforilasi osteoblast-specific transcription factors (Carinci et al. 2005).

Pada penelitian Aghajanian (2015) menunjukkan efek vitamin C pada

diferensiasi sel stromal sumsum tulang menjadi osteoblas matur dimana vitamin C

penting untuk peningkatan ekspresi osterix yang terjadi selama diferensiasi

57

osteoblas (Aghajanian et al. 2015). Vitamin C dapat menginduksi ekspresi EB1

(end-binding protein 1) untuk menstabilisasi β-catenin signaling pada wnt pathway.

Dimana β-catenin yang terstabilisasi sangat penting untuk ekspresi gen osteoblas

yang dimediasi oleh runx2 (Pustylnik et al. 2013).

Sehingga pada penelitian ini efek alkohol terhadap fraktur dapat dihambat

dengan pemberian vitamin C yang dibuktikan dengan jumlah osteoblas yang lebih

banyak pada kelompok vitamin C dibandingkan dengan kelompok tanpa vitamin C.

6.4. Hubungan Pemberian Vitamin C dengan Ekspresi Osteocalcin Pada

Fraktur Femur Tikus Yang Terpapar Alkohol.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dapat

meningkatkan ekspresi osteocalcin pada fraktur femur tikus putih yang terpapar

alkohol, dimana alkohol dapat menghambat penyembuhan fraktur yang ditandai

dengan ekspresi osteocalcin yang lebih sedikit pada kelompok dengan alkohol. Hal

ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elmali et al 2002 yang

menunjukkan penurunan tingkat osteocalcin setelah asupan alkohol sehingga

alkohol memiliki efek toksik pada aktivitas dan proliferasi osteoblast (Elmali et al.

2002). Penurunan sekresi osteocalcin akibat penurunan jumlah sel osteoblas yang

disebabkan terjadi gangguan pada jalur signal wnt/β catenin (Lauing et al. 2013).

` Sedangkan vitamin C dapat menginduksi ekspresi EB1 (end-binding

protein 1) untuk menstabilisasi β-catenin signaling pada wnt pathway. Dimana β-

catenin yang terstabilisasi sangat penting untuk ekspresi gen osteoblas yang

58

dimediasi oleh runx2 (Pustylnik et al. 2013). Dengan adanya peningkatan

pembentukan osteoblas maka diikuti dengan peningkatan ekspresi osteocalcin.

Sehingga pada penelitian ini efek alkohol terhadap fraktur dapat dihambat

dengan pemberian vitamin C yang dibuktikan dengan ekspresi osteocalcin yang

lebih banyak pada kelompok vitamin C dibandingkan dengan kelompok tanpa

vitamin C.

59

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diperoleh

beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Diameter kalus lebih tebal pada fraktur femur tulang tikus terpapar

alkohol yang diberikan vitamin C dibandingkan dengan tanpa

pemberian vitamin C.

2. Jumlah osteoblas lebih banyak pada fraktur femur tulang tikus terpapar

alkohol yang diberikan vitamin C dibandingkan dengan tanpa

pemberian vitamin C.

3. Ekspresi osteocalcin lebih banyak pada fraktur femur tulang tikus

terpapar alkohol yang diberikan vitamin C dibandingkan dengan tanpa

pemberian vitamin C.

7.2 Saran

Penelitian ini merupakan penelitian awal yang melakukan analasis

terhadap efek pemberian vitamin C dengan terjadinya gangguan pada

penyembuhan fraktur yang terpapar alkohol pada tikus. Diharapkan adanya

penelitian lanjutan pada manusia sehingga pemberian vitamin C dapat dipakai

untuk mencegah gangguan pada penyembuhan fraktur yang terpapar alkohol.

60

DAFTAR PUSTAKA

Aghajanian, P. et al., 2015. The Roles and Mechanisms of Actions of Vitamin C

in Bone: New Developments. Journal of Bone and Mineral Research,

30(11), pp.1945–1955.

Blaha, K. & Rusnak, P., 2004. Ethanol. UNEP Publications, pp.1–341.

Brown, S.E., 1999. How to Speed Fracture Healing. East, 55(4).

Carinci, F. et al., 2005. Effect of Vitamin C on pre-osteoblast gene expression.

Archives of Oral Biology, 50(5), pp.481–496.

Chakkalakal, D.A. et al., 2005. Inhibition of bone repair in a rat model for chronic

and excessive alcohol consumption. Alcohol (Fayetteville, N.Y.), 36(3),

pp.201–14. Available at:

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S074183290500145X.

Chen, J.R. et al., 2010. A role for ethanol-induced oxidative stress in controlling

lineage commitment of mesenchymal stromal cells through inhibition of

Wnt/??-catenin signaling. Journal of Bone and Mineral Research, 25(5),

pp.1117–1127.

Delgado-Martinez, A.D. et al., 1998. Effect of vitamin C on fracture healing in

elderly Osteogenic Disorder Shionogi rats. The Journal of Bone and Joint

Surgery, 16(6), pp.650–653.

Dempster, D.W. et al., 2014. Standardized Nomenclature, Symbols, and Units for

Bone Histomorphometry: A 2012 Update of the Report of the ASBMR

Histomorphometry Nomenclature Committee. journal bone mineral

research, 28(1), pp.2–17.

Dyer, S.A., Buckendahl, P. & Sampson, H.W., 1998. Alcohol Consumption

Inhibits Osteoblastic Cell Proliferation and Activity In Vivo. Alcohol, 16(4),

pp.337–341. Available at:

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0741832998000251.

Elmali, N. et al., 2002. Fracture Healing and Bone Mass in Rats Fed on Liquid

Diet Containing Ethanol. Alcoholism, clinical and experimental research,

26(4), pp.509–513.

Gaston, M.S. & Simpson, A.H.R.W., 2007. Inhibition of fracture healing. J Bone

Joint Surg [Br], 8989(12), pp.1553–60.

Hon, S., 2013. Vitamin C (Ascorbic Acid). In University of Maryland Medical

Center. Elsevier, pp. 962–963. Available at:

61

http://umm.edu/health/medical/altmed/supplement/vitamin-c-ascorbic-acid.

Kalfas, Iain, H., 2001. Principles of bone healing. Neurosurgical focus, 10(4),

p.E1.

Langenbach, F. & Handschel, J., 2013. Effects of dexamethasone, ascorbic acid

and β-glycerophosphate on the osteogenic differentiation of stem cells in

vitro. Stem cell research & therapy, 4(5), p.117. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24073831.

Lauing, K.L. et al., 2013. Acute Alcohol Exposure Impairs Fracture Healing and

Deregulates β-catenin Signaling in The Fracture Callus. alcohol clinical

experimental research, 36(12), pp.2095–2103.

Little, N., Rogers, B. & Flannery, M., 2011. Bone formation, remodelling and

healing. Surgery, 29(4), pp.141–145. Available at:

http://dx.doi.org/10.1016/j.mpsur.2011.01.002.

Mcdonnell, G. & Russell, A.D., 1999. Antiseptics and disinfectants: Activity,

action, and resistance. Clinical Microbiology Reviews, 12(1), pp.147–179.

Nasution, A.I., 2016. Histology: Cartilage and Bone. In Syah Kuala University.

Syah Kuala University.

Nebendahl, K., 2000. Routes of Administration. Academic Press, pp.463–483.

Pacier, C., Martirosyan, D.M. & Martirosyan, D., 2015. Vitamin C: optimal

dosages, supplementation and use in disease prevention. Functional Foods in

Health and Disease, 5(3), pp.89–107.

Papachroni, K.K. et al., 2009. Mechanotransduction in osteoblast regulation and

bone disease. Trends in Molecular Medicine, 15(5), pp.208–216.

Plackett, timothy P. & Kovacs, E.J., 2008. Acute Models of Ethanol Exposure to

Mice. In laura E. Nagy, ed. alcohol methods and protocols. Totowa, New

Jersey, USA: Humana Press, pp. 3–10.

Pustylnik, S. et al., 2013. EB1 levels are elevated in ascorbic acid (AA)-stimulated

osteoblasts and mediate cell-cell adhesion-induced osteoblast differentiation.

Journal of Biological Chemistry, 288(30), pp.22096–22110.

Santoso, M.I.E. et al., 2011. Etik Penelitian Kesehatan M. I. E. Santoso, ed.,

Universitas Brawijaya Press.

Sarisözen, B. et al., 2002. The effects of vitamins E and C on fracture healing in

rats. The Journal of international medical research, 30(3), pp.309–13.

Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12166348.

Sfeir, C. et al., 2005. Fracture Repair. Bone Regeneration and Repair: Biology

and Clinical Applications, (11), pp.21–44.

62

Smith, J.B. & Soesanto Mangkoewidjojo, 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis, Universitas Indonesia

Press.

Smith, L.H. & Becker, C.E., 1983. The clinical pharmacology of alcohol. Journal

of clinical and hospital pharmacy, 8(2), pp.89–102.

Sousa, C.P. et al., 2015. Bone turnover markers for early detection of fracture

healing disturbances: A review of the scientific literature. Anais da Academia

Brasileira de Ciencias, 87(2), pp.1049–1061.

Strohbach, C. a, Strong, D.D. & Rundle, C.H., 2011. Gene therapy applications

for fracture repair. Gene Therapy Applications,, pp.201–226. Available at:

http://www.intechopen.com/books/gene-therapy-applications/gene-therapy-

applications-for-fracture-repair.

Supple, D., 2008. Units & Conversions Fact Sheet Rules of Thumb. MIT Energy

Club, p.2. Available at:

http://www.mitenergyclub.org/assets/2008/11/15/Units_ConvFactors.MIT_E

nergyClub_Factsheet.v8.pdf.

Supranto, J., 2000. Teknik Sampling untuk Survey dan Eksperimen. Penerbit PT

Rineka Cipta, Jakarta.

Turner, P. V et al., 2011. Administration of substances to laboratory animals:

routes of administration and factors to consider. J Am Assoc Lab Anim Sci,

50(5), pp.600–613. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22330705.

Wezeman, F.H. & Gong, Z., 2004. Adipogenic effect of alcohol on human bone

marrow-derived mesenchymal stem cells. Alcoholism, clinical and

experimental research, 28(7), pp.1091–1101. Available at:

http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=med5&NE

WS=N&AN=15252296.

Yeh, C.-H. et al., 2008. Ethanol may suppress Wnt/beta-catenin signaling on

human bone marrow stroma cells: a preliminary study. Clinical orthopaedics

and related research, 466(5), pp.1047–53. Available at:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2311472&tool=p

mcentrez&rendertype=abstract.

63

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik

64

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian

65

Lampiran 3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Histopatologi dan

Imunohistokimia

66

67

68

Lampiran 4. Data Analisis SPSS

Case Processing Summary

Group

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Diameter

Kalus

Perlakuan 16 100.0% 0 0.0% 16 100.0%

Kontrol 16 100.0% 0 0.0% 16 100.0%

Osteoblas Perlakuan 16 100.0% 0 0.0% 16 100.0%

Kontrol 16 100.0% 0 0.0% 16 100.0%

Osteocalcin Perlakuan 16 100.0% 0 0.0% 16 100.0%

Kontrol 16 100.0% 0 0.0% 16 100.0%

Descriptives

Group Statistic Std. Error

Diameter

Kalus

Perlakuan Mean 3200.84550 287.317906

95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 2588.44188

Upper Bound 3813.24912

5% Trimmed Mean 3126.81167

Median 2979.58050

Variance 1320825.262

Std. Deviation 1149.271622

Minimum 1551.605

Maximum 6182.695

Range 4631.090

Interquartile Range 1251.345

Skewness 1.335 .564

Kurtosis 2.155 1.091

Kontrol Mean 2369.80750 137.688922

95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 2076.33051

Upper Bound 2663.28449

5% Trimmed Mean 2372.56867

Median 2420.60300

Variance 303331.828

Std. Deviation 550.755688

Minimum 1372.090

Maximum 3317.824

Range 1945.734

69

Interquartile Range 695.025

Skewness -.130 .564

Kurtosis -.500 1.091

Osteoblas Perlakuan Mean 484.00000 4.945537

95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 473.45884

Upper Bound 494.54116

5% Trimmed Mean 483.94444

Median 484.50000

Variance 391.333

Std. Deviation 19.782147

Minimum 453.000

Maximum 516.000

Range 63.000

Interquartile Range 30.250

Skewness .066 .564

Kurtosis -.949 1.091

Kontrol Mean 468.25000 4.320012

95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 459.04211

Upper Bound 477.45789

5% Trimmed Mean 468.00000

Median 464.50000

Variance 298.600

Std. Deviation 17.280046

Minimum 442.000

Maximum 499.000

Range 57.000

Interquartile Range 28.000

Skewness .161 .564

Kurtosis -1.099 1.091

Osteocalcin Perlakuan Mean 20.56250 .884914

95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 18.67635

Upper Bound 22.44865

5% Trimmed Mean 20.62500

Median 20.50000

Variance 12.529

Std. Deviation 3.539656

Minimum 13.000

Maximum 27.000

Range 14.000

Interquartile Range 4.500

Skewness -.101 .564

Kurtosis .368 1.091

Kontrol Mean 10.62500 .446047

70

95% Confidence

Interval for Mean

Lower Bound 9.67427

Upper Bound 11.57573

5% Trimmed Mean 10.52778

Median 10.50000

Variance 3.183

Std. Deviation 1.784190

Minimum 8.000

Maximum 15.000

Range 7.000

Interquartile Range 2.750

Skewness .893 .564

Kurtosis 1.023 1.091

Tests of Normality

Group

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Diameter Kalus Perlakuan .159 16 .200* .892 16 .059

Kontrol .123 16 .200* .977 16 .938

Osteoblas Perlakuan .138 16 .200* .945 16 .419

Kontrol .151 16 .200* .954 16 .561

Osteocalcin Perlakuan .095 16 .200* .982 16 .980

Kontrol .167 16 .200* .930 16 .240

Group Statistics

Group N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Diameter Kalus Perlakuan 16 3200.84550 1149.271622 287.317906

Kontrol 16 2369.80750 550.755688 137.688922

Osteoblas Perlakuan 16 484.00000 19.782147 4.945537

Kontrol 16 468.25000 17.280046 4.320012

Osteocalcin Perlakuan 16 20.56250 3.539656 .884914

Kontrol 16 10.62500 1.784190 .446047

71

Independent Samples Test

There are no sources in the current

document.

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of

Means

F Sig. t df

Diameter Kalus Equal variances assumed 3.591 .068 2.608 30

Equal variances not assumed 2.608 21.544

Osteoblas Equal variances assumed .485 .492 2.398 30

Equal variances not assumed 2.398 29.468

Osteocalcin Equal variances assumed 4.600 .040 10.028 30

Equal variances not assumed 10.028 22.160

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference

Diameter Kalus Equal variances assumed .014 831.038000 318.606055

Equal variances not assumed .016 831.038000 318.606055

Osteoblas Equal variances assumed .023 15.750000 6.566646

Equal variances not assumed .023 15.750000 6.566646

Osteocalcin Equal variances assumed .000 9.937500 .990975

Equal variances not assumed .000 9.937500 .990975

72

73

74

75

Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Histopatologis dan Imunohistokimia

(a) (b)

Hasil Pemeriksaan Histopatologis Diameter Kalus pada Kelompok P0 (a),

Kelompok P1 (b). Pada gambar ini didapatkan diameter kalus lebih tebal pada

kelompok perlakuan.

(a) (b)

Hasil Pemeriksaan Histopatologis Jumlah Osteoblas pada Kelompok P0 (a),

Kelompok P1 (b). Pada gambar ini didapatkan jumlah sel osteoblas lebih banyak

pada kelompok perlakuan.

(a) (b)

Hasil Pemeriksaan Histopatologis Ekspresi Osteocalcin pada Kelompok P0 (a),

Kelompok P1 (b). Pada gambar ini didapatkan ekspresi osteocalcin lebih banyak

pada kelompok perlakuan.

76

Lampiran 6. Foto Dokumentasi Penelitian

(a) sampel tikus (B) injeksi intraperitoneal

(C) insisi parapatelar (D) insersi k-wire

(D) refrakturisasi femur (E) penjahitan luka

(F) sakrifasi femur (G) hasil sakrifasi


Recommended