8
BAB II
KAJIAN TEORETIK
2.1 Bahan Ajar
Bahan ajar adalah seperangkat materi pelajaran yang mengacu pada
kurikulum yang digunakan (dalam hal ini adalah silabus perkuliahan, silabus mata
pelajaran, dan/atau silabus mata diklat tergantung pada jenis pendidikan yang
diselenggarakan) dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang telah ditentukan (Lestari. 2013: 2).
Bahan ajar adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari
peserta didik dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan.
Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri atas pengetahuan (fakta,
konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai (Purnomo, 2011: 1).
Sedangkan menurut Saputra & Faizah (2017: 66) bahan ajar merupakan segala
bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang
menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan
digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan
implementasi pembelajaran.
Bahan ajar menurut Widodo & Jasmadi dalam Lestari (2013: 2) adalah
seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran,
metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang di desain secara sistematis
dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan yaitu kompetensi atau
subkompetensi dengan segala kompleksitasnya. Pengertian ini menggambarkan
bahwa suatu bahan ajar hendaknya dirancang dan ditulis dengan kaidah
9
instruksional karena digunakan oleh guru untuk membantu dan menunjang proses
pembelajaran.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahan
ajar adalah seperangkat atau alat pembelajaran yang dibuat oleh guru dengan
terdapat materi pembelajaran didalamnya berdasarkan kurikulum yang ada untuk
membantu peserta didik dalam mencapai kompetensi yang diinginkan.
Bahan ajar secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai standar
kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi
pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur),
keterampilan, dan sikap atau nilai yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka
mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. bahan ajar adalah segala
bentuk bahan yang digunakan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
(Primadi, dkk, 2018: 3).
Sebelum melakukan penulisan bahan ajar maka ada beberapa konsep dasar
menurut Prastowo dalam Ismayani (2019: 170) yang harus dilihat terlebih dahulu,
konsep tersebut meliputi: (1) Analisis kebutuhan dan karakteristik peserta didik; (2)
Merumuskan SK, KD, Indikator, butir-butir bahan pendukung indikator; (3)
Mengembangkan alat ukur keberhasilan; (4) Menulis bahan ajar; dan (5)
Melakukan evaluasi dan revisi.
Bahan ajar yang mampu membuat peserta didik untuk belajar mandiri dan
memperoleh ketuntasan dalam proses pembelajaran karena (1) memberikan contoh-
contoh dan ilustrasi yang menarik dalam rangka mendukung pemaparan materi
pembelajaran; (2) memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk memberikan
10
umpan balik atau mengukur penguasaannya terhadap materi yang diberikan dengan
memberikan soal-soal latihan, tugas dan sejenisny; (3) kontekstual, yaitu materi
yang disajikan terkait dengan suasana atau konteks tugas dan lingkungan: dan (4)
bahasa yang digunakan cukup sederhana karena peserta didik hanya berhadapan
dengan bahan ajar ketika belajar secara mandiri.
Bahan ajar yang baik menurut Lestari (2013: 3) harus mencakup: pertama,
petunjuk belajar (petunjuk guru dan peserta didik), kedua, kompetensi yang akan
dicapai, tiga, informasi pendukung, empat, latihan-latihan, lima petunjuk kerja,
dapat berupa lembar kerja (LK), dan enam, evaluasi.
Pengembangan bahan ajar memiliki dua sifat yakni informatif dan
noninformatif. Bahan ajar yang bersifat informatif disajikan secara langsung tanpa
melalui pengolahan dalam aktivitas pembelajaran. Bahan ajar yang tidak bersifat
informatif dikemas dalam bentuk sajian masalah yang memuat tuntutan untuk
berfikir dan beraktivitas sehingga mengarah pada pengembangan kompetensi serta
kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik (Ramdani, 2012: 51).
Dalam Depdiknas (2008: 11) bahan ajar dikelompokkan menjadi empat
kategori, diantaranya sebagai berikut:
1. Bahan ajar cetak (printed) seperti, modul, buku, handout, lembar kerja
peerta didik, wallchart, brosur, leaflet, bahan ajar dengar seperti kaset,
radio, compact disk audio, dan piringan hitam.
2. Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disk,
film.
11
3. Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti
compact disk (CD) multimedia pembelajaran interaktif, CAI (Computer
Assisted Instruction).
4. Bahan ajar berbasis web (web based learning materials).
Bahan ajar menurut Prastowo dalam Ismayani, dkk. (2019: 170) memiliki
beragam jenis, ada yang cetak maupun noncetak. Bahan ajar cetak yang sering
dijumpai antara lain berupa handout, buku, modul, brosur, leaflet, lembar kerja
peserta didik, wallchart, dan foto/gambar, sedangkan yang noncetak berupa CD,
audio, dll. Sedangkan yang termasuk bahan ajar noncetak terdiri dari bahan ajar
dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disc audio. Bahan
ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disc dan film. Bahan ajar
multimedia interaktif seperti CAI (Computer Assisted Instruction), compact disc
multimedia pembelajaran interaktif, dan bahan ajar berbasis web (web based
learning materials) (Khulsum, dkk., 2018: 3-4).
Jenis-jenis bahan ajar menurut Tocharman dalam Supartono dkk. (2013: 28)
antara lain (1) ajar pandang (visual) terdiri atas bahan cetak (printed) seperti antara
lain handout, buku, modul, lembar kerja peserta didik, brosur, leaflet, wallchart,
foto/gambar, dan non cetak (non printed), seperti model/maket; (2) Bahan ajar
dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio; (3)
Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti videocompact disk, film; (4)
Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti CAI
(Computer Assisted Instruction), compact disk (CD) multimedia pembelajaran
interaktif, dan bahan ajar berbasis web (web based learning materials).
12
Tujuan bahan ajar menurut Nurjaya (2012: 104) adalah memberikan peluang
kepada peserta didik untuk mendapatkan pengalaman belajar. Sedangkan fungsi
bahan ajar menurut Nurdiasnyah & Muta’aliah (2018: 5-6) adalah sebagai alat yang
dipersipakan oleh guru untuk membantu memberikan motivasi kepada peserta didik
pada proses kegiatan belajar mengajar dengan materi pembelajaran yang
kontekstual agar peserta didik dapat melaksanakan tugas belajar secara optimal.
Bahan ajar berfungsi sebagai (1) Pedoman Guru dalam mengarahkan aktivitasnya
dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang
seharusnya diajarkan/dilatihkan kepada peserta didiknya; (2) Pedoman bagi peserta
didik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran,
sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya;
(3) Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran; (4) Membantu guru
dalam kegiatan belajar mengajar; (5) Membantu peserta didik dalam proses belajar;
(6) Sebagai perlengkapan pembelajaran untuk mencapai tujuan pelajaran; dan (7)
Untuk menciptakan lingkungan/suasana balajar yang kondusif.
Manfaat bahan ajar bagi guru menurut Indri (2018: 29) adalah (1)
mendapatkan bahan ajar yang sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan belajar
peserta didik; (2) mengurangi ketergantungan kepada buku teks; (3) memperkaya
materi karena disusun dari berbagai referensi (4) menambah pengetahuan dan
pengalaman guru dalam membuat bahan ajar (5) membangun komunikasi
pembelajaran yang efektif antara guru dengan peserta didik karena kepercayaan
peserta didik kepada gurunya.
Sedangkan manfaat bagi peserta didik antara lain sebagai berikut: (1)
Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik; (2) Kesempatan untuk belajar secara
13
mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap kehadiran guru; dan (3)
Mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus
dikuasainya. Sedangkan menurut Lestari (2018: 29) tujuan dan manfaat bahan ajar
adalah (1) menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan
mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, yakni bahan ajar yang sesuai dengan
karakteristik dan setting atau lingkungan sosial peserta didik; 2) manfaat bahan ajar
bagi guru yaitu diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan kurikulum dan sesuai
dengan kebutuhan belajar peserta didik, tidak lagi tergantung kepada buku teks
yang terkadang sulit diperoleh, memperkaya karena dikembangkan dengan
menggunakan berbagai referensi, menambah khasanah pengetahuan dan
pengalaman guru dalam menuli bahan ajar, membangun komunikasi pembelajaran
yang efektif antara guru dengan guru karena peserta didik akan merasa lebih
percaya kepada gurunya, menambah angka kredit jika dikumpulkan menjadi buku
dan diterbitkan; dan (3) manfaatnya bagi peserta didik yaitu kegiatan pembelajaran
menjadi lebih menarik, kesempatan untuk belajar secara mandiri dan mengurangi
ketergantungan terhadap kehadiran guru, mendapatkan kemudahan dalam
mempelajari setiap kompetensi yang harus dikuasainya.
Pada penelitian ini, pengembangan bahan ajar yang dilakukan adalah bahan
ajar yang berbentuk elektronik. Menurut Abdillah dalam Riwu (2018: 54) bahwa
bahan ajar elektronik adalah seperangkat materi atau substansi pelajaran yang
disusun secara runtut dan sistematis serta menampilkan sosok utuh dari kompetensi
yang akan dikuasai peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yang dikemas dalam
interaktif multimedia. Sedangkan menurut Muslim (2019: 169) Pembelajaran
multimedia merupakan pembelajaran yang menggunakan indera penglihatan dan
14
pendengaran melalui visual diam, media teks, visual gerak, dan audio serta media
interaktif berbasis komputer dan teknologi informasi, sehingga bisa dikoneksikan
melalui media internet.
Bahan ajar elektronik Sriwahyuni (2019: 146) adalah seperangkat materi
yang disusun secara runut dan sistematis serta menampilkan kebutuhan dari
kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dalam proses pembelajaran yang
diramu dalam interaktif multimedia. Beberapa bahan ajar yang termasuk ke dalam
bahan ajar elektronik adalah meliputi buku seperti e-book, majalah elektronik atau
disebut sebagai e-magazine, CD/DVD multimedia interaktif, model flash atau slide
interaktif, e-learning, dan lain-lain. Sedangkan menurut Jazuli dalam Laili (2018:
256) bahan ajar elektronik merupakan bahan ajar yang dilihat dari segi bentuknya
termasuk dalam kategori bahan ajar interaktif karena menggabungkan teks, gambar,
animasi, dan memerlukan kendali pengguna.
Bahan ajar elektronik adalah bahan ajar yang dibuat dengan memanfaatkan
teknologi dalam pengaplikasiannya. Kelebihan bahan ajar ini ialah tampilan yang
dapat dibuat kreatif dan lebih mampu menarik perhatian peserta didik hingga dapat
menumbuhkan motivasinya dalam proses belajar mengajar. Selain itu bahan ajar
berberbasis elektronik juga dapat diakses kapan saja dengan mudah dan dapat
dimiliki oleh semua peserta didik (Simamora & Rosmaini: 317).
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa bahan ajar
elektronik adalah seperangkat materi yang disusun dengan memanfaatkan teknologi
saat ini yang menggabungkan teks, gambar, animasi dan video di dalamnya menjadi
sebuah bahan ajar yang dapat digunakan peserta dalam proses pembelajaran
maupun diluar proses pembelajaran.
15
2.2. Pengertian Lembar Kerja Peserta Didik
2.2.1 Pengertian Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)
Lembar Kerja Peserta Didik sering disebut dengan LKPD. LKPD menurut
Sari dan Lepiyanto (2016: 42) LKPD pada dasarnya sama dengan LKS (Lembar
Kegiatan Peserta didik) tetapi saat ini penggunaan istilah bahan ajar LKS berubah
menjadi LKPD. Trianto (2011) menyatakan LKS adalah panduan yang digunakan
oleh peserta didik untuk melakukan penyelidikan ataupun mengembangkan
kemampuan baik dari aspek kognitif atau yang lainnya. LKS memuat sekumpulan
kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik untuk memaksimalkan
kemampuannya sesuai indikator yang sudah ditetapkan.
Lembar Kerja Peserta Didik (student worksheet) adalah lembaran-lembaran
berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Pada kegiatan yang disusun
di dalam LKPD biasanya terdapat petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan
suatu tugas. Pengerjaan tugas yang diperintahkan di dalam LKPD harus jelas
kompetensi dasara yang ingin dicapai. (Depdiknas. 2008: 12).
LKPD merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kertas yang
berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas pembelajaran
yang harus dikerjakan oleh peserta didik, yang mengacu pada kompetensi dasar
yang harus dicapai (Prastowo, 2013: 204).
LKPD merupakan kumpulan lembaran yang berisi kegiatan-kegiatan yang
akan dilakukan peserta didik dalam pembelajaran. Kegiatan yang akan dialami
peserta didik sangat bermacam-macam mulai dari kegiatan menemukan masalah,
merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menyusun dasar teori,
16
melaksanakan eksperimen, mengambil data, menganalisis data, melakukan
pembehasan, serta menyimpulkan (Santoso dalam Susanti, 2017).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
LKPD adalah bahan ajar cetak yang berisi materi, ringkasan serta petunjuk
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan untuk
memaksimalkan kemampuan peserta didik sesuai dengan indicator yang sudah ada.
LKPD yang dibuat peneliti adalah LKPD yang dikemas dalam bentuk elektronik
yang disebut dengan e-LKPD dengan fungsi dan kegunaannya sama.
LKPD menurut Prastowo (2013: 205-206) memiliki empat fungsi dalam
proses pembelajaran, yaitu (1) untuk meningkatkan interaksi aktif antara peserta
didik dengan pendidik; (2) untuk memudahkan peserta didik dalam memahami
materi yang diberikan; dan (3) untuk membantu peserta didik berlatih terkait materi
yang dibahas dalam pembelajaran; dan (4) Memudahkan untuk pelaksanaan
pengajaran kepada peserta didik. Sedangkan menurut Widjajanti dalam Gazali
(2016: 184) LKS atau LKPD mempunyai beberapa fungsi diantaranya: (1) untuk
membantu guru dalam mengarahkan kegiatan pembelajaran atau memperkenalkan
bentuk aktivitas pembelajaran tertentu sebagai bagian dari proses belajar mengajar
dikelas; (2) untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien dalam
penyajian materi; (3) untuk membantu peserta lebih aktif dalam proses
pembelajaran; (4) untuk meningkatkan minat peserta didik dalam pembelajaran
dengan menyusun LKS yang rapi, menarik, mudah dipahami dan; (5) untuk
menumbuhkan kepercayaan diri dan meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik;
(6) untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah.
17
Selain itu, Afsari (2017: 33) memberikan pendapat bahwa fungsi LKPD
adalah (1) mengaktifkan peserta didik dalam proses kegiatan pembelajaran; (2)
membantu peserta didik mengembangkan konsep; (3) melatih peserta didik untuk
menemukan dan mengembangkan keterampilan proses: (4) sebagai pedoman guru
dan peserta didik dalam melaksanakan proses kegiatan pembelajaran: (5)
membantu peserta didik dalam memperoleh informasi tentang konsep yang
dipelajari melalui proses kegiatan pembelajaran secara sistematis; (6) membantu
peserta didik dalam memperoleh catatan materi yang dipelajari melalui kegiatan
pembelajaran.
Berkaitan dengan fungsinya LKPD juga memiliki tujuan dalam
pembelajaran yaitu (Prastowo, 2013: 206): (1) Menampilkan bahan ajar yang
memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan materi yang diberikan; (2)
Menampilkan tugas-tugas yang meningkatkan pengetahuan peserta didik terhadap
materi yang diberikan; (3) Melatih kemandirian belajar peserta didik; dan (4)
Memudahkan pendidik dalam memberikan tugas kepada peserta didik.
LKPD disusun dengan materi serta tugas sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan. Karena terdapat tujuan pembelajaran yang beragam sehingga
bentuk LKPD menjadi bervariasi. Sesuai dengan maksud dan tujuannya, Prastowo
(2013: 208-211) membagi bentuk LKPD menjadi lima macam yaitu (1) LKPD
membantu peserta didik menemukan suatu konsep serta memuat apa yang harus
dilakukan peserta didik meliputi melakukan, mengamati dan menganalisis. Oleh
karena itu perlu dirumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan peserta didik
kemudian meminta peserta didik untuk mengamati hasil kegiatannya; (1) LKPD
membantu peserta didik menerapkan dan mengintegrasikan berbagai konsep yang
18
telah ditemukan. LKPD seperti ini memberikan tugas kepada peserta didik untuk
melakukan diskusi, kemudian meminta mereka untuk berlatih memberikan
kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab; (1) LKPD yang berfungsi sebagai
penuntun belajar berisi pertanyaan atau isian yang jawabannya ada di dalam buku.
Fungsi utama dalam LKPD ini adalah membantu peserta didik menghafal dan
memahami materi pembelajaran yang terdapat di dalam buku; (5) LKPD yang
berfungsi sebagai penguatan diberikan setelah peserta didik selesai mempelajari
topik tertentu. Materi pembelajaran di dalam LKPD ini lebih mengarah pada
pendalaman dan penerapan materi yang terdapat di dalam buku pelajaran; dan (6)
LKPD yang berfungsi sebagai petunjuk praktikum di dalamnya terdapat petunjuk
praktikum yang merupakan salah satu isi (content) dari LKPD.
Dari kelima jenis LKPD tersebut jenis LKPD yang dipilih dikembangkan
oleh peneliti adalah LKPD yang membantu peserta didik menerapkan dan
mengintegrasikan berbagai konsep yang telah ditemukan. Karena pembejaran
sejarah pada materi kolonialisme dan imperialisme sudah ditemukan serta ditulis
dan tugas peserta didik hanya perlu mengintegrasikan konsep yang sudah
ditemukan tersebut.
Dalam pembuatan LKPD ada beberapa komponen yang harus dipenuhi agar
menjadi bahan ajar yang baik sehingga dapat melahirkan proses pembelajaran yang
baik juga demi mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan, komponen tersebut
adalah sebagai berikut (Majid, 2016: 176):
1. Nomor LKPD, hal ini bertujuan untuk mempermudah pendidik mengenal
dan menggunakan nya
19
2. Judul Kegiatan, berisi topik kegiatan yang akan dilakukan dalam
pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar.
3. Tujuan, yaitu tujuan pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar.
4. Alat dan bahan jika dalam pembelajaran memerlukan alat dan bahan.
5. Prosedur Kerja, berisi petunjuk kegiatan yang akan dilakukan peserta didik
berfungsi mempermudah peserta didik melakukan kegiatan belajar.
6. Tabel Data, yaitu tabel untuk menulis hasil pengamatan atau pengukuran.
Jika tidak menggunakan data dapat diganti dengan kotak kosong atau
ruang untuk peserta didik menulis hasil pengamatan
7. Bahan diskusi, yaitu pertanyaan-pertanyaan menuntun peserta didik untuk
melakukan melakukan konseptualisasi dan analisis data. Untuk beberapa
mata pelajaran, seperti bahasa dan sosial bahan diskusi bisa berupa
pertanyaan- pertanyaan yang bersifat refleksi.
LKPD menurut Prastowo (2013: 208) secara struktur lebih sederhana dari
pada modul, namun lebih kompleks dari pada buku. LKPD terdiri atas enam
komponen utama yang meliputi judul, petunjuk belajar, kompetensi yang akan
dicapai, informasi pendukung, langkah-langkah kerja, dan penilaian. Pada
penelitian ini LKPD yang dibuat adalah LKPD yang berbentuk elektronik sehingga
disebut dengan E-LKPD atau LKPD elektronik.
LKPD elektronik menurut Sari (2019: 30) merupakan suatu bahan ajar yang
disajikan dengan penyusunan secara sistematis ke dalam unit pembelajaran tertentu
dalam format elektronik yang terdapat gambar, video, animasi, navigasi, dan
lainnya yang membuat pengguna lebih interaktif dengan program.
20
Keunggulan E-LKPD menurut Julian (2019: 242) yaitu: (1) peserta didik
dapat melihat materi dan soal-soal dari mana saja atau interaksi multiarah; (2)
Peserta didik dapat menggunakan gawai mereka dalam pembelajaran, bukan
sekedar bermain game atau media social; (3) peserta didik dapat mengenal metode
pembelajaran yang baru dan menarik; (4) penyajian materi dan soal-soal pada E-
LKPD lebih menarik yang dapat meningkatkan minat belajar pesrta didik.
Elektronik lembar kegiatan peserta didik ini akan dirancang dengan tujuan
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam memecahkan
masalah matematika dan digabungkan dengan menggunakan model pembelajaran
inkuiri.
2.3 Aplikasi Kvisoft Flipbook Maker
Aplikasi kvisoft flipbook maker menurut Susanti dalam Wibowo (2018: 3)
adalah salah satu aplikasi yang dapat membantu pembuatan media pembelajaran
untuk digunakan pada proses pembelajaran. Aplikasi ini sangat menarik karena
tidak terpaku hanya pada tulisan-tulisan saja tetapi juga dapat menambahkan
sebuah animasi, visual, dan audio yang bisa menjadikan sebuah media
pembelajaran yang interaktif dan menarik sehingga pembelajaran menjadi tidak
monoton.
Kvisoft Flipbook Maker adalah perangkat lunak yang dirancang untuk
mengubah file PDF ke bentuk halaman balik publikasi digital atau digital book.
Perangkat lunak ini dapat mengubah tampilan file PDF menjadi lebih menarik
seperti layaknya sebuah buku. Selain itu Kvisoft Flipbook Maker juga dapat
membuat file PDF menjadi seperti sebuah majalah, majalah digital, flipbook,
katalog perusahaan, katalog digital dan lain-lain (Mulyaningsiih, 2017: 26).
21
Sedangkan menurut Hidayatullah (2016: 82) Kvisoft Flipbook Maker adalah
aplikasi yang digunakan untuk membuat media atau bahan ajar yang berbentuk
elektronik sepeerti e-book, e-modul, e-paper dan e-magazine. Tidak hanya berupa
teks, dengan flip book maker dapat dapat menyisipkan gambar, grafik, suara, link
dan video pada lembar kerja.
Kvisoft flipbook maker menurut Suyasa (2018: 226) menyediakan fitur-fitur
yang dapat memudahkan para penggunanya untuk berinovasi dalam membuat buku
digital yang menarik dan interaktif, sebab perangkat ini memiliki fasilitas fitur yang
memudahkan kita untuk melakukan penyisipan gambar, audio, animasi dan lainnya
sehingga kemasan buku digital dapat meningkatkan semangat peserta didik dalam
membaca buku kapanpun dan dimanapun mereka berada. Sedangkan menurut Rusli
dan Antunius (2019: 60) Kvisoft Flipbook Maker adalah software profesional yang
mampu mengubah file berbentuk pdf menjadi buku flash bolak-balik selama
beberapa tahun. Perangkat lunak ini biasa membuat buku bolak-balik HTML dan
flash dari semua jenis file seperti pdf, Word, PowerPoint, gambar, Excel, dan lain-
lain. Aplikasi ini dapat membuat buku digital, brosur, katalog, majalah, dan lain-
lain menggunakan animasi bolak-balik halaman flash yang menarik. Kvisoft
Flipbook Maker mempunyai fitur pengeditan yang dapat digunakan untuk
menambahkan video, gambar, audio, hyperlink, dan objek multimedia. Dengan
software untuk membuat buku yang berbentuk multimedia menjadi lebih mudah.
Kvisoft Flipbook Maker menyediakan sebuah cara profesional untuk menyatukan
hyperlink, video, gambar, suara, dan multimedia clipcart objek untuk buku keluaran
yang bisa membolak-balikan halaman.
22
Flip Book Maker ialah aplikasi yang digunakan untuk membuat majalah
elektronik dengan tampilan yang menarik dan menyediakan fitur audio serta visual
yang dapat dimanfaatkan guru untuk menciptakan suasana belajar yang lebih
menyenangkan. Selain itu aplikasi ini digunakan banyak orang untuk membuat
majalah ataupun buku elektronik karena penggunaannya yang tidak sulit dan dapat
digunakan secara luring atau offline tanpa memerlukan jaringan internet (Simamora
& Rosmaini, 2019: 318).
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa Kvisoft flipbook
maker adalah perangkat lunak yang digunakan untuk membuat media pembelajaran
menjadi lebih menarik dan tidak monoton dengan membuat tampilan menarik
seperti gambar, animasi serta dapat memasukkan audio dan visual yang dapat
menarik perhatian peserta didik untuk belajar.
Keunggulan kvisoft flipbook maker ini menurut Rohmah (2016: 33) yaitu
lebih praktis karena tampilannya dalam bentuk e-book, dan software ini dapat
digunakan secara langsung pada PC atau android. Agar tampilan software lebih
terlihat menarik dapat juga ditambahkan aplikasi lain di dalamya misalnya dengan
menambahkan video fenomena sehari-hari yang berkaitan dengan elastisitas. Hal
tersebut akan menjadi daya tarik tersendiri bagi peserta pendidik. Sedangkan
menurut Anandari, dkk., ( 2019: 426) keunggulan dari aplikasi ini yaitu (1) mampu
memberikan modul efek flip atau halaman dapat dibolak-balik; (2) pembuatan
modul dengan aplikasi ini sangat mudah; (3) tampilan modul tidak hanya berupa
teks dan gambar saja, bentuk audio dan video dapat dikombinasikan dalam
menyajikan materi; (4) produk yang dihasilkan dapat dipublikasikan dalam format
23
SWF (Shock Wave Flash), HTML (Hyper Text Markup Language) apabila hendak
dipublikasikan melalui website.
2.4 Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari kurikulum berbasais
kompetensi (KBK) yang pernah diujicobakan pada tahun 2004. KBK dijadikan
acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk mengembangkan berbagai
ranah pendidikan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) dalam seluruh jenjang dan
jalur pendidikan, khususnya pada jalur pendidikan sekolah (Mulyasa: 2015: 66).
Sedangkan menurut Islam (2017: 99-100) Kurikulum 2013 merupakan hasil review
dari kurikulum sebelumnya, bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia
agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
masyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang bertujuan untuk mengurangi
verbalisme dalam upaya pembelajaran yang selama ini peserta didik lebih banyak
diberi tahu atau diceramahi, maka kurikulum 2013 ini peserta didik harus lebih
banyak dirangsang, dikondisikan dan ditantang untuk lebih banyak mencari tahu
(Anas & Supriyatna, 2014: 135). Sedangkan menurut Mulyasa (2014: 53)
kurikulum 2013 adalah kurikulum yang memberikan peran kepada guru sebagai
fasilitator, dengan memberikan kemudahan belajar bagi peserta didik, agar dapat
mengembangkan potensinya secara optimal.
Kurikulum 2013 menurut Budiani dkk. (2017: 47) merupakan kurikulum
menitikberatkan pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran serta penilaian
yang autentik dan tematik integratif. Kurikulum ini merupakan harapan untuk
24
melahirkan generasi Indonesia yang kritis dan kreatif sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman. Sedangkan pendapat Alfian, dkk (2015: 39) Kurikulum 2013
merupakan langkah lanjutan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis
pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan,
dan keterampilan secara terpadu. Karakteristik Kurikulum 2013 menitikberatkan
pada pembelajaran yang terfokus ke peserta didik, pembelajaran kontekstual,
pemberian waktu yang cukup untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan,
dan keterampilan. Berdasarkan karakteristik Kurikulum 2013 tersebut, peserta
didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari,
mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang baru diterapkan mulai
2013/2014. Kurikulum 2013 berusaha untuk lebih menanamkan nilai-nilai yang
tercermin pada sikap dapat berbanding lurus dengan keterampilan yang diperoleh
dari peserta didik melalui pengetahuan di bangku sekolah. Dengan kata lain, antara
soft skills dan hard skills dapat tertanam secara seimbang, berdampingan, dan
mampu diaplikasi dalam kehidupan sehari-hari (Gita, 2017: 67).
Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum 2013
adalah kurikulum tindak lanjut dari kurikulum KBK dan KTSP yang berupaya
memperbaiki sistem pendidikan Indonesia untuk menjadikan pribadi yang dapat
menunjukkan potensi yan ada di dalam peserta didik secara optimal dengan tujuan
dapat berkontribusi untuk masyarakat dan negara. Adapun yang membedakan
kurikulum 2013 dengan kurikulum 2006 adalah adanya kompetensi inti (KI),
dikurikulum 2006 disebut dengan standar kompetensi (SK). SK masing-masing
25
mata pelajaran sejarah berbeda, namun di kurikulum 2013 KI-nya sama untuk
semua mata pelajaran Anas & Supriyatna (2014).
Kurikulum 2013 menurut Oviana (2015: 1) memiliki karakteristik yaitu
mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial,
rasa ingin tahu, kreatif, kerjasama dengan kemampuan intelektual dan
psikomotorik. Selain itu kurikulum 2013 menurut kemdikbud dalam As’ari (2014:
444) juga memiliki ciri khas yaitu menggunakan pendekatan saintifik dalam proses
pembelajaran yang dikembangkan melalui (1) mengamati (membaca,
mendengarkan, menyimak, dan melihat); (2) menanya (mengajukan pertanyaan
tetang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk
mendapatkan informasi tambahan tetang apa yang diamati); (3) mengumpulkan
data (melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati
objek/kajian); (4) mengasosiasi (mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik
terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan
mengamati dan kegiatan mengumpulkan data); dan (5) mengomunikasikan
(menyampaikan hasil pengamatan kesimpulan berdasakan hasil anlisa secara
lisan, tertulis, atau media lain.
Tujuan kurikulum 2013 adalah untuk mempersiapkan pelajar Indonesia
sebagai generasi penerus bangsa yang mampu menjalankan kehidupan sebagai
pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan efektif serta
mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan
berperadaban dunia.
Pada penerapannya kurikulum 2013 ini menuntut peserta didik untuk lebih
aktif dalam belajar untuk menambah wawasan pengetahuan salah satu caranya
26
adalah dengan banyak membaca sehingga bahan ajar yang digunakan memegang
peran penting dalam proses belajar mengajar. Sehingga bahan ajar sangat
diperlukan oleh guru dalam mengajar serta diperlukan pesera didik untuk
menunjang proses belajarnya (Mahdi dalam Ayu & Pahlevi, 2019: 28). Selain itu
menurut Permendikbud dalam Kristiatari (2014: 461) kurikulum 2013 juga
menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) yang
dalam pembelajarannya lebih menitikberatkan pada kegiatan mengamati, menanya,
menalar, mencoba, membentuk jejaring. Proses pembelajaran menyentuh tiga
ranah, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Proses penilaian terhadap hasil
belajar menggunakan Penilaian autentik (Authentic Assessment) yakni penilaian
yang dilakukan berlandaskan pada hasil pengukuran yang bermakna secara
signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
Kurikulum 2013 ini menurut Pujiono (2014: 252) memberi peluang bagi guru
untuk melakukan inovasi dan improvisasi disekolah mirip dengan KTSP, berkaitan
dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan lain sebagainya yang
tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesionalisme yang dimiliki. Guru
diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran yang efektif, dapat mencapai
tujuan yang diharapkan, materi yang diajarkan relevan dengan kebutuhan
masyarakat, berorientasi pada hasil (output), dan dampak (outcome), serta
melakukan penilaian, pengawasan, dan pemantauan secara terus menerus. Untuk
itu, aspek kesiapan guru sebelum menerapkan kurikulum 2013 menjadi bahan
kajian yang menarik untuk ditelaah secara lebih mendalam, sehingga dalam proses
27
pembelajaran yang merupakan realisasi dari penerapan kurikulum akan berjalan
dengan baik.
Dalam rangka implementasi Kurikulum 2013, menurut Adolfien (2014: 25)
ada beberapa langkah yang harus dilakukan sebagai strategi untuk menguatkan
implementasi Kurikulum 2013 di setiap sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.
Beberapa strategi tersebut adalah langkah-langkah penguatan perencanaan
implementasi, sumber daya utama dan pendukung, proses pembelajaran di sekolah,
dan kegiatan monitoring dan evaluasi. Guru, kepala sekolah, sarana dan prasarana,
serta iklim atau budaya sekolah dan partisipasi semua pihak terkait sangat berperan
dalam pencapaian keberhasilan implementasi kurikulum baru.
2.5 Pembelajaran sejarah
Slameto dalam Hamdi dan Agustina (2011: 82) mengemukakan bahwa
belajar adalah serangkaian aktivitas yang melibatkan jiwa dan raga untuk menuju
suatu perubahan tingkah laku yang lebih baik sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya menyangkut kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Dalam belajar, peserta didik mengalami sendiri proses dari tidak tahu
menjadi tahu. Sedangkan menurtu Pane & Dasopang (2017: 335) belajar adalah
kegiatan yang menunjukkan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang yang disadari
atau disengaja. Aktivitas ini menunjuk pada keaktifan seseorang dalam melakukan
aspek mental yang memungkinkan terjadinya perubahan pada dirinya. Dengan
demikian, dapat dipahami juga bahwa suatu kegiatan belajar dikatakan baik apabila
intensitas keaktifan jasmani maupun mental seseorang semakin tinggi. Sebaliknya
meskipun seseorang dikatakan belajar, namun jika keaktifan jasmaniah dan
28
mentalnya rendah berarti kegiatan belajar tersebut tidak secara nyata memahami
bahwa dirinya melakukan kegiatan belajar.
Solichin (2006: 141-143) mengemukakan bahwa terdapat prinsip-prinsip
yang harus di tanamkan di dalam diri seseorang dalam proses belajar, yaitu:
1. Perhatian dan motivasi
Perhatian memegang peranan penting dalam proses belajar. Tanpa
perhatian maka tidak akan ada kegiatan belajar. Anak akan memberikan
perhatian, ketika mata pelajarannya sesuai dengan kebutuhannya. Apabila mata
pelajaran itu sesuai dengan sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar
lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan
motivasi untuk mempelajarinya. Jika peserta didik tidak mempunyai perhatian
alami, maka ia perlu dibangkitkan perhatiannya. Disamping itu, motivasi
mempunyai perhatian besar dalam belajar. Motivasi adalah mesin penggerak
yang mendorong peserta didik melakukan aktivitas belajarnya. Motivasi dapat
menjadi alat dan tujuan pembelajaran.
2. Keaktifan
Kecenderungan pada masa sekarang, inisiatif anak untuk belajar muncul
dalam dirinya sendiri. Artinya keberhasilan belajar lebih dapat terwujud jika
anak mempunyai inisiatif untuk melakukan aktivitas belajar, dan guru berfungsi
sebagai pengarah dan pembimbing.
3. Keterlibatan langsung dan pengalaman
Belajar yang paling baik adalah belajar dengan mengalami langsung tanpa
diwakilkan kepada orang lain. Dalam belajar dengan mengalami langsung
peserta didik dapat menghayati, melibatkan langsung dalam perbuatan, dan
29
memiliki tanggung jawab atas keberhasilan belajar itu. Keterlibatan peserta didik
dalam belajar bukan hanya diartikan sebagai keterlibatan fisik semata, tapi juga
yang diperlukan keterlibatan emosional, kegiatan berpikir, penghayatan dan
internalisasi.
4. Pengulangan.
Pengulangan sangat diperlukan dalam belajar. Ini berkaitan dengan teori
psikologi daya, yang menyatakan bahwa belajar adalah memilih daya-daya yang
ada pada diri manusia, yaitu daya mengingat, mengamati, menanggapi,
mengkhayal, merasakan, berpikir dan sebagainya. Dengan cara pengulangan-
pengulangan itu maka daya-daya tersebut akan berkembang dengan baik.
5. Tantangan
Dalam situasi belajar, peserta didik berada dalam tujuan yang ingin
dicapai, tetapi selalu mendapatkan tantangan dan hambatan dalam mempelajari
bahan pelajaran. Dengan hambatan dan tantangan itu timbullah motif untuk
mengatasi hambatan itu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila
hambatan itu dapat teratasi maka ia akan memasuki medan baru.
6. Penguatan
Penguatan dapat berarti hasil belajar yang menyenangkan (positif) dan
dapat pula berupa hasil belajar yang tidak menyenangkan (negatif). Anak yang
nilai belajarnya baik akan meningkatkan gairah belajar, sedangkan anak yang
mendapatkan nilai jelek akan takut tidak lulus dan berupaya meningkatkan
aktivitas belajarnya.
30
7. Perbedaan Individual
Dalam proses belajar guru harus memperhatikan perbedaan indivual
peserta didik agar dapat menyesuaikan materi, metode, irama, dan tempo
penyampaian. Bagi peserta didik yang tingkat kemampuannya rendah, guru
harus memberikan perhatian lebih dengan latihan-latihan atau pelajaran-
pelajaran ekstra. Sedangkan bagi yang kemampuannya menonjol, guru
memberikan penugasan yang lebih intensif dari pada anak yang lain.
Belajar sejarah menurut Sayono (2013: 12) merupakan pintu untuk
mempelajari dan menemukan hikmah terhadap apa yang sudah terjadi. Belajar
sejarah adalah belajar tentang kemanusiaan dalam segala aspeknya. Sedangkan
menurut Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan sikap, dan
nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia
dan dunia dari masa lampau hingga kini (afsari, 2013: 55).
Suyitno dalam Safriandono & Charis (2014: 25) pembelajaran adalah upaya
untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat,
bakat dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal
antara guru dengan peserta didik serta antara peserta didik dengan peserta didik.
Sedangkan menurut Oemar dalam Surani (2018: 9) pembelajaran merupakan suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi pencapaian tujuan
pembelajaran.
Pembelajaran sejarah adalah upaya pembentukan karakter melalui upaya
pemahaman dan peneguhan kembali nilai-nilai unggul perjalanan sebuah bangsa
(Susanto, 2014: 29). Sedangkan menurut Hamid (2014: 160) bahwa pembelajaran
31
sejarah adalah pembelajaran yang tidak hanya transfer of knowledge kejadian masa
silam, yang kadang membuat peserta didik bosan dan mempertanyakan manfaat
dari setiap kisah, tetapi juga upaya membentuk karakter mereka agar lebih
mengenal diri dan lingkungannya.
Tujuan pendidikan sejarah menurut Hasan dalam Sinaryatin (2017: 314)
harus mengandung materi berupa pengetahuan, kemampuan kognitif, kemampuan
psikomotorik dan nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah dapat
bermakna sehingga dapat mengembangkan jati diri bangsa untuk menghadapi
tantangan di masa yang akan datang. Pembelajaran sejarah memiliki makna yang
mendasar berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai kesejarahan kepada peserta
didik agar peserta didik dapat memahami dengan baik identitas bangsanya dan
dapat mengadapi tantangan di masa yang akan datang (Ariska, 2017: 314).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran sejarah adalah pembelajaran yang membahasa tentang masa lalu
tentang perjalanan suatu bangsa untuk dijadikan hikmah dan pelajaran dimasa yang
akan datang dalam upaya membentuk karakter yang lebih mengenal diri sendiri dan
linkungan sekitar.
Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu
menumbuhkan kemampuan peserta didik melakukan konstruksi kondisi masa
sekarang dengan mengkaitkan atau melihat masa masa lalu yang menjadi basis
topik pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus
dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam pembelajaran
yang bersifat konservatif. Kontekstualitas sejarah harus kuat mengemuka dan
32
berbasis pada pengalaman pribadi para peserta didik. Apalagi sejarah tidak akan
terlepas dari konsep waktu, kontinyuitas dan perubahan (Subakti, 2010).
Pembelajaran sejarah memiliki tujuan yang harus dicapai, menurut Agung
(2013: 56) tujuan pembelajaran sejarah adalah (a) mendorong peserta didik berfikir
kritis analitis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk
memahami kehidupan masa kini dan masa yang akan dating; (b) memahami bahwa
sejarah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari; dan (c) mengembangkan
kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan
keberlanjutan. Sedangkan menurut Moh. Ali dalam (2014: 57) pembelajaran
sejarah nasional mempunyai tujuan: (a) Membangkitkan, mengembangkan serta
memelihara semangat kebangsaan; (b) Membangkitkan hasrat mewujudkan cita-
cita kebangsaan dalam segala lapangan; (c) Membangkitkan hasrat-mempelajari
sejarah kebangsaan dan mempelajarinya sebagai bagian dari sejarah dunia; (d)
Menyadarkan anak tentang cita-cita nasional (Pancasila dan Undang-undang
Pendidikan) serta perjuangan tersebut untuk mewujudkan cita-cita itu sepanjang
masa.
Pendapat lain dari Kochar dalam Zahro, dkk. (2017: 5-6) tujuan
pembelajaran sejarah adalah (a) mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri;
(b) memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat;
(c) membuat peserta didik mampu mengevaluasi nilai dan hasil yang dicapai
generasinya; (d) mengajarkan toleransi; (e) memperluas cakrwala; (f) mengajarkan
prinsip-prinsip moral; (g) menanamkan orientasi ke masa depan; (h) melatih peserta
didik menangani isu-isu kontraversional; (i) membantu memberikan jalan keluar
bagi berbagai masalah social dan perorangan; (j) memperkokoh rasa nasionalisme;
33
(k) mengembangkan pemahaman internasional; dan (l) mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang berguna. Sedangkan menurut Dennis Gunning
dalam Nurhayati (2018: 22), secara umum pembelajaran sejarah bertujuan untuk
membentuk warga negara yang baik dan menyadarkan peserta didik untuk
mengenal diri dan lingkungannya. Sedangkan secara spesifik, tujuan pembelajaran
sejarah yaitu mengajarkan konsep, mengajarkan keterampilan intelektual, dan
memberikan informasi kepada peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran
sejarah bertujuan menjadikan peserta didik mampu mengaktualisasikan diri sesuai
dengan potensi dirinya dan menyadari keberadaannya untuk ikut serta dalam
menentukan masa depan.
Selain ini Pusat Pengembangan Profesi Pendidikan (2014: 18-19) juga
menjelaskan bahwa tujuan dari mata pelajaran sejarah Indonesia pada jenjang SMA
yakni menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang memiliki rasa bangsa dan cinta tanah air, melahirkan empati dan
perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat dan bangsa, serta mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai
dan moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa.
Maka dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan
pembelajaran sejarah adalah menumbuhkan cara berfikir kritis dan kesadaran
peserta didik sebagai bagian dari bangsa, dengan meningkatkan semangat belajar
dan berjuang untuk meraih cita-cita dengan tujuan untuk dapat berguna dalam
menjaga dan membawa bangsa menjadi lebih baik lagi dengan rasa nasionalisme.
Materi pada pendidikan sejarah terdiri atas: Pertama, Fakta (nama pelaku,
Tahun peristiwa, tempat danjalannya peristiwa). Kedua, kausalita antara satu
34
kejadian dengan kejadian lainnya. Ketiga, kemampuan berpikir (kronologis, kritis,
kreatif dan aplikatif). Keempat, Kepemimpinan dan inisiatif. Kelima, nilai
(kejujuran, kebenaran, kerja keras, risk tasking, tanggung jawab). Keenam, sikap
(menghargai prestasi/kemampuan, keberanian bertindak, disiplin, cinta tanah air
dan bangsa, berani berkorban) (Hasan dalam Chairunnisa, 2017: 62-63).
2.6 Materi E-LKPD
2.6.1. Mutiara dari Timur
Laut Tengah merupakan pusat perdagangan internasional antara orang-orang
barat dan timur yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya dengan komoditi
pasarnya adalah rempah-rempah. Orang-orang Eropa bisa mendapatkan harga yang
terjangkau untuk rempah-rempah tersebut. Namun, setelah Turki Usmani berhasil
menjatuhkan konstatinopel dan mengambil alih kekuasaan, akses untuk
mendapatkan harga yang terjangkau menjadi tertutup untuk orang-orang Eropa. Hal
ini yang menyebabkan dorongan bagi orang-orang barat untuk mencari dan
menemukan wilayah penghasil rempah-rempah secara langsung.
Untuk menemukan wilayah penghasil rempah-rempah maka dimulailah
periode petualangan, penjelajahan, dan penemuan dunia baru. Hal ini didukung dan
difasilitasi oleh pemerintah dengan bantuan para-ilmuan yang ada pada saat itu
terutama ahli navigasi. Negara yang menjadi pelopor penjelajahan, petualangan dan
pelayaran samudera tersebut adalah Portugis dan Spanyol. Portugis merupakan
bangsa barat pertama yang menemukan Kepulauan Nusantara yang kemudian
disusul oleh Spanyol, Belanda dan Inggris. Petualangan mencari rempah-rempah
ini bukan hanya bertujuan untuk keuntungan dari perdagangan rempah-rempah
tetapi terdapat tujuan yang lebih besar untuk bangsa barat capai. (Suroyo, dkk:
35
2010). Tujuan tersebut sering kita kenal dengan sebutan 3G (Gold, Glory dan
Gospel) :
a. Gold yaitu tujuan bangsa barat untuk mendapatkan kekayaan dan keuntungan
yang besar dengan mengumpulkan barang yang bernilai tinggi seperti emas,
perak dan bahan tambang atau barang lainnya yg bernilai tinggi di pasar
internasional.
b. Glory yaitu tujuan bangsa barat untuk menguasai daerah yang mereka datangi
sebagai negara jajahan. Bangsa barat setelah menemukan daerah yang kaya
akan sumber daya alamnya ataupun bisa mendatangkan keuntungan bagi
mereka maka bangsa barat akan saling bersaing untuk menguasai daerah
tersebut.
c. Gospel tujuan untuk menyebarkan kepercayaan kristiani ke seluruh penjuru
dunia. Pada mulanya orang-orang Eropa ingin mencari dan bertemu Prester
John yang mereka yakini sebagai Raja Kristen yang berkuasa di Timur.
2.6.2 VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie )
Berita tentang penjelajahan dan pelayaran Portugis dan Spanyol yang telah
mendapatkan keuntungan yang banyak dari perdagangan rempah-rempah
menyebar luas. Sehingga hal ini menyebabkan semakin banyak negara-negara
Eropa yang ingin mencoba nasib yang sama ke Nusantara. Hal ini menyebabkan
bangsa barat saling bersaing untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di
Nusantara. Bukan hanya persaingan antar negara yang terjadi tetapi persaingan
antara kelompok dagang dengan kelompok dagang yang lain dalam satu kenegaraan
juga tidak bisa dicegah. Hal ini menyebabkan perpecahan dan keributan sesame
bangsa barat itu sendiri. Oleh sebab itu, untuk memperkuat posisi masing-masing
36
negara barat di dunia timur, mereka membentuk persekutuan dagang untuk
menyatukan pedagang dari negara mereka untuk bersaing dengan negara lain..
Dalam Suroyo (2010: 22) dijelaskan bahwa Inggris membentuk sebuah
persekutuan atau kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC) pada
tahun 1600 dengan pusat kantor berkedudukan di Kalkuta, India. Setiap dan
kebijakan di dunia timur dikendalikan oleh Inggris melalui EIC ini. Pada tahun
1811 Inggris memiliki kedudukan yang semakin kuat dan meluas hingga berhasil
menduduki sebagian wilayah Nusantara (Suroyo, 2010: 159).
Persaingan keras antar kelompok dagang juga terjadi antara pengusaha
Belanda dari penjualan rempah-rempah. Masing-masing kelompok ingin
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari kelompok yang lain. Hal ini
menjadi perhatian khusus oleh pemerintah Belanda bersama dengan parlemennya
yang berada di Amsterdam, sebab dengan persaingan keras yang terjadi tersebut
dapat menyebabkan perpecahan pedagang-pedagang Belanda dan menyebabkan
kerugian untuk Belanda sendiri. Oleh karena itu, pada 20 Maret 1602 Belanda ikut
mendirikan persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara yang diberi nama
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) (Suroyo, 2010: 21).
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Maskapai
Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur memiliki tujuan yaitu (1)
untuk mengontrol persaingan antar kongsi dagang agar tidak terjadi persaingan
yang tidak sehat; (2) memperkuat kedudukan Belanda dalam persaingan dengan
negara-negara barat lainnya (Suroyo, 2010: 21-22).
2.6.3 Pemerintah Deandels dan Raffles
a. Pemerintahan Herman Williem Daendels (1808-1811)
37
Pada tahun 1808-1811 nama Nusantara dipimpin oleh Gubernur Jenderal
yang berama H. W. Deandels yang ditunjuk oleh pemerintahan Republik Bataaf.
Pada masa kekuasaannya, Deandels memiliki tugas utama untuk mempertahankan
kekuasaan Jawa atas serangan pengambilan kekuasaan oleh Inggris. Sebagai
perpanjangan tangan pemerintahan Republik Bataaf di Nusantara, Daendels harus
mampu mempertahankan Nusantara dari serangan Inggris dan memperbaiki siste
administrasi serta kehidupan sosial ekonomi di tanah Jawa (Suroyo, 2010: 139).
Daendels merupakan seorang yang sangat mengikuti ajaran Revolusi
Prancis, ia juga merupakan seorang kaum patriot dan liberal dari Belanda. Setiap
pidato yang disampaikan, Daendels selalu mengutip semboyan Revolusi Perancis.
Daendels adalah orang yang ingin menghilangkan praktik-praktik feodalisme, ia
lenih ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di
lingkungan masyarakat Hindia. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih dinamis
dan produktif untuk kepentingan negeri Republik Bataaf. Langkah ini juga
bertujuan untuk mencegah kesalahan penggunaan kekuasaan dan memperkecil hak-
hak para bupati disetiap wilayah nusantara atas kekuasaan tanah dan penggunaan
tenaga rakyat (Suroyo, 2010: 153-154).
Dalam upaya memenuhi tugas dari pemerintah induk, Deandels melakukan
beberapa cara strategis yang berhubungan dengan bidang pertahanan-keamanan,
administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
b. Pemerintahan Raffles (1811-1816)
Pada tanggal 18 September 1811 Inggris mulai menancapkan kekuasaannya
di Nusantara. Raffles secara resmi diangkat oleh Gubernur Jenderal Lord Minto
sebagai penguasa ditanah jajahan dengan pusat pemerintahannya berada di Batavia.
38
Untuk memperkuat kedudukan Inggris di Nusantara, Raffles mulai melakukan
langkah-langkah strategis. Ada tiga prinsip yang dipegang oleh Raffles dalam
menjalankan pemerintahannya di tanah jajahan. Pertama, penggantian sistem kerja
rodi dan penyerahan wajib pajak dengan penanaman bebas oleh rakyat, artinya
Raffles membebaskan rakyat untuk melakukan penanaman apa saja di tanah
mereka. Kedua, menjadikan bupati bagian dari pemerintah kolonial dan
menghilagkan peran bupati yang awalnya sebagai pemungut pajak. Ketiga,
menjadikan tanah yang digarap oleh rakyat sebagai sistem sewa dikarenkan
pandangan bahwa tanah tersebut adalah milik pemerintah. Berangkat dari tiga
prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang
politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.
Raffles memiliki tiga orang penasehat yang mendampingi ia dalam
menjalankan tugas di Nusantara yaitu Gillespie, Mutinghe, dan Crassen. Kemudian
Secara geopolitik, membagikan Jawa menjadi 16 karesidenan (Suroyo, 2010: 163).
Dalam upaya memperkuat kedudukan dan mempertahankan kekuasaan Inggris,
Raffles mengambil langkah untuk menjalin hubungan baik dengan para pangeran
dan penguasa yang diperkirakan membenci Belanda. Langkah ini sekaligus sebagai
upaya untuk mempercepat penguasaan Pulau Jawa yang merupakan basis kekuatan
Kepulauan Nusantara. Dalam penerapan dan hasil yang diperoleh, Raffles berhasil
membangun hubungan dengan raja-raja di Jawa dan Palembang dengan doktrinisasi
untuk mengusir Belanda dari Nusantara. Tetapi, setelah keberhasilan raja-raja di
Jawa dan Palembang mengusir Belanda dari Nusantara, Raffles mulai
menampakkan tabiat aslinya dengan tidak simpati lagi kepada tokoh-tokoh yang
sudah berjuang membantu Inggris mengusir Belanda dari Nusantara. Hal ini bisa
39
kita lihat sikap Raffles yang tidak baik terhadap Raja Baharuddin di Palembang.
Padahal Raja Baharuddin adalah salah satu raja yang sangat berjasa terhadap
Raffles dalam mengusir Belanda dari Nusantara (Suroyo, 2010:159).
Beberapa bentuk kebijakan dan tindakan dilakukan Raffles adalah sebagai
berikut: (1) menerapkan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land rent) yang
berakibat kepada terbentuknya dasar bagi perkembangan sistem perekonomian
uang; (2) Menghapus sistem pajak dan penyerahan wajib hasil bumi; (3) menghapus
sistem kerja paksa atau kerja rodi dan perbudakan; (4) Menghapus sistem monopoli;
(5) Menjadikan desa sebagai bagian unit administrasi penjajahan.
2.6.4. Dominasi Pemerintahan Belanda di Indonesia
Pada tahun 1814 dari hasil traktat London maka Nusantara dinyatakan
kembali ke tangan Belanda sehingga kebijakan pemerintah Belanda membentuk
badan baru yang bernama Komisaris Jenderal untuk memerintah ditanah jajahan.
Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga
orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout sebagai ketua serta Arnold Ardiaan
Buyskes dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen sebagai anggota
(Suroyo, dkk., 2010: 166).
Pada April 1816 Komisaris Jendral tiba di Batavia dengan membawa konsep
sistem liberalisme untuk menyusun tatanan pemerintahan baru setelah
dikembalikannya Nusantara kepada Belanda, mengusahakan ketentraman dan nasib
rakyat, membentuk angkatan perang dan menyusun undang-undang sebagai
pedoman pemerintahan Belanda di Nusantara. Pada tahun 1819 Undang-undang
tersebut disahkan oleh pemerintah Belanda (Sartono Kartdirjo: 1980) .
40
Setelah sampai di Indonesia dan melihat kondisi yang ada, Ketiga Komisaris
Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsip prinsip liberalisme dalam
mengelola tanah jajahan di Nusantara. Pada saat itu Nusantara dalam keadaan terus
merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di Belanda berada dalam
kondisi krisis dan berdampak kepada negeri induk. Hal ini membuat para komisaris
jenderal harus melakukan tugas secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan-
persoalan ekonomi di Tanah Jajahan. Sementara itu di satu sisi kaum liberalis dan
konservatif masih belum selesai memperdebatkan terkait sistem pengelolaan tanah
jajahan untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi negara induk. Kaum liberal
berkeyakinan bahwa untuk mendapatkan keuntungan yang besar maka pengelolaan
tanah jajahan harus diserahkan kepada swasta. Namun di sisi lain para kelompok
konservatif berpendapat untuk menghasil keuntungan yang besar maka tanah
jajahan harus dikelola langsung oleh pemerintah dengan pegawasan yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dengan kondisi yang
sedang dirasakan oleh para komisaris di Nusantara saat itu dan melihat perdebatan
antara kaum liberalis dan konservatif yang tidak kunjung selesai, maka para
komisari jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan jalan tengah. Maksudnya,
eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia
Belanda agar dapat segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping
mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah
jajahan. Namun, kebijakan yang dijalankan ini tidak dapat merubah keadaan
ekonomi semakin membaik saat itu. Sehingga pada tanggal 22 Desember 1818
Pemerintah Belanda mengubah kebijakan dengan memberlakukan UU yang
41
menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal
dengan mengangkat Van der Capellen pertama di Nusantara.
a. Sistem Tanam Paksa
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem
ekonomi. Berbagai pendapat mulai dilontarkan oleh para para pemimpin dan tokoh
masyarakat. Salah satunya pada tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van
den Bosch yang diangkat sebagai gubernur jenderal mengajukan gagasan kepada
raja Belanda untuk menyelamatkan kas negara. Gagasan Bosch sederhana, sistem
pajak tanah yang telah diintoduksikan oleh Raffles harus diubah sedemikian rupa
sehingga bukan hanya menguntungkan pemerintah kolonial tetapi juga
menguntungkan bagi para petani itu sendiri. Jika pada masa pajak tanah, petani
dituntu untuk menyerahkan 2/5 dari nilai panen kepada pemerintah sebagai pajak,
maka Bosch hanya menuntut 1/5 dari tanah petani bukan diserahkan dalam bentuk
tanah, uang, ataupu penyerahan padi, namun berupa tanaman ekspor. Namun,
rencana yang dijalankan itu tidak sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya, rakyat
tetap harus membayar pajak tanah dan juga harus melaksanakan kewajibannya
untuk menanam tanaman untuk memasok pasar dunia (Suroyo, dkk., 2010: 142).
Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam
Paksa). Dengan cara ini diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan cepat
pulih dan semakin meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan Van den Bosch
membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor dapat
ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun. Van den
Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC adalah
cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa. Dengan
42
membawa dan memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa,
maka akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.
b. Sistem Usaha Swasta (Liberal)
Adanya penerapan sistem tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda
dinilai berhasil membantu memperbaiki perekonomian Belanda. Keuntungan yang
didapatkan dari penerapan sistem tanam paksa mendorong Belanda berkembang
menjadi negara industri. Beriringan dengan hal tersebut ternyata juga memberikan
dorongan kepada kaum liberal untuk tampil dengan dukungan dari para pengusaha.
Hal ini mengakibatkan mulai muncul pertentangan dari kaum liberal tentang
pelaksanaan tanam paksa. Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan
untung ruginya tanam paksa. Sehingga menimbulkan kelompok pro dan kontra
terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.
Pihak yang pro untuk tetap menerapkan sistem tanam paksa adalah kelompok
konservatif dan para pegawai pemerintah. Alasan yang dikeluarkan oleh kelompok
ini kenapa harus tetap mempertahankan sistem tanam paksa adalah dikarenakan
sistem ini telah mendatangkan banyak keuntungan untuk Belanda. Senada dengan
hal tersebut para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel
Matschappij) juga ikut mendukung tetap dilanjutkan sistem tanam paksa karena
mendapatkan hak monopoli untuk membawa hasil komoditi dari Nusantara ke
Eropa.
Satu sisi terdapat kelompok yang kontra dengan pelaksanaan tanam paksa.
Kelompok ini adalah kelompok masyarakat yang menaruh simpati terhadap
penderitaan yang dirasakan rakyat pribumi dari akibat pelaksanaan sistem tanam
paksa. Pada umumnya kelompok ini adalah orang-orang yang dipengaruhi ajaran
43
agama dan mengikuti paham liberalisme. Kaum liberal berpendapat agar
pemerintah tidak adanya campur tangan dalam urusan ekonomi tetapi diserahkan
kepada pihak swasta.
Kaum liberal meminta pelaksanaan tanam taksa di Nusantara diakhiri. Hal
tersebut mendapat dorongan dengan terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yaitu
buku Max Havelaar yang ditulis oleh Edward Douwes Dekker dengan nama
samarannya Multatuli, dan buku yang berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak
Gula) yang ditulis oleh Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras
terhadap pelaksanaan Tanam Paksa. Sedangkan kaum liberal di parlemen sudah
lantang dalam mengkritik praktik pelaksanaan tanam paksa ini. Dengan adanya
kritikan-kritikan dari parlemen dan juga tokoh yang semakin kuat akhirnya pada
tahun 1870 sistem tanam paksa dihapus dan diganti dengan undang-undang agraria
(Suroyo, dkk., 2010: 146).
2.1.6.5 Penyebaran Agama Kristen
Menurut Suroyo, dkk (2010) secara garis besar perkembangan agama Kristen
di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Kristen Katolik dan Kristen
Protestan. Penyebaran agama Kristen sama dengan cara penyebaran agama ainya
seperti Hindu, Buddha dan Islam yaitu melalui aktivitas pelayaran dan
perdagangan. Pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh bangsa waktu itu
sudah menjangkau ke seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Hal ini dapat
dibuktikan dengan melihat kenyataan bahwa agama Kristen Katolik dan Kristen
Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia bagian
Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga
daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.
44
Proses masuknya agama Kristen ke Indonesia ini dapat dikatakan dalam dua
gelombang atau dua kurun waktu. Pertama dikatakan bahwa agama Kristen masuk
di Indonesia sudah sejak zaman kuno. Menurut Cosmas Indicopleustes dalam
bukunya Topographica Christiana, diceritakan bahwa pada abad ke-6 sudah ada
komunitas mi di India Selatan, di pantai Malabar, dan Sri Lanka. Dari Malabar itu
agama Kristen menyebar ke berbagai daerah. Pada tahun 650 agama Kristen sudah
mulai berkembang di Kedah (Semenanjung Malaya) dan sekitarnya. Pada abad ke-
9 Kedah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang sangat ramai di jalur
pelayaran yang menghubungkan India-Aceh-Barus- Nias-melalui Selat Sunda-Laut
Jawa dan terus ke Cina. Jalur inilah yang disebut sebagai jalur penyebaran agama
Kristen dari India ke Nusantara (Suroyo, dkk., 2010: 174).
Pada periode berikutnya, seiring dengan kedatangan bangsa-bangsa barat ke
Nusantara pada abad ke 16, penyebaran agama Kristen menjadi lebih intensif.
Kedatangan bangsa-bangsa Barat tersebut semakin memperkuat dan mempercepat
penyebaran agama Kristen di Nusantara. Penyebaran sesuai dengan kepercayaan
negara-negara barat yang datang seperti Portugis menyebarkan agama Kristen
Katolik dan Belanda menyebarkan agama Kristen Protestan
2.7 Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Hasil penelitian yang Umi Hartati dan Rizky Ahmad Refa’I dengan judul
“Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (Lkpd) Sejarah Masa
Pendudukan Jepang Di Indonesia Berbasis Nilai Karakter Untuk Kelas Xi Sma
Negeri 1 Pasirsakti”. Persamaan dengan penelitian peneliti adalah sama-sama
45
mengembangkan LKPD. Perbedaannya adalah penelitian ini menghasilkan
LKPD berbentuk cetak berbasis karakter sedangkan penelitian peneliti
menghasilkan LKPD berbentuk elektronik berbasis kvisoft flipbook maker,
model penelitian yang digunakan di penelitian ini adalah model Research and
Depelovment dari hasil adaptasi Sugiyono level satu sedangkan model
pengembangan yang digunakan peneliti adalah model Four D, materi yang
digunakan dalam hasil penelitian ini adalah materi masa pendudukan Jepang
sedangkan materi yang digunakan peneliti adalah Kolonialisme dan
Imperialisme.
b. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yan Driya Samodra dan Dyah Komala
Sari dengan judul “Lembar Kerja Peserta didik Mata Pelajaran Sejarah
Berbasis Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Atas (SMA) Perbedaan
hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian
ini menghasilkan LKPD berbentuk cetak berbasis karakter sedangkan
penelitian peneliti menghasilkan LKPD berbentuk elektronik berbasis kvisoft
flipbook maker, model yang digunakan dalam hasil penelitian ini menggunakan
model pengembangan Borg and Gall yang Sedangkan model pengembangan
yang digunakan peneliti adalah model Four D.
c. Hasil Penelitian Eka Yuni Andriyani, M. Dwi Wiwik Ernawati, Affan Malik
dengan judul “Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik Elektronik Berbasis
Proyek pada Materi Termokimia di Kelas XI SMA”. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian peneliti adalah sama-sama melakukan pengembangan e-
LKPD dan sama-sama menggunakan model pengembangan Four D.
46
Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini berbasis proyek sedangkan
penelitian peneliti berbasis kvisoft flipbook maker.
2.7 Kerangka Berfikir
Bahan ajar yang baik adalah bahan ajar yang mampu menarik minat dan
memotivasi peserta didik serta dikaitkan dengan situasi dunia nyata peserta didik
salah satunya adalah mengaitkan bahan ajar dengan budaya lokal yaitu budaya
Jambi yang tertuang dalam e-LKPD yang akan dikembangkan penulis. E-LKPD
merupakan salah satu bahan ajar elektronik yang biasa digunakan disekolah. E-
LKPD ini disajikan dalam bentuk elektronik menggunakan kvisoft flipbook maker.
Jenis penelitian ini adalah Research and Development dengan model 4-D
(four-D model). Tahapan model pengembangan 4-D meliputi tahap pendefinisian
(define), tahap perancangan (design), tahap pengembangan (develop) dan tahap
penyebaran (disseminate). Tahapan yang dilakukan pada penelitian ini baru sampai
pada tahap pengembangan (develop). LKPD yang dikembangkan harus memenuhi
tiga kriteria yaitu validitas (validity), praktis (practice), dan efektif (efective).
Pengembangan E-LKPD pada materi Kolonialisme dan Imperialisme ini
dapat menunjang peserta didik dalam kegiatan belajar mandiri. Peserta dapat
mempelajari dan memahami materi dengan sendiri tanpa harus menunggu bantuan
materi yang diberikan oleh pendidik. Hal ini dapat membuat peserta didik
mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya secara autodidak ataupun
dengan penjelasan guru Adapun kerangka berpikir penelitian ini adalah sebagai
berikut:
47
Gambar 2.1. Kerangka Berfikir
Pengembangan e-
LKPD Berbasis
Kvisoft flipbook
maker
Modul
Bahan Ajar LKPD Materi Kolonialisme
dan Imperialisme
Buku
SMAN 11 Muaro Jambi