Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 73
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia
Hanif Fathoni1 1 Madrasah Diniyah Ar-Rosyad, Gg. Masjid Ar-Rosyad, No.51, Ds. Pehkulon, Kec.
Papar, Kab Kediri, Jawa Timur, 64153, Indonesia.
Email: [email protected]
Abstrak: Madrasah merupakan lembaga penddidikan berbasis agama yang sudah
lama ada di negara Indonesia yang berupaya untuk secara aktif dapat
mengembangkan potensi dalam diri peserta didik agar memiliki life skill dengan
bekal spiritual, intelektual, kecerdasan emosional dan akhlak mulia, serta segala
keterampilan yang mungkin diperlukan dalam masyarakat, bangsa dan negara.
Perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah awal
masuk agama Islam dan perkembangannya sejak zaman pra-kemerdekaan hingga
sekarang. Secara garis besar kurikulum madrasah memiliki variasi yang berbeda-
beda tergantung situasi dan kondisi yang terjadi di berbagai macam tempat.
Perbedaan variasi kurikulum tersebut dibagi menjadi 3 periode yaitu: 1). Kurikulum
madrasah sebelum kemerdekaan, 2). Kurikulum madrasah sesudah kemerdekaan,
dan 3). Kurikulum madrasah pasca kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kurikulum
madrasah cenderung tidak terstruktur karena orientasinya adalah dakwah
penyebaran agama Islam. Terdapat juga di beberapa wiayah seperti di Sumatera
khususnya Aceh, madrasah sudah memiliki bentuk kurikulum yang terstruktur
walaupun masih cukup sederhana terutama pasca masifnya gerakan pembaharuan
yang dibawa oleh para tokoh nasional yang belajar di Timur Tengah. Pasca
kemerdekaan, kurikulum madrasah secara nasional sudah memiliki bentuk yang
terstruktur dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman
hingga bisa menjadi kurikulum seperti saat ini.
Kata Kunci: Perkembangan Kurikulum, Madrasah, sistem pendidikan, SKB 3
Menteri.
1. Pendahuluan
Madrasah sebagaimana sekolah merupakan bentuk lembaga penddidikan
berbasis agama yang sudah lama ada di negara Indonesia yang berupaya untuk
mewujudkan kegiatan belajar dan proses pembelajaran dengan tujuan agar para
peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dalam dirinya agar
memiliki life skill dengan bekal spiritual, intelektual, kecerdasan emosional dan
akhlak mulia, serta segala keterampilan yang mungkin diperlukan dalam
masyarakat, bangsa dan negara [1, p. 119]. Untuk itu, pendidikan madrasah perlu
diperhatikan dan diteliti lebih lanjut agar pendidikan di Indonesia semakin lebih
baik. Dalam sejarahnya, madrasah mengalami berbagai macam perkembangan
khususnya dari segi kurikulumnya dari awal berdirinya sistem pendidikan
semacam madrasah ini hingga sekarang.
Bagaimanapun juga, kurikulum merupakan pedoman utama pelaksanaan
kegiatan pelajaran dan pembelajaran yang memiliki peran cukup signifikan dalam
mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum yang direncanakan dan dikembangkan
dengan baik akan menghasilkan pendidikan yang baik dan berkualitas. Demikian
pula kurikulum yang dikembangkan oleh madrasah ataupun sekolah semestinya
74 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
juga relevan dengan kondisi zaman dan kebutuhan masyarakat. Sebab kurikulum
dibentuk dan dikembangkan guna mencapai tujuan pendidikan, yaitu
mempersiapkan peserta didik agar dapat hidup di masyarakat. Hal ini sesuai
dengan peran sekolah atau madrasah yang sebenarnya yaitu sebagai laboratorium
kehidupan bermasyarakat, sehingga di kemudian hari peserta didik di sekolah
tersebut diharapkan telah mampu untuk berbaur dan berinteraksi dalam kehidupan
masyarakat sesungguhnya [2, p. 14].
Yang perlu untuk diperhatikan dalam melihat masalah ini, kurikulum
madrasah di Indonesia dianggap berperan yang sangat penting karena terdapat di
dalamnya muatan moral dan sikap beragama yang menjadikan peserta didik
berkarakter yang baik (akhlak karimah) dan mendapatkan pendidikan berdasarkan
nilai-nilai Islam [3, p. 1]. Nilai-nilai ini dianggap sangat penting karena menjadi
core utama dari pendidikan Islam. Meskipun model kurikulum madrasah maupun
bentuk pendidikannya pernah mengalami perkembangan dari sejak sebelum
kemerdekaan dan pasca kemerdekaan hingga pada saat ini. Perkembangan itu
sejatinya berdasarkan atas kondisi dan situasi dengan harapan agar para peserta
didik madrasah dapat menghadapi perkembangan zaman serta menyiapkan masa
depan mereka dengan baik. Dengan mengetahui apa dan bagaimana bentuk
perkembangan itu dapat menjadikan pendidikan madrasah secara khusus dan
pendidikan nasional secara umum lebih baik dan lebih berkualitas lagi. Oleh
karena itu mengetahui perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia perlu
untuk dilakukan.
2. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat library research atau
kajian pustaka. Karena kajian ini bersifat pustaka, untuk itu dalam seluruh
prosesnya dari awal hingga akhir penelitian, penulis menggunakan berbagai
macam pustaka yang relevan untuk menjawab permasalahan yang dicermati.
Sementara itu, penelitian kajian pustakan merupakan penampilan argumentasi
penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir
peneliti mengenai topik atau masalah kajian, dimana memuat beberapa gagasan
atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari
sumber pustaka [4, p. 76]. Obyek penelitian adalah kurikulum madrasah dengan
mempertimbangkan data perubahan kurikulum secara diakronik. Adapun subyek
penelitian yang terlibat diantaranya adalah Mahmud Yunus mendirikan sekolah
al-Jami’ah al-Islamiyah di Batusangkar, Pondok Modern Darussalam Gontor,
Pesantren Tebuireng dan beberapa madrasah lainnya yang terkait. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan
menerapkan analisa konten sebagaimana yang digagas oleh Shelley dan
Krippendorff yaitu teks, mengajukan pertanyaan riset, memahami konteks,
menganalisa konstruks, melakukan inferensi dan validasi data [5, p. 43]. Untuk
mempermudah analisa konten tersebut, diantara langkah yang dilakukan adalah
dengan mengumpulkan data-data dari berbagai macam journal, artikel, serta buku-
buku yang relevan seperti Sejarah Pendidikan Islam karya Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia karya H. P. Daulay dan
beberapa buku serta artikel terkait.
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 75
3. Hasil
Secara garis besar pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan terbagi
menjadi 2 tingkatan: 1). Tingkat pemula, yang mempelajari dasar-dasar huruf
hijaiyah sampai dapat membacanya dengan lancar dengan minimal khatam al-
Quran, 2). Tingkat lanjutan, mempelajari materi-materi lainnya seperti qashidah,
barzanji, ilmu tajwid dan beberapa kajian kitab kuning. Adapun perkembangan
lanjutan setelahnya secara garis besar terbagi menjadi 3 yaitu: 1). Sistem
Pendidikan Peralihan Hindu-Islam; sistem ini masih menggabungkan antara Hindu
dan Islam dengan 2 garis besar model yaitu model Pendidikan Keraton (guru
mendatangi murid dan khusus untuk para bangsawan kalangan keraton) dan model
Pendidikan Pertapa (murid mendatangi guru, diperuntukkan untuk semua
kalangan); 2). Sistem Pendidikan Surau (langgar); rata-rata metode
pembalajaranyang digunakan di Surau adalah metode ceramah, membaca dan
menghafal. Metode ceramah ini biasa juga disebut metode halaqoh yaitu guru
membacakan materi pelajaran, sedangkan murid menyimak dengan mencatat
beberapa catatan penting disisi kitab dan dapat juga dengan menggunakan buku
khusus murid; 3). Sistem Pendidikan Pesantren; sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa pesantren lahir dari kehidupan tasawuf para pengikut tarekat
serta merupakan bentuk proses islamisasi dukuh sasthri dalam tradisi Hindu-
Budha [6, pp. 423–424]. Secara garis besar core kurikulumnya adalah fikih (fikih
umum maupun fikih ibadah), tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Disamping pengajaran kitab-kitab dalam bidang ilmu tersebut terdapat pula
pelajaran-pelajaran tarekat yang dikemas dalam bentuk suluk (istilah perilaku dan
adab dalam laku tarekat) seperti Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga,
Wasita Jati, Suluk sunan geseng, dan beberapa ajaran tarekat lainnya. Kemudian
pada masa penjajahan, terdapat beberapa pembaharuan pendidikan waktu itu
yaitu: 1). Pendidikan pesantren bersifat non-klasikal (tidak adanya target
percapaian dalam jangka waktu tertentu yang membuat seorang santri bisa belajar
selama yang ia mau dan mampu); 2). Materi pelajaran agama hanya bersumber
pada buku-buku klasik saja tanpa ada tambahan pelajaran umum; 3). Terbatasnya
metode pengajaran yang digunakan (sorogan, weton, hafalan dan mudzakarah); 4).
Tidak ada prioritas ijazah (surat keterangan lulus dan sebagainya).
Pasca kemerdekaan setelah berubahnya nama SGAI (Sekolah Guru Agama
Islam) menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI berubah menjadi
SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Hal tersebut semakin mendorong
perkembangan pendidikan agama Islam di Indonesia, sehingga, semakin banyak
sekolah dan madrasah yang tumbuh berkembang. Langkah-langkah tersebut
mendorong pesantren untuk mengadopsi model madrasah ke dalam pesantren,
sehingga ada beberapa pesantren yang mengadopsi sistem madrasah bahkan
mendirikan sekolah umum diantaranya adalah Pesantren Tebuireng Jombang.
Diantara pembaharuan kurikulum pelajaran madrasah di Tebuireng, terutama
untuk Madrasah Tsanawiyah pada waktu itu dibagi menjadi 2 bagian kelas yaitu
kelas A (dengan 75% pelajaran agama dan 25% pelajaran umum) dan kelas B
(25% pelajaran agama dan 75% pelajaran umum). Sedangkan Madrasah
76 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Nidzamiyah diperuntukan untuk pendalaman materi pengetahuan bahasa dan
sastra asing (Bahasa Arab, Inggris dan Belanda) disamping pelajaran agama.
Pasca Orde Baru berkuasa, banyak perubahan dan pembaharuan dalam
pendidikan agama terjadi di Indonesia yang berimplikasi juga kepada perubahan
kurikulum madrasah, dimana kurikulum madrasah yang sebelumnya 60% agama
dan 40% pengetahuan umum berubah menjadi 30% agama dan 70% pengetahuan
umum.
4. Pembahasan
Perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah
pendidikan agama terutama agama Islam sejak sebelum kemerdekaan, pasca
kemerdekaan hingga sampai perubahan kurikulum yang dilakukan pada Era SKB 3
Menteri. Hal itu disebabkan karena penyebaran ajaran Islam dimulai melalui
media pendidikan, sehingga perkembangan pendidikan Islam juga seiring dan
sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia [7, p. 229]. Kemudian
akan ditemukan bentuk struktur kurikulum madrasah yang telah dikembangkan.
Untuk lebih jelasnya dalam pembahasan berikut:
A. Pendidikan Agama sebelum Kemerdekaan
Sebelum disebut dengan sebutan Bangsa Indonesia, Indonesia dikenal
dengan nama “Nusantara” yang merupakan istilah dalam bahasa Jawa (antara
abad 12-16) untuk menggambarkan konsep negara yang dimiliki oleh Majapahit.
Kemudian istilah ini oleh Ki Hajar Dewantara dimunculkan kembali sebagai
salah satu nama sebutan alternatif untuk negara merdeka pasca Hindia Belanda
yang belum berbentuk negara pada awal abad ke-20.[8] Nusantara pada dasarnya
merupakan penggambaran kelompok masyarakat yang beragama (religius).
Sebagaimana yang disampaikan Rasyidi yang dikutip oleh Rusdi bahwa
masyarakat nusantara kuno memiliki kepercayaan terhadap Dzat (Tuhan) Yang
Maha Esa sebagai Kekuatan Yang Absolut [7, p. 230].
Dipertegas oleh Sunyoto bahwa agama yang dianut oleh penghuni
Nusantara pada zaman dahulu adalah Kapitayan, yaitu suatu keyakinan yang
menyembah sembahan utama yang disebut Dzat Yang Maha Absolut atau
disebut “Sanghyang Taya” [6, p. 14]. Setelah agama Hindu dan Budha masuk,
hampir mayoritas penduduk Jawa pada waktu itu menganut ajaran Hindu
ataupun Budha. Kemudian Islam datang dengan model ajaran tauhid yang mirip
dengan ajaran Kapitayan, sehingga ketika Islam datang dengan mudah dapat
diterima oleh masyarakat terutama masyarakat pesisir tempat berlabuhnya para
pendatang [7, p. 230]. Berbagai macam bentuk dan metode dakwah dilakukan
oleh para pendatang yang beragama Islam tersebut untuk menglslamkan
masyarakat Nusantara seperti melalui perdagangan, perkawinan, tasawuf,
pendidikan, kesenian dan kemudian melalui politik [9, p. 7].
Pola pendidikan Islan di Nusantara pada awalnya melalui media dialog
antara pedagang (para pendatang yang beragama Islam) dan pembeli dari
masyarakat sekitar, juga melalui media lainnya seperti dengan cara dakwah bilhal (dengan menunjukkan sikap dan kondisi) serta pendidikan di Surau,
Masjid [7, p. 230], rumah-rumah, pesantren (Jawa) dan meunasah atau dayah
(Aceh). Diantara lembaga-lembaga itu yang berperan menjadi pilar utama dalam
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 77
perkembangan serta pendidikan Islam adalah surau, pesantren dan meunasah [10,
p. 146]. Disamping itu, penyebaran Islam juga dilakukan melalui media politik
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Samudera Pasai
pada abad 13 M dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada abad 15 M di Aceh,
Kerajaan Islam Demak pada abad 16 M., Kerajaan Islam Pajang (sebagai
suksesor dari kerajaan Islam Demak), Kerajaan Islam Mataram pada abad 16 M,
Kerajaan Islam Cirebon pada abad ke-16 M., Kesultanan Banten pada abad 16
M. dan Kerajaan Islam Banjar di Kalimantan Selatan pada abad 16 M [9, p. 7].
Menurut Sabarudin pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: 1). Pendidikan yang berlandaskan ajaran
keagamaan, 2). Pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan, dan 3).
Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.[11, p. 141] Ketiga macam
tersebut dapat digolongkan menjadi 3 periode, yaitu: 1). Pendidikan Islam pada
masa Kerajaan Islam, 2). Pendidikan Islam pada periode kolinalisme Belanda dan
Jepang, 3). Pendidikan Islam pra kemerdekaan. Pendidikan Islam pada masa
kerajaan Islam mulai berkembang dengan bentuk yang sangat sederhana, hal ini
terjadi karena masyarakat Islam pada masa itu membutuhkan pengajaran atau
pendidikan. Kebutuhan tersebut mendorong masyarakat Islam untuk mengadopsi
lembaga sosial ataupun lembaga keagamaan yang ada ke dalam lembaga
pendidikan Islam.
Pada masyarakat Jawa, lembaga pendidikan atau keagamaan Hindu-Budha
ditransfer oleh umat Islam menjadi pesantren.[12, p. 257] Pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang mengajarkan ajaran Islam dengan menitikberatkan
aspek moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.[10, p. 151] Menurut
Sunyoto, pesantren merupakan salah satu contoh proses Islamisasi dakwah Islam
dengan cara mentransformasikan sistem pendidikan lokal berciri Hindu-Budha
dan Kapitayan yaitu dukuh (tempat pertapaan untuk mendidik calon pendeta
atau disebut wiku), asrama dan padepokan menjadi “pesantren” [6, p. 422].
Pesantren adalah bukti yang ditinggalkan oleh para pendakwah Islam pada
waktu itu yang unik dan menakjubkan. Disebut menakjubkan karena para
pendakwah Islam pada masa tersebut mampu memformulasikan dan
mengkawinkan nilai-nilai sosio-kultural religius dalam masyarakat Hindu-Budha
dengan nilai-nilai Islam, terutama formulasi nilai tauhid Hindu-Budha dengan
ajaran Islam yang dianut oleh para pendakwah tersebut yang kebetulan para sufi
[6].
Pada mulanya, pesantren dipelopori oleh para pendakwah Islam yang
disebut “Wali Songo” di tanah Jawa, tersebar di berbagai daerah seperti
pesantren Syeikh Maulana Maghribi dan Pesantren Giri di Gresik, Pesantren
Ampel di Surabaya, pesantren Demak, Pesantren Tuban, Pesantren Drajat dan
pesantren lainnya di Indonesia.[10, p. 151] Model pesantren pada zaman ini,
biasanya terdapat masjid, pondokan dan rumah kediaman guru utama atau
disebut sunan atau kiai. Masjid diperuntukkan untuk pengajaran agama bagi
masyarakat umum, sedangkan para bangsawan dan kader-kader agama belajar
khusus di rumah para sunan atau wali.[12, p. 260] Di antara kurikulum yang
diajarkan di dalam pesantren pada masa itu adalah pelajaran akhlak (etika) dan
Tauhid yang merupakan bentuk formulasi perkawinan dengan ajaran Hindu-
Budha yaitu Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berisi
78 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
tatakrama, tata tertib, sikap hormat, dan wujud bakti yang harus dilakukan
seorang murid kepada gurunya.[6, p. 422] Diantara contoh dari ajaran itu adalah
siswa tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotonga
ucapan atau pembicaraan guru, menaati apapun yang dititahkan guru,
memperhatikan nasehat guru meski dalam keadaan marah, bertutur kata yang
menyenangkan guru, mengikuti guru dari belakang ketika guru berjalan dan
sebagainya. Inti ajaran etika pada masa itu adalah kemutlakan tunduk kepada
guru. Disamping itu, para guru pada masa itu menunjukkan perilaku-perilaku
yang patut dicontoh oleh para murid sehingga mereka menjadi sumber teladan
yang baik dalam tingkah laku dan perbuatan [11, p. 146].
Kemudian pada masa kesultanan Demak, terjadi perubahan khusus yaitu
setiap desa harus menyiapkan tempat-tempat untuk pengajaran al-Quran
semacam masjid atau surau sebagai sarana pendidikan Islam yang diajarkan
didalamnya cara membaca al-Quran dan tatacara Ibadah Islam tingkat pemula
(dasar)[7, p. 230]. Diantara materi pelajarannya adalah pengenalan huruf
hijaiyah, pembacaan barzanji (berisi tentang biografi ringkas Nabi Muhammad
dan bacaan shalawat), dasar-dasar keislaman lainnya seperti praktik ibadah,
rukun iman dan rukun Islam, bahkan pihak kesultana Demak memberikan
himbauan kepada para orang tua agar memerintahkan putra-putranya yang
berumur 7 tahun untuk belajar mengaji al-Quran [12, p. 260]. Metode yang
digunakan pun ketika itu kebanyakan dengan cara menghafal, dengan
memanfaatkan pengajar dari modin (imamuddin/ pemuka agama desa) yang
disebar diberbagai daerah untuk anak-anak laki-laki maupun perempuan yang
berumur 7 tahun.
Disamping itu di beberapa daerah pendidikan agama diajarkan oleh
seorang badal (guru utusan) atau disebut juga wali untuk menjadi seorang guru
yang menjadi rujukan agama Islam. Biasanya pengajar resmi tersebut diberi
gelar Sunan atau Susuhunan dengan ditambahkan nama daerahnya, seperti
Sunan Gunung Jati dan sebagainya.[13, p. 240] Walaupun tidak ada undang-
undang tertulis, namun pembelajaran al-Quran ini menjadi semacam adat
istiadat yang mngakar sehingga ketika ada anak berumur 7 tahun tidak belajar
al-Quran akan menjadi bahan cemohan bagi teman seusianya.[11, p. 147] Setelah
itu kurikulum pun dikembangkan lebih dari sebelumnya, bagi murid yang telah
selesai pembelajaran al-Quran akan dibekali pengetahuan tambahan dengan
belajar kitab-kitab fiqih, akhlak, aqidah dan sebagainya yang diampu oleh Kiai
Anom (semacam gelar untuk modin (semacam gelar untuk modin yang
memenuhi syarat kepandaian dan budi pekerti untuk mengajar). Diantara materi
pelajarannya adalah kitab Ushul 6 Bis, matan Taqrib (fiqih), dan Bida>yatul Hida>yah (akhlak).
Pada beberapa kota besar, terdapat Pesantren Besar yang memiliki sarana
lebih lengkap diasuh oleh Kiai Ageng atau Kiai Sepuh dimana diajarkan di
dalamnya beberapa materi yang lebih lengkap lagi yaitu fiqh, tafir, hadis, ilmu
kalam, tasawuf dan sebagainya.[11, p. 147] Metode yang digunakan adalah
metode sorogan yaitu seorang murid membaca materi yang diajarkan dengan
disimak oleh guru kemudian guru menerangkan lalu menguji pemahaman yang
dipahami oleh murid. Selain metode tersebut, diterapkan pula metode halaqah yaitu seorang guru mengajarkan materi dengan dikelilingi oleh murid-
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 79
muridnya.[7, p. 231] Secara garis besar pendidikan pada masa itu terbagi
menjadi 2 tingkatan: 1). Tingkat pemula, yang mempelajari dasar-dasar huruf
hijaiyah sampai dapat membacanya dengan lancar dengan minimal khatam al-
Quran, 2). Tingkat lanjutan, mempelajari materi-materi lainnya seperti qashidah,
barzanji, ilmu tajwid dan beberapa kajian kitab kuning.[7, p. 231] Dengan sistem
yang hampir sama namun berbeda istilah terdapat pada masyarakat
Minangkabau, dimana umat Islam di sana mengalih fungsikan surau yang
sebelumnya hanya untuk acara adat menjadi tempat ibadah seperti masjid,
tempat kegiatan keagamaan ataupun juga tempat pembelajaran al-Quran,
kemudian berkembang menjadi tempat pengembangan dakwah Islam dan
kemasyarakatan.[10, p. 152] Karena berfungsi seperti masjid, maka surau pada
zaman itu digunakan untuk pengajian al-Quran, pendidikan agama Islam, shalat
5 waktu, shalat jum’at dan kegiatan keagamaan lainnya. Disamping surau, ada
bentuk lembaga pendidikan tradisional lain yang berperan penting juga dalam
perkembangan pendidikan Islam pra kemerdekaan yaitu Balai Seutia Hukama semacam lembaga ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan Islam di Kerajaan
Aceh yang menjadi tempat berkumpulnya ulama, dan para cendekiawan.
Lembaga ini memiliki departemen khusus yang mengurusi urusan pendidikan
dan pengajaran yang disebut dengan Balai Jamaah Himpunan Ulama.[12, p. 259]
Yang menjadi keunikan sendiri dalam lembaga ini adalah sudah memiliki jenjang
pendidikan seperti pendidikan formal zaman sekarang, yaitu:[12, p. 259]
1) Meunasah, semacam surau atau madrasah yang berfungsi sebagai sekolah
dasar dengan materi pelajaran yang meliputi menulis dan membaca huruf
Arab, ilmu-ilmu agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa melayu. Selain
itu meunasah juga merupakan tempat berbagai macam kegiatan, baik
kegiatan adat, maupun kegiatan agama lainnya, yang secara tradisi
dikepalai oleh ketua yang disebut teungku meunasah.[10, p. 153]
2) Rangkang, setingkat sekolah menengah atau madrasah tsanawiyah yang
diadakan ditiap daerah mukim (kabupaten), dengan materi pelajaran yang
meliputi bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, ilmu hisab, akhlak dan
sebagainya.
3) Dayah, didirikan pada masa pemerintahan Iskandar Muda pada abad 17
yang terdapat di daerah uleebalang (setingkat provinsi). Tingkatan dayah
setara dengan pendidikan tinggi bisa seperti madrasah aliyah ataupun
perguruan tinggi.[14, p. 54] Materi yang diajarkan pada dayah setingkat
madrasah aliyah diantaranya adalah Bahasa Arab, Ilmu Fiqih, Tauhid,
Tasawuf, Ilmu Bumi, Sejarah, Tata Negara, Ilmu Pasti, dan Faraid.
Sedangkan dayah setingkat perguruan tinggi, di dalamnya diajarkan
materi bahasa dan sastra Arab, sejarah , ilmu mantik, tata negara, ilmu
falak, dan filsafat.
Kemudian menurut Alfian dalam Bizawie, sejak abad ke-18, terjadi
perpecahan di Aceh sehingga terjadi pula perubahan kekuasaan intelektual.
Kekuasaan intelektual Islam yang sebelumnya berlangsung di kerajaan berubah
80 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
setelah diambil alih oleh dayah. Masyarakat pun beralih kepada ulama yang
berada di dayah untuk memperoleh pengetahuan Islam. Dalam bidang politik
dan keagamaan tersebut, dayah memiliki peranan yang semakin penting hingga
abad ke 19 ketika kerajaan Aceh jatuh dan para uleebalang mengalami krisis
ideologi. Hal ini membuka peluang bagi ulama dayah menjadi perumus ideologi
terutama ketika pecah perang Aceh-Belanda, para ulama memberi istilah perang
tersebut sebagai perang sabil (perang berasaskan agama).[14, p. 55] Berbeda
dengan yang terjadi di Aceh, munculnya pesantren-pesantren di Jawa adalah
bagian dari budaya politik Jawa dalam Kerajaan Mataram, dimana aturan-aturan
agama menjadi salah satu aspek penting dalam kerajaan disamping juga untuk
melegitimasi kekuasaan kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan diubahnya sistem
kalender Jawa dari Matahari Saka Hindu menjadi sistem kalender campuran
bulan Islam-Jawa oleh Sultan Agung sehingga benar-benar mengubah waktu di
Jawa. Hal tersebut memberikan kesan dalam tradisi Jawa bahwa Sultan Agung
merupakan model raja yang agung serta saleh secara keagamaan.[15, p. 110]
Kalender Islam-Jawa (Anno Javanico) ini di kemudian hari hingga sekarang
masih dipakai di beberapa ordo tarekat seperti tarekat Syathariyah,
Naqsyabandiyah, maupun tarekat lainnya serta pesantren-pesantren tradisional
yang juga mempengaruhi kalender akademik pesantren tersebut seperti
Pesantren Lirboyo, Ploso dan sebagainya.
Disamping pemaparan di atas, ketika penjajahan Belanda terjadi,
pendidikan Islam pada masa itu disebut dengan bumiputera (pendidikan Islam
yang diikuti oleh orang-orang pribumi Indonesia). Sistem pendidikan Islam pada
masa kolonialisme Belanda secara garis besar terbagi menjadi 3 macam yaitu:
1) Sistem Pendidikan Peralihan Hindu-Islam; sistem ini masih
menggabungkan antara Hindu dan Islam dengan 2 garis besar model yaitu
model Pendidikan Keraton (guru mendatangi murid dan khusus untuk para
bangsawan kalangan keraton) dan model Pendidikan Pertapa (murid
mendatangi guru, diperuntukkan untuk semua kalangan).
2) Sistem Pendidikan Surau (langgar); rata-rata metode pembalajaranyang
digunakan di Surau adalah metode ceramah, membaca dan menghafal.
Metode ceramah ini biasa juga disebut metode halaqoh yaitu guru
membacakan materi pelajaran, sedangkan murid menyimak dengan
mencatat beberapa catatan penting disisi kitab dan dapat juga dengan
menggunakan buku khusus murid.
3) Sistem Pendidikan Pesantren; sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa
pesantren lahir dari kehidupan tasawuf para pengikut tarekat serta
merupakan bentuk proses islamisasi dukuh sasthri dalam tradisi Hindu-
Budha.[6, pp. 423–424] Secara garis besar core kurikulumnya adalah fikih
(fikih umum maupun fikih ibadah), tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf
dan tafsir. Disamping pengajaran kitab-kitab dalam bidang ilmu tersebut
terdapat pula pelajaran-pelajaran tarekat yang dikemas dalam bentuk
suluk (istilah perilaku dan adab dalam laku tarekat) seperti Suluk Sunan
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 81
Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasita Jati, Suluk sunan geseng, dan
beberapa ajaran tarekat lainnya.[16, p. 267]
Kemudian pasca Belanda menjalankan politik etisnya dengan menerapkan
trilogi program yang meliputi: pendidikan (edukasi), pengairan (irigasi) dan
transmigrasi setelah didirikannya priesterradden. Atas desakan badan pendidikan
ini, pada tahun 1905 Belanda mengeluarkan aturan yang membatasi ruang gerak
guru dengan memberikan persyaratan khusus untuk menjadi guru, yang
puncaknya pada tahun 1925 Belanda memberikan aturan bahwa tidak semua
orang (khususnya Kiai) bisa mengajar pengajian tau pun pelajaran.[17, p. 19]
Upaya ini dilakukan oleh pemerintah Belanda agar bangsa Indonesia tidak
tumbuh kekuatannya dari pengaruh fanatisme keagamaan dan pendidikan agama.
Beberapa strategi tersebut berhasil menelurkan pandangan umum pada
masyarakat bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang kolot dan tidak
bisa memenuhi tuntutan zaman.
Sebaliknya para pengelola pesantren merasa bahwa sikap menutup diri
mereka merupakan bentuk dari pemurnian ajaran agama dari pengaruh pemikiran
budaya barat yang modern dan penjajah. Disamping pandangan tersebut, muncul
pula pandangan bahwa umat Islam harus berupaya mempelajari sumber kekuatan
barat dan memilikinya. Kalangan yang berpandangan ini kemudian disebut para
pembaharu yang beranggapan bahwa sistem kelemahan umat Islam terletak pada
sistem pendidikannya yang kurang maju. Oleh karena itu mereka mencari
formulasi baru sistem pendidikan Islam yaitu madrasah (gabungan sistem
pendidikan barat dan pesantren).[13, pp. 250–251]
Diantara contoh dari pembaharuan tersebut adalah munculnya PUSA
(Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 yang dipimpin oleh
Mohammad Daud Beureu’eh yang mengingikan modernisasi sekolah-sekolah
Islam di Aceh.[15, p. 407]Selain itu, pasca terjadi gerakan modernisme di Mesir
dan Saudi, banyak orang-orang yang pulang dari negara tersebut membawa
ideologi perubahan di Nusantara, sehingga muncul gerakan-gerakan modernis
Islam seprti Jam’iatul Khair atau al-Jam’iyatu al-Khairiyah (tahun 1905) dengan
konsep lembaga pendidikan gabungan sistem Islam dan Barat, Taman Siswa
(1922) dengan konsep Sistem among, Tri pusat pendidikan dan kebudayaan
nasional, kemudian Indonesisch Nederland School (INS) tahun 1926 di Sumatera
Barat dengan sistem kemandirian pendidikannya yang memiliki prosentase
materi pada kurikulumnya teori dan praktek sesuai dengan jenjangnya.
Kemudian, organisasi Islam Muhammadiyyah (tahun 1921) yang didirikan oleh
KH. Ahmad Dahlan melakukan juga modernisasi pesantren dengan mendirikan
madrasah diniyah yang menggabungkan materi pelajaran agama dan materi
pelajaran umum dan sekolah model Belanda dengan memasukkan materi agama
Islam sebagai kurikulum wajibnya.[12, p. 262] Disamping itu, berdirinya Pondok
Modern Gontor pada tahun 1926 oleh tiga serangkai (KH. Ahmad Sahal, KH.
Zainuddin Fannani dan KH. Imam Zarkasyi) juga merupakan bentuk dari
modernisasi pesantren.
Singkat kata, lembaga-lembaga tersebut berupaya menggabungkan materi
keagamaan serta materi pengetahuan umum. Menurut Daulay, permulaan
pembaharuan pendidikan Islam secara kelembagaan dimulai pada tahun 1909
82 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
dengan munculnya Adabiyah School (sekolah adab) di Sumatra Barat oleh H.
Abdullah Ahmad yang menurut Mahmud Yunus merupakan sekolah agama
(madrasah) pertama yang menggunakan sistem klasikal yang berbeda dengan
sistem pendidikan di surau-surau, meunasah dan sebagainya yang tidak memiliki
jenjang kelas, meja, bangku, papan tulis dan kurikulum yang baku.[18, p.
46]Kemudian muncullah Madrasah Diniyah (Diniyah School) yang didirikan
oleh Zainuddin Laday el-Yunusi pada tahun 1915 di Padang Panjang yang
menarik perhatian masyarakat Minangkabau pada waktu itu sehingga
bermunculan madrasah-madrasah yang tersebar di Minangkabau. Perkembangan
lebih lanjut ketika Mahmud Yunus mendirikan sekolah al-Jami’ah al-Islamiyah di Batusangkar pada tahun 1931 yang mempunyai 3 tingkatan yaitu: (1).
Madrasaha Ibtidaiyah dengan jenjang 4 tahun; (2). Madrasah Tsanawiyah
dengan jenjang 4 tahun; (3). Madrasah Aliyah dengan jenjang 4 tahun. Diantara
materi utama pada madrasah tersebut adalah ilmu agama, bahasa Arab dan ilmu
pengetahuan umum.[18, pp. 46–47] Adapun contoh dari alokasi waktu dan mata
pelajaran pada kurikulum madrasah al-Jami’ah al-Islamiyah adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Rencana pelajaran tsanawiyah aljami’ah al-islamiyah
Tahun 1931
No Mata Pelajaran Kelas
Kls 1 Kls 2 Kls 3 Ksl 4
1 Agama:
a. Tafsir
b. Mustalah Hadist
c. Tauhid
d. Fiqh/ Hikmah Tasyri’
e. Ushul Fiqh
9
2
1
1
4
1
9
2
1
1
4
1
9
2
1
1
4
1
9
2
1
1
4
1
2 Bahasa Arab:
a. Membaca
b. Bercakap-cakap/ Mengarang
c. Hafalan
d. Qawaid (Nahwu & Sharf)
7
2
1
1
3
7
2
1
1
3
7
2
1
1
3
7
2
1
1
3
3 Tarikh Islam 1 1 1 1
4 Sejarah Indonesia 2 2 2 2
5 Ilmu Bumi / Falak 2 2 2 2
6 Ilmu Alam 2 2 2 2
7 Ilmu Tumbuh-tumbuhan 1 1 - -
8 Ilmu Hewan - - 1 1
9 Ilmu Tubuh Manusia - - 1 1
10 Ilmu Berhitung 2 2 2 2
11 Bahasa Inggris 2 2 2 2
12 Gerak Badan 1 1 1 1
Total 29 29 29 29
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 83
Tabel 2. Rencana Pelajaran Normal Islam Padang Tahun 1931
No Mata Pelajaran Kelas
Kls 1 Kls 2 Kls 3 Ksl 4
1 Ilmu Agama: 6 6 5 4
2 Bahasa Arab:
a. Mengarang/Pidato
b. Muthala’ah
c. Mahfudzat
d. Qawaid
e. Adabul Lughah
8
2
2
1
2
1
8
2
2
1
2
1
8
2
2
1
2
1
8
2
2
1
2
1
3 Aljabar 1 1 1 1
4 Ilmu Ukur 2 2 2 2
5 Ilmu Alam/Kimia 2 2 2 2
6 Ilmu Hayat/Geologi 2 2 2 2
7 Ekonomi 1 1 - -
8 Tarikh Islam - - 1 1
9 Sejarah Indonesia/Dunia - - 1 1
10 Ilmu Bumi/ Falak 2 2 2 2
11 Tata Negara 2 2 2 2
12 Bahasa Inggris/ Belanda 1 1 1 1
13 Gerak Badan 1 1 1 1
14 Ilmu Pendidikan 2 3 3 4
15 Ilmu Jiwa - - 1 1
16 Ilmu Kesehatan 1 1 - -
17 Khat/ Menggambar 1 1 1 1
Total 34 34 34 34
Banyak madrasah-madrasah diniyah pada waktu itu memiliki kurikulum
seperti tersebut di atas pada rata-rata madrasah di Sumatera. Berbeda dengan di
Jawa, sebgian besar madrasah masih menggunakan kurikulum yang belum
terstruktur seprti di Sumatera sebagai contoh madrasah taswirul afkar yang
didirikan oleh KH. Mas Mansur dan KH. Wahab Hasbullah tahun 1914 pada
mulanya hanya berupa forum diskusi, tempat kursus dan musyawarah
selanjutnya menjadi madrasah dengan sistem pengajaran. Disamping itu, KH.
Hasyim Asy’ari juga mendirikan madrasah salafiyah yang juga mengajarkan
ilmu-ilmu agama saja pada tahun 1916. Madrasah Salafiyah ini terdiri dari 7
jenjang kelas dengan 2 tingkatan yaitu shifr awwal dan shifir tsani. Tahun
pertama dinamakan shifir awwal dan tahun kedua dinamakan shifir tsani, kedua
tahun ini merupakan kelas persiapan untuk masuk madrasah dengan jangka
waktu 5 tahun berikutnya. Mater pelajaran pada tingkat shifir awwal dan shifir tsani hanya terbatas pemahaman pelajaran bahasa Arab saja, sedangkan jenjang
berikutnya yaitu madrasah ibtidaiyyah ditekankan pada penguasaan materi
kitab-kitab klasik seperti fathul qarib (fiqh), hafalan nadzam Alfiyah Ibni malik dan ilmu pengetahuan agama untuk 3 tahun pertama pada jenjang ini. Kemudian
pada tahun 1919, kurikulum pelajaran Madrasah Salafiyah Syafi’iyah ditambah
dengan materi pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Matematika dan
84 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Geografi. Penambahan beberapa materi tersebut dimaksudkan oleh KH. Hasyim
Asy’ari untuk memajukan madrasaha pesantren sebagai bentuk dari
pembaharuan sitem madrasah yang dibantu oleh Kiai Mohammad Ilyas
(keponakan KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian hari menjadi Menteri Agama
RI). Diantara langkah strategi pembaharuan sistem madrasah tersebut adalah:
(1). Memperluas pengetahuan santri; (2). Memasukkan pengetahuan modern ke
dalam kurikulum madrasah; (3). Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab
secara aktif.[19, pp. 11–12] Pada tahun 1934, setelah pulang dari Mekkah KH.
Abdul Wahid Hasyim dan KH. M. Ilyas mendirikan Madrasah Nidzamiyah serta
merubah jenjang kelas yang sebelumnya hanya 5 tahun menjadi 6 tahun (untuk
madrasah ibtidaiyah) dengan menambahkan juga ilmu-ilmu pengetahuan umum
seperti bahasa Belanda, Bahasa Inggris dan ketrampilan mengetik kemudian juga
melengkapi perpustakaan dengan 1000 judul buku lebih. Diantara bacaan
tambahan dari koran dan majalah untuk menambah pengetahuan santri dalam
perpustakaan tersebut adalah sebagai berikut: Panji Islam, Dewan Islam, Berita
Nahdlatoel Oelama’, Islam Bergerakm Adil, Nurul Iman, Penjebar Semangat,
Pandji Pustaka, Pudjangga Baru, Shout al-Hijaz, al-Munawwarah, serta beberapa
buku bacaan bahasa Arab dan Inggris.[19, p. 13] Pada tahun berikutnya tepatnya
tahun 1947, jenjang pendidikan yang sebelumnya hanya 2 tingkatan (shifir dan
ibtidaiyyah) dirombak menjadi 3 tingkatan yaitu shifir, ibtidaiyyah dan
Tsanawiyah yang kemudian diikuti oleh sejumlah pondok pesantren lainnya di
Jawa. Sedikit gambaran kurikulum pelajaran madrasah di Tebuireng, terutama
untuk Madrasah Tsanawiyah pada waktu itu dibagi menjadi 2 bagian kelas yaitu
kelas A (dengan 75% pelajaran agama dan 25% pelajaran umum) dan kelas B
(25% pelajaran agama dan 75% pelajaran umum). Sedangkan Madrasah
Nidzamiyah diperuntukan untuk pendalaman materi pengetahuan bahasa dan
sastra asing (Bahasa Arab, Inggris dan Belanda) disamping pelajaran agama.[19,
pp. 15–16] Beberapa fenomena pembaharuan pesantren dalam bentuk madrasah
di atas merupakan bukti pembaharuan sistem pesantren dan madrasah di
Indonesia. Terlebih, semangat pembaharuan pendidikan agama Islam berkobar di
hati banyak tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia yang menurut Steenbrink
diantara faktornya adalah ketidak puasan atas metode tradisional dalam
mempelajari al-Quran dan agama serta memandang perlunya pengetahuan umum
dalam pendidikan Islam.[18, p. 59] Pendapat ini dipertegas oleh Daulay dengan
menyebutkan beberapa indikator kekurangan pendidikan agama di pesantren
yang mendorong pembaharuan pendidikan waktu itu: 1). Pendidikan pesantren
bersifat non-klasikal (tidak adanya target percapaian dalam jangka waktu
tertentu yang membuat seorang santri bisa belajar selama yang ia mau dan
mampu); 2). Materi pelajaran agama hanya bersumber pada buku-buku klasik
saja tanpa ada tambahan pelajaran umum; 3). Terbatasnya metode pengajaran
yang digunakan (sorogan, weton, hafalan dan mudzakarah); 4). Tidak ada
prioritas ijazah (surat keterangan lulus dan sebagainya).[18, p. 60] Secara garis
besar dari paparan di atas, ada 3 faktor utama yang mendorong pembaharuan
sistem madrasah dan pesantren pada waktu itu yaitu metodologi pengajaran,
kurikulum dan isi materi, dan manajemen pendidikan.
Pada zaman penjajahan Jepang, sistem pendidikan Belanda ini diubah
orientasinya menjadi sistem pendidikan yang berorientasi untuk kepentingan
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 85
perang. Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda yang sebelumnya terdiri dari
jenis pengajaran kolonial dan pengajaran bumiputera (rakyat), pada masa
penjajahan Jepang sistem tersebut dihapus menjadi hanya satu sistem saja yaitu
Sekolah Rakyat (sekolah rendah untuk semua golongan rakyat) selama 6 tahun
untuk sekolah pertama dengan istilah “Kokumin Gakko” atau disebut SNI
(Sekolah Nippon Indonesia). Adapun jenjang-jenjang pendidikannya pun
berubah menjadi: a). Sekolah Rakyat atau sekolah pertama (6 tahun); b). Sekolah
menengah (3 tahun); c). Sekolah Menengah Tinggi setingkat SMA pada zaman
itu (3 tahun).[13, p. 252]Upaya-upaya tersebut sebenarnya dilakukan oleh
pemerintahan Jepang untuk menarik hati umat Islam di Indonesia, dan
memudahkan mereka dalam mengatur bangsa Indonesia pada tahun 1942
dihapuskanlah semua organisasi politik kemudian mereka membentuk organisasi
baru hingga pada akhir tahun 1942 Jepang mendirikan Shumubu (semcam
Kantor Urusan Agama).[15, p. 411] Diantara hal yang dilakukan oleh badan ini
adalah pencatatan santri madrasah, dan pesantren yang berjumlah 139.415
orang.[20, p. 106] Badan ini dipimpin oleh ulama terkemuka pada waktu itu
yaitu KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Pada zaman penjajahan Jepang, sistem pendidikan Belanda ini diubah
orientasinya menjadi sistem pendidikan yang berorientasi untuk kepentingan
perang. Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda yang sebelumnya terdiri dari
jenis pengajaran kolonial dan pengajaran bumiputera (rakyat), pada masa
penjajahan Jepang sistem tersebut dihapus menjadi hanya satu sistem yaitu
sekolah untuk semua.
B. Pendidikan Agama Pasca Kemerdekan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, ada perubahan
penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia, di mana pendidikan agama
mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah. Perhatian ini tidak hanya
untuk sekolah negeri tetapi juga untuk sekolah swasta. Diantara beberapa
perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1). Landasan ideologi pendidikan
adalah UUD 1945 dan {Pancasila; 2). Sistem pendidikan yang dianut adalah
sistem pendidikan warisan Belanda;[21, p. 450] 3). Setelah dekrit Presiden tahun
1959, UUD 1945 ditetapkan menjadi haluan negara dan diterapkan pula dalam
bidang pendidikan Sapta Usaha Tama dan Panca Wardana yang mencakup: (a)
perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral
nasional/internasional/keagamaan; (b) perkembangan kecerdasan; (c)
perkembangan emosional artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin;
(d) perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan; dan (e) perkembangan
jasmani.[22, pp. 10–11] Untuk implementasi program-program tersebut
pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1945 menggalakkan pembangunan
sekolah umum secara luas dan membuka lowongan jabatan dalam administrasi
sekolah-sekolah umum itu.[20, p. 106] Akibat yang terjadi dari arah kebijakan
tersebut menjadikan kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di
Indonesia menurun. Hal ini pula menyebabkan penurunan jumlah anak-anak
muda yang tertarik untuk masuk pesantren.
86 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Meskipun dampak yang terjadi bagi pesantren cukup terasa, namun
banyak perubahan pendidikan nasional yang terjadi akibat kebijakan tersebut
karena memiliki tujuan pendidikan yang cukup bagus. Diantara tujuan dari
sistem pendidikan yang berdasarkan atas Panca Wardhana tersebut menurut
Assegaf adalah membentuk manusia Indonesia yang sosialis berdasarkan cipta,
rasa, karsa, dan karya pada asas-asas moral kepribadian dan pancasila.[22, p. 11]
Titik terang pendidikan agama untuk madrasah dan pesantren menemukan
momentumnya pada waktu KH. Abdul Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama
RI pada tahun 1950. Pada tahun tersebut, Wahid melakukan reformasi
pendidikan agama Islam dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agama No.3
tahun 1950 yang berisi intruksi memasukkan pelajaran agama di sekolah umum
dan pelajaran umum di madrasah baik swasta maupun negeri. Terlebih lagi,
terbit kemudian Undang-undang Nomor 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan
dan Pengajaran di sekolah pasal 10 yang mengatakan bahwa belajar di sekolah
agama yang diakui oleh Departemen Agama telah dianggap memenuhi
kewajiban belajar (wajar).[23, p. 80] Kemudian terbit Undang-undang nomor 12
tahun 1950 yang mengatur tentang pendidikan agama di sekolah baik sekolah-
sekolah yang berada dalam naungan Kementrian Agama maupun Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.[12, p. 264] Undang-undang tersebut menjadi acuan
pengakuan madrasah oleh pemerintah yang diantara syaratnya adalah harus
mengajarkan mata pelajaran agama minimalnya 6 jam seminggu di samping
mata pelajaran umum secara teratur dan konsisten.[23, p. 80] Tidak hanya
sebatas itu, pada tanggal 20 Januari 1951 diterbitkan peraturan dua menteri
(Menteri PP&K dengan Menteri Agama) dengan nomor K/652 dan Nomor 1432
yang berisi sebagai berikut:
1) Pendidikan agama mulai diberikan pada kelas IV Sekolah Rakyat;
2) Untuk daerah yang tingkat keagamaannya kurang kuat (Sumatera,
Kalimantan dan sebagainya), pendidikan agama diberikan sejak kelas
1 SR dengan tidak mengurangi jam pelajan umum.
3) Di sekolah lanjutan pertama dan tingkat atas (umum dan kejuruan)
diberikan pelajaran agama sedikitnya 2 jam seminggu.
4) Pendidikan agama dilakukan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang
per kelas dengan perizinan orang tua/walinya.[23, pp. 83–84]
Selain itu, pemerintah memberikan perhatian terhadap perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren, hanya
pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama diantaranya sebagai
berikut: 1). Memberikan materi pelajaran agama untuk sekolah negeri dan
swasta (partikelir); 2). Memasukkan materi pelajaran umum di madrasah; 3).
Mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim
Agama Islam (SGHAI).[12, p. 264] SGAI terdiri dari 2 jenjang yaitu: a). Jenjang
jangka panjang ditempuh selama 5 tahun yang diperuntukkan untuk siswa
tamatan SR atau MI; b). Jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun untuk
siswa tamatan SMP/Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan SGHAI ditempuh selama
4 tahun untuk lulusan SMP maupun Madrasah Tsanawiyah yang memilki empat
macam kelas: a). Kelas yang bertujuan untuk mencetak guru kesusastraan; b).
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 87
Kelas yang bertujuan untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti; c). Kelas yang
bertujuan untuk mencetak guru agama; d). untuk mencetak guru pendidikan
agama. Pada tahun 1951, SGAI berubah nama menjadi PGA (Pendidikan Guru
Agama) dan SGHAI berubah menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama).[23,
p. 81] Pendirian dua lembaga ini semakin mendorong perkembangan pendidikan
agama Islam di Indonesia, sehingga, semakin banyak sekolah dan madrasah yang
tumbuh berkembang.
Langkah-langkah tersebut mendorong pesantren untuk mengadopsi model
madrasah ke dalam pesantren, sehingga ada beberapa pesantren yang
mengadopsi sistem madrasah bahkan mendirikan sekolah umum diantaranya
adalah Pesantren Tebuireng Jombang.[20, p. 106] Geliat perkembangan itu pun
menuai hasil pada tahun 1954 dengan peningkatan jumlah madrasah di seluruh
wilayah Indonesia. Di mana setelah diadakan pendataan madrasah di seluruh
wilayah Indonesia, terdapat penambahan dengan rincian sebagai berikut:[23, p.
80]
Tabel 3. Statistik Madrasah di Indonesia era 60-an
No Tingkatan Jenjang
Waktu
Jumlah Jumlah
Murid
1. Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun 13.057 1.927.777
2. Madrasah Tsanawiyah 4 tahun 776 87.932
3. Madrasah Tsanawiyah Atas (Aliyah) 4 tahun 16 1.881
Total 13.849 2.017.590
Dari data tersebut, berarti jumlah madrasah pada pertengahan dekade 60-
an adalah 13.849 madrasah dari seluruh jenjang di Indonesia dengan jumlah total
murid 2.017.590 orang. Dengan demikian, secara keseluruhan perkembangan ini
menunjukkan peran madrasah di masa itu cukup signifikan dalam perkembangan
pendidikan di Indonesia dan memiliki peranan yang cukup besar dalam
mencerdaskan dan memperbaiki moral karakter bangsa. Pada tahun 1960, dalam
sidang MPRS diputuskan untuk melaksanakan pembangunan manusia di bidang
mental, agama, dan kebudayaan bersyaratkan spiritual dan material agar setiap
warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya serta menolak pengaruh
buruk kebudayaan asing dengan mencantumkan Bab II pasal II ayat 3 dengan
pernyataan: “pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah
umum, mulai dari sekolah rendah (dasar) hingga perguruan tinggi
(universitas).[23, p. 84] dari Guna menanggapi geliat pertumbuhan madrasah di
atas serta sebagai bentuk respon dukungan atas undang-undang wajib belajar,
Departemen Agama pada tahun 1963 mencanangkan MWB (Madrasah Wajib
Belajar) dengan mewajibkan wajib belajar selama 8 tahun. MWB ini
dimaksudkan untuk mendukung laju pertumbuhan industri, ekonomi dan
transmigrasi yang kemudian berkembang menjadi madrasah pembangunan.[9, p.
12]
Setelah berkuasanya Orde Baru, kebijakan pemerintah Orde Baru terkait
pendidikan Islam yang berhubungan dengan madrasah bersifat konstruktif dan
positif[21, p. 451] meskipun secara umum arah kebijakan pendidikan lebih
kepada keseragaman berpikir dan bertindak (uniformitas). Dimulai dari pakaian
88 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
seragam, penyatuan wadah organisasi masyarakat yang bertujuan untuk
menjadikan masyarakat yang homogen dalam bertindak sehingga menimbulkan
perkembangan anak-anak yang tidak kreatif dan produktif, lamban dan lemah
yang berujung kepada matinya demokrasi.[25, pp. 13–14] Pada awal
pemerintahan ORBA (Orde Baru), kebijakan pendidikan agama Islam masih
meneruskan apa yang digagas pada ORLA, sehingga perhatian kepada madrasah
masih belum maksimal. Madrasah pada masa itu, belum dianggap sebagai bagian
dari pendidikan nasional. Terlebih lagi, muncul indikasi adanya dualisme
pendidikan yaitu pendidikan ‘umum” yang diwakili sekolah umum dan
pendidikan ‘agama” yang diwakili oleh madrasah dan pesantren. Akibatnya,
muncul stigma negatif tentang pendidikan agama sebagai berikut: 1). Agama
hanya dipandang sebagai ilmu yang mempelajari teologi saja; 2). Pendidikan
agama terkesan eksklusif dan terpecah-pecah dalam kubu umat Islam sendiri; 3).
Pendidikan agama menelurkan IQ tak bermutu dan rendah.[21, p. 451]Baru
kemudian, setelah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri diterbitkan pada
tahun 1976, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama berubah dengan
perhatian lebih.
C. Madrasah Era SKB 3 Menteri
Pasca Orde Baru berkuasa, banyak perubahan dan pembaharuan dalam
pendidikan agama terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya adalah: 1). Hubungan kerjasama antara umat Islam dan pemerintah
semakin harmonis dan membaik; 2). Perekonomian nasional semakin maju dan
membaik; 3). Negara dan pemerintahan semakin aman dan stabil (hal ini terlihat
dengan dicanangkannya program P4 yang berdasarkan indikatornya menjadikan
masyarakat semakin rukun dan tentram).[16, pp. 337–340] Meskipun perhatian
pemerintah cukup baik kepada pendidikan agama (madrasah dan pesantren),
namun pada awal tahun 1970-an banyak kebijakan pemerintah ORBA yang
terkesan berupaya untuk mengisolasi pergerakan madrasah dari sistem
pendidikan nasional. Hal ini dapat dilihat dengan diterbitkannya KEPRES No.
34 tahun 1972 dan INPRES No. 15 tahun 1974 yang berisi tentang
penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya dibawah naungan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang berarti pendidikan madrasah tidak
dianggap sebagai salah satu sistem pendidikan nasional.[26, pp. 218–219]
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, umat Islam menyampaikan
aspirasi keberatannya atas kebijakan pemerintah tersebut melalui para ulama dan
tokoh pendidikan Islam dalam musyawarah kerja Majlis Pertimbangan
Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A), dimana dalam forum tersebut
diputuskan untuk meyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga
pendidikan yang penting dan berarti dalam proses pembangunan dan untuk
lembaga yang paling tepat untuk mengurusi madrasah adalah Departemen
Agama. Guna menanggapi aspirasi tersebut, pada tanggal 26 November 1974
diselenggarakan sidang kabinet yang dihadiri oleh 3 menteri (Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri) yang
menghasilkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 1975 berisi
tentang kerjasama dan peningkatan mutu madrasah.[26, p. 219] Melalui SKB
tersebut pendidikan madrasah diharapkan memiliki kesetaraan dalam sistem
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 89
pendidikan nasional sehingga lulusan madrasah dapat diterima di sekolah-
sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi umum. Disamping itu, SKB 3 Menteri
ini juga berisi tentang batasan jenjang pendidikan madrasah, yaitu Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA),
berisi juga persamaan jenjang madrasah dengan sekolah-sekolah umum dalam
mutu pendidikan, struktur program dan kurikulum.[17, p. 26] Dengan demikian,
pengakuan pemerintah terhadap pendidikan madrasah telah lama dilakukan
walaupun belum mencakup keseluruhan aspek kurikulum dan sistem.
Pada tahun 1976, berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, Departemen
Agama membuat ketetapan standarisasi program dan kurikulum madrasah yang
berimplikasi pada persamaan nilai ijazah madrasah dengan ijazah sekolah umum
sehingga ijazah madrasah dapat digunakan untuk melanjutkan studi maupun
pindah di sekolah umum yang setingkat. Langkah ini berakibat pula kepada
perubahan kurikulum madrasah yang sebelumnya 60% agama dan 40%
pengetahuan umum berubah menjadi 30% agama dan 70% pengetahuan
umum.[12, p. 265] Pasca dikeluarkannnya SKB Tiga Menteri tersebut, madrasah
tidak dianggap lagi sebagai lembaga pendidikan keagamaan saja namun juga
setara dengan sekolah umum yang mengkhususkan mata pelajaran agama
sebagai pendidikan dasar. Akan tetapi, prosentase kurikulum dengan
perbandingan pada kurikulum madrasah 70:30 tersebut menuai berbagai macam
reaksi dan kritik dari masyarakat, sehingga membutuhkan perubahan lebih
lanjut. Tindak lanjut dari pengembangan pendidikan madrasah setelah itu adalah
dikeluarkannya SKB Dua Menteri antara Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1984 tentang Pengaturan Standarisasi
Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah yang berisi perubahan dan
penyempurnaan kurikulum sekolah umum dan madrasah.
Diantara pengembangan kurikulum madrasah khususnya pada tingkat MA
adalah pemakaian sistem semester dengan alokasi waktu untuk masing-masing
pelajaran 45 menit, dan membagi 2 jenis program pendidikan yang terdiri dari
program inti dan program peminatan atau pilihan. Dua jenis program itu yaitu:
(1) Pendidikan agama, termasuk di dalamnya al-Quran, Hadits, Aqidah, Akhlak,
Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab; (2) Pendidikan dasar umum
yang terdiri dari Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Ilmu
Pengetahuan Sosial, Olahraga dan Kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni,
Pendidikan Keterampilan, Bahasa Inggris untuk MTs dan MA. Dimasukkan juga
beberapa materi pelajaran umum untuk program aliyah seperti Geografi, Biologi,
Fisika, Kimia dan Ekonomi.[26, pp. 220–221] Dengan kata lain, kurikulum 1984
merupakan kurikulum implementasi dari SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri dari
segi program, tujuan, materi dan pelajarannya yang memuat 3 indikator strategis
yaitu: 1). Program kurikulum madrasah tahun 1984 dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler dan ekstrakurikuler dalam muatan inti dan
program pilihannya; 2). Proses KBM dilaksanakan dengan melihat kecocokan
peserta didik dengan materi pelajarannya; 3). Penilaian bersifat continue dan
menyeluruh dalam proses belajar dan hasil belajar.[26, pp. 221–222]
Berdasarkan atas UU No.2 tahun 1989, pendidikan Islam semakin
diperhatikan dimana pemerintah aktif membangun masjid melalui Yayasan
90 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Amal Bakti Muslim Pancasila, penyelenggaraan lomba dalam bentuk MTQ
(Musabaqah Tilawatil Quran), dicanangkannya pesantren kilat, pengajian-
pengajian di berbagai macam tempat, UU pengadilan agama dan sebagainya.[9,
p. 13] Selain itu, untuk menutupi kekurangan yang terdapat pada madrasah versi
SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri, dimana banyak lulusannya yang tidak
terlalu menguasai pengetahuan agama, pemerintah mendirikan MAPK
(Madrasah Aliyah Program Khusus) pada tahun 1987 berdasarkan Keputusan
Menteri Agama RI Nomor 73 ketika Bapak Munawir Sadzali, M.A menjabat
sebagai Menteri Agama.[26, p. 222] Pendirian MAPK ini merupakan tanggapan
atas masalah kelangkaan ulama yang terjadi di Indoneisa pada waktu itu dengan
alokasi kurikulum pelajaran 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan
umum. Program ini bertujuan untuk menyiapkan generasi unggul secara nasional
maupun internasional dan siap menjadi ulama yang handal difokuskan pada
pendalaman pengetahuan agama dengan tidak mengesampingkan pengetahuan
umum.[9, p. 13] Oleh karena itu, Departemen Agama bersama Dirjen Bimbingan
Islam melakukan uji kelayakan bagi beberapa madrasah-madrasah aliyah negeri
(MAN) yang memenuhi persayaratan dalam hal sarana dan prasarananya untuk
menyelenggarakan program ini sesuai dengan Keputusan Dirjen Lembaga Islam
No.47/E/1987 tanggal 23 Juni 1987. Diantara madrasah-madrasah negeri yang
memenuhi syarat pada waktu itu adalah MAN Kota Baru Padang Panjang,
Sumatra Barat; MAN Ujung Pandang, Sulawesi Selatan; MAN Darussalam
Ciamis, Jawa Barat; MAN I Yogyakarta; dan MAN Jember Jawa Timur.[26, p.
222] Selanjutnya program ini diubah namanya menjadi MAK (Madrasah Aliyah
Keagamaan), yang membedakan dengan versi sebelumnya adalah MAPK hanya
dilaksanakan khusus untuk beberapa Madrasah Aliyah Negeri saja, tetapi MAK
dapat dilaksanakan di madrasah-madrasah swasta yang memiliki minat.[9, pp.
13–14] Dengan adanya program khusus ini, banyak diantara lulusan MAK yang
dapat melanjutkan studinya di banyak universitas terkemuka baik nasional
maupun internasional.
Setelah reformasi yang ditandai dengan diturunkannya Presiden Soeharto
dari kursi kepresidenan pada tahun 1998, kebijakan pendidikan pun berubah
diantaranya adalah sebagai berikut: 1). Pemantaban pendidikan Islam sebagai
pendidikan nasional, diantaranya adalah dengan diterbitkannya UU nomor 20
tahun 2003 yang memasukkan Pesantren, Ma’had Aly, Raudhatul Athfal, dan
majlis taklim ke dalam pendidikan nasional (berbeda dengan UU no. 2 tahun
1989 yang hanya memasukkan madrasah ke dalam pendidikan nasional), 2).
Alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN berimplikasi terhadap
penambahan anggaran pendidikan Islam, 3). Program wajib belajar 9 tahun yang
mewajibkan pendidikan anak dari sekolah dasar atau madrasah ibdtidaiyah
hingga SLTP atau madrasah Tsanawiyah, 4). Penyelenggaraan sekolah atau
madrasah bertaraf nasional (SBN/MBN) dan internasional (SBI/MBI), 5).
Penyelenggaraan sertifikasi dosen dan guru baik swasta maupun negeri, baik
guru agama maupun non agama, dari semua sekolah dan madrasah dibawah
naungan Menteri Pendidikan maupun Kementrian Agama sesuai dengan PP No.
74 tahun 2005, 6). Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada
tahun 2004 serta KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) pada tahun
2006 yang menekankan kepada peserta didik tidak hanya kognisi (penguasaan
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 91
materi) namun juga pengalaman proses untuk mendapatkan pengetahuan
tersebut, 7). Pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya teacher
centre (berpusat pada guru) namun juga student center (berpusat pada murid)
melalui pengalaman belajar dan meneliti dengan sistem PAIKEM (partisipasif,
aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan), 8). Penerapan manajemen
pendidikan yang berorientasi pada pelayanan yang baik dan memuaskan (Total
Quality Management)[16, pp. 352–358] dengan munculnya PP Nomor 19 tahun
2005 tentang SNP (Standar Nasional Pendidikan) yang meliputi: Standar
Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan,
Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan[27].
Beberapa perubahan tersebut menjadi bukti perhatian pemerintah terhadap
pendidikan Islam khususnya madrasah di Indonesia yang sekarang menjadi
setara dengan sekolah umum dengan kekhususan pendidikan agama sehingga
dapat dikatakan bahwa dikotomisasi dan diskriminasi pendidikan di era
reformasi tidak tampak terjadi.
D. Bentuk Struktur Kurikulum Madrasah
Kurikulum madrasah sejak pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan hingga era
SKB Tiga Menteri dan setelahnya berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi
yang terjadi pada zamannya. Hal itu menjadikan bentuk sistem dan materi
kurikulum bervariasi sesuai dengan kebutuhan pada masing-masing zaman.
Diantara perkembangan itu adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Pendidikan Islam Pada Masa Pra-Kemerdekaan
Zaman Bentuk Kurikulum Metode Materi
Pendidikan
Islam sebelum
Kemerdekaan:
Masa
Kerajaan
Islam (13 M -
16 M)
Masjid, dan
Pesantren
Non-structured
Curriculum (Basic)
1. Hafalan
2. Halaqah
1. Pengenalan
huruf
hijaiyah hingga
kahatam al-Quran).
2. Dasar-
dasar
keislaman
(praktik
ibadah,
rukun iman
dan rukun
Islam)
Non-structured
Curriculum (Advanced)
1. Sorogan
2. Weton
3. Halaqah
Pembacaan
barzanji (biografi
ringkas Nabi
Muhammad),
Ilmu Tajwid,
dan beberapa
92 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
kajian kitab
kuning seperti
kitab Ushul 6
Bis, matan
Taqrib (fiqih),
dan Bida>yatul Hida>yah (akhlak)
Non-structured
Curriculum (Specialized)
1. Sorogan
2. Weton
3. Halaqah
fikih (fikih
umum maupun
fikih ibadah),
tata bahasa
arab,
ushuludin/
ilmu kalam,
tasawwuf,
tafsir dan
tarekat
Pendidikan
Islam sebelum
Kemerdekaan:
Masa
Kerajaan
Islam (17 M –
19 M)
Surau dan
Meunasah
(Ibtidaiyah)
Elementer Curriculum
1. Hafalan
2. Halaqah
menulis dan
membaca huruf
Arab, ilmu-
ilmu agama,
akhlak, sejarah
Islam dan
bahasa melayu
Rangkang
(Tsanawiyah)
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Halaqah
bahasa Arab,
ilmu bumi,
sejarah, ilmu
hisab, akhlak
dan sebagainya
Dayah (Aliyah)
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Halaqah
Bahasa Arab,
Ilmu Fiqih,
Tauhid,
Tasawuf, Ilmu
Bumi, Sejarah,
Tata Negara,
Ilmu Pasti, dan
Faraid
Dayah
(Jami’ah)
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Halaqah
materi bahasa
dan sastra
Arab, sejarah ,
ilmu mantik,
tata negara,
ilmu falak, dan
filsafat
Pendidikan
Islam pada
Sistem
Pendidikan
Non-structured
1. Pendidikan
Keraton
Membaca al-
Quran dan
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 93
periode
kolinalisme
Belanda dan
Jepang
(sebelum
1909 di Jawa)
Bumiputera
(Keraton dan
Pertapa)
Curriculum (semacam
kursus
untuk para
bangsawan
kalangan
keraton).
2. Pendidikan
Pertapa
(murid
mendatangi
guru,
diperuntukk
an untuk
semua
kalangan)
pengetahuan
dasar agama
Islam
Sistem
Pendidikan
Surau
(langgar)
Separated Subject
Curriculum
metode
ceramah,
membaca dan
menghafal
(halaqah)
1. Membaca al-Quran).
2. Dasar-
dasar
keislaman
(praktik
ibadah,
rukun iman
dan rukun
Islam)
Sistem
Pendidikan
Pesantren
Separated Subject
Curriculum
1. Sorogan
2. Weton
3. Halaqah
Fikih, tata
bahasa arab,
ushuludin,
tasawwuf dan
tafsir.
Disamping
pelajaran-
pelajaran
tarekat dalam
bentuk suluk
Pendidikan
Islam pada
periode
kolinalisme
Belanda dan
Jepang (di
Sumatera)
Madrasah
Diniyah
(Ibtidaiyah 4
tahun)
Separated Subject
Curriculum (Elementary)
1. Direct
Method
2. Drill
3. Ceramah
4. Induktif-
Deduktif
ilmu agama,
bahasa Arab
dan ilmu
pengetahuan
umum
Madrasah
Diniyah
(Tsanawiyah4
tahun)
Separated Subject
Curriculum (Secondary)
1. Direct
Method
2. Drill
3. Ceramah
4. Induktif-
Deduktif
ilmu agama,
bahasa Arab
dan ilmu
pengetahuan
umum
94 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Madrasah
Diniyah
(Aliyah 4
tahun)
Separated Subject
Curriculum (Advanced)
1. Direct
Method
2. Drill
3. Ceramah
4. Induktif-
Deduktif
ilmu agama,
bahasa Arab
dan ilmu
pengetahuan
umum
Setelah kemerdekaan, kebijakan pemerintah terkait pendidikan Islam dan
madrasah dibagi beberapa periode yaitu periode orde lama, orde baru dan
reformasi dimana pada awal orde baru madrasah mendapatkan pengakuan
berdasarkan Undang-undang Nomor 4 1950 dan Peraturan Dua Menteri tanggal 20
Januari 1951 kemudian berkembang hingga masa reformasi sebagai berikut:
Tabel 5. Pendidikan Islam Pada Masa Pasca-Kemerdekaan
Waktu Bentuk Kurikulum Metode Materi
Pendidikan
Islam pada
Masa Orde
Lama (1945-
1965)
Sekolah Guru
Agama Islam
(SGAI)
selama 5
tahun
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Ceramah
1. Agama
2. Umum
Sekolah Guru
Hakim
Agama Islam
(SGHAI)
selama 4
tahun
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Ceramah
1. Sastra
2. Ilmu Alam
3. Ilmu Agama
4. Ilmu
Pendidikan
Agama
Madrasah
Ibtidaiyah (6
tahun)
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
1. Ceramah
1. Agama
1. Umum
Madrasah
Tsanawiyah
(4 tahun)
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Ceramah
1. Agama
2. Umum
Madrasah
Aliyah (4
tahun)
Separated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Ceramah
1. Agama
2. Umum
Pendidikan
Islam pada
Masa Orde
Baru (1966-
1974)
Madrasah
Ibtidaiyah
(MI)
Correlated Subject
Curriculum
1. Hafalan
2. Ceramah
1. Agama (60%)
2. Umum (40%)
Madrasah
Tsanawiyah
(MTs)
Correlated Subject
Curriculum
Hafalan
Ceramah
Agama (60%)
Umum (40%)
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 95
Madrasah
Aliyah (MA)
Correlated Subject
Curriculum
Hafalan
Ceramah
Agama (60%)
Umum (40%)
Pendidikan
Islam pada
Masa Orde
Baru (masa
SKB 3
Menteri
tahun 1975-
1984)
Madrasah
Ibtidaiyah
(MI)
Integrated Curriculum
Organization
Hafalan
Ceramah
Agama (30%)
Umum (70%)
Madrasah
Tsanawiyah
(MTs)
Correlated Subject
Curriculum
Hafalan
Ceramah
Agama (30%)
Umum (70%)
Madrasah
Aliyah (MA)
Correlated Subject
Curriculum
Hafalan
Ceramah
Agama (30%)
Umum (70%)
Pendidikan
Islam pada
Masa Orde
Baru (SKB 2
Menteri
tahun 1984)
Madrasah
Ibtidaiyah
(MI)
Content Based
Curriculum
Hafalan
Ceramah
CBSA
Agama (Program
inti)
Umum (pilihan)
Madrasah
Tsanawiyah
(MTs)
Content Based
Curriculum
Hafalan
Ceramah
CBSA
Agama (Program
inti)
Umum (pilihan)
Madrasah
Aliyah (MA)
Content Based
Curriculum
Hafalan
Ceramah
CBSA
Agama (Program
inti)
Umum (pilihan)
Pendidikan
Islam pada
Masa Orde
Baru (1987)
MAPK
(Madrasah
Aliyah
Program
Khusus)
Content Based
Curriculum
Hafalan
Ceramah
CBSA
Agama (70%)
Umum (30%)
Pendidikan
Islam pada
Masa
Reformasi
(1994)
MI, MTs,
MA
Objective Based
Curriculum
Ceramah
CBSA
Agama (70%)
Umum (30%)
Pendidikan
Islam pada
Masa
Reformasi
(2004)
MI, MTs,
MA
Competency Based
Curriculum
PAIKEM
CTL
Agama (70%)
Umum (30%)
Pendidikan
Islam pada
Masa
Reformasi
(2006)
MI, MTs,
MA
KTSP PAIKEM
CTL
Inquiry dsb
Agama (70%)
Umum (30%)
96 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Demikian perkembangan bentuk dan struktur kurikulum madrasah di
Indonesia yang bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman.
5. Kesimpulan
Dari paparan mengenai perkembangan kurikulum madrasah di Indonesia
diatas, secara garis besar kurikulum madrasah memiliki variasi yang berbeda-beda
tergantung situasi dan kondisi yang terjadi di berbagai macam tempat. Perbedaan
variasi kurikulum tersebut dibagi menjadi 3 periode yaitu: 1). Kurikulum
madrasah sebelum kemerdekaan, 2). Kurikulum madrasah sesudah kemerdekaan,
dan 3). Kurikulum madrasah pasca kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan,
kurikulum madrasah cenderung tidak terstruktur karena orientasinya adalah
dakwah penyebaran agama Islam. Terdapat juga di beberapa wiayah seperti di
Sumatera khususnya Aceh, madrasah sudah memiliki bentuk kurikulum yang
terstruktur walaupun masih cukup sederhana terutama pasca masifnya gerakan
pembaharuan yang dibawa oleh para tokoh nasional yang belajar di Timur Tengah.
Pasca kemerdekaan, kurikulum madrasah secara nasional sudah memiliki bentuk
yang terstruktur dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
zaman hingga bisa menjadi kurikulum seperti saat ini. Meskipun sudah mengalami
perkembangan yang pesat, perbaikan demi perbaikan pada kurikulum madrasah
masih perlu dilakukan untuk menjawab berbagai macam kebutuhan pada situasi
dan kondisi yang terjadi di masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh
karena itu, pembahasan tentang perkembangan kurikulum madrasah tidak akan
pernah habis.
6. Daftar Referensi
[1] M. Qurniawan, “PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI
PENDIDIKAN SIAGA BENCANA DALAM KURIKULUM MADRASAH
IBTIDAIYAH,” An-Nuha: Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Budaya & Sosial, vol. 1, no. 2,Desember, Art. no. 2,Desember, 2014.
[2] K. Rahman, “Pengembangan Kurikulum Terintegrasi DI
Sekolah/Madrasah,” J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 1, no. 1,
Art. no. 1, Dec. 2014, doi: 10.18860/jpai.v1i1.3358.
[3] A. Almutasim, “Menakar Model Pengembangan Kurikulum di Madrasah,”
Pena Islam, vol. 1, no. 2, Art. no. 2, Sep. 2018.
[4] Pascasarjana, Pedoman Penulisan Tesis dan Karya Ilmiah. Kediri: IAIN
Kediri, 2019.
[5] M. Shelley and K. Krippendorff, Content Analysis: An Introduction to its Methodology., vol. 79. 1984.
[6] A. Sunyoto, Atlas Wali Songo, 9th ed., vol. 1. Tangerang: Pustaka IIman &
Lesbumi PBNU, 2018.
[7] M. Rusdi, “PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM
PROKLAMASI KEMERDEKAAN,” Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 10, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2007, doi:
10.24252/lp.2007v10n2a8.
Perkembangan Kurikulum Madrasah di Indonesia I 97
[8] J. M. van der Kroef, “The Term Indonesia: Its Origin and Usage,” Journal of the American Oriental Society, vol. 71, no. 3, pp. 166–171, 1951, doi:
10.2307/595186.
[9] S. H. Hamzah, “Resistensi Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah
Indonesia,” Dinamika Ilmu, vol. 11, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2011, doi:
10.21093/di.v11i2.35.
[10] S. Anam, “Karakteristik dan Sistem Pendidikan Islam: Mengenal Sejarah
Pesantren, Surau dan Meunasah di Indonesia,” JALIE; Journal of Applied Linguistics and Islamic Education, vol. 1, no. 1, Art. no. 1, Mar. 2017, doi:
10.33754/jalie.v1i1.52.
[11] M. Sabarudin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan,” TARBIYA: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, vol. 1,
no. 1, Art. no. 1, Apr. 2015.
[12] A. Nursyarief, “PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM
LINTASAN SEJARAH (Perspektif Kerajaan Islam),” Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 17, no. 2, Art. no. 2, Dec. 2014,
doi: 10.24252/lp.2014v17n2a8.
[13] H. Hasnida, “SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA PADA MASA PRA KOLONIALISME DAN MASA
KOLONIALISME (BELANDA, JEPANG, SEKUTU),” Kordinat | Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam, vol. 16, no. 2, Art. no. 2,
Oct. 2017, doi: 10.15408/kordinat.v16i2.6442.
[14] Z. M. Bizawie, Jejaring ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19. Tangerang: Pustaka
Compass, 2019.
[15] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Penerbit
Serambi, 2008.
[16] A. Nata, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2014.
[17] Umar, “EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (Perspekstif
Sejarah Pendidikan Nasional),” Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 19, no. 1, Art. no. 1, Jul. 2016, doi:
10.24252/lp.2016v19n1a2.
[18] H. P. Daulay, Sejarah Pertumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Kencana, 2018.
[19] A. Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng.
Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011.
[20] M. I. Usman, “Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam (Sejarah
Lahir, Sistem Pendidikan, Dan Perkembangannya Masa Kini),” Jurnal al-Hikmah, vol. 14, no. 1, Art. no. 1, Jun. 2013.
[21] S. R. Amrozi, “SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA;
PERSPEKTIF SEJARAH KRITIS IBNU KHOLDUN,” KUTTAB: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, vol. 4, no. 1, Art. no. 1, Mar. 2020, Accessed: May
31, 2020. [Online]. Available:
https://journalfai.unisla.ac.id/index.php/kuttab/article/view/105.
[22] A. M. A. Shofa, “PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH SEJAK
PROKLAMASI KEMERDEKAAN SAMPAI ERA REFORMASI,” p. 24.
98 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
[23] M. Sudin, “PENDIDIKAN ISLAM DAN PENDIDIKAN NASIONAL
DALAM KILASAN SEJARAH SINGKAT,” Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, vol. 23, no. 2, Art. no. 2, 2012, doi: 10.33367/tribakti.v23i2.31.
[24] Rahmat, “Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam (Sistem dan
Perkembangannya Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan),” Rihlah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan, vol. 1, no. 01, Art. no. 01, May 2014, doi:
10.24252/rihlah.v1i01.649.
[25] I. Syafi’i, “HAKEKAT KURIKULUM PENDIDIKAN DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA,” kariman, vol. 4, no. 1, Art. no.
1, 2016.
[26] A. Abdullah, “Pendidikan Islam Sepanjang Sejarah: Sebuah Kajian Politik
Pendidikan di Indonesia,” SUSURGALUR, vol. 1, no. 2, Art. no. 2, 2013,
doi: 10.2121/susurgalur.v1i2.68.
[27] “Standar Nasional Pendidikan – Badan Standar Nasional Pendidikan.”
https://bsnp-indonesia.org/standar-nasional-pendidikan/ (accessed Jun. 11,
2020).