+ All Categories
Home > Documents > Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Date post: 01-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 8 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
26
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 73 Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia Hanif Fathoni 1 1 Madrasah Diniyah Ar-Rosyad, Gg. Masjid Ar-Rosyad, No.51, Ds. Pehkulon, Kec. Papar, Kab Kediri, Jawa Timur, 64153, Indonesia. Email: haneef621@gmail.com Abstrak: Madrasah merupakan lembaga penddidikan berbasis agama yang sudah lama ada di negara Indonesia yang berupaya untuk secara aktif dapat mengembangkan potensi dalam diri peserta didik agar memiliki life skill dengan bekal spiritual, intelektual, kecerdasan emosional dan akhlak mulia, serta segala keterampilan yang mungkin diperlukan dalam masyarakat, bangsa dan negara. Perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah awal masuk agama Islam dan perkembangannya sejak zaman pra-kemerdekaan hingga sekarang. Secara garis besar kurikulum madrasah memiliki variasi yang berbeda- beda tergantung situasi dan kondisi yang terjadi di berbagai macam tempat. Perbedaan variasi kurikulum tersebut dibagi menjadi 3 periode yaitu: 1). Kurikulum madrasah sebelum kemerdekaan, 2). Kurikulum madrasah sesudah kemerdekaan, dan 3). Kurikulum madrasah pasca kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kurikulum madrasah cenderung tidak terstruktur karena orientasinya adalah dakwah penyebaran agama Islam. Terdapat juga di beberapa wiayah seperti di Sumatera khususnya Aceh, madrasah sudah memiliki bentuk kurikulum yang terstruktur walaupun masih cukup sederhana terutama pasca masifnya gerakan pembaharuan yang dibawa oleh para tokoh nasional yang belajar di Timur Tengah. Pasca kemerdekaan, kurikulum madrasah secara nasional sudah memiliki bentuk yang terstruktur dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman hingga bisa menjadi kurikulum seperti saat ini. Kata Kunci: Perkembangan Kurikulum, Madrasah, sistem pendidikan, SKB 3 Menteri. 1. Pendahuluan Madrasah sebagaimana sekolah merupakan bentuk lembaga penddidikan berbasis agama yang sudah lama ada di negara Indonesia yang berupaya untuk mewujudkan kegiatan belajar dan proses pembelajaran dengan tujuan agar para peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dalam dirinya agar memiliki life skill dengan bekal spiritual, intelektual, kecerdasan emosional dan akhlak mulia, serta segala keterampilan yang mungkin diperlukan dalam masyarakat, bangsa dan negara [1, p. 119]. Untuk itu, pendidikan madrasah perlu diperhatikan dan diteliti lebih lanjut agar pendidikan di Indonesia semakin lebih baik. Dalam sejarahnya, madrasah mengalami berbagai macam perkembangan khususnya dari segi kurikulumnya dari awal berdirinya sistem pendidikan semacam madrasah ini hingga sekarang. Bagaimanapun juga, kurikulum merupakan pedoman utama pelaksanaan kegiatan pelajaran dan pembelajaran yang memiliki peran cukup signifikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum yang direncanakan dan dikembangkan dengan baik akan menghasilkan pendidikan yang baik dan berkualitas. Demikian pula kurikulum yang dikembangkan oleh madrasah ataupun sekolah semestinya
Transcript
Page 1: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 73

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Hanif Fathoni1 1 Madrasah Diniyah Ar-Rosyad, Gg. Masjid Ar-Rosyad, No.51, Ds. Pehkulon, Kec.

Papar, Kab Kediri, Jawa Timur, 64153, Indonesia.

Email: [email protected]

Abstrak: Madrasah merupakan lembaga penddidikan berbasis agama yang sudah

lama ada di negara Indonesia yang berupaya untuk secara aktif dapat

mengembangkan potensi dalam diri peserta didik agar memiliki life skill dengan

bekal spiritual, intelektual, kecerdasan emosional dan akhlak mulia, serta segala

keterampilan yang mungkin diperlukan dalam masyarakat, bangsa dan negara.

Perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah awal

masuk agama Islam dan perkembangannya sejak zaman pra-kemerdekaan hingga

sekarang. Secara garis besar kurikulum madrasah memiliki variasi yang berbeda-

beda tergantung situasi dan kondisi yang terjadi di berbagai macam tempat.

Perbedaan variasi kurikulum tersebut dibagi menjadi 3 periode yaitu: 1). Kurikulum

madrasah sebelum kemerdekaan, 2). Kurikulum madrasah sesudah kemerdekaan,

dan 3). Kurikulum madrasah pasca kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kurikulum

madrasah cenderung tidak terstruktur karena orientasinya adalah dakwah

penyebaran agama Islam. Terdapat juga di beberapa wiayah seperti di Sumatera

khususnya Aceh, madrasah sudah memiliki bentuk kurikulum yang terstruktur

walaupun masih cukup sederhana terutama pasca masifnya gerakan pembaharuan

yang dibawa oleh para tokoh nasional yang belajar di Timur Tengah. Pasca

kemerdekaan, kurikulum madrasah secara nasional sudah memiliki bentuk yang

terstruktur dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman

hingga bisa menjadi kurikulum seperti saat ini.

Kata Kunci: Perkembangan Kurikulum, Madrasah, sistem pendidikan, SKB 3

Menteri.

1. Pendahuluan

Madrasah sebagaimana sekolah merupakan bentuk lembaga penddidikan

berbasis agama yang sudah lama ada di negara Indonesia yang berupaya untuk

mewujudkan kegiatan belajar dan proses pembelajaran dengan tujuan agar para

peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dalam dirinya agar

memiliki life skill dengan bekal spiritual, intelektual, kecerdasan emosional dan

akhlak mulia, serta segala keterampilan yang mungkin diperlukan dalam

masyarakat, bangsa dan negara [1, p. 119]. Untuk itu, pendidikan madrasah perlu

diperhatikan dan diteliti lebih lanjut agar pendidikan di Indonesia semakin lebih

baik. Dalam sejarahnya, madrasah mengalami berbagai macam perkembangan

khususnya dari segi kurikulumnya dari awal berdirinya sistem pendidikan

semacam madrasah ini hingga sekarang.

Bagaimanapun juga, kurikulum merupakan pedoman utama pelaksanaan

kegiatan pelajaran dan pembelajaran yang memiliki peran cukup signifikan dalam

mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum yang direncanakan dan dikembangkan

dengan baik akan menghasilkan pendidikan yang baik dan berkualitas. Demikian

pula kurikulum yang dikembangkan oleh madrasah ataupun sekolah semestinya

Page 2: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

74 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

juga relevan dengan kondisi zaman dan kebutuhan masyarakat. Sebab kurikulum

dibentuk dan dikembangkan guna mencapai tujuan pendidikan, yaitu

mempersiapkan peserta didik agar dapat hidup di masyarakat. Hal ini sesuai

dengan peran sekolah atau madrasah yang sebenarnya yaitu sebagai laboratorium

kehidupan bermasyarakat, sehingga di kemudian hari peserta didik di sekolah

tersebut diharapkan telah mampu untuk berbaur dan berinteraksi dalam kehidupan

masyarakat sesungguhnya [2, p. 14].

Yang perlu untuk diperhatikan dalam melihat masalah ini, kurikulum

madrasah di Indonesia dianggap berperan yang sangat penting karena terdapat di

dalamnya muatan moral dan sikap beragama yang menjadikan peserta didik

berkarakter yang baik (akhlak karimah) dan mendapatkan pendidikan berdasarkan

nilai-nilai Islam [3, p. 1]. Nilai-nilai ini dianggap sangat penting karena menjadi

core utama dari pendidikan Islam. Meskipun model kurikulum madrasah maupun

bentuk pendidikannya pernah mengalami perkembangan dari sejak sebelum

kemerdekaan dan pasca kemerdekaan hingga pada saat ini. Perkembangan itu

sejatinya berdasarkan atas kondisi dan situasi dengan harapan agar para peserta

didik madrasah dapat menghadapi perkembangan zaman serta menyiapkan masa

depan mereka dengan baik. Dengan mengetahui apa dan bagaimana bentuk

perkembangan itu dapat menjadikan pendidikan madrasah secara khusus dan

pendidikan nasional secara umum lebih baik dan lebih berkualitas lagi. Oleh

karena itu mengetahui perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia perlu

untuk dilakukan.

2. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat library research atau

kajian pustaka. Karena kajian ini bersifat pustaka, untuk itu dalam seluruh

prosesnya dari awal hingga akhir penelitian, penulis menggunakan berbagai

macam pustaka yang relevan untuk menjawab permasalahan yang dicermati.

Sementara itu, penelitian kajian pustakan merupakan penampilan argumentasi

penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir

peneliti mengenai topik atau masalah kajian, dimana memuat beberapa gagasan

atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari

sumber pustaka [4, p. 76]. Obyek penelitian adalah kurikulum madrasah dengan

mempertimbangkan data perubahan kurikulum secara diakronik. Adapun subyek

penelitian yang terlibat diantaranya adalah Mahmud Yunus mendirikan sekolah

al-Jami’ah al-Islamiyah di Batusangkar, Pondok Modern Darussalam Gontor,

Pesantren Tebuireng dan beberapa madrasah lainnya yang terkait. Adapun metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan

menerapkan analisa konten sebagaimana yang digagas oleh Shelley dan

Krippendorff yaitu teks, mengajukan pertanyaan riset, memahami konteks,

menganalisa konstruks, melakukan inferensi dan validasi data [5, p. 43]. Untuk

mempermudah analisa konten tersebut, diantara langkah yang dilakukan adalah

dengan mengumpulkan data-data dari berbagai macam journal, artikel, serta buku-

buku yang relevan seperti Sejarah Pendidikan Islam karya Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia karya H. P. Daulay dan

beberapa buku serta artikel terkait.

Page 3: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 75

3. Hasil

Secara garis besar pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan terbagi

menjadi 2 tingkatan: 1). Tingkat pemula, yang mempelajari dasar-dasar huruf

hijaiyah sampai dapat membacanya dengan lancar dengan minimal khatam al-

Quran, 2). Tingkat lanjutan, mempelajari materi-materi lainnya seperti qashidah,

barzanji, ilmu tajwid dan beberapa kajian kitab kuning. Adapun perkembangan

lanjutan setelahnya secara garis besar terbagi menjadi 3 yaitu: 1). Sistem

Pendidikan Peralihan Hindu-Islam; sistem ini masih menggabungkan antara Hindu

dan Islam dengan 2 garis besar model yaitu model Pendidikan Keraton (guru

mendatangi murid dan khusus untuk para bangsawan kalangan keraton) dan model

Pendidikan Pertapa (murid mendatangi guru, diperuntukkan untuk semua

kalangan); 2). Sistem Pendidikan Surau (langgar); rata-rata metode

pembalajaranyang digunakan di Surau adalah metode ceramah, membaca dan

menghafal. Metode ceramah ini biasa juga disebut metode halaqoh yaitu guru

membacakan materi pelajaran, sedangkan murid menyimak dengan mencatat

beberapa catatan penting disisi kitab dan dapat juga dengan menggunakan buku

khusus murid; 3). Sistem Pendidikan Pesantren; sebagaimana disebutkan

sebelumnya bahwa pesantren lahir dari kehidupan tasawuf para pengikut tarekat

serta merupakan bentuk proses islamisasi dukuh sasthri dalam tradisi Hindu-

Budha [6, pp. 423–424]. Secara garis besar core kurikulumnya adalah fikih (fikih

umum maupun fikih ibadah), tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.

Disamping pengajaran kitab-kitab dalam bidang ilmu tersebut terdapat pula

pelajaran-pelajaran tarekat yang dikemas dalam bentuk suluk (istilah perilaku dan

adab dalam laku tarekat) seperti Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga,

Wasita Jati, Suluk sunan geseng, dan beberapa ajaran tarekat lainnya. Kemudian

pada masa penjajahan, terdapat beberapa pembaharuan pendidikan waktu itu

yaitu: 1). Pendidikan pesantren bersifat non-klasikal (tidak adanya target

percapaian dalam jangka waktu tertentu yang membuat seorang santri bisa belajar

selama yang ia mau dan mampu); 2). Materi pelajaran agama hanya bersumber

pada buku-buku klasik saja tanpa ada tambahan pelajaran umum; 3). Terbatasnya

metode pengajaran yang digunakan (sorogan, weton, hafalan dan mudzakarah); 4).

Tidak ada prioritas ijazah (surat keterangan lulus dan sebagainya).

Pasca kemerdekaan setelah berubahnya nama SGAI (Sekolah Guru Agama

Islam) menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI berubah menjadi

SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Hal tersebut semakin mendorong

perkembangan pendidikan agama Islam di Indonesia, sehingga, semakin banyak

sekolah dan madrasah yang tumbuh berkembang. Langkah-langkah tersebut

mendorong pesantren untuk mengadopsi model madrasah ke dalam pesantren,

sehingga ada beberapa pesantren yang mengadopsi sistem madrasah bahkan

mendirikan sekolah umum diantaranya adalah Pesantren Tebuireng Jombang.

Diantara pembaharuan kurikulum pelajaran madrasah di Tebuireng, terutama

untuk Madrasah Tsanawiyah pada waktu itu dibagi menjadi 2 bagian kelas yaitu

kelas A (dengan 75% pelajaran agama dan 25% pelajaran umum) dan kelas B

(25% pelajaran agama dan 75% pelajaran umum). Sedangkan Madrasah

Page 4: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

76 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

Nidzamiyah diperuntukan untuk pendalaman materi pengetahuan bahasa dan

sastra asing (Bahasa Arab, Inggris dan Belanda) disamping pelajaran agama.

Pasca Orde Baru berkuasa, banyak perubahan dan pembaharuan dalam

pendidikan agama terjadi di Indonesia yang berimplikasi juga kepada perubahan

kurikulum madrasah, dimana kurikulum madrasah yang sebelumnya 60% agama

dan 40% pengetahuan umum berubah menjadi 30% agama dan 70% pengetahuan

umum.

4. Pembahasan

Perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah

pendidikan agama terutama agama Islam sejak sebelum kemerdekaan, pasca

kemerdekaan hingga sampai perubahan kurikulum yang dilakukan pada Era SKB 3

Menteri. Hal itu disebabkan karena penyebaran ajaran Islam dimulai melalui

media pendidikan, sehingga perkembangan pendidikan Islam juga seiring dan

sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia [7, p. 229]. Kemudian

akan ditemukan bentuk struktur kurikulum madrasah yang telah dikembangkan.

Untuk lebih jelasnya dalam pembahasan berikut:

A. Pendidikan Agama sebelum Kemerdekaan

Sebelum disebut dengan sebutan Bangsa Indonesia, Indonesia dikenal

dengan nama “Nusantara” yang merupakan istilah dalam bahasa Jawa (antara

abad 12-16) untuk menggambarkan konsep negara yang dimiliki oleh Majapahit.

Kemudian istilah ini oleh Ki Hajar Dewantara dimunculkan kembali sebagai

salah satu nama sebutan alternatif untuk negara merdeka pasca Hindia Belanda

yang belum berbentuk negara pada awal abad ke-20.[8] Nusantara pada dasarnya

merupakan penggambaran kelompok masyarakat yang beragama (religius).

Sebagaimana yang disampaikan Rasyidi yang dikutip oleh Rusdi bahwa

masyarakat nusantara kuno memiliki kepercayaan terhadap Dzat (Tuhan) Yang

Maha Esa sebagai Kekuatan Yang Absolut [7, p. 230].

Dipertegas oleh Sunyoto bahwa agama yang dianut oleh penghuni

Nusantara pada zaman dahulu adalah Kapitayan, yaitu suatu keyakinan yang

menyembah sembahan utama yang disebut Dzat Yang Maha Absolut atau

disebut “Sanghyang Taya” [6, p. 14]. Setelah agama Hindu dan Budha masuk,

hampir mayoritas penduduk Jawa pada waktu itu menganut ajaran Hindu

ataupun Budha. Kemudian Islam datang dengan model ajaran tauhid yang mirip

dengan ajaran Kapitayan, sehingga ketika Islam datang dengan mudah dapat

diterima oleh masyarakat terutama masyarakat pesisir tempat berlabuhnya para

pendatang [7, p. 230]. Berbagai macam bentuk dan metode dakwah dilakukan

oleh para pendatang yang beragama Islam tersebut untuk menglslamkan

masyarakat Nusantara seperti melalui perdagangan, perkawinan, tasawuf,

pendidikan, kesenian dan kemudian melalui politik [9, p. 7].

Pola pendidikan Islan di Nusantara pada awalnya melalui media dialog

antara pedagang (para pendatang yang beragama Islam) dan pembeli dari

masyarakat sekitar, juga melalui media lainnya seperti dengan cara dakwah bilhal (dengan menunjukkan sikap dan kondisi) serta pendidikan di Surau,

Masjid [7, p. 230], rumah-rumah, pesantren (Jawa) dan meunasah atau dayah

(Aceh). Diantara lembaga-lembaga itu yang berperan menjadi pilar utama dalam

Page 5: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 77

perkembangan serta pendidikan Islam adalah surau, pesantren dan meunasah [10,

p. 146]. Disamping itu, penyebaran Islam juga dilakukan melalui media politik

dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Samudera Pasai

pada abad 13 M dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada abad 15 M di Aceh,

Kerajaan Islam Demak pada abad 16 M., Kerajaan Islam Pajang (sebagai

suksesor dari kerajaan Islam Demak), Kerajaan Islam Mataram pada abad 16 M,

Kerajaan Islam Cirebon pada abad ke-16 M., Kesultanan Banten pada abad 16

M. dan Kerajaan Islam Banjar di Kalimantan Selatan pada abad 16 M [9, p. 7].

Menurut Sabarudin pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan dapat

dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: 1). Pendidikan yang berlandaskan ajaran

keagamaan, 2). Pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan, dan 3).

Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.[11, p. 141] Ketiga macam

tersebut dapat digolongkan menjadi 3 periode, yaitu: 1). Pendidikan Islam pada

masa Kerajaan Islam, 2). Pendidikan Islam pada periode kolinalisme Belanda dan

Jepang, 3). Pendidikan Islam pra kemerdekaan. Pendidikan Islam pada masa

kerajaan Islam mulai berkembang dengan bentuk yang sangat sederhana, hal ini

terjadi karena masyarakat Islam pada masa itu membutuhkan pengajaran atau

pendidikan. Kebutuhan tersebut mendorong masyarakat Islam untuk mengadopsi

lembaga sosial ataupun lembaga keagamaan yang ada ke dalam lembaga

pendidikan Islam.

Pada masyarakat Jawa, lembaga pendidikan atau keagamaan Hindu-Budha

ditransfer oleh umat Islam menjadi pesantren.[12, p. 257] Pesantren merupakan

lembaga pendidikan yang mengajarkan ajaran Islam dengan menitikberatkan

aspek moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.[10, p. 151] Menurut

Sunyoto, pesantren merupakan salah satu contoh proses Islamisasi dakwah Islam

dengan cara mentransformasikan sistem pendidikan lokal berciri Hindu-Budha

dan Kapitayan yaitu dukuh (tempat pertapaan untuk mendidik calon pendeta

atau disebut wiku), asrama dan padepokan menjadi “pesantren” [6, p. 422].

Pesantren adalah bukti yang ditinggalkan oleh para pendakwah Islam pada

waktu itu yang unik dan menakjubkan. Disebut menakjubkan karena para

pendakwah Islam pada masa tersebut mampu memformulasikan dan

mengkawinkan nilai-nilai sosio-kultural religius dalam masyarakat Hindu-Budha

dengan nilai-nilai Islam, terutama formulasi nilai tauhid Hindu-Budha dengan

ajaran Islam yang dianut oleh para pendakwah tersebut yang kebetulan para sufi

[6].

Pada mulanya, pesantren dipelopori oleh para pendakwah Islam yang

disebut “Wali Songo” di tanah Jawa, tersebar di berbagai daerah seperti

pesantren Syeikh Maulana Maghribi dan Pesantren Giri di Gresik, Pesantren

Ampel di Surabaya, pesantren Demak, Pesantren Tuban, Pesantren Drajat dan

pesantren lainnya di Indonesia.[10, p. 151] Model pesantren pada zaman ini,

biasanya terdapat masjid, pondokan dan rumah kediaman guru utama atau

disebut sunan atau kiai. Masjid diperuntukkan untuk pengajaran agama bagi

masyarakat umum, sedangkan para bangsawan dan kader-kader agama belajar

khusus di rumah para sunan atau wali.[12, p. 260] Di antara kurikulum yang

diajarkan di dalam pesantren pada masa itu adalah pelajaran akhlak (etika) dan

Tauhid yang merupakan bentuk formulasi perkawinan dengan ajaran Hindu-

Budha yaitu Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berisi

Page 6: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

78 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

tatakrama, tata tertib, sikap hormat, dan wujud bakti yang harus dilakukan

seorang murid kepada gurunya.[6, p. 422] Diantara contoh dari ajaran itu adalah

siswa tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotonga

ucapan atau pembicaraan guru, menaati apapun yang dititahkan guru,

memperhatikan nasehat guru meski dalam keadaan marah, bertutur kata yang

menyenangkan guru, mengikuti guru dari belakang ketika guru berjalan dan

sebagainya. Inti ajaran etika pada masa itu adalah kemutlakan tunduk kepada

guru. Disamping itu, para guru pada masa itu menunjukkan perilaku-perilaku

yang patut dicontoh oleh para murid sehingga mereka menjadi sumber teladan

yang baik dalam tingkah laku dan perbuatan [11, p. 146].

Kemudian pada masa kesultanan Demak, terjadi perubahan khusus yaitu

setiap desa harus menyiapkan tempat-tempat untuk pengajaran al-Quran

semacam masjid atau surau sebagai sarana pendidikan Islam yang diajarkan

didalamnya cara membaca al-Quran dan tatacara Ibadah Islam tingkat pemula

(dasar)[7, p. 230]. Diantara materi pelajarannya adalah pengenalan huruf

hijaiyah, pembacaan barzanji (berisi tentang biografi ringkas Nabi Muhammad

dan bacaan shalawat), dasar-dasar keislaman lainnya seperti praktik ibadah,

rukun iman dan rukun Islam, bahkan pihak kesultana Demak memberikan

himbauan kepada para orang tua agar memerintahkan putra-putranya yang

berumur 7 tahun untuk belajar mengaji al-Quran [12, p. 260]. Metode yang

digunakan pun ketika itu kebanyakan dengan cara menghafal, dengan

memanfaatkan pengajar dari modin (imamuddin/ pemuka agama desa) yang

disebar diberbagai daerah untuk anak-anak laki-laki maupun perempuan yang

berumur 7 tahun.

Disamping itu di beberapa daerah pendidikan agama diajarkan oleh

seorang badal (guru utusan) atau disebut juga wali untuk menjadi seorang guru

yang menjadi rujukan agama Islam. Biasanya pengajar resmi tersebut diberi

gelar Sunan atau Susuhunan dengan ditambahkan nama daerahnya, seperti

Sunan Gunung Jati dan sebagainya.[13, p. 240] Walaupun tidak ada undang-

undang tertulis, namun pembelajaran al-Quran ini menjadi semacam adat

istiadat yang mngakar sehingga ketika ada anak berumur 7 tahun tidak belajar

al-Quran akan menjadi bahan cemohan bagi teman seusianya.[11, p. 147] Setelah

itu kurikulum pun dikembangkan lebih dari sebelumnya, bagi murid yang telah

selesai pembelajaran al-Quran akan dibekali pengetahuan tambahan dengan

belajar kitab-kitab fiqih, akhlak, aqidah dan sebagainya yang diampu oleh Kiai

Anom (semacam gelar untuk modin (semacam gelar untuk modin yang

memenuhi syarat kepandaian dan budi pekerti untuk mengajar). Diantara materi

pelajarannya adalah kitab Ushul 6 Bis, matan Taqrib (fiqih), dan Bida>yatul Hida>yah (akhlak).

Pada beberapa kota besar, terdapat Pesantren Besar yang memiliki sarana

lebih lengkap diasuh oleh Kiai Ageng atau Kiai Sepuh dimana diajarkan di

dalamnya beberapa materi yang lebih lengkap lagi yaitu fiqh, tafir, hadis, ilmu

kalam, tasawuf dan sebagainya.[11, p. 147] Metode yang digunakan adalah

metode sorogan yaitu seorang murid membaca materi yang diajarkan dengan

disimak oleh guru kemudian guru menerangkan lalu menguji pemahaman yang

dipahami oleh murid. Selain metode tersebut, diterapkan pula metode halaqah yaitu seorang guru mengajarkan materi dengan dikelilingi oleh murid-

Page 7: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 79

muridnya.[7, p. 231] Secara garis besar pendidikan pada masa itu terbagi

menjadi 2 tingkatan: 1). Tingkat pemula, yang mempelajari dasar-dasar huruf

hijaiyah sampai dapat membacanya dengan lancar dengan minimal khatam al-

Quran, 2). Tingkat lanjutan, mempelajari materi-materi lainnya seperti qashidah,

barzanji, ilmu tajwid dan beberapa kajian kitab kuning.[7, p. 231] Dengan sistem

yang hampir sama namun berbeda istilah terdapat pada masyarakat

Minangkabau, dimana umat Islam di sana mengalih fungsikan surau yang

sebelumnya hanya untuk acara adat menjadi tempat ibadah seperti masjid,

tempat kegiatan keagamaan ataupun juga tempat pembelajaran al-Quran,

kemudian berkembang menjadi tempat pengembangan dakwah Islam dan

kemasyarakatan.[10, p. 152] Karena berfungsi seperti masjid, maka surau pada

zaman itu digunakan untuk pengajian al-Quran, pendidikan agama Islam, shalat

5 waktu, shalat jum’at dan kegiatan keagamaan lainnya. Disamping surau, ada

bentuk lembaga pendidikan tradisional lain yang berperan penting juga dalam

perkembangan pendidikan Islam pra kemerdekaan yaitu Balai Seutia Hukama semacam lembaga ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan Islam di Kerajaan

Aceh yang menjadi tempat berkumpulnya ulama, dan para cendekiawan.

Lembaga ini memiliki departemen khusus yang mengurusi urusan pendidikan

dan pengajaran yang disebut dengan Balai Jamaah Himpunan Ulama.[12, p. 259]

Yang menjadi keunikan sendiri dalam lembaga ini adalah sudah memiliki jenjang

pendidikan seperti pendidikan formal zaman sekarang, yaitu:[12, p. 259]

1) Meunasah, semacam surau atau madrasah yang berfungsi sebagai sekolah

dasar dengan materi pelajaran yang meliputi menulis dan membaca huruf

Arab, ilmu-ilmu agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa melayu. Selain

itu meunasah juga merupakan tempat berbagai macam kegiatan, baik

kegiatan adat, maupun kegiatan agama lainnya, yang secara tradisi

dikepalai oleh ketua yang disebut teungku meunasah.[10, p. 153]

2) Rangkang, setingkat sekolah menengah atau madrasah tsanawiyah yang

diadakan ditiap daerah mukim (kabupaten), dengan materi pelajaran yang

meliputi bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, ilmu hisab, akhlak dan

sebagainya.

3) Dayah, didirikan pada masa pemerintahan Iskandar Muda pada abad 17

yang terdapat di daerah uleebalang (setingkat provinsi). Tingkatan dayah

setara dengan pendidikan tinggi bisa seperti madrasah aliyah ataupun

perguruan tinggi.[14, p. 54] Materi yang diajarkan pada dayah setingkat

madrasah aliyah diantaranya adalah Bahasa Arab, Ilmu Fiqih, Tauhid,

Tasawuf, Ilmu Bumi, Sejarah, Tata Negara, Ilmu Pasti, dan Faraid.

Sedangkan dayah setingkat perguruan tinggi, di dalamnya diajarkan

materi bahasa dan sastra Arab, sejarah , ilmu mantik, tata negara, ilmu

falak, dan filsafat.

Kemudian menurut Alfian dalam Bizawie, sejak abad ke-18, terjadi

perpecahan di Aceh sehingga terjadi pula perubahan kekuasaan intelektual.

Kekuasaan intelektual Islam yang sebelumnya berlangsung di kerajaan berubah

Page 8: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

80 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

setelah diambil alih oleh dayah. Masyarakat pun beralih kepada ulama yang

berada di dayah untuk memperoleh pengetahuan Islam. Dalam bidang politik

dan keagamaan tersebut, dayah memiliki peranan yang semakin penting hingga

abad ke 19 ketika kerajaan Aceh jatuh dan para uleebalang mengalami krisis

ideologi. Hal ini membuka peluang bagi ulama dayah menjadi perumus ideologi

terutama ketika pecah perang Aceh-Belanda, para ulama memberi istilah perang

tersebut sebagai perang sabil (perang berasaskan agama).[14, p. 55] Berbeda

dengan yang terjadi di Aceh, munculnya pesantren-pesantren di Jawa adalah

bagian dari budaya politik Jawa dalam Kerajaan Mataram, dimana aturan-aturan

agama menjadi salah satu aspek penting dalam kerajaan disamping juga untuk

melegitimasi kekuasaan kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan diubahnya sistem

kalender Jawa dari Matahari Saka Hindu menjadi sistem kalender campuran

bulan Islam-Jawa oleh Sultan Agung sehingga benar-benar mengubah waktu di

Jawa. Hal tersebut memberikan kesan dalam tradisi Jawa bahwa Sultan Agung

merupakan model raja yang agung serta saleh secara keagamaan.[15, p. 110]

Kalender Islam-Jawa (Anno Javanico) ini di kemudian hari hingga sekarang

masih dipakai di beberapa ordo tarekat seperti tarekat Syathariyah,

Naqsyabandiyah, maupun tarekat lainnya serta pesantren-pesantren tradisional

yang juga mempengaruhi kalender akademik pesantren tersebut seperti

Pesantren Lirboyo, Ploso dan sebagainya.

Disamping pemaparan di atas, ketika penjajahan Belanda terjadi,

pendidikan Islam pada masa itu disebut dengan bumiputera (pendidikan Islam

yang diikuti oleh orang-orang pribumi Indonesia). Sistem pendidikan Islam pada

masa kolonialisme Belanda secara garis besar terbagi menjadi 3 macam yaitu:

1) Sistem Pendidikan Peralihan Hindu-Islam; sistem ini masih

menggabungkan antara Hindu dan Islam dengan 2 garis besar model yaitu

model Pendidikan Keraton (guru mendatangi murid dan khusus untuk para

bangsawan kalangan keraton) dan model Pendidikan Pertapa (murid

mendatangi guru, diperuntukkan untuk semua kalangan).

2) Sistem Pendidikan Surau (langgar); rata-rata metode pembalajaranyang

digunakan di Surau adalah metode ceramah, membaca dan menghafal.

Metode ceramah ini biasa juga disebut metode halaqoh yaitu guru

membacakan materi pelajaran, sedangkan murid menyimak dengan

mencatat beberapa catatan penting disisi kitab dan dapat juga dengan

menggunakan buku khusus murid.

3) Sistem Pendidikan Pesantren; sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa

pesantren lahir dari kehidupan tasawuf para pengikut tarekat serta

merupakan bentuk proses islamisasi dukuh sasthri dalam tradisi Hindu-

Budha.[6, pp. 423–424] Secara garis besar core kurikulumnya adalah fikih

(fikih umum maupun fikih ibadah), tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf

dan tafsir. Disamping pengajaran kitab-kitab dalam bidang ilmu tersebut

terdapat pula pelajaran-pelajaran tarekat yang dikemas dalam bentuk

suluk (istilah perilaku dan adab dalam laku tarekat) seperti Suluk Sunan

Page 9: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 81

Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasita Jati, Suluk sunan geseng, dan

beberapa ajaran tarekat lainnya.[16, p. 267]

Kemudian pasca Belanda menjalankan politik etisnya dengan menerapkan

trilogi program yang meliputi: pendidikan (edukasi), pengairan (irigasi) dan

transmigrasi setelah didirikannya priesterradden. Atas desakan badan pendidikan

ini, pada tahun 1905 Belanda mengeluarkan aturan yang membatasi ruang gerak

guru dengan memberikan persyaratan khusus untuk menjadi guru, yang

puncaknya pada tahun 1925 Belanda memberikan aturan bahwa tidak semua

orang (khususnya Kiai) bisa mengajar pengajian tau pun pelajaran.[17, p. 19]

Upaya ini dilakukan oleh pemerintah Belanda agar bangsa Indonesia tidak

tumbuh kekuatannya dari pengaruh fanatisme keagamaan dan pendidikan agama.

Beberapa strategi tersebut berhasil menelurkan pandangan umum pada

masyarakat bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang kolot dan tidak

bisa memenuhi tuntutan zaman.

Sebaliknya para pengelola pesantren merasa bahwa sikap menutup diri

mereka merupakan bentuk dari pemurnian ajaran agama dari pengaruh pemikiran

budaya barat yang modern dan penjajah. Disamping pandangan tersebut, muncul

pula pandangan bahwa umat Islam harus berupaya mempelajari sumber kekuatan

barat dan memilikinya. Kalangan yang berpandangan ini kemudian disebut para

pembaharu yang beranggapan bahwa sistem kelemahan umat Islam terletak pada

sistem pendidikannya yang kurang maju. Oleh karena itu mereka mencari

formulasi baru sistem pendidikan Islam yaitu madrasah (gabungan sistem

pendidikan barat dan pesantren).[13, pp. 250–251]

Diantara contoh dari pembaharuan tersebut adalah munculnya PUSA

(Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 yang dipimpin oleh

Mohammad Daud Beureu’eh yang mengingikan modernisasi sekolah-sekolah

Islam di Aceh.[15, p. 407]Selain itu, pasca terjadi gerakan modernisme di Mesir

dan Saudi, banyak orang-orang yang pulang dari negara tersebut membawa

ideologi perubahan di Nusantara, sehingga muncul gerakan-gerakan modernis

Islam seprti Jam’iatul Khair atau al-Jam’iyatu al-Khairiyah (tahun 1905) dengan

konsep lembaga pendidikan gabungan sistem Islam dan Barat, Taman Siswa

(1922) dengan konsep Sistem among, Tri pusat pendidikan dan kebudayaan

nasional, kemudian Indonesisch Nederland School (INS) tahun 1926 di Sumatera

Barat dengan sistem kemandirian pendidikannya yang memiliki prosentase

materi pada kurikulumnya teori dan praktek sesuai dengan jenjangnya.

Kemudian, organisasi Islam Muhammadiyyah (tahun 1921) yang didirikan oleh

KH. Ahmad Dahlan melakukan juga modernisasi pesantren dengan mendirikan

madrasah diniyah yang menggabungkan materi pelajaran agama dan materi

pelajaran umum dan sekolah model Belanda dengan memasukkan materi agama

Islam sebagai kurikulum wajibnya.[12, p. 262] Disamping itu, berdirinya Pondok

Modern Gontor pada tahun 1926 oleh tiga serangkai (KH. Ahmad Sahal, KH.

Zainuddin Fannani dan KH. Imam Zarkasyi) juga merupakan bentuk dari

modernisasi pesantren.

Singkat kata, lembaga-lembaga tersebut berupaya menggabungkan materi

keagamaan serta materi pengetahuan umum. Menurut Daulay, permulaan

pembaharuan pendidikan Islam secara kelembagaan dimulai pada tahun 1909

Page 10: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

82 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

dengan munculnya Adabiyah School (sekolah adab) di Sumatra Barat oleh H.

Abdullah Ahmad yang menurut Mahmud Yunus merupakan sekolah agama

(madrasah) pertama yang menggunakan sistem klasikal yang berbeda dengan

sistem pendidikan di surau-surau, meunasah dan sebagainya yang tidak memiliki

jenjang kelas, meja, bangku, papan tulis dan kurikulum yang baku.[18, p.

46]Kemudian muncullah Madrasah Diniyah (Diniyah School) yang didirikan

oleh Zainuddin Laday el-Yunusi pada tahun 1915 di Padang Panjang yang

menarik perhatian masyarakat Minangkabau pada waktu itu sehingga

bermunculan madrasah-madrasah yang tersebar di Minangkabau. Perkembangan

lebih lanjut ketika Mahmud Yunus mendirikan sekolah al-Jami’ah al-Islamiyah di Batusangkar pada tahun 1931 yang mempunyai 3 tingkatan yaitu: (1).

Madrasaha Ibtidaiyah dengan jenjang 4 tahun; (2). Madrasah Tsanawiyah

dengan jenjang 4 tahun; (3). Madrasah Aliyah dengan jenjang 4 tahun. Diantara

materi utama pada madrasah tersebut adalah ilmu agama, bahasa Arab dan ilmu

pengetahuan umum.[18, pp. 46–47] Adapun contoh dari alokasi waktu dan mata

pelajaran pada kurikulum madrasah al-Jami’ah al-Islamiyah adalah sebagai

berikut:

Tabel 1. Rencana pelajaran tsanawiyah aljami’ah al-islamiyah

Tahun 1931

No Mata Pelajaran Kelas

Kls 1 Kls 2 Kls 3 Ksl 4

1 Agama:

a. Tafsir

b. Mustalah Hadist

c. Tauhid

d. Fiqh/ Hikmah Tasyri’

e. Ushul Fiqh

9

2

1

1

4

1

9

2

1

1

4

1

9

2

1

1

4

1

9

2

1

1

4

1

2 Bahasa Arab:

a. Membaca

b. Bercakap-cakap/ Mengarang

c. Hafalan

d. Qawaid (Nahwu & Sharf)

7

2

1

1

3

7

2

1

1

3

7

2

1

1

3

7

2

1

1

3

3 Tarikh Islam 1 1 1 1

4 Sejarah Indonesia 2 2 2 2

5 Ilmu Bumi / Falak 2 2 2 2

6 Ilmu Alam 2 2 2 2

7 Ilmu Tumbuh-tumbuhan 1 1 - -

8 Ilmu Hewan - - 1 1

9 Ilmu Tubuh Manusia - - 1 1

10 Ilmu Berhitung 2 2 2 2

11 Bahasa Inggris 2 2 2 2

12 Gerak Badan 1 1 1 1

Total 29 29 29 29

Page 11: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 83

Tabel 2. Rencana Pelajaran Normal Islam Padang Tahun 1931

No Mata Pelajaran Kelas

Kls 1 Kls 2 Kls 3 Ksl 4

1 Ilmu Agama: 6 6 5 4

2 Bahasa Arab:

a. Mengarang/Pidato

b. Muthala’ah

c. Mahfudzat

d. Qawaid

e. Adabul Lughah

8

2

2

1

2

1

8

2

2

1

2

1

8

2

2

1

2

1

8

2

2

1

2

1

3 Aljabar 1 1 1 1

4 Ilmu Ukur 2 2 2 2

5 Ilmu Alam/Kimia 2 2 2 2

6 Ilmu Hayat/Geologi 2 2 2 2

7 Ekonomi 1 1 - -

8 Tarikh Islam - - 1 1

9 Sejarah Indonesia/Dunia - - 1 1

10 Ilmu Bumi/ Falak 2 2 2 2

11 Tata Negara 2 2 2 2

12 Bahasa Inggris/ Belanda 1 1 1 1

13 Gerak Badan 1 1 1 1

14 Ilmu Pendidikan 2 3 3 4

15 Ilmu Jiwa - - 1 1

16 Ilmu Kesehatan 1 1 - -

17 Khat/ Menggambar 1 1 1 1

Total 34 34 34 34

Banyak madrasah-madrasah diniyah pada waktu itu memiliki kurikulum

seperti tersebut di atas pada rata-rata madrasah di Sumatera. Berbeda dengan di

Jawa, sebgian besar madrasah masih menggunakan kurikulum yang belum

terstruktur seprti di Sumatera sebagai contoh madrasah taswirul afkar yang

didirikan oleh KH. Mas Mansur dan KH. Wahab Hasbullah tahun 1914 pada

mulanya hanya berupa forum diskusi, tempat kursus dan musyawarah

selanjutnya menjadi madrasah dengan sistem pengajaran. Disamping itu, KH.

Hasyim Asy’ari juga mendirikan madrasah salafiyah yang juga mengajarkan

ilmu-ilmu agama saja pada tahun 1916. Madrasah Salafiyah ini terdiri dari 7

jenjang kelas dengan 2 tingkatan yaitu shifr awwal dan shifir tsani. Tahun

pertama dinamakan shifir awwal dan tahun kedua dinamakan shifir tsani, kedua

tahun ini merupakan kelas persiapan untuk masuk madrasah dengan jangka

waktu 5 tahun berikutnya. Mater pelajaran pada tingkat shifir awwal dan shifir tsani hanya terbatas pemahaman pelajaran bahasa Arab saja, sedangkan jenjang

berikutnya yaitu madrasah ibtidaiyyah ditekankan pada penguasaan materi

kitab-kitab klasik seperti fathul qarib (fiqh), hafalan nadzam Alfiyah Ibni malik dan ilmu pengetahuan agama untuk 3 tahun pertama pada jenjang ini. Kemudian

pada tahun 1919, kurikulum pelajaran Madrasah Salafiyah Syafi’iyah ditambah

dengan materi pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Matematika dan

Page 12: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

84 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

Geografi. Penambahan beberapa materi tersebut dimaksudkan oleh KH. Hasyim

Asy’ari untuk memajukan madrasaha pesantren sebagai bentuk dari

pembaharuan sitem madrasah yang dibantu oleh Kiai Mohammad Ilyas

(keponakan KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian hari menjadi Menteri Agama

RI). Diantara langkah strategi pembaharuan sistem madrasah tersebut adalah:

(1). Memperluas pengetahuan santri; (2). Memasukkan pengetahuan modern ke

dalam kurikulum madrasah; (3). Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab

secara aktif.[19, pp. 11–12] Pada tahun 1934, setelah pulang dari Mekkah KH.

Abdul Wahid Hasyim dan KH. M. Ilyas mendirikan Madrasah Nidzamiyah serta

merubah jenjang kelas yang sebelumnya hanya 5 tahun menjadi 6 tahun (untuk

madrasah ibtidaiyah) dengan menambahkan juga ilmu-ilmu pengetahuan umum

seperti bahasa Belanda, Bahasa Inggris dan ketrampilan mengetik kemudian juga

melengkapi perpustakaan dengan 1000 judul buku lebih. Diantara bacaan

tambahan dari koran dan majalah untuk menambah pengetahuan santri dalam

perpustakaan tersebut adalah sebagai berikut: Panji Islam, Dewan Islam, Berita

Nahdlatoel Oelama’, Islam Bergerakm Adil, Nurul Iman, Penjebar Semangat,

Pandji Pustaka, Pudjangga Baru, Shout al-Hijaz, al-Munawwarah, serta beberapa

buku bacaan bahasa Arab dan Inggris.[19, p. 13] Pada tahun berikutnya tepatnya

tahun 1947, jenjang pendidikan yang sebelumnya hanya 2 tingkatan (shifir dan

ibtidaiyyah) dirombak menjadi 3 tingkatan yaitu shifir, ibtidaiyyah dan

Tsanawiyah yang kemudian diikuti oleh sejumlah pondok pesantren lainnya di

Jawa. Sedikit gambaran kurikulum pelajaran madrasah di Tebuireng, terutama

untuk Madrasah Tsanawiyah pada waktu itu dibagi menjadi 2 bagian kelas yaitu

kelas A (dengan 75% pelajaran agama dan 25% pelajaran umum) dan kelas B

(25% pelajaran agama dan 75% pelajaran umum). Sedangkan Madrasah

Nidzamiyah diperuntukan untuk pendalaman materi pengetahuan bahasa dan

sastra asing (Bahasa Arab, Inggris dan Belanda) disamping pelajaran agama.[19,

pp. 15–16] Beberapa fenomena pembaharuan pesantren dalam bentuk madrasah

di atas merupakan bukti pembaharuan sistem pesantren dan madrasah di

Indonesia. Terlebih, semangat pembaharuan pendidikan agama Islam berkobar di

hati banyak tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia yang menurut Steenbrink

diantara faktornya adalah ketidak puasan atas metode tradisional dalam

mempelajari al-Quran dan agama serta memandang perlunya pengetahuan umum

dalam pendidikan Islam.[18, p. 59] Pendapat ini dipertegas oleh Daulay dengan

menyebutkan beberapa indikator kekurangan pendidikan agama di pesantren

yang mendorong pembaharuan pendidikan waktu itu: 1). Pendidikan pesantren

bersifat non-klasikal (tidak adanya target percapaian dalam jangka waktu

tertentu yang membuat seorang santri bisa belajar selama yang ia mau dan

mampu); 2). Materi pelajaran agama hanya bersumber pada buku-buku klasik

saja tanpa ada tambahan pelajaran umum; 3). Terbatasnya metode pengajaran

yang digunakan (sorogan, weton, hafalan dan mudzakarah); 4). Tidak ada

prioritas ijazah (surat keterangan lulus dan sebagainya).[18, p. 60] Secara garis

besar dari paparan di atas, ada 3 faktor utama yang mendorong pembaharuan

sistem madrasah dan pesantren pada waktu itu yaitu metodologi pengajaran,

kurikulum dan isi materi, dan manajemen pendidikan.

Pada zaman penjajahan Jepang, sistem pendidikan Belanda ini diubah

orientasinya menjadi sistem pendidikan yang berorientasi untuk kepentingan

Page 13: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 85

perang. Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda yang sebelumnya terdiri dari

jenis pengajaran kolonial dan pengajaran bumiputera (rakyat), pada masa

penjajahan Jepang sistem tersebut dihapus menjadi hanya satu sistem saja yaitu

Sekolah Rakyat (sekolah rendah untuk semua golongan rakyat) selama 6 tahun

untuk sekolah pertama dengan istilah “Kokumin Gakko” atau disebut SNI

(Sekolah Nippon Indonesia). Adapun jenjang-jenjang pendidikannya pun

berubah menjadi: a). Sekolah Rakyat atau sekolah pertama (6 tahun); b). Sekolah

menengah (3 tahun); c). Sekolah Menengah Tinggi setingkat SMA pada zaman

itu (3 tahun).[13, p. 252]Upaya-upaya tersebut sebenarnya dilakukan oleh

pemerintahan Jepang untuk menarik hati umat Islam di Indonesia, dan

memudahkan mereka dalam mengatur bangsa Indonesia pada tahun 1942

dihapuskanlah semua organisasi politik kemudian mereka membentuk organisasi

baru hingga pada akhir tahun 1942 Jepang mendirikan Shumubu (semcam

Kantor Urusan Agama).[15, p. 411] Diantara hal yang dilakukan oleh badan ini

adalah pencatatan santri madrasah, dan pesantren yang berjumlah 139.415

orang.[20, p. 106] Badan ini dipimpin oleh ulama terkemuka pada waktu itu

yaitu KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.

Pada zaman penjajahan Jepang, sistem pendidikan Belanda ini diubah

orientasinya menjadi sistem pendidikan yang berorientasi untuk kepentingan

perang. Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda yang sebelumnya terdiri dari

jenis pengajaran kolonial dan pengajaran bumiputera (rakyat), pada masa

penjajahan Jepang sistem tersebut dihapus menjadi hanya satu sistem yaitu

sekolah untuk semua.

B. Pendidikan Agama Pasca Kemerdekan

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, ada perubahan

penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia, di mana pendidikan agama

mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah. Perhatian ini tidak hanya

untuk sekolah negeri tetapi juga untuk sekolah swasta. Diantara beberapa

perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1). Landasan ideologi pendidikan

adalah UUD 1945 dan {Pancasila; 2). Sistem pendidikan yang dianut adalah

sistem pendidikan warisan Belanda;[21, p. 450] 3). Setelah dekrit Presiden tahun

1959, UUD 1945 ditetapkan menjadi haluan negara dan diterapkan pula dalam

bidang pendidikan Sapta Usaha Tama dan Panca Wardana yang mencakup: (a)

perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral

nasional/internasional/keagamaan; (b) perkembangan kecerdasan; (c)

perkembangan emosional artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin;

(d) perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan; dan (e) perkembangan

jasmani.[22, pp. 10–11] Untuk implementasi program-program tersebut

pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1945 menggalakkan pembangunan

sekolah umum secara luas dan membuka lowongan jabatan dalam administrasi

sekolah-sekolah umum itu.[20, p. 106] Akibat yang terjadi dari arah kebijakan

tersebut menjadikan kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di

Indonesia menurun. Hal ini pula menyebabkan penurunan jumlah anak-anak

muda yang tertarik untuk masuk pesantren.

Page 14: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

86 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

Meskipun dampak yang terjadi bagi pesantren cukup terasa, namun

banyak perubahan pendidikan nasional yang terjadi akibat kebijakan tersebut

karena memiliki tujuan pendidikan yang cukup bagus. Diantara tujuan dari

sistem pendidikan yang berdasarkan atas Panca Wardhana tersebut menurut

Assegaf adalah membentuk manusia Indonesia yang sosialis berdasarkan cipta,

rasa, karsa, dan karya pada asas-asas moral kepribadian dan pancasila.[22, p. 11]

Titik terang pendidikan agama untuk madrasah dan pesantren menemukan

momentumnya pada waktu KH. Abdul Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama

RI pada tahun 1950. Pada tahun tersebut, Wahid melakukan reformasi

pendidikan agama Islam dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agama No.3

tahun 1950 yang berisi intruksi memasukkan pelajaran agama di sekolah umum

dan pelajaran umum di madrasah baik swasta maupun negeri. Terlebih lagi,

terbit kemudian Undang-undang Nomor 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan

dan Pengajaran di sekolah pasal 10 yang mengatakan bahwa belajar di sekolah

agama yang diakui oleh Departemen Agama telah dianggap memenuhi

kewajiban belajar (wajar).[23, p. 80] Kemudian terbit Undang-undang nomor 12

tahun 1950 yang mengatur tentang pendidikan agama di sekolah baik sekolah-

sekolah yang berada dalam naungan Kementrian Agama maupun Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan.[12, p. 264] Undang-undang tersebut menjadi acuan

pengakuan madrasah oleh pemerintah yang diantara syaratnya adalah harus

mengajarkan mata pelajaran agama minimalnya 6 jam seminggu di samping

mata pelajaran umum secara teratur dan konsisten.[23, p. 80] Tidak hanya

sebatas itu, pada tanggal 20 Januari 1951 diterbitkan peraturan dua menteri

(Menteri PP&K dengan Menteri Agama) dengan nomor K/652 dan Nomor 1432

yang berisi sebagai berikut:

1) Pendidikan agama mulai diberikan pada kelas IV Sekolah Rakyat;

2) Untuk daerah yang tingkat keagamaannya kurang kuat (Sumatera,

Kalimantan dan sebagainya), pendidikan agama diberikan sejak kelas

1 SR dengan tidak mengurangi jam pelajan umum.

3) Di sekolah lanjutan pertama dan tingkat atas (umum dan kejuruan)

diberikan pelajaran agama sedikitnya 2 jam seminggu.

4) Pendidikan agama dilakukan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang

per kelas dengan perizinan orang tua/walinya.[23, pp. 83–84]

Selain itu, pemerintah memberikan perhatian terhadap perkembangan

lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren, hanya

pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama diantaranya sebagai

berikut: 1). Memberikan materi pelajaran agama untuk sekolah negeri dan

swasta (partikelir); 2). Memasukkan materi pelajaran umum di madrasah; 3).

Mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim

Agama Islam (SGHAI).[12, p. 264] SGAI terdiri dari 2 jenjang yaitu: a). Jenjang

jangka panjang ditempuh selama 5 tahun yang diperuntukkan untuk siswa

tamatan SR atau MI; b). Jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun untuk

siswa tamatan SMP/Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan SGHAI ditempuh selama

4 tahun untuk lulusan SMP maupun Madrasah Tsanawiyah yang memilki empat

macam kelas: a). Kelas yang bertujuan untuk mencetak guru kesusastraan; b).

Page 15: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 87

Kelas yang bertujuan untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti; c). Kelas yang

bertujuan untuk mencetak guru agama; d). untuk mencetak guru pendidikan

agama. Pada tahun 1951, SGAI berubah nama menjadi PGA (Pendidikan Guru

Agama) dan SGHAI berubah menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama).[23,

p. 81] Pendirian dua lembaga ini semakin mendorong perkembangan pendidikan

agama Islam di Indonesia, sehingga, semakin banyak sekolah dan madrasah yang

tumbuh berkembang.

Langkah-langkah tersebut mendorong pesantren untuk mengadopsi model

madrasah ke dalam pesantren, sehingga ada beberapa pesantren yang

mengadopsi sistem madrasah bahkan mendirikan sekolah umum diantaranya

adalah Pesantren Tebuireng Jombang.[20, p. 106] Geliat perkembangan itu pun

menuai hasil pada tahun 1954 dengan peningkatan jumlah madrasah di seluruh

wilayah Indonesia. Di mana setelah diadakan pendataan madrasah di seluruh

wilayah Indonesia, terdapat penambahan dengan rincian sebagai berikut:[23, p.

80]

Tabel 3. Statistik Madrasah di Indonesia era 60-an

No Tingkatan Jenjang

Waktu

Jumlah Jumlah

Murid

1. Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun 13.057 1.927.777

2. Madrasah Tsanawiyah 4 tahun 776 87.932

3. Madrasah Tsanawiyah Atas (Aliyah) 4 tahun 16 1.881

Total 13.849 2.017.590

Dari data tersebut, berarti jumlah madrasah pada pertengahan dekade 60-

an adalah 13.849 madrasah dari seluruh jenjang di Indonesia dengan jumlah total

murid 2.017.590 orang. Dengan demikian, secara keseluruhan perkembangan ini

menunjukkan peran madrasah di masa itu cukup signifikan dalam perkembangan

pendidikan di Indonesia dan memiliki peranan yang cukup besar dalam

mencerdaskan dan memperbaiki moral karakter bangsa. Pada tahun 1960, dalam

sidang MPRS diputuskan untuk melaksanakan pembangunan manusia di bidang

mental, agama, dan kebudayaan bersyaratkan spiritual dan material agar setiap

warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya serta menolak pengaruh

buruk kebudayaan asing dengan mencantumkan Bab II pasal II ayat 3 dengan

pernyataan: “pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah

umum, mulai dari sekolah rendah (dasar) hingga perguruan tinggi

(universitas).[23, p. 84] dari Guna menanggapi geliat pertumbuhan madrasah di

atas serta sebagai bentuk respon dukungan atas undang-undang wajib belajar,

Departemen Agama pada tahun 1963 mencanangkan MWB (Madrasah Wajib

Belajar) dengan mewajibkan wajib belajar selama 8 tahun. MWB ini

dimaksudkan untuk mendukung laju pertumbuhan industri, ekonomi dan

transmigrasi yang kemudian berkembang menjadi madrasah pembangunan.[9, p.

12]

Setelah berkuasanya Orde Baru, kebijakan pemerintah Orde Baru terkait

pendidikan Islam yang berhubungan dengan madrasah bersifat konstruktif dan

positif[21, p. 451] meskipun secara umum arah kebijakan pendidikan lebih

kepada keseragaman berpikir dan bertindak (uniformitas). Dimulai dari pakaian

Page 16: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

88 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

seragam, penyatuan wadah organisasi masyarakat yang bertujuan untuk

menjadikan masyarakat yang homogen dalam bertindak sehingga menimbulkan

perkembangan anak-anak yang tidak kreatif dan produktif, lamban dan lemah

yang berujung kepada matinya demokrasi.[25, pp. 13–14] Pada awal

pemerintahan ORBA (Orde Baru), kebijakan pendidikan agama Islam masih

meneruskan apa yang digagas pada ORLA, sehingga perhatian kepada madrasah

masih belum maksimal. Madrasah pada masa itu, belum dianggap sebagai bagian

dari pendidikan nasional. Terlebih lagi, muncul indikasi adanya dualisme

pendidikan yaitu pendidikan ‘umum” yang diwakili sekolah umum dan

pendidikan ‘agama” yang diwakili oleh madrasah dan pesantren. Akibatnya,

muncul stigma negatif tentang pendidikan agama sebagai berikut: 1). Agama

hanya dipandang sebagai ilmu yang mempelajari teologi saja; 2). Pendidikan

agama terkesan eksklusif dan terpecah-pecah dalam kubu umat Islam sendiri; 3).

Pendidikan agama menelurkan IQ tak bermutu dan rendah.[21, p. 451]Baru

kemudian, setelah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri diterbitkan pada

tahun 1976, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama berubah dengan

perhatian lebih.

C. Madrasah Era SKB 3 Menteri

Pasca Orde Baru berkuasa, banyak perubahan dan pembaharuan dalam

pendidikan agama terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya adalah: 1). Hubungan kerjasama antara umat Islam dan pemerintah

semakin harmonis dan membaik; 2). Perekonomian nasional semakin maju dan

membaik; 3). Negara dan pemerintahan semakin aman dan stabil (hal ini terlihat

dengan dicanangkannya program P4 yang berdasarkan indikatornya menjadikan

masyarakat semakin rukun dan tentram).[16, pp. 337–340] Meskipun perhatian

pemerintah cukup baik kepada pendidikan agama (madrasah dan pesantren),

namun pada awal tahun 1970-an banyak kebijakan pemerintah ORBA yang

terkesan berupaya untuk mengisolasi pergerakan madrasah dari sistem

pendidikan nasional. Hal ini dapat dilihat dengan diterbitkannya KEPRES No.

34 tahun 1972 dan INPRES No. 15 tahun 1974 yang berisi tentang

penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya dibawah naungan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang berarti pendidikan madrasah tidak

dianggap sebagai salah satu sistem pendidikan nasional.[26, pp. 218–219]

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, umat Islam menyampaikan

aspirasi keberatannya atas kebijakan pemerintah tersebut melalui para ulama dan

tokoh pendidikan Islam dalam musyawarah kerja Majlis Pertimbangan

Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A), dimana dalam forum tersebut

diputuskan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga

pendidikan yang penting dan berarti dalam proses pembangunan dan untuk

lembaga yang paling tepat untuk mengurusi madrasah adalah Departemen

Agama. Guna menanggapi aspirasi tersebut, pada tanggal 26 November 1974

diselenggarakan sidang kabinet yang dihadiri oleh 3 menteri (Menteri Agama,

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri) yang

menghasilkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 1975 berisi

tentang kerjasama dan peningkatan mutu madrasah.[26, p. 219] Melalui SKB

tersebut pendidikan madrasah diharapkan memiliki kesetaraan dalam sistem

Page 17: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 89

pendidikan nasional sehingga lulusan madrasah dapat diterima di sekolah-

sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi umum. Disamping itu, SKB 3 Menteri

ini juga berisi tentang batasan jenjang pendidikan madrasah, yaitu Madrasah

Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA),

berisi juga persamaan jenjang madrasah dengan sekolah-sekolah umum dalam

mutu pendidikan, struktur program dan kurikulum.[17, p. 26] Dengan demikian,

pengakuan pemerintah terhadap pendidikan madrasah telah lama dilakukan

walaupun belum mencakup keseluruhan aspek kurikulum dan sistem.

Pada tahun 1976, berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, Departemen

Agama membuat ketetapan standarisasi program dan kurikulum madrasah yang

berimplikasi pada persamaan nilai ijazah madrasah dengan ijazah sekolah umum

sehingga ijazah madrasah dapat digunakan untuk melanjutkan studi maupun

pindah di sekolah umum yang setingkat. Langkah ini berakibat pula kepada

perubahan kurikulum madrasah yang sebelumnya 60% agama dan 40%

pengetahuan umum berubah menjadi 30% agama dan 70% pengetahuan

umum.[12, p. 265] Pasca dikeluarkannnya SKB Tiga Menteri tersebut, madrasah

tidak dianggap lagi sebagai lembaga pendidikan keagamaan saja namun juga

setara dengan sekolah umum yang mengkhususkan mata pelajaran agama

sebagai pendidikan dasar. Akan tetapi, prosentase kurikulum dengan

perbandingan pada kurikulum madrasah 70:30 tersebut menuai berbagai macam

reaksi dan kritik dari masyarakat, sehingga membutuhkan perubahan lebih

lanjut. Tindak lanjut dari pengembangan pendidikan madrasah setelah itu adalah

dikeluarkannya SKB Dua Menteri antara Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1984 tentang Pengaturan Standarisasi

Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah yang berisi perubahan dan

penyempurnaan kurikulum sekolah umum dan madrasah.

Diantara pengembangan kurikulum madrasah khususnya pada tingkat MA

adalah pemakaian sistem semester dengan alokasi waktu untuk masing-masing

pelajaran 45 menit, dan membagi 2 jenis program pendidikan yang terdiri dari

program inti dan program peminatan atau pilihan. Dua jenis program itu yaitu:

(1) Pendidikan agama, termasuk di dalamnya al-Quran, Hadits, Aqidah, Akhlak,

Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab; (2) Pendidikan dasar umum

yang terdiri dari Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Ilmu

Pengetahuan Sosial, Olahraga dan Kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni,

Pendidikan Keterampilan, Bahasa Inggris untuk MTs dan MA. Dimasukkan juga

beberapa materi pelajaran umum untuk program aliyah seperti Geografi, Biologi,

Fisika, Kimia dan Ekonomi.[26, pp. 220–221] Dengan kata lain, kurikulum 1984

merupakan kurikulum implementasi dari SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri dari

segi program, tujuan, materi dan pelajarannya yang memuat 3 indikator strategis

yaitu: 1). Program kurikulum madrasah tahun 1984 dilaksanakan dalam bentuk

kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler dan ekstrakurikuler dalam muatan inti dan

program pilihannya; 2). Proses KBM dilaksanakan dengan melihat kecocokan

peserta didik dengan materi pelajarannya; 3). Penilaian bersifat continue dan

menyeluruh dalam proses belajar dan hasil belajar.[26, pp. 221–222]

Berdasarkan atas UU No.2 tahun 1989, pendidikan Islam semakin

diperhatikan dimana pemerintah aktif membangun masjid melalui Yayasan

Page 18: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

90 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

Amal Bakti Muslim Pancasila, penyelenggaraan lomba dalam bentuk MTQ

(Musabaqah Tilawatil Quran), dicanangkannya pesantren kilat, pengajian-

pengajian di berbagai macam tempat, UU pengadilan agama dan sebagainya.[9,

p. 13] Selain itu, untuk menutupi kekurangan yang terdapat pada madrasah versi

SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri, dimana banyak lulusannya yang tidak

terlalu menguasai pengetahuan agama, pemerintah mendirikan MAPK

(Madrasah Aliyah Program Khusus) pada tahun 1987 berdasarkan Keputusan

Menteri Agama RI Nomor 73 ketika Bapak Munawir Sadzali, M.A menjabat

sebagai Menteri Agama.[26, p. 222] Pendirian MAPK ini merupakan tanggapan

atas masalah kelangkaan ulama yang terjadi di Indoneisa pada waktu itu dengan

alokasi kurikulum pelajaran 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan

umum. Program ini bertujuan untuk menyiapkan generasi unggul secara nasional

maupun internasional dan siap menjadi ulama yang handal difokuskan pada

pendalaman pengetahuan agama dengan tidak mengesampingkan pengetahuan

umum.[9, p. 13] Oleh karena itu, Departemen Agama bersama Dirjen Bimbingan

Islam melakukan uji kelayakan bagi beberapa madrasah-madrasah aliyah negeri

(MAN) yang memenuhi persayaratan dalam hal sarana dan prasarananya untuk

menyelenggarakan program ini sesuai dengan Keputusan Dirjen Lembaga Islam

No.47/E/1987 tanggal 23 Juni 1987. Diantara madrasah-madrasah negeri yang

memenuhi syarat pada waktu itu adalah MAN Kota Baru Padang Panjang,

Sumatra Barat; MAN Ujung Pandang, Sulawesi Selatan; MAN Darussalam

Ciamis, Jawa Barat; MAN I Yogyakarta; dan MAN Jember Jawa Timur.[26, p.

222] Selanjutnya program ini diubah namanya menjadi MAK (Madrasah Aliyah

Keagamaan), yang membedakan dengan versi sebelumnya adalah MAPK hanya

dilaksanakan khusus untuk beberapa Madrasah Aliyah Negeri saja, tetapi MAK

dapat dilaksanakan di madrasah-madrasah swasta yang memiliki minat.[9, pp.

13–14] Dengan adanya program khusus ini, banyak diantara lulusan MAK yang

dapat melanjutkan studinya di banyak universitas terkemuka baik nasional

maupun internasional.

Setelah reformasi yang ditandai dengan diturunkannya Presiden Soeharto

dari kursi kepresidenan pada tahun 1998, kebijakan pendidikan pun berubah

diantaranya adalah sebagai berikut: 1). Pemantaban pendidikan Islam sebagai

pendidikan nasional, diantaranya adalah dengan diterbitkannya UU nomor 20

tahun 2003 yang memasukkan Pesantren, Ma’had Aly, Raudhatul Athfal, dan

majlis taklim ke dalam pendidikan nasional (berbeda dengan UU no. 2 tahun

1989 yang hanya memasukkan madrasah ke dalam pendidikan nasional), 2).

Alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN berimplikasi terhadap

penambahan anggaran pendidikan Islam, 3). Program wajib belajar 9 tahun yang

mewajibkan pendidikan anak dari sekolah dasar atau madrasah ibdtidaiyah

hingga SLTP atau madrasah Tsanawiyah, 4). Penyelenggaraan sekolah atau

madrasah bertaraf nasional (SBN/MBN) dan internasional (SBI/MBI), 5).

Penyelenggaraan sertifikasi dosen dan guru baik swasta maupun negeri, baik

guru agama maupun non agama, dari semua sekolah dan madrasah dibawah

naungan Menteri Pendidikan maupun Kementrian Agama sesuai dengan PP No.

74 tahun 2005, 6). Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada

tahun 2004 serta KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) pada tahun

2006 yang menekankan kepada peserta didik tidak hanya kognisi (penguasaan

Page 19: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 91

materi) namun juga pengalaman proses untuk mendapatkan pengetahuan

tersebut, 7). Pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya teacher

centre (berpusat pada guru) namun juga student center (berpusat pada murid)

melalui pengalaman belajar dan meneliti dengan sistem PAIKEM (partisipasif,

aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan), 8). Penerapan manajemen

pendidikan yang berorientasi pada pelayanan yang baik dan memuaskan (Total

Quality Management)[16, pp. 352–358] dengan munculnya PP Nomor 19 tahun

2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan) yang meliputi: Standar

Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan

Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan,

Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan[27].

Beberapa perubahan tersebut menjadi bukti perhatian pemerintah terhadap

pendidikan Islam khususnya madrasah di Indonesia yang sekarang menjadi

setara dengan sekolah umum dengan kekhususan pendidikan agama sehingga

dapat dikatakan bahwa dikotomisasi dan diskriminasi pendidikan di era

reformasi tidak tampak terjadi.

D. Bentuk Struktur Kurikulum Madrasah

Kurikulum madrasah sejak pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan hingga era

SKB Tiga Menteri dan setelahnya berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi

yang terjadi pada zamannya. Hal itu menjadikan bentuk sistem dan materi

kurikulum bervariasi sesuai dengan kebutuhan pada masing-masing zaman.

Diantara perkembangan itu adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Pendidikan Islam Pada Masa Pra-Kemerdekaan

Zaman Bentuk Kurikulum Metode Materi

Pendidikan

Islam sebelum

Kemerdekaan:

Masa

Kerajaan

Islam (13 M -

16 M)

Masjid, dan

Pesantren

Non-structured

Curriculum (Basic)

1. Hafalan

2. Halaqah

1. Pengenalan

huruf

hijaiyah hingga

kahatam al-Quran).

2. Dasar-

dasar

keislaman

(praktik

ibadah,

rukun iman

dan rukun

Islam)

Non-structured

Curriculum (Advanced)

1. Sorogan

2. Weton

3. Halaqah

Pembacaan

barzanji (biografi

ringkas Nabi

Muhammad),

Ilmu Tajwid,

dan beberapa

Page 20: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

92 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

kajian kitab

kuning seperti

kitab Ushul 6

Bis, matan

Taqrib (fiqih),

dan Bida>yatul Hida>yah (akhlak)

Non-structured

Curriculum (Specialized)

1. Sorogan

2. Weton

3. Halaqah

fikih (fikih

umum maupun

fikih ibadah),

tata bahasa

arab,

ushuludin/

ilmu kalam,

tasawwuf,

tafsir dan

tarekat

Pendidikan

Islam sebelum

Kemerdekaan:

Masa

Kerajaan

Islam (17 M –

19 M)

Surau dan

Meunasah

(Ibtidaiyah)

Elementer Curriculum

1. Hafalan

2. Halaqah

menulis dan

membaca huruf

Arab, ilmu-

ilmu agama,

akhlak, sejarah

Islam dan

bahasa melayu

Rangkang

(Tsanawiyah)

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Halaqah

bahasa Arab,

ilmu bumi,

sejarah, ilmu

hisab, akhlak

dan sebagainya

Dayah (Aliyah)

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Halaqah

Bahasa Arab,

Ilmu Fiqih,

Tauhid,

Tasawuf, Ilmu

Bumi, Sejarah,

Tata Negara,

Ilmu Pasti, dan

Faraid

Dayah

(Jami’ah)

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Halaqah

materi bahasa

dan sastra

Arab, sejarah ,

ilmu mantik,

tata negara,

ilmu falak, dan

filsafat

Pendidikan

Islam pada

Sistem

Pendidikan

Non-structured

1. Pendidikan

Keraton

Membaca al-

Quran dan

Page 21: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 93

periode

kolinalisme

Belanda dan

Jepang

(sebelum

1909 di Jawa)

Bumiputera

(Keraton dan

Pertapa)

Curriculum (semacam

kursus

untuk para

bangsawan

kalangan

keraton).

2. Pendidikan

Pertapa

(murid

mendatangi

guru,

diperuntukk

an untuk

semua

kalangan)

pengetahuan

dasar agama

Islam

Sistem

Pendidikan

Surau

(langgar)

Separated Subject

Curriculum

metode

ceramah,

membaca dan

menghafal

(halaqah)

1. Membaca al-Quran).

2. Dasar-

dasar

keislaman

(praktik

ibadah,

rukun iman

dan rukun

Islam)

Sistem

Pendidikan

Pesantren

Separated Subject

Curriculum

1. Sorogan

2. Weton

3. Halaqah

Fikih, tata

bahasa arab,

ushuludin,

tasawwuf dan

tafsir.

Disamping

pelajaran-

pelajaran

tarekat dalam

bentuk suluk

Pendidikan

Islam pada

periode

kolinalisme

Belanda dan

Jepang (di

Sumatera)

Madrasah

Diniyah

(Ibtidaiyah 4

tahun)

Separated Subject

Curriculum (Elementary)

1. Direct

Method

2. Drill

3. Ceramah

4. Induktif-

Deduktif

ilmu agama,

bahasa Arab

dan ilmu

pengetahuan

umum

Madrasah

Diniyah

(Tsanawiyah4

tahun)

Separated Subject

Curriculum (Secondary)

1. Direct

Method

2. Drill

3. Ceramah

4. Induktif-

Deduktif

ilmu agama,

bahasa Arab

dan ilmu

pengetahuan

umum

Page 22: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

94 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

Madrasah

Diniyah

(Aliyah 4

tahun)

Separated Subject

Curriculum (Advanced)

1. Direct

Method

2. Drill

3. Ceramah

4. Induktif-

Deduktif

ilmu agama,

bahasa Arab

dan ilmu

pengetahuan

umum

Setelah kemerdekaan, kebijakan pemerintah terkait pendidikan Islam dan

madrasah dibagi beberapa periode yaitu periode orde lama, orde baru dan

reformasi dimana pada awal orde baru madrasah mendapatkan pengakuan

berdasarkan Undang-undang Nomor 4 1950 dan Peraturan Dua Menteri tanggal 20

Januari 1951 kemudian berkembang hingga masa reformasi sebagai berikut:

Tabel 5. Pendidikan Islam Pada Masa Pasca-Kemerdekaan

Waktu Bentuk Kurikulum Metode Materi

Pendidikan

Islam pada

Masa Orde

Lama (1945-

1965)

Sekolah Guru

Agama Islam

(SGAI)

selama 5

tahun

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Ceramah

1. Agama

2. Umum

Sekolah Guru

Hakim

Agama Islam

(SGHAI)

selama 4

tahun

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Ceramah

1. Sastra

2. Ilmu Alam

3. Ilmu Agama

4. Ilmu

Pendidikan

Agama

Madrasah

Ibtidaiyah (6

tahun)

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

1. Ceramah

1. Agama

1. Umum

Madrasah

Tsanawiyah

(4 tahun)

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Ceramah

1. Agama

2. Umum

Madrasah

Aliyah (4

tahun)

Separated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Ceramah

1. Agama

2. Umum

Pendidikan

Islam pada

Masa Orde

Baru (1966-

1974)

Madrasah

Ibtidaiyah

(MI)

Correlated Subject

Curriculum

1. Hafalan

2. Ceramah

1. Agama (60%)

2. Umum (40%)

Madrasah

Tsanawiyah

(MTs)

Correlated Subject

Curriculum

Hafalan

Ceramah

Agama (60%)

Umum (40%)

Page 23: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 95

Madrasah

Aliyah (MA)

Correlated Subject

Curriculum

Hafalan

Ceramah

Agama (60%)

Umum (40%)

Pendidikan

Islam pada

Masa Orde

Baru (masa

SKB 3

Menteri

tahun 1975-

1984)

Madrasah

Ibtidaiyah

(MI)

Integrated Curriculum

Organization

Hafalan

Ceramah

Agama (30%)

Umum (70%)

Madrasah

Tsanawiyah

(MTs)

Correlated Subject

Curriculum

Hafalan

Ceramah

Agama (30%)

Umum (70%)

Madrasah

Aliyah (MA)

Correlated Subject

Curriculum

Hafalan

Ceramah

Agama (30%)

Umum (70%)

Pendidikan

Islam pada

Masa Orde

Baru (SKB 2

Menteri

tahun 1984)

Madrasah

Ibtidaiyah

(MI)

Content Based

Curriculum

Hafalan

Ceramah

CBSA

Agama (Program

inti)

Umum (pilihan)

Madrasah

Tsanawiyah

(MTs)

Content Based

Curriculum

Hafalan

Ceramah

CBSA

Agama (Program

inti)

Umum (pilihan)

Madrasah

Aliyah (MA)

Content Based

Curriculum

Hafalan

Ceramah

CBSA

Agama (Program

inti)

Umum (pilihan)

Pendidikan

Islam pada

Masa Orde

Baru (1987)

MAPK

(Madrasah

Aliyah

Program

Khusus)

Content Based

Curriculum

Hafalan

Ceramah

CBSA

Agama (70%)

Umum (30%)

Pendidikan

Islam pada

Masa

Reformasi

(1994)

MI, MTs,

MA

Objective Based

Curriculum

Ceramah

CBSA

Agama (70%)

Umum (30%)

Pendidikan

Islam pada

Masa

Reformasi

(2004)

MI, MTs,

MA

Competency Based

Curriculum

PAIKEM

CTL

Agama (70%)

Umum (30%)

Pendidikan

Islam pada

Masa

Reformasi

(2006)

MI, MTs,

MA

KTSP PAIKEM

CTL

Inquiry dsb

Agama (70%)

Umum (30%)

Page 24: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

96 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

Demikian perkembangan bentuk dan struktur kurikulum madrasah di

Indonesia yang bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman.

5. Kesimpulan

Dari paparan mengenai perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia

diatas, secara garis besar kurikulum madrasah memiliki variasi yang berbeda-beda

tergantung situasi dan kondisi yang terjadi di berbagai macam tempat. Perbedaan

variasi kurikulum tersebut dibagi menjadi 3 periode yaitu: 1). Kurikulum

madrasah sebelum kemerdekaan, 2). Kurikulum madrasah sesudah kemerdekaan,

dan 3). Kurikulum madrasah pasca kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan,

kurikulum madrasah cenderung tidak terstruktur karena orientasinya adalah

dakwah penyebaran agama Islam. Terdapat juga di beberapa wiayah seperti di

Sumatera khususnya Aceh, madrasah sudah memiliki bentuk kurikulum yang

terstruktur walaupun masih cukup sederhana terutama pasca masifnya gerakan

pembaharuan yang dibawa oleh para tokoh nasional yang belajar di Timur Tengah.

Pasca kemerdekaan, kurikulum madrasah secara nasional sudah memiliki bentuk

yang terstruktur dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan

zaman hingga bisa menjadi kurikulum seperti saat ini. Meskipun sudah mengalami

perkembangan yang pesat, perbaikan demi perbaikan pada kurikulum madrasah

masih perlu dilakukan untuk menjawab berbagai macam kebutuhan pada situasi

dan kondisi yang terjadi di masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh

karena itu, pembahasan tentang perkembangan kurikulum madrasah tidak akan

pernah habis.

6. Daftar Referensi

[1] M. Qurniawan, “PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI

PENDIDIKAN SIAGA BENCANA DALAM KURIKULUM MADRASAH

IBTIDAIYAH,” An-Nuha: Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Budaya & Sosial, vol. 1, no. 2,Desember, Art. no. 2,Desember, 2014.

[2] K. Rahman, “Pengembangan Kurikulum Terintegrasi DI

Sekolah/Madrasah,” J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 1, no. 1,

Art. no. 1, Dec. 2014, doi: 10.18860/jpai.v1i1.3358.

[3] A. Almutasim, “Menakar Model Pengembangan Kurikulum di Madrasah,”

Pena Islam, vol. 1, no. 2, Art. no. 2, Sep. 2018.

[4] Pascasarjana, Pedoman Penulisan Tesis dan Karya Ilmiah. Kediri: IAIN

Kediri, 2019.

[5] M. Shelley and K. Krippendorff, Content Analysis: An Introduction to its Methodology., vol. 79. 1984.

[6] A. Sunyoto, Atlas Wali Songo, 9th ed., vol. 1. Tangerang: Pustaka IIman &

Lesbumi PBNU, 2018.

[7] M. Rusdi, “PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM

PROKLAMASI KEMERDEKAAN,” Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 10, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2007, doi:

10.24252/lp.2007v10n2a8.

Page 25: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 97

[8] J. M. van der Kroef, “The Term Indonesia: Its Origin and Usage,” Journal of the American Oriental Society, vol. 71, no. 3, pp. 166–171, 1951, doi:

10.2307/595186.

[9] S. H. Hamzah, “Resistensi Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah

Indonesia,” Dinamika Ilmu, vol. 11, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2011, doi:

10.21093/di.v11i2.35.

[10] S. Anam, “Karakteristik dan Sistem Pendidikan Islam: Mengenal Sejarah

Pesantren, Surau dan Meunasah di Indonesia,” JALIE; Journal of Applied Linguistics and Islamic Education, vol. 1, no. 1, Art. no. 1, Mar. 2017, doi:

10.33754/jalie.v1i1.52.

[11] M. Sabarudin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan

Sebelum Kemerdekaan,” TARBIYA: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, vol. 1,

no. 1, Art. no. 1, Apr. 2015.

[12] A. Nursyarief, “PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM

LINTASAN SEJARAH (Perspektif Kerajaan Islam),” Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 17, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2014,

doi: 10.24252/lp.2014v17n2a8.

[13] H. Hasnida, “SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI

INDONESIA PADA MASA PRA KOLONIALISME DAN MASA

KOLONIALISME (BELANDA, JEPANG, SEKUTU),” Kordinat | Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam, vol. 16, no. 2, Art. no. 2,

Oct. 2017, doi: 10.15408/kordinat.v16i2.6442.

[14] Z. M. Bizawie, Jejaring ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19. Tangerang: Pustaka

Compass, 2019.

[15] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Penerbit

Serambi, 2008.

[16] A. Nata, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2014.

[17] Umar, “EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (Perspekstif

Sejarah Pendidikan Nasional),” Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 19, no. 1, Art. no. 1, Jul. 2016, doi:

10.24252/lp.2016v19n1a2.

[18] H. P. Daulay, Sejarah Pertumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Kencana, 2018.

[19] A. Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng.

Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011.

[20] M. I. Usman, “Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam (Sejarah

Lahir, Sistem Pendidikan, Dan Perkembangannya Masa Kini),” Jurnal al-Hikmah, vol. 14, no. 1, Art. no. 1, Jun. 2013.

[21] S. R. Amrozi, “SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA;

PERSPEKTIF SEJARAH KRITIS IBNU KHOLDUN,” KUTTAB: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, vol. 4, no. 1, Art. no. 1, Mar. 2020, Accessed: May

31, 2020. [Online]. Available:

https://journalfai.unisla.ac.id/index.php/kuttab/article/view/105.

[22] A. M. A. Shofa, “PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH SEJAK

PROKLAMASI KEMERDEKAAN SAMPAI ERA REFORMASI,” p. 24.

Page 26: Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia

98 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020

[23] M. Sudin, “PENDIDIKAN ISLAM DAN PENDIDIKAN NASIONAL

DALAM KILASAN SEJARAH SINGKAT,” Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, vol. 23, no. 2, Art. no. 2, 2012, doi: 10.33367/tribakti.v23i2.31.

[24] Rahmat, “Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam (Sistem dan

Perkembangannya Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan),” Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, vol. 1, no. 01, Art. no. 01, May 2014, doi:

10.24252/rihlah.v1i01.649.

[25] I. Syafi’i, “HAKEKAT KURIKULUM PENDIDIKAN DAN SEJARAH

PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA,” kariman, vol. 4, no. 1, Art. no.

1, 2016.

[26] A. Abdullah, “Pendidikan Islam Sepanjang Sejarah: Sebuah Kajian Politik

Pendidikan di Indonesia,” SUSURGALUR, vol. 1, no. 2, Art. no. 2, 2013,

doi: 10.2121/susurgalur.v1i2.68.

[27] “Standar Nasional Pendidikan – Badan Standar Nasional Pendidikan.”

https://bsnp-indonesia.org/standar-nasional-pendidikan/ (accessed Jun. 11,

2020).


Recommended