LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DANA INTERNAL
MODEL PENGELOLAAN LIMBAH PADAT
DI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PANCASILA
Tim Pengusul
Ketua Tim : Dino Rimantho, ST.,MT (0306017007)
Anggota : Nur Yulianti Hidayah, ST.,MT (0325077501)
Ayu Herzaniata Y, ST.,MT (0330068902)
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PANCASILA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Model Pengelolaan Limbah Padat di Fakultas Teknik Universitas
Pancasila
Ketua Tim Pengusul Penelitian
Nama : Dino Rimantho, ST.,MT
NIP/NIDN : 0306017007
Pangkat/Golongan : III c
Program Studi/Fakultas : Teknik Industri / Fakultas Teknik
Perguruan Tinggi : Universitas Pancasila
Email : [email protected]
No. Telp : 081243628006
Anggota Tim Pengusul Penelitian
a) Anggota I
Nama : Nur Yulianti Hidayah, ST.,MT
NIP/NIDN : 0325077501
b) Anggota II
Nama : Ayu Herzaniata Y, ST., MT.
NIP/NIDN : 0330068902
Jumlah mahasiswa yang terlibat : 1 (satu) orang
Usulan Jangka Waktu : 8 bulan (Mei-Desember 2019)
Biaya yang diperlukan : Rp.60.000.000
Jakarta, 2 Desember 2019
Mengetahui:
Ketua Program Studi, Ketua Tim Pengusul,
(Ir. Rini Prasetyani, MT) (Dino Rimantho, ST.,MT)
NIDN. 0330016801 NIDN. 0306017007
Mengetahui: Menyetujui,
Ka.UP2M Dekan FTUP
(Dr. Dede Lia Z, ST.,MT) (Dr. Ir Budhi Muliawan Suyitno, IPM)
NIDN. 0312017603 NIDK. 8825530017
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
RINGKASAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan
2.2. Pengelolaan Sampah di Perguruan Tinggi
2.3. Studi Karakterisasi Limbah Di Perguruan Tinggi
2.4. Konsep Sampah
2.5. Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
2.6. Analytic Hierarchy Process (AHP)
2.7. Sistem Dinamik
BAB III METODOLOGI
3.1. Pendekatan Penelitian
3.2. Variabel Penelitian
3.3. Populasi Penelitian
3.4. Sampel Penelitian
3.5. Metode Pelaksanaan Penelitian
3.6. Data Penelitian
3.7. Diagram Alir Penelitian
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Menghitung Laju Timbulan Sampah yang Dihasilkan
4.2. Analisis Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Mahasiswa Tentang
Pengelolaan Sampah
4.3. Analisis Risiko Kegagalan Proses Pengelolaan Sampah
iii
4.4. Rumusan Strategi yang Tepat Agar dapat Digunakan dalam
Pengelolaan Sampah di FTUP
4.5. Model Manajemen Faktor-Faktor Risiko yang Direkomendasikan
Menjadi Strategi Pengelolaan Limbah Padat yang Berkelanjutan
4.6. Penyusunan Skenario Pengendalian Risiko Kegagalan Pengelolaan
Limbah Padat
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Justifikasi Penggunaan Anggaran
Lampiran 2 Artikel Seminar Internsional
Lampiran 3 Foto Kegiatan Pengumpulan Sampah
Lampiran 4 Kuesioner Pengetahuan, Sikap dan Prilaku
Lampiran 5 Kuesioner Penilaian Risiko
Lampiran 6 Kuesioner Perbandingan Berpasangan
Lampiran 7 Surat Pencatatan Ciptaan
Lampiran 8 Materi Workshop
v
RINGKASAN
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan keberlanjutan dari
Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati tahun 2015. SDGs
menjadi momentum baru dalam pembangunan global. Terdapat beberapa sasaran
pembangunan dalam berbagai macam aspek, mulai dari aspek sosial, aspek
kesehatan, dan aspek lingkungan. Dalam pembangunan berkelanjutan aspek
lingkungan adalah hal yang terpenting, termasuk pengelolaan sampah kota yang
berkelanjutan. Masalah sampah timbul karena adanya peningkatan timbulan
sampah sebesar 2%-4% per tahun. Kebijakan pengelolaan sarnpah selama ini
lebih berorientasi pada usaha memindahkan sampah yang tersebar ke satu lokasi
akhir pembuangan sampah tanpa proses pemilahan, daur ulang, dan pemanfaatan
ulang sampah terlebih dahulu. Terkait dengan sistem pengelolaan sampah di
Fakultas Teknik dan Universitas Pancasila secara umum meliputi pewadahan,
pengumpulan, pemindahan transfer depo, dan pengangkutan dengan kontainer
untuk dibawa ke TPA. Hal ini dapat berpotensi menambah laju timbulan limbah
padat yang akan dibawa ke TPA. Melihat realita tersebut maka perlu ada upaya
dalam menangani permasalahan sampah padat, salah satunya adalah membuat
solusi bahwa sampah dapat menjadi sumber energi listrik atau Waste to Energy
atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah).
Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting melihat peningkatan volume
timbunan sampah setiap waktu yang tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Menghitung laju timbulan sampah dan menganalisis perilaku masyarakat
dalam membuang dan mengelola sampah di FTUP.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan proses
pengelolaan limbah padat di FTUP.
c. Merumuskan strategi yang tepat agar dapat digunakan dalam pengelolaan
sampah di FTUP.
d. Memperoleh model skenario pengelolaan sampah di FTUP.
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua pengukuran, yaitu pengukuran
timbulan sampah dan pengukuran komposisi sampah. Pengukuran timbulan
vi
menggunakan dua metode yaitu Metode Volume yang menghasilkan data dengan
satuan liter/unit/hari dan Metode Berat yang menghasilkan data dengan satuan
kilogram/unit/hari untuk pengukuran komposisi. Analisis penyebab risiko
kegagalan dalam pengelolaan sampah menggunakan FMEA. Penentuan strategi
mitigasi kegagalan pengelolaan sampah menggunakan metode AHP dan
pembuatan model pengelolaan limbah padat di FTUP menggunakan Sistem
Dinamis. Luaran dari penelitian berupa laporan penelitian, artikel penelitian yang
akan dipublikasikan di Jurnal dan Proceeding Internasional terindeks, dan model
pengelolaan sampah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan keberlanjutan dari
Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati tahun 2015. SDGs
menjadi momentum baru dalam pembangunan global, karena dalam kesepakatan
SDGs pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-70 memiliki
tujuan pembangunan universal baru yang dimulai pada tahun 2016 hingga tahun
2030. SDGs memiliki 5 prinsip-prinsip mendasar yang menyeimbangkan
beberapa dimensi seperti ekonomi, social, dan lingkungan, yaitu 1) People
(manusia), 2) Planet (bumi), 3) Prosperty (kemakmuran), 4) Peace (perdamaian),
dan 5) Partnership (kerjasama) (Panuluh dan Fitri, 2016). Selain itu, kesepakatan
SDGs juga memiliki 17 tujuan dan 169 sasaran. Hal ini berbeda dengan MDGs
yang hanya memiliki 8 tujuan dan 21 sasaran. Secara proses MDGs juga memiliki
kelemahan karena penyusunan hingga implementasinya ekslusif dan sangat
birokratis tanpa melibatkan peran stakeholder non-pemerintah, seperti civil society
organization, universitas/akademisi, sektor bisnis dan swasta, serta kelompok
lainnya (Panuluh dan Fitri, 2016). Akan tetapi, penyusunan SDGs sendiri
memiliki beberapa tantangan karena masih terdapat beberapa butir-butir target
MDGs yang belum bisa dicapai dan harus diteruskan di dalam SDGs (Erwandari,
2017). SDGs disepakati oleh 193 kepala negara dan pemerintahan yang
merupakan anggota PBB dan termasuk Negara Indonesia.
Pelaksanaan SDGs di Indonesia telah memiliki payung hukum dan diatur
melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017. Regulasi ini digunakan untuk
menghindari keterlambatan implementasi SDGs. Dasar pemikirannya dikarenakan
pada implementasi MDGs, Indonesia sebelumnya mengalami keterlambatan 10
tahun dari pengesahannya pada tahun 2000. Pemerintah Indonesia menjelaskan
bahwa keterlambatan tersebut dikarenakan Indonesia pada saat itu masih dalam
proes pemulihan dari situasi ekonomi setelah terjadinya krisis pada tahun 1998.
Dalam Perpres tersebut menguraikan 17 tujuan dari implementasi SDGs yang
2
mana termasuk dalam sasaran nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 di Indonesia.
Terdapat beberapa sasaran pembangunan dalam berbagai macam aspek,
mulai dari aspek sosial, aspek kesehatan, dan aspek lingkungan. Dalam
pembangunan berkelanjutan aspek lingkungan adalah hal yang terpenting,
termasuk pengelolaan sampah kota yang berkelanjutan. Tatanan kehidupan sosial
di Indonesia mengalami peningkatan akibat dari adanya pembangunan yang
semakin dinamis. Hasil pembangunan yang mengalami peningkatan akan
memberikan pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan taraf kehidupan
masyarakat yang lebih baik. Namun, hal ini juga harus memperhatikan bahwa
hasil pembangunan juga akan memberikan dampak atau efek samping terhadap
lingkungan sebagai penopang kegiatan pembangunan tersebut.
Dampak lingkungan yang dikhawatirkan adalah menurunnya kualitas
lingkungan. Salah satu dampak lingkungan yang dihasilkan adalah sampah yang
merupakan masalah penting yang harus mendapat penanganan dan pengolahan
sehingga tidak menimbulkan dampak lanjutan yang membahayakan. Menurut
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), volume sampah yang
meningkat setiap tahun dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, tingkat
konsumsi masyarakat, dan sistem pengelolaan sampah di masing-masing daerah
(KNLH 2008).
Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat tentu saja akan
meningkatkan jumlah konsumsi masyarakat serta segala aktivitasnya yang
dikhawatirkan akan melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jika
tidak sesuai atau melebihi daya dukung lingkungan maka akan menimbulkan
dampak negatif yaitu dapat mencemari lingkungan. Salah satu pencemar
lingkungan yang timbul adalah limbah padat atau sering disebut dengan sampah
(Solehati 2005). Kelangsungan hidup manusia sangat tergantung kepada
lingkungan hidupnya. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan
hidup adalah suatu kesatuan ruang dengan semua benda dan makhluk hidup,
termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.
3
Berdasarkan hasil studi di tahun 2008 yang dilakukan di beberapa kota,
sampah yang dihasilkan per individu setiap harinya sebesar 0,8 kilogram. Jumlah
timbulan sampah di kota metropolitan, di mana jumlah penduduknya lebih dari 1
juta jiwa, rata-rata total sampah yang dihasilkan adalah 1.300 ton/hari. Sementara
dari sisi sumbernya, yang paling dominan menyumbang sampah adalah rumah
tangga yaitu sebanyak 58%, pasar tradisional 24%, dan kawasan komersial
sebesar 9%. Sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, jalan, dan sebagainya.
Pola pengelolaan sampah di Indonesia adalah diangkut dan ditimbun di TPA
sebesar 69%, dikubur sebesar 10%, dikompos dan daur ulang sebesar 7%, dibakar
sebesar 5%, sisanya tidak terkelola sebesar 7% dan masih ada 25% sampah belum
sampai ke TPA.
Masalah sampah muncul karena adanya peningkatan timbulan sampah
sebesar 2%-4% per tahun. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan dukungan
sarana dan prasarana penunjang yang memenuhi persyaratan teknis, sehingga
banyak sampah yang tidak terangkut. Selain itu, belum adanya regulasi dalam
upaya penanganan dan pengelolaan sampah secara optimal. Selama ini
pengelolaan sampah masih diserahkan kepada pemerintah daerah. Selain itu
terbatasnya anggaran pengelolaan sampah menjadi suatu permasalahan dasar juga
selalu menjadi kendala. Salah satu alasannya karena masih rendahnya investasi
swasta dalam pengelolaan sampah. Masalah sampah juga diperparah oleh
paradigma bahwa sampah merupakan limbah domestik rumah tangga atau industri
yang tidak bermanfaat (KNLH 2008).
Universitas Pancasila, disingkat UP, adalah salah satu perguruan tinggi
swasta di Indonesia. Kampus utamanya terletak di Srengseng Sawah, Jagakarsa,
Jakarta Selatan dan kampus Pascasarjana terletak di Jalan Borobudur, Menteng,
Jakarta Pusat. Universitas Pancasila didirikan pada tanggal 28 Oktober 1966,
merupakan penggabungan dari Universitas Pancasila (lama) yang didirikan pada
tahun 1963 dan Universitas Bung Karno. Misi dari Universitas Pancasila berniat
dan beritikad untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang berjiwa Pancasila,
memiliki nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan serta
kemampuan berkomunikasi, dan pembinaan bidang hukum, ekonomi dan ekologi
untuk menunjang pembangunan.
4
Salah satu Fakultas yang terdapat di Universitas Pancasila adalah Fakultas
Teknik. Terdapat tiga jenjang pendidikan yaitu Diploma 3, Strata 1, dan
Pascasarjana. Fakultas ini terdiri dari beberapa program studi seperti Industri,
Sipil, Mesin, Elektro, Arsitektur, Informatika. Sejak berdiri pertama kali, Fakultas
ini mengalami peningkatan jumlah mahasiswa yang berfluktuasi pada tiap
program studinya. Akan tetapi secara keseluruhan jumlah mahasiswa yang masuk
ke Fakultas ini mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Peningkatan populasi mahasiswa di Fakultas Teknik Universitas Pancasila
(FTUP) juga berpotensi mempengaruhi kondisi lingkungan terutama sampah di
sekitar FTUP. Sebanding dengan peningkatan pertumbuhan jumlah populasi
mahasiswa, sampah di sekitar FTUP jumlahnya juga akan mengalami peningkatan
dari waktu ke waktu. Kegiatan konsumsi mahasiswa memiliki korelasi yang
positif terhadap jumlah sampah yang terbagi menjadi sampah organik dan
anorganik. Sampah organik masih menjadi komponen terbesar yaitu sebesar 65%
diikuti oleh sampah kertas dan plastik (KNLH 2009). Sampah yang dihasilkan
hanya dibuang dari sumbernya tanpa diolah. Di sisi lain, pengelolaan sampah oleh
dinas terkait hanya fokus pada pengumpulan dan pengangkutan ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA).
Terkait dengan sistem pengelolaan sampah di FTUP dan Universitas
Pancasila secara umum meliputi pewadahan, pengumpulan, pemindahan transfer
depo, dan pengangkutan dengan kontainer untuk di bawa ke TPA. Hal ini dapat
berpotensi menambah laju timbulan limbah padat yang akan dibawa ke TPA.
Melihat realita tersebut maka perlu ada upaya dalam menangani permasalahan
sampah padat, salah satunya adalah membuat solusi bahwa sampah dapat menjadi
sumber energi listrik atau Waste to Energy atau yang lebih dikenal dengan PLTSa
(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Oleh karena itu penelitian ini menjadi
penting melihat peningkatan volume timbulan sampah setiap waktu yang tentu
saja dipengaruhi oleh berbagai faktor.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan berbagai permasalahan
sebagai berikut:
5
a. Berapakah laju timbulan sampah yang dihasilkan dan bagaimana perilaku
mahasiswa dalam membuang dan mengelola sampah di FTUP?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan proses pengelolaan
limbah padat di FTUP?
c. Strategi apa yang tepat agar permasalahan pengelolaan sampah di FTUP dapat
lebih optimal?
d. Bagaimana model dan skenario pengelolaan sampah di FTUP?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian:
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
a. Menghitung laju timbulan sampah dan menganalisis perilaku masyarakat
dalam membuang dan mengelola sampah di FTUP.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan proses
pengelolaan limbah padat di FTUP.
c. Merumuskan strategi yang tepat agar dapat digunakan dalam pengelolaan
sampah di FTUP.
d. Memperoleh model skenario pengelolaan sampah di FTUP.
Manfaat penelitian:
Dalam menyikapi kebijakan penerapan SDGs dalam hal menjamin
kelangsungan lingkungan hidup yang berkelanjutan maka diperlukan dukungan
dari seluruh elemen masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
melakukan penelitian tentang pengelolaan sampah di sumbernya. Diharapkan
dengan diketahuinya volume dan karakteristik dari sampah dapat mendukung
keterkaitan antar target SDGs seperti sanitasi, energi terbarukan dan keberlanjutan
lingkungan hidup.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan
Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (WCED) (1987)
memberikan definisi tentang pembangunan berkelanjutan sebagai "pembangunan
yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri". Sistem lingkungan,
sosial dan ekonomi yang membentuk masyarakat harus memberikan kehidupan
yang sehat, produktif dan bermakna untuk semua bentuk kehidupan baik di masa
kini maupun di masa depan (UNESA, 2002). Dengan demikian pembangunan
berkelanjutan telah membuat kita sadar akan perlunya mencegah degradasi
lingkungan dan hidup berkelanjutan. Degradasi lingkungan menyebabkan
penipisan sumber daya, menurunnya standar hidup, masalah kesehatan, konflik
dan banyak lagi (UNESA, 2002).
Beberapa peneliti seperti Medina, 2002; dan (Zerbock, 2003) memiliki
pendapat bahwa “pengelolaan limbah terpadu bertujuan untuk memperoleh
keseimbangan secara sosial, layak secara ekonomi dan berwawasan lingkungan”.
Dalam kasus kerangka kerja pengelolaan limbah padat di negara berkembang,
perlu dicatat bahwa solusi yang bekerja untuk beberapa negara atau wilayah
mungkin tidak sesuai atau berlaku untuk yang lain. Masalah khusus, seperti
kondisi lingkungan, dan kerangka kerja sosial ekonomi yang ada akan
menentukan kesesuaian berbagai strategi dan teknologi dalam menyelesaikan
masalah limbah padat. Penekanan utama adalah pada keempat R (mengurangi,
menggunakan kembali, memperbaiki dan mendaur ulang), dengan demikian,
menciptakan lebih sedikit limbah dan meningkatkan pemulihan material. Hal ini
dijelaskan lebih lanjut dalam hirarki pengelolaab limbah (UNESA, 2002).
Selama beberapa dekade, institusi akademik, bisnis, pemerintah dan
organisasi sosial telah berupaya untuk mewujudkan konsep penggunaan sumber
daya yang berkelanjutan yang memiliki implikasi bagi masyarakat, lingkungan,
dan ekonomi (Clugston 2000). Kesadaran lingkungan dan advokasi di kampus-
kampus universitas Amerika Utara diamati pada awal tahun 1970-an (Bardati
7
2006). Pada tahun 1972 Deklarasi Stockholm memulai serangkaian pernyataan
nasional dan internasional yang mengacu pada keberlanjutan dalam pendidikan
tinggi (Shriberg, 2002). Meskipun konferensi Stockholm tidak secara langsung
berfokus pada keberlanjutan kampus, deklarasi ini mengakui saling
ketergantungan antara manusia dan lingkungan dan secara khusus mengakui
pentingnya pendidikan dalam interaksi ini (Wright, 2002). Deklarasi Talloires
menandai komitmen formal pertama untuk keberlanjutan dalam pendidikan tinggi
oleh administrator universitas (Wright, 2002) dan sejak didirikan pada tahun
1990, penandatangan telah meningkat dari awal 20 menjadi 390, 33 di antaranya
adalah lembaga Kanada (ULSF, 2009). Deklarasi Talloires terdiri dari serangkaian
prinsip yang mendorong institusi untuk memberikan contoh tanggung jawab
lingkungan melalui pengurangan limbah, daur ulang dan konservasi sumber daya,
terlibat dalam penelitian dan pendidikan menuju masa depan yang berkelanjutan,
dan membangun program untuk mempromosikan keahlian dalam manajemen
lingkungan, ekonomi berkelanjutan pengembangan dan keadilan sosial (Pike,
2003). Deklarasi Halifax (1991) adalah hasil dari konferensi internasional yang
disebut “Aksi Universitas untuk Pembangunan Berkelanjutan” (Wright, 2002).
Konferensi ini membahas tantangan spesifik pembangunan berkelanjutan yang
ramah lingkungan sambil menegaskan kembali peran kepemimpinan lembaga
pendidikan tinggi dalam gerakan menuju masa depan yang berkelanjutan
(Shriberg, 2002); (Bardati, 2006). Melalui Deklarasi Halifax, perguruan tinggi
ditantang untuk "memikirkan kembali dan membangun kembali kebijakan dan
praktik lingkungan mereka untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan
di tingkat lokal, nasional, dan internasional" (Wright, 2002). Pada Januari 2005
PBB mengumumkan Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Perkembangan terbaru ini telah menjadi sumber momentum yang mendorong
keberlanjutan dalam pendidikan tinggi ke arus utama di Amerika Utara dan Eropa
(Beringer, 2008). Meskipun deklarasi seperti Stockholm, Talloires, dan Halifax,
telah berhasil menguraikan tanggung jawab moral universitas untuk bergerak
menuju keberlanjutan, akan tetapi masih sedikit yang menawarkan solusi untuk
mencapai perubahan atau persyaratan wajib untuk menunjukkan akuntabilitas dan
kemajuan (Walton, 2000.). Bahkan, evaluasi deklarasi ini mengungkapkan bahwa
8
di banyak lembaga penandatangan, perjanjian "ditandatangani dan dilupakan"
(Walton, 2000.).
Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi seperti Asosiasi untuk
Kemajuan Keberlanjutan dalam Pendidikan Tinggi dan Sierra Youth Coalition
(SYC) telah berusaha untuk mengatasi jurang antara ilmu pengetahuan dan
tindakan aksi dengan memberikan dukungan bagi universitas melalui
pengembangan staf, fakultas dan sumber daya pelatihan mahasiswa dan kerangka
kerja penilaian keberlanjutan, seperti Pelacakan Keberlanjutan, Sistem Penilaian
dan Penilaian dan Kerangka Kerja Penilaian Keberlanjutan Kampus (Cole, 2003).
Pergerakan pengetahuan yang melampaui prinsip keberlanjutan untuk bertindak
dalam operasi kampus dapat dicapai melalui penggunaan alat penilaian tersebut
(Bardati, 2006). Mekanisme pemantauan, seperti audit keberlanjutan, memberikan
stimulus tambahan untuk memastikan bahwa komitmen lingkungan tetap menjadi
prioritas dan bahwa niat berkelanjutan dapat direalisasikan melalui proyek dan
program yang berorientasi pada tindakan (Conway, 2008). Namun, audit
keberlanjutan yang komprehensif membutuhkan organisasi dan kepemimpinan
yang kuat, sumber daya keuangan dan manusia, dan seringkali harus diselesaikan
beberapa tahun (Beringer, 2008). Persyaratan seperti itu seringkali tidak tersedia
bagi universitas yang baru dalam proses 'penghijauan' dan memulai audit
keberlanjutan sebelum waktunya bisa sangat besar dan bahkan membuat kecil
hati. Memilih satu atau dua bidang prioritas keberlanjutan kampus agar dinilai
merupakan metode yang efektif untuk memulai inisiatif 'hijau' dan menginisiasi
praktik manajemen lingkungan dalam suatu institusi. Sharp (2002)
mengidentifikasi pendekatan proyek percontohan sebagai teknik yang sangat
berhasil untuk memaksimalkan kelangsungan hidup dan perluasan inisiatif
kampus hijau perintis ' (Sharp, 2002). Hal ini disebabkan indikator paling nyata
dari konsumsi kampus adalah produksi limbah, pemeriksaan sistem pengelolaan
limbah universitas adalah tempat yang logis untuk memulai jalan menuju
keberlanjutan kelembagaan (Filho, 2002)
9
2.2. Pengelolaan Sampah di Perguruan Tinggi
Hirarki pengelolaan limbah yang sudah dikenal luas menunjukkan urutan
yang disukai dalam pengelolaan limbah padat, seperti pengurangan volume
limbah di sumber penghasil, penggunaan kembali bahan-bahan bila
memungkinkan dan mendaur ulang sebanyak mungkin bahan yang berbeda
sebelum pembuangan atau membakar sisa sampah. Idealnya, hierarki ini harus
menjadi dasar keputusan pengelolaan limbah kampus. Namun pada kenyataannya,
sebagian besar program pengelolaan limbah kampus telah berfokus secara luas
pada daur ulang, seringkali mengabaikan peluang untuk meminimalkan limbah
dan penggunaan kembali bahan (Fournier, 2008); (Harris, 2009). Ketergantungan
pada daur ulang ini berasal dari sejumlah faktor yang beberapa di antaranya
termasuk, gagasan bahwa daur ulang memberikan kepuasan instan kepada orang-
orang dan asumsi bahwa mereka membantu menyelamatkan lingkungan
(Fournier, 2008). Oleh karena itu, ironisnya, mengelola limbah seringkali lebih
mudah daripada menguranginya. di tempat pertama.
Program pengurangan dan daur ulang limbah formal pertama muncul di
lembaga pendidikan tinggi Amerika Utara lebih dari dua dekade lalu dan telah
berkembang menjadi salah satu inisiatif lingkungan kampus yang paling populer
(Armijo de Vega C., 2008). Sementara itu, terdapat beberapa program yang telah
berhasil, sering berkembang dalam kemutakhiran dari program yang dilakukan
oleh mahasiswa atau secara sukarela dimasukkan ke program yang dilembagakan,
dan yang lain telah gagal untuk melampaui tingkat akar rumput untuk merangsang
pengelolaan limbah kampus yang bertanggung jawab (Fournier, 2008).
Beberapa alasan yang lebih umum pada kegagalan program antara lain,
pasar daur ulang yang tidak stabil, populasi mahasiswa, sumber daya keuangan
yang minim dan penarikan biaya pembuangan limbah artifisial yang rendah serta
kurangnya dukungan kelembagaan, dengan administrator kampus melihat daur
ulang sebagai barang mewah yang bertentangan dengan untuk suatu kebutuhan
(Fournier, 2008). Selain faktor-faktor ini, mengubah perilaku konsumen yang
boros sering diidentifikasi sebagai hal yang kritis dan sama-sama menantang
dalam mempromosikan pengelolaan limbah berkelanjutan di perguruan tinggi.
10
Penelitian ekstensif telah dilakukan ke dalam faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap daur ulang dan perilaku pengurangan limbah komunitas
kampus. Pentingnya mengambil peluang dalam proses daur ulang; dengan
penyediaan wadah daur ulang pada lokasi tertentu akan mengarah pada
peningkatan staf, fakultas, dan mahasiswa dalam skema daur ulang kampus (Pike
et al., 2003). Lainnya mendukung relevansi peluang dan kenyamanan dan
menambahkan bahwa kedekatan wadah daur ulang dan berbagai bahan daur ulang
yang diterima juga memainkan peran dalam mempengaruhi partisipasi (Hansen et
al. 2008). Di luar faktor situasional, berbagai variabel psikologis, seperti persepsi
daur ulang, tingkat pengetahuan daur ulang dan kepedulian terhadap masalah
lingkungan, juga telah ditemukan berdampak pada partisipasi daur ulang (Hansen
et al. 2008). Studi tambahan menunjukkan bahwa pertimbangan demografis
seperti usia dan jenis kelamin juga berperan dalam beragam pengurangan limbah
dan perilaku daur ulang (Harris, 2009).
Program daur ulang kampus yang paling sukses berbagi kombinasi aspek
kelembagaan, antara lain: dukungan administrasi konstruktif, kebijakan
lingkungan formal, ketersediaan sumber daya dan insentif, kerangka kerja
perencanaan jangka panjang, kurikulum yang menggabungkan tanggung jawab
lingkungan kegiatan penelitian lingkungan dan ekologi, pengurangan limbah dan
finansial yang terukur, hubungan masyarakat dan komunikasi yang efektif,
tanggung jawab keuangan, dan pengembangan dan pelatihan kepemimpinan
(Keniry 1995). Pertimbangan utama lainnya dalam mengembangkan program daur
ulang kampus meliputi pasar, hubungan kerja dan keselamatan (Ching dan Gogan
1992).
Meskipun telah diakui bahwa upaya daur ulang kampus sekarang sudah
mapan di sebagian besar perguruan tinggi, jumlah limbah di perguruan tinggi
yang terus meningkat dan potensi yang luar biasa tetap ada untuk meminimalkan
dan pengolahan limbah yang lebih tinggi, melalui perluasan daur ulang dan upaya
pengomposan. Menyadari potensi ini membutuhkan pemahaman yang lebih baik
tentang cara terbaik untuk mengukur dan menganalisis limbah yang pada
gilirannya akan menginformasikan keputusan-keputusan strategis pengelolaan
limbah. Data limbah kampus yang komprehensif adalah alat yang berharga untuk
11
menginformasikan keputusan dan perencanaan pengelolaan limbah, mengevaluasi
solusi potensial untuk pengurangan limbah, memenuhi limbah yang terukur dan
pengurangan keuangan dan meningkatkan kesadaran dan mengkomunikasikan
peluang khusus kampus untuk meminimalkan konsumsi dan produksi limbah (von
Kolnitz dan Kaplan 2004; Armijo de Vega et al. 2008). Dengan komposisi limbah
dan data statistik timbulan limbah, studi karakterisasi limbah menawarkan titik
awal dari mana banyak aspek kelembagaan ini berasal.
2.3. Studi Karakterisasi Limbah Di Perguruan Tinggi
Terdapat berbagai alasan untuk melakukan penelitian terkait dengan
karakterisasi limbah di perguruan tinggi, yaitu: untuk menjamin kepatuhan
terhadap peraturan; untuk mengevaluasi praktik saat ini sesuai dengan prosedur
praktik terbaik; penetapan baseline data laju timbulan limbah; untuk
mengidentifikasi peluang minimisasi limbah; dan untuk mengembangkan
indikator keberlanjutan kelembagaan (McCartney, 2003). Dalam sektor
pendidikan tinggi, tingkat kecanggihan dan ruang lingkup studi karakterisasi
limbah kampus tergantung pada motivasi untuk melakukan studi dan selanjutnya,
ketersediaan sumber daya. Misalnya, jika tujuan melakukan penelitian ini adalah
untuk menentukan bahan daur ulang mana yang ada dalam aliran limbah sebelum
mencari pasar, sampel limbah yang representatif harus dikumpulkan dan kategori
klasifikasi harus sesuai dengan berbagai bahan daur ulang. Di sisi lain, jika satu-
satunya tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesadaran dan
mempromosikan pendidikan tentang pengurangan limbah, audit dasar dari lokasi
kampus profil tinggi sudah cukup (von Kolnitz dan Kaplan 2004).
Perencanaan studi terkait dengan karakterisasi limbah memerlukan
banyak pertimbangan, mulai dari pemilihan kategori pemilahan, hingga teknik
untuk menangkap variasi spasial dan temporal limbah (Felder et al. 2001).
Tantangannya adalah untuk mengumpulkan data limbah dan komposisi yang
mewakili seluruh kampus, dengan maksud bahwa rencana pengurangan dan
pengalihan limbah akan didasarkan pada kenyataan dari aliran limbah kampus
yang ada.
12
Meskipun, tidak ada standar yang diterima secara universal untuk
melakukan studi karakterisasi limbah di tingkat kota, rumah tangga dan atau
kelembagaan (Dahlen dan Lagerkvist 2008), pendekatan yang diterima secara luas
untuk karakterisasi limbah adalah analisis limbah langsung. Mengikuti
pendekatan ini, sampel limbah dipilah secara tipikal dengan tangan ke dalam
kategori material yang dipilih sebelumnya dan ditimbang (Yu dan Maclaren
1995). Dalam sektor pendidikan tinggi, berbagai metodologi telah diadopsi dalam
pengambilan sampel dan analisis limbah padat, sehingga mempersulit
perbandingan lintas institusi. Juga, beberapa makalah telah diterbitkan yang
melaporkan hasil studi karakterisasi limbah kampus (Felder et al. 2001; Armijo de
Vega et al. 2008) membuat tantangan lebih lanjut untuk mengakses data.
2.4. Konsep Sampah
Definisi sampah bisa sangat subyektif. Hal ini karena apa yang dianggap
sebagai pemborosan bagi satu orang dapat mewakili sumber daya yang berharga
bagi orang lain. Gilpin (1996) mendefinisikan istilah limbah untuk merangkul
"semua produk sampingan atau residu yang tidak diinginkan secara ekonomi di
tempat dan waktu tertentu, dan masalah lain yang mungkin dibuang secara
sengaja atau tidak sengaja ke lingkungan". Sampah juga telah disebut sebagai
"bahan yang tidak diinginkan yang timbul sepenuhnya dari aktivitas manusia yang
dibuang ke lingkungan" (Palmer, 1998). Pemahaman tentang limbah apa yang
menyebabkan pembuangan semua bahan yang dianggap tidak diinginkan. Oleh
karena itu, ini diperlukan untuk definisi lain dari limbah yang menekankan nilai
sumber daya dari produk sampingan tersebut.
Davies (2008) menggambarkan limbah sebagai: "... bahan yang tidak
diinginkan atau tidak dapat digunakan ... yang berasal dari berbagai sumber dari
industri dan pertanian serta bisnis dan rumah tangga ... dan dapat bersifat cair,
padat atau gas, dan berbahaya atau tidak berbahaya tergantung pada lokasi dan
konsentrasinya ”. Dia melangkah lebih jauh untuk mengatakan bahwa "apa yang
oleh sebagian orang dianggap sebagai bahan limbah atau zat dianggap sebagai
sumber nilai oleh orang lain" Atribut relatif dari limbah ini dapat dibandingkan
dengan konsep 'sumber daya' yang juga telah didefinisikan sebagai bahan yang
13
memiliki nilai guna. Jessen (2002) menggarisbawahi hal ini dengan menyatakan
bahwa "aliran limbah kami sebenarnya penuh dengan sumber daya yang menuju
ke arah yang salah".
Williams (2005) mengemukakan bahwa limbah harus memiliki definisi
hukum yang ketat agar sesuai dengan koridor hukum. Menurut Konvensi Basel,
limbah merupakan zat atau benda yang dibuang atau dimaksudkan untuk dibuang
atau diharuskan dibuang oleh ketentuan hukum (UNCED, 1992). Definisi limbah
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah setiap zat (padat) yang dibuang
secara tepat untuk digunakan oleh orang lain, yang menyebabkan peningkatan
signifikan dalam lingkungan. Berbeda dengan definisi yang disebutkan di atas,
definisi ini mendukung konsep pemisahan limbah pada sumbernya sebagai
metode yang tepat untuk pengelolaan limbah yang efektif. Pemisahan sampah
dapat dilakukan berdasarkan berbagai klasifikasi limbah.
Sejumlah kriteria biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan sampah
ke dalam beberapa jenis. Klasifikasi limbah semacam itu memberikan dasar untuk
pengembangan manajemen yang tepat. Limbah dapat diklasifikasikan berdasarkan
keadaan fisik (padat, cair, gas). Cara lain di mana limbah diklasifikasikan adalah
penggunaan utamanya (limbah pengemasan, sisa makanan, dll); oleh bahan (kaca,
kertas, dll); oleh sifat fisik (mudah terbakar, kompos, dapat didaur ulang);
menurut asal (rumah tangga, komersial, pertanian, industri, dll.) atau oleh tingkat
keamanan (berbahaya, tidak berbahaya) (White et al., 1995). Latihan audit limbah
yang dilakukan dalam penelitian ini memberikan wawasan tentang jenis limbah
yang dihasilkan kedua lembaga studi. Menyadari jumlah limbah yang dihasilkan
dan cara pengelolaannya memiliki implikasi mendalam bagi kualitas lingkungan
dan prospek generasi masa depan, penting untuk meminimalkan konsumsi dan
melakukan pengelolaan limbah secara efisien untuk mengurangi dampak
lingkungan dari pembuangan limbah. dan melindungi jasa ekosistem untuk
generasi sekarang dan yang akan datang (Millennium Assessment Report, 2005).
Oleh karena itu, tujuan dan kebijakan dikembangkan oleh pemerintah untuk
memastikan keberhasilan pencapaian tujuan Pengelolaan Sampah Padat perkotaan
(MSWM).
14
Tujuan MSWM termasuk perlindungan kesehatan penduduk perkotaan
khususnya kelompok berpenghasilan rendah yang paling menderita akibat
pengelolaan limbah yang buruk (Schubeler et al., 1996). Ini juga bertujuan
mempromosikan kondisi lingkungan dengan mengendalikan polusi dan
memastikan keberlanjutan ekosistem di wilayah perkotaan. Selain itu, ia
mendukung pengembangan ekonomi perkotaan dengan menyediakan layanan
pengelolaan limbah yang diminta dan memastikan penggunaan dan konservasi
bahan dan sumber daya yang efisien secara efisien. Sehingga, hal ini bertujuan
untuk menghasilkan lapangan kerja dan pendapatan di sektor ini.
Mengingat kerumitan besar masalah dan masalah di berbagai sistem
pengelolaan limbah padat di negara-negara berkembang, jelas bahwa solusi top-
down dan strategi manajemen tidak akan lagi efektif. Sebaliknya, diperlukan
serangkaian solusi yang lebih luas dan lebih terintegrasi untuk memastikan
keberlanjutan jangka panjang dari sistem pengelolaan limbah. Di negara maju,
pendekatan pembangunan berkelanjutan ramah lingkungan yang paling sesuai
adalah “Pengelolaan Sampah Terpadu” (Cole dan Sinclair, 2002; Medina, 2002;
Zerboc 2003). Pendekatan terpadu untuk pengelolaan limbah yang terdiri dari
“serangkaian tindakan hirarkis dan terkoordinasi” (Medina, 2002) berupaya
mengurangi polusi, memaksimalkan pemulihan bahan yang dapat digunakan
kembali dan didaur ulang, dan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan
sejauh menyangkut pembangunan berkelanjutan.
2.5. Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
Metode FMEA merupakan salah satu teknik analisis semikuantitatif yang
telah banyak diaplikasikan. Metode ini digunakan untuk mengindentifikasi,
memprioritaskan dan menghilangkan kegagalan, masalah, dan potensi kesalahan
yang diketahui dalam suatu sistem, produk atau proses sebelum diterima oleh
masyarakat (Stamatis 2003). Metode ini memberikan cara yang sistematis dalam
memeriksa semua potensi kegagalan yang mungkin terjadi.
Tidak ada definisi FMEA yang dapat diterima secara umum. Meskipun
penulis yang berbeda telah menggunakan berbagai deskripsi FMEA, namun tetap
menggunakan konsep yang serupa. FMEA disebut alat (Rhee dan Ishii 2002),
15
sebuah teknik atau metode (Kmenta dan Ishii 2000). Istilah-istilah ini semua
sangat mirip dalam arti dan bersama-sama mereka mencakup apa itu FMEA.
Selanjutnya semua penulis menggambarkan tiga komponen lainnya. Yang
pertama adalah semacam risiko atau kegagalan. Karim et al. (2008)
menggambarkan "potensi risiko dalam tahap perancangan".
Kmenta dan Ishii (2000) menggambarkan "potensi kegagalan produk atau
desain". Kedua penulis semuanya menggunakan istilah prioritasisasi. Yang ketiga
adalah beberapa cara untuk mengatasi kegagalan atau risiko ini. Bradley dan
Guerrero (2011) menyebutnya "untuk mengurangi dampak kegagalan". Kmenta
dan Ishii (2000) menggambarkannya sebagai peningkatkan keandalan. Karim et
al. (2008) menyebutnya untuk terus meningkatkan kualitas dan keandalan produk.
Inilah tiga komponen yang mendefinisikan FMEA, walaupun kata-kata yang tepat
berbeda per penulisnya. Kesimpulannya, dalam penelitian ini definisi FMEA
tersebut akan digunakan, dan merupakan kombinasi dari konsep-konsep di atas:
FMEA adalah alat untuk membantu memprioritaskan risiko dan mengurangi
risiko tertinggi dalam rangka meningkatkan kualitas dan kehandalan.
FMEA dilakukan dalam beberapa tahapan. Langkah pertama adalah
menjelaskan produk atau proses yang dilakukan FMEA. Kemudian fungsi produk
atau proses didefinisikan sehingga mode kegagalan potensial dapat diidentifikasi.
Setelah semua kemungkinan mode kegagalan diperoleh, rating kejadian
(occurence) diberikan pada penyebab mode kegagalan yang menunjukkan
probabilitas penyebab dan mode kegagalan secara langsung, tingkat keparahan
(severity) diberikan pada efek akhir dari mode kegagalan untuk menunjukkan
keseriusan dari mode kegagalan. efek akhir, dan penilaian deteksi diberikan pada
penyebab mode kegagalan untuk menunjukkan sulitnya mendeteksi sebab atau
kegagalan mode. Semua dari ketiga peringkat tersebut dihitung dengan nilai
integer mulai dari 1 sampai 10 dan kemudian dikalikan secara bersama untuk
mendapatkan nomor prioritas risiko (RPN), yang digunakan untuk menentukan
prioritas risiko dari mode kegagalan.
Mode kegagalan dengan RPN yang lebih tinggi dianggap memiliki risiko
kegagalan yang lebih tinggi selama operasi sehingga tindakan perbaikan
dilakukan untuk mengurangi RPN dari mode kegagalan ini sebelum yang lain.
16
Jika RPN tidak dikurangi seperti yang diharapkan, tindakan perbaikan baru akan
dirancang sampai tujuan tercapai. Diagram alir yang menjelaskan prosedur FMEA
ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya bahwa Risk Priority Number
(RPN) digunakan dalam metode FMEA untuk memprioritaskan moda kegagalan.
Sehingga, dapat diformulasikan sebagai berikut:
RPN = S x O x D (2.1)
Dimana: S = Severity
O = Ocurrence
D = Detection
Ketiga parameter tersebut dihitung dengan menggunakan nilai integer mulai dari 1
sampai 10.
Gambar 2.1. Prosedur FMEA
Definisi fungsi dari produk atau
proces
Identifikasi potensi moda
kegagalan
Penjelasan efek dari moda
kegagalan (nilai severity)
Penentuan penyebab moda
kegagalan (nilai occurrence)
Penjelasan metode deteksi
(nilai detection)
Deskripsi produk atau proses
Menghitung nilai Risk Priority
Number (RPNs)
Desain rencana aksi perbaikan
17
Adapun rincian nilai dari ketiga parameter dalam RPN akan ditunjukkan dalam
Tabel 2.1, 2.2, dan 2.3.
Tabel 2. 1. Tingkat Severity (Keparahan)
Ranking Efek Efek Keparahan
10 Berbahaya Kegagalan yang berbahaya, dan terjadi tanpa peringatan.
Ini menunda operasi dari sistem dan / atau tidak
mematuhi peraturan pemerintah.
9 Serius Kegagalan melibatkan hasil berbahaya dan / atau
ketidakpatuhan dengan peraturan pemerintah
atau standar
8 Ekstrim Proses tidak dapat beroperasi dengan hilangnya fungsi
primer. Sistemnya tidak bisa beroperasi
7 Mayor Kinerja proses sangat terpengaruh namun berfungsi.
Sistem mungkin tidak beroperasi.
6 Signifikan Kinerja proses menurun. Kenyamanan atau keyakinan
fungsi mungkin tidak beroperasi.
5 Moderat Efek moderat pada penampilan proses. Proses
membutuhkan perbaikan
4 Kurang
baik
Efek kecil pada penampilan proses. Proses tidak
membutuhkan perbaikan
3 Sedikit Kecil efeknya pada penampilan proses atau sistem
2 Sangat
sedikit
Sangat kecil efeknya pada penampilan proses atau
sistem
1 Tidak ada Tidak ada efek
Tabel 2.2. Tingkat Occurence (Kejadian)
Ranking Probabilitas
kejadian
Probabilitas
kegagalan
Ranking Probabilitas
kejadian
Probabilitas
kegagalan
10 Sangat tinggi:
kegagalan
hampir tak
terelakkan
1 dari 2 5 Moderat 1 dari 400
9 Sangat tinggi 1 dari 3 4 Relatif
rendah
1 dari 2000
8 Kegagalan
berulang
1 dari 8 3 Rendah 1 dari 15000
7 Tinggi 1 dari 20 2 sedikit 1 dari
150000
6 Agak tinggi 1 dari 80 1 Hampir
tidak
mungkin
1 dari
1500000
18
Tabel 2.3. Tingkat Detection (Deteksi)
Rangking Deteksi Kemungkinan deteksi oleh kontrol desain
10 Ketidakpastian
mutlak
Desain Kontrol tidak akan dan/atau tidak dapat
mendeteksi sebab / mekanisme potensial dan
mode kegagalan berikutnya; atau tidak ada
Kontrol Desain.
9 Sangat sedikit Sangat jauh kemungkinan Kontrol Desain akan
mendeteksi sebab/mekanisme potensial dan mode
kegagalan berikutnya.
8 Sedikit Kemungkinan Kontrol Desain akan dapat
mendeteksi potensi sebab/mekanisme dan modus
kegagalan berikutnya.
7 Sangat rendah Kemungkinan sangat rendah Kontrol Desain akan
mendeteksi potensi sebab/mekanisme dan modus
kegagalan berikutnya.
6 Rendah Kemungkinan rendah Kontrol Desain akan
mendeteksi potensi sebab/mekanisme dan modus
kegagalan berikutnya
5 Moderat Kemungkinan moderat Kontrol Desain akan
mendeteksi potensi sebab / mekanisme dan
modus kegagalan berikutnya.
4 Agak tinggi Cukup tinggi kesempatan Kontrol Desain akan
mendeteksi potensi penyebab/mekanisme dan
modus kegagalan berikutnya.
3 Tinggi Kemungkinan besar Kontrol Design akan
mendeteksi potensi penyebab/mekanisme dan
modus kegagalan berikutnya.
2 Sangat tinggi Sangat kemungkinan tinggi Kontrol Desain akan
mendeteksi potensi penyebab/mekanisme dan
modus kegagalan berikutnya.
1 Hampir pasti Kontrol Desain hampir pasti akan mendeteksi
penyebab/mekanisme potensial dan mode
kegagalan berikutnya.
2.6. Analytic Hierarchy Process (AHP)
Dalam sistem dunia yang sangat kompleks, manusia selalu dipaksa untuk
dapat mengatasi lebih banyak masalah dibanding dengan sumber daya yang harus
ditangani. Untuk mengatasi masalah kompleks dan tidak terstruktur semacam itu,
terdapat kebutuhan untuk menetapkan prioritas, menyetujui bahwa satu tujuan
melebihi yang lain, dan melakukan trade-off untuk memenuhi kepentingan
terbesar bersama atau keseluruhan tujuan. Tetapi dengan masalah kompleks di
mana margin kesalahan yang luas dimungkinkan dalam melakukan pengorbanan,
19
selalu sulit untuk menyepakati tujuan mana yang melebihi yang lain dan untuk
mencapai solusi terbaik. Kesulitan tersebut membuktikan perlunya sebuah
kerangka kerja, sehingga masalah dapat dilihat dalam kerangka kerja yang
kompleks namun terorganisir dan memungkinkan adanya interaksi dan saling
ketergantungan antar faktor namun tetap memungkinkan manusia untuk
memikirkannya secara sederhana. Salah satu metode yang dapat menjawab
permasalahan tersebut adalah metode AHP karena memiliki struktur kerangka
penyelesaian masalah tersebut (Bayazit dan Karpak 2005).
Metode AHP digunakan untuk pengambilan keputusan pada multi kriteria
yang secara ekstensif dan telah berhasil diaplikasikan pada banyak pengambilan
keputusan praktis. AHP memberikan kemudahan dalam mengoperasikan. Selain
itu, AHP memiliki metodologi multi kriteria yang kuat secara teoritis untuk
mengevaluasi alternatif. Ini memungkinkan pengambil keputusan menggunakan
struktur hirarki sederhana untuk menghadapi masalah yang rumit dan untuk
mengevaluasi data kuantitatif dan kualitatif dalam metodologi sistematis yang
memiliki multi kriteria (Lee et al. 2001). Hal ini disebabkan karena metode AHP
dirancang untuk mengevaluasi masalah yang kompleks dengan memecahkan
masalah yang kompleks dan tidak terstruktur tersebut ke dalam empat tahapan
seperti membangun hirarki, perbandingan berpasangan, generasi vektor prioritas
dan sintetis (Saaty 1980).
Saaty (1990) menjelaskan bahwa metode AHP memiliki struktur yang
efektif guna mengambil suatu keputusan kelompok dengan menerapkan pada
proses berfikir kelompok. Lebih lanjut, sifat consensus pengambilan keputusan
secara kelompok dapat meningkatkan konsistensi penilaian dan meningkatkan
eliability AHP sebagai alat pengambilan keputusan. Selain itu, AHP dapat
menggabungkan pendekatan deduktif dan system menjadi satu kerangka logis
yang terintegrasi. Pendekatan deduktif berfokus pada bagian-bagian tertentu dan
pendekatan system berorientasi pada kerja secara keseluruhan.
Metode AHP telah banyak diaplikasikan pada situasi keputusan yang
kompleks dan menghasilkan hasil yang signifikan dalam masalah yang
melibatkan pemilihan alternatif, perencanaan, alokasi sumber daya dan penetapan
prioritas. Lebih lanjut, Saaty dan Vargas (2005) menyatakan bahwa AHP dapat
20
diterapkan pada keputusan kelompok dimana penilaian yang dilakukan oleh
seluruh individu dalam kelompok tersebut selanjutnya digabungkan. Studi yang
dilakukan oleh Berrittella (2007) menerapkan AHP untuk memutuskan cara
terbaik untuk mengurangi dampak perubahan iklim global, mengukur keseluruhan
kualitas sistem perangkat lunak di Microsoft Corporation (McCaffrey 2005),
memilih fakultas universitas di Bloomsburg University of Pennsylvania (Grandzol
2005), mengambil keputusan tempat untuk mencari pabrik manufaktur lepas
pantai (Atthirawong 2002), menilai risiko dalam mengoperasikan jaringan pipa
minyak lintas negara di Amerika Serikat (Dey 2003). Selain itu, metode AHP juga
digunakan untuk menyeleksi vendor (Chan 2003), AHP juga digunakan untuk
mengatasi keputusan multiitem / orang / kriteria (Chan dan Chan 2004), Tseng
dan Lin (2005) menggunakan AHP secara bersamaan dengan skala rasional untuk
menilai pemasok, Masella dan Rangone (2000) menggunakan AHP sebagai
pendekatan kontingensi untuk pemilihan pemasok yang tergantung pada batasan
waktu dan hubungan pelanggan/pemasok koperasi.
2.6.1. Tahapan AHP
Untuk dapat menyelesaikan permasalahan pemilihan alternatif pada
pengambilan keputusan, dapat dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Tentukan seperangkat kriteria atau faktor untuk mengevaluasi faktor-
faktor atau kriteria-kriteria yang akan digunakan, selanjutnya buat hirarki
keputusan dengan membagi keputusan ke dalam hirarki elemennya.
b. Dapatkan perbandingan yang sesuai dengan kepentingan kriteria relative
dalam mencapai tujuan, hitung priotitas atau bobot kritertia berdasarkan
informasi ini.
c. Dapatkan nilai yang dapat mengilustrasikan sejauh mana alternatif dapat
memenuhi kriteria, kemudian tentakan apakah data yang telah diolah telah
memenuhi uji konsistensi, jika tidak maka lakukan kembali perbandingan
berpasangan pada para pakar.
d. Berdasakan langkah ketiga, dapatkan nilai perbandingan berpasangan pada
kepentingan relative pada alternatif yang sesuai dengan kriteria dan
hitungan prioritas.
21
e. Dengan menggunakan hasil dari langkah kedua dan keempat, diperoleh
vektor prioritas yang terakhir pada masing-masing alternatif kemudian
disentetis pada semua vektor prioritas guna mencapai tujuan hirarki.
2.6.2. Pembuatan Struktur Hirarki
Langkah pertama dalam AHP adalah membangun struktur hirarki dari
suatu masalah keputusan. Tidak ada aturan tertentu yang dapat diikuti dalam
membangun sebuah struktur hirarki. Langkah ini memungkinkan keputusan yang
kompleks untuk disusun menjadi hierarki dari keseluruhan tujuan ke berbagai
kriteria, sub kriteria, dan seterusnya sampai tingkat terendah. Prinsip utamanya
adalah melakukan brainstorming dengan masalah yang kompleks, mencatat semua
gagasan, faktor dan alternatif penting, dan kemudian menyusunnya dalam hierarki
yang akan memungkinkan membandingkan unsur-unsur tingkat rendah dengan
beberapa atau semua elemen di tingkat yang lebih tinggi. Ini adalah metode kreatif
untuk memanfaatkan kemampuan pikiran manusia dalam menyederhanakan
sebuah masalah dengan memecahnya menjadi unsur penyusun yang mencakup
keseluruhan tujuan, kriteria dan alternatif keputusan (Saaty 1990). Selanjutnya,
sejumlah informasi dapat diintegrasikan ke dalam struktur masalah untuk
membentuk gambaran yang lebih lengkap dari keseluruhan sistem.
Tujuan atau secara keseluruhan tujuan keputusan diwakili di tingkat atas
hierarki. Kriteria dan sub kriteria yang berkontribusi terhadap keputusan diwakili
di tingkat menengah. Kemudian, keputusan alternatif atau pilihan pilihan
ditetapkan pada tingkat hierarki terakhir. Menurut Saaty (2001) sebuah hirarki
dapat dibangun dengan pemikiran kreatif, pengumpulan kembali dan
menggunakan perspektif masyarakat. Lebih lanjut Saaty mencatat bahwa tidak
ada serangkaian prosedur untuk menghasilkan tingkat yang harus disertakan
dalam hierarki. Struktur hierarki bergantung pada sifat atau jenis keputusan
manajerial. Selain itu, jumlah level dalam hierarki bergantung pada kompleksitas
masalah yang dianalisis dan tingkat detail masalah yang dibutuhkan analis untuk
dipecahkan. Dengan demikian, representasi hierarkis sistem dapat berbeda dari
satu orang ke orang lainnya.
22
Hirarki secara lengkap dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan guna
mengakomodasi elemen baru yang penting yang tidak disertakan selama
pengembangan hirarki. Penggunaan program komputer berbasis AHP dibangun
mengikuti fleksibilitas hal tersebut dalam pikiran. Keseluruhan kedalaman detail
hierarki tergantung pada pengalaman dan kemampuan pemahaman seseorang
dengan subjek, yang akan menentukan apa yang harus disertakan dan di mana
memasukkannya. Saat membangun hierarki seseorang harus menyertakan detail
relatif yang cukup (Saaty 1990). Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti:
a. Keterwakilan suatu masalah semaksimal mungkin, namun tidak
menyeluruh sehingga kehilangan kemampuan memahami perubahan
elemen.
b. Mempertimbangkan lingkungan dari permasalahan
c. Mengindentifikasikan isu atau atribut yang berpotensi memiliki kontribusi
terhadap solusi
d. Mengindentifikasi responden yang terkait dengan masalah yang dihadapi.
Gambar 2.2. Tiga Level Hirarki (Saaty dan Vargas 2012)
2.6.3. Perbandingan Berpasangan
Setelah struktur hirarki telah selesai, langkah selanjutnya adalah
menetapkan prioritas elemen (kriteria dan alternatif) yang disajikan dalam hirarki.
AHP menggunakan perbandingan secara berpasangan. Langkah pertama adalah
membuat perbandingan secara berpasangan. Hal ini untuk membandingkan unsur-
unsur berpasangan dengan kriteria tertentu. Satu set matriks perbandingan dari
GOAL
KRITERIA 1 KRITERIA 2 KRITERIA 3 KRITERIA 4 KRITERIA 5
ALTERNATIF 1 ALTERNATIF 2 ALTERNATIF 3
23
semua elemen pada tingkat hierarki terkait secara langsung dengan elemen tingkat
yang lebih tinggi yang dikonstruksi guna memprioritaskan dan mengubah
penilaian komparatif individual menjadi pengukuran skala rasio. Preferensi
dihitung dengan menggunakan skala sembilan poin. Adapun nilai dari setiap
pengukuran skala dijelaskan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Skala Nilai Perbandingan Berpasangan
Tingkat
Kepentingan Definisi Keterangan
1 Sama
penting Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama
3
Sedikit
lebih
penting
Pengalaman dan penilaian sedikit lebih memihak
ke satu elemen dibandingkan dengan pasangannya
5 Lebih
penting
Pengalaman dan penilaian sangat memihak ke satu
elemen dibandingkan dengan pasangannya
7 Sangat
penting
Satu elemen sangat disukai dan secara praktis
dominasinya sangat nyata dibandingkan dengan
elemen pasangannya.
9
Mutlak
lebih
penting
Satu elemen terbukti mutlak lebih disukai
dibandingkan dengan pasangannya pada tingkat
keyakinan tertinggi
2,4,6,8 Nilai
tengah
Diberikan bila terdapat keraguan penilaian antara
dua penilaian yang berdekatan
Kebalikan ijji aa /1
Sumber: Saaty dan Vargas (2012)
2.7. Sistem Dinamik
Sistem Dinamik (SD) adalah pendekatan berbasis komputer untuk
memahami dan menganalisis perilaku sistem dari waktu ke waktu. Hal ini dapat
digunakan untuk mempelajari masalah dinamis yang kompleks dan diterapkan
pada berbagai bidang studi seperti teknik, manajemen, kedokteran, sosial,
lingkungan dan ekologi. Metodologi SD adalah metode yang diciptakan di MIT
oleh pelopor komputer Jay Forrester pada pertengahan tahun 1950 untuk
memodelkan dan menganalisis perilaku sistem sosial yang kompleks dalam
konteks industri (Sterman 2000). Metode ini dirancang untuk membantu
pengambil keputusan dalam mempelajari struktur dan dinamika sistem yang
kompleks, guna membuat model pengaruh kebijakan yang tinggi dalam rangka
24
perbaikan yang berkelanjutan, dan untuk mengkatalisis implementasi dan
perubahan.
Metode ini telah banyak diaplikasikan dalam bidang strategi pengelolaan
lingkungan hidup. Sebagai contoh, perencanaan dan pengelolaan sumber daya air
(Ghashghaie et al. 2014). Sistem dinamik juga digunakan dalam pengelolaan
energy (Kiani dan Pourfakhraei 2010; Ansari dan Seifi 2012). Lebih lanjut,
aplikasi metode system dinamis juga mampu menjawab permasalahan
pencemaran limbah padat (Anghinolfi et al. 2013; Hao et al. 2010). Pencemaran
udara (Han dan Hayashi 2008). Pencemaran air (Razif et al. 2015; Xuan et al.
2011). Selain itu, dengan mengimplementasikan SD sebagai pendekatan dalam
menyelesaikan permasalahan maka para pengambil kebijakan akan dapat menilai
dan memperkirakan dampak secara terintegrasi dan holistic dari sub sistem yang
kompleks (Chaerul et al. 2008).
Pendekatan sistem dinamik didasarkan pada hubungan sebab akibat.
Hubungan ini dijelaskan menggunakan bantuan “stock”, “flow” dan “feedbac
loops”. Stok dan flow digunakan untuk membuat model alur kerja dan sumber
daya. Feedback loop digunakan untuk memodelkan keputusan dan kebijakan yang
diterapkan. Ogunlana (2003) menjelaskan bahwa sistem dinamik mampu
digunakan untuk memodelkan proses dengan dua karakteristik utama (1)
perubahan yang melibatkan perubahan dari waktu ke waktu, dan (2) yang
melibatkan umpan balik.
Konsep dari Sistem Dinamik adalah memahami bagaimana bagian-bagian
dalam sistem berinteraksi satu sama lain dan bagaimana perubahan dalam satu
variabel mempengaruhi variabel lain dari waktu ke waktu, yang pada gilirannya
mempengaruhi variabel asli (Gambar 3). Sistem dapat dimodelkan secara
kualitatif dan kuantitatif. Model dibangun dari tiga blok bangunan dasar: umpan
balik positif atau loop penguat, umpan balik negatif atau loop penyeimbang, dan
penundaan. Loop positif (disebut loop penguat) yang mampu berdiri sendiri
sementara loop negatif (disebut balancing loops) cenderung menangkal
perubahan. Keterlambatan menjelaskan potensi ketidakstabilan dalam sistem.
25
Gambar 2.3. Tiga komponen dalam model system dinamik
Gambar 2.3 menjelaskan sebuah loop yang berdiri sendiri, dimana sebuah struktur
yang memberi masukan pada dirinya sendiri untuk menghasilkan pertumbuhan atau
penurunan. Loop yang berdiri sendiri sesuai dengan loop umpan balik positif dalam teori
kontrol. Kenaikan variabel 1 akan mengarah pada peningkatan variabel 2 (seperti yang
ditunjukkan oleh tanda "+" dan yang mengarah ke peningkatan tambahan pada variabel 1
dan seterusnya. Tanda "+" tidak berarti nilai harus meningkat, hanya variabel 1 dan variabel
2 yang akan berubah ke arah yang sama (polaritas). Jika variabel 1 menurun, maka variabel
2 akan menurun. Dengan tidak adanya pengaruh eksternal, variabel 1 dan variabel 2 jelas
akan tumbuh atau menurun secara eksponensial. Memperkuat loop menghasilkan
pertumbuhan, memperkuat penyimpangan, dan memperkuat perubahan.
Lingkaran keseimbangan yang ditunjukkan pada Gambar 2.3b merupakan
struktur yang akan mengubah nilai variabel sistem saat ini atau variabel referensi
yang diinginkan atau melalui beberapa tindakan. Ini sesuai dengan loop umpan
balik negatif dalam teori kontrol. Tanda (-) menunjukkan bahwa nilai variabel
berubah dalam arah yang berlawanan. Perbedaan antara nilai sekarang dan nilai
yang diinginkan dianggap sebagai kesalahan. Tindakan yang proporsional
terhadap kesalahan diambil untuk mengurangi kesalahan sehingga, dari waktu ke
waktu, nilai saat ini mendekati nilai yang diinginkan. Unsur dasar ketiga adalah
penundaan, yang digunakan untuk memodelkan waktu yang ada antara sebab dan
akibat. Keterlambatan ditunjukkan oleh garis ganda, seperti yang ditunjukkan
Hubungan casual
+ (-) Mengindikasikan efek positif (negatif) pada penyebab
// Mengindikasikan delay pada informasi atau material
3a 3b 3c
26
pada Gambar 2.3c. Penundaan (delay) membuat sulit untuk menghubungkan
sebab dan akibat (kompleksitas dinamis) dan dapat menyebabkan perilaku sistem
yang tidak stabil. Dalam sistem dinamik, deskripsi lisan dan diagram lingkaran
kausal lebih kualitatif; diagram stok dan arus dan persamaan model adalah cara
yang lebih kuantitatif untuk menggambarkan situasi yang dinamis. Karena sistem
dinamik sebagian besar didasarkan pada pemikiran sistem lunak (paradigma
pembelajaran), sangat cocok diterapkan pada masalah manajerial yang ambigu
dan memerlukan konseptualisasi dan wawasan yang lebih baik.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Terdapat dua macam pendekatan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
kuantitatif serta pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuatitatif, peneliti akan
bekerja dengan angka-angka sebagai perwujudan gejala yang diamati. Sementara
dalam pendekatan kualitatif, peneliti akan bekerja dengan informasi-informasi
data dan dalam menganalisanya tidak menggunakan analisa data statistik.
Pendekatan kuantitatif perlu dilakukan karena dalam penelitian ini akan
didapatkan data yang terdiri dari angka-angka seperti angka yang memperlihatkan
jumlah timbulan sampah di FTUP setiap harinya, serta komposisi sampah yang
ditunjukkan dengan persentase.
3.2 Variabel Penelitian
Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Jumlah timbulan sampah di FTUP setiap harinya.
b. Komposisi sampah di FTUP berdasarkan jenisnya yaitu kertas, organik,
dan bahan anorganik.
c. Faktor-faktor yang faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan proses
pengelolaan limbah padat di FTUP.
d. Kriteria dan sub-kriteria pada strategi pengelolaan sampah yang tepat agar
dapat digunakan dalam pengelolaan sampah di FTUP.
e. Memperoleh model skenario pengelolaan sampah di FTUP.
3.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh individu yang akan dikenai sasaran
generalisasi. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga FTUP
yaitu mahasiswa dan karyawan termasuk pemilik/karyawan kantin FTUP. FTUP
sebagai populasi target penelitian memiliki gedung empat lantai, ruang kelas,
ruang administrasi, pusat kegiatan kemahasiswaan, laboratorium, dan kantin.
28
Total luas gedung FTUP sebesar 12.134 m2 dengan total jumlah mahasiswa
sebesar 2080 orang, jumlah dosen 128 orang dan total karyawan sebanyak 65
orang.
3.4 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Secara
umum, sampel yang baik adalah sampel yang dapat mewakili sebanyak mungkin
karakteristik populasi atau disebut juga sampel harus valid. Sampel yang valid
ditentukan oleh dua pertimbangan yaitu akurasi atau ketepatan dan presisi.
Akurasi adalah tingkat ketidakadaan “bias” dalam sampel, yaitu semakin sedikit
tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, maka sampel semakin akurat.
Sedangkan presisi adalah tingkat kedekatan estimasi awal dengan karakteristik
populasi. Pada sistem pengelolaan sampah di Indonesia, metode pengambilan
sampel telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia yaitu SNI 19-3964-1994
tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi
Sampah Perkotaan. Metode ini berisikan pengertian, persyaratan, ketentuan, cara
pelaksanaan pengambilan, dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi
sampah untuk suatu kota.
Dalam penelitian ini sampel yang akan diteliti adalah sampah yang berasal
dari FTUP. Pada proses pengambilan sampel perlu diperhatikan beberapa aspek
sebagai bahan pertimbangan yaitu lokasi pengambilan sampel, cara pengambilan
sampel, dan jumlah sampel yang harus diambil untuk mengetahui timbulan
sampah yang ada di FTUP. Gambaran umum lokasi dan waktu pengambilan
sampel akan disajikan pada Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1. Gambaran Umum Lokasi Dan Waktu Pengambilan Sampel
1 Lokasi survey Fakultas Teknik Universitas Pancasila
2 Jumlah pegawai 193 orang
3. Jumlah mahasiswa 2080 orang
4. Jumlah bangunan 1
4. Jumlah ruangan 41
5. Kegiatan yang Memungkinkan
Menghasilkan Sampah
Saat istirahat, kegiatan ukm, seminar,
pentas seni, pelantikan, kegiatan
mahasiswa, kantin, ruang administrasi,
dan lain-lain.
29
6. Jumlah pengambilan titik
sampah
Titik Sampah yang ada FTUP terdapat
24 titik sumber sampah, diantaranya :
1 titik Pusat Kegiatan
Kemahasiswaan
1 titik Taman
12 titik di Kantin Teknik
3 titik lantai 1
1 titik lantai 1 Annex
2 titik lantai 2
2 titik lantai 3
2 titik lantai 4
7. Jumlah tenaga pengolah
sampah
5 orang
8. Waktu pengambilan sampah Waktu pengambilan sampah selama 8
hari setiap pukul 08.00 - 08.30 dengan
durasi kurang lebih 30 menit
3.5 Metode Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua pengukuran, yaitu pengukuran
timbulan sampah dan pengukuran komposisi sampah. Pengukuran timbulan
menggunakan dua metode yaitu Metode Volume yang menghasilkan data dengan
satuan liter/unit/hari dan Metode Berat yang menghasilkan data dengan satuan
kilogram/unit/hari sedangkan pengukuran komposisi hanya menggunakan Metode
Berat. Peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam proses pengambilan
sampel antara lain:
a. Alat penampung sampel berupa kantong plastik dengan volume 40 liter
b. Alat pengukur volume sampel berupa kotak berukuran 20 cm x 20 cm x 50
cm yang dilengkapi dengan skala tinggi
c. Alat pengukur volume sampel berupa kotak berukuran 50 cm x 50 cm x 50
cm yang dilengkapi dengan skala tinggi
d. Timbangan
e. Perlengkapan berupa sekop, sarung tangan, dan masker
Cara pengambilan dan pengukuran sampel timbulan sampah adalah sebagai
berikut:
a. Bagikan kantong plastik yang sudah diberi tanda kepada pengumpul
sumber sampah
b. Catat jumlah unit masing-masing penghasil sampah
c. Kumpulkan kantong plastik yang sudah terisi sampah
30
d. Angkut seluruh kantong plastik ke tempat pengukuran
e. Timbang kotak pengukur
f. Tuang secara bergiliran sampel tersebut ke kotak pengukur 40 liter
g. Hentakkan 3 kali kotak sampel dengan mengangkat kotak setinggi 20 cm,
lalu jatuhkan ke tanah
h. Ukur dan dicatat volume sampah (Vs)
i. Timbang dan dicatat berat sampah (Bs)
j. Timbang bak pengukur 125 liter
k. Campurkan seluruh sampel dari setiap lokasi pengambilan dalam bak
pengukur 500 liter
l. Ukur dan dicatat volume sampah
m. Timbang dan dicatat berat sampah
Cara pengukuran sampel komposisi sampah merupakan kelanjutan dari
pengukuran timbulan sampah, tahap selanjutnya setelah pengukuran timbulan
sampah adalah sebagai berikut:
a. Pilah sampel berdasarkan komponen komposisi sampah
b. Timbang dan dicatat berat sampah
3.6 Data Penelitian
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dalam penelitian ini akan diperoleh
data-data sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Data Penelitian
No Jenis Data Uraian Informasi
Cara
Pengumpulan
Data
Data Primer
1 Jumlah timbulan
sampah
Timbulan sampah (timbulan/orang/ hari/timbulan
per m2/hari)
Penelitian
2 Komposisis
sampah
Komposisi sampah dari masing-masing sumber
penelitian
Penelitian
Data Sekunder
3 Geografi Batasan wilayah, luas, dan letak gedung Literatur
4 Demografi Jumlah karyawan, dosen, mahasiswa, dan sosial
ekonomi
Literatur
5 Topografi Tata guna lahan, kemiringan lahan Literatur
31
No Jenis Data Uraian Informasi
Cara
Pengumpulan
Data 6 Fasilitas sarana
dan prasarana
Jumlah sarana seperti laboratorium, gedung
kegiatan kemahasiswaan, kantin, kelas, kantor
Literatur
7 Kondisi eksisting
teknik
operasional
pengelolaan
sampah
Sistem pewadahan, pengangkutan, pengolahan,
tingkat pelayanan
Literatur,
wawancara,
survey
8 Rencana
pengembangan
wilayah
Rencana pengembangan wilayah jangka panjang Literatur,
wawancara
3.7 Diagram Alir Penelitian
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:
32
Ya
BAB IV Ya
Tidak
Gambar 3.1. Diagram Alir Tahapan Penelitian
Observasi kondisi Eksisting FTUP,
mencakup geografis, meteorologi,
demografis, dan kendala umum
Pengolahan data
Sekunder Pengambilan
sampel di lapangan
Data primer tentang timbulan,
komposisi, dan karakteristik
sampah, kuesioner KAP, Faktor
kegagalan proses, Perbandingan
berpasangan
Analisis laju timbulan dan KAP
Analisis faktor-faktor kegagalan
proses pengelolaan sampah
Analisis Model pengelolaan sampah
Rekomendasi
Analisis strategi pengelolaan sampah
Rasio
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Menghitung laju timbulan sampah yang dihasilkan
Berdasarkan hasil pengukuran laju timbulan limbah padat selama 10 hari
yang dimulai pada tanggal 01 Oktober 2019 sampai dengan 10 Oktober 2019
diperoleh keterangan jumlah timbulan sampah yang direkap dalam Tabel 4.1.
sebagaimana berikut di bawah ini:
Tabel 4.1. Laju Timbulan Sampah di FTUP (dalam kg)
No. Tanggal Makanan Plastik Kaleng Kertas Botol/Kaca Daun/Kayu Jumlah
1 01 Oktober 2019 37.7 20.01 1.4 12.3 0.5 9.5 81.41
2 02 Oktober 2019 58 21.5 0.9 14.4 0 7 101.8
3 03 Oktober 2019 63 42.4 2.5 14.8 0 9.8 132.5
4 04 Oktober 2019 48.5 22.9 0 15 0 8.7 95.1
5 05 Oktober 2019 48.5 32.5 0.5 17 0 4.5 103
6 06 Oktober 2019 79.1 33.5 1 15 0.1 5 133.7
7 07 Oktober 2019 97.8 34.4 0.5 20.2 0 8.3 161.2
8 8 Oktober 2019 91.5 33 0.75 19.3 0 10.7 155.25
9 9 Oktober 2019 67 24.5 0.3 19.9 0 11.5 123.2
10 10 Oktober 2019 47.1 22 0 11 0 12.3 92.4
Jumlah 638.2 286.71 7.85 158.9 0.6 87.3 1179.56
Sumber: Pengolahan data
Tabel 4.1. memberikan informasi terkait dengan laju timbulan sampah
yang diperoleh di FTUP selama 10 hari. Lokasi pengambilan sampel selain
dilakukan di gedung FTUP juga dilakukan di kantin dan taman depan fakultas
teknik. Selain itu, tabel tersebut juga memberikan keterangan bahwa beberapa
jenis limbah padat yang berhasil dikumpulkan antara lain makanan, plastik,
kaleng, kertas, botol/kaca/ dan daun/kayu. Lebih lanjut, penelitian ini juga
mencatat bahwa laju timbulan sampah fluktuatif jumlahnya tiap hari selama
sampling berlangsung, dimana jumlah tertinggi saat sampling adalah tanggal 07
Oktober 2019 sebanyak 161.2 Kg sedangkan jumlah laju timbulan sampah
terendah adalah sebesar 81.41 sebanyak yaitu pada tanggal 01 Oktober 2019.
34
Gambar 4.1. Prosentase karakteristik limbah padat di FTUP
Dari Gambar 4.1 diperoleh informasi bahwa sampah makanan (organik)
merupakan karakteristik limbah padat terbesar yaitu sekitar 51%, disusul oleh
sampah plastik sebanyak 26%, kertas sebesar 15%, sampah daun/kayu sebesar
7%, Kaleng sebesar 1% dan botol kaca sebesar 0%.
Selanjutnya dilakukan laju timbulan limbah padat per orang per hari
dengan formulasi:
𝑇𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 =(
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑀𝑎ℎ𝑎𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑜𝑠𝑒𝑛
)
10 ℎ𝑎𝑟𝑖
𝑇𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 =(
1179.562080 )
10 ℎ𝑎𝑟𝑖
= 0,056 kg/hari
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa laju timbulan limbah padat
per hari adalah sebesar 0,056 kg/orang.
4.2. Analisis Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Mahasiswa Tentang
Pengelolaan Sampah
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang laju timbulan limbah
padat, pola pengumpulan, dan pengelolaan limbah padat di Fakultas Teknik
Universitas Pancasila (FTUP). Untuk mendukung tujuan penelitian tersebut,
Makanan 54%
Plastik24%
Kaleng1%
Kertas14%
Botol/Kaca0%
Daun/Kayu7%
Prosentase timbulan sampah di FTUP
35
dibutuhkan data-data awal sebagai pendukung diantaranya adalah mengetahui
pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa FTUP tentang pengolahan sampah.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan penyebaran kuisioner kepada mahasiswa
FTUP. Tujuan dari penyebaran kuisioner ini adalah untuk memperoleh gambaran
kesiapan pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa terhadap pengelolaan
sampah.
Kuisioner pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa tentang pengelolaan
sampah disebar kepada 100 orang mahasiswa FTUP yang tersebar di 6 program
studi S1, yaitu Teknik Industri, Teknik Sipil, Teknik Arsitek, Teknik Informatika,
Teknik Mesin, dan Teknik Elektro. Data-data yang berkaitan dengan jumlah
responden di masing-masing program studi disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Jumlah Responden
Jurusan Jumlah Responden
Industri 30
Sipil 22
Arsitek 5
Informatika 12
Mesin 20
Elektro 11
Jumlah 100
Sumber: pengolahan data
a. Pengetahuan Mahasiswa Tentang Sampah
Berdasarkan hasil kuisioner mengenai pengetahuan mahasiswa terhadap
sampah, diketahui bahwa 70% responden berpendapat bahwa sampah
merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk
padat, sedangkan 30% responden lainnya berpendapat sampah merupakan
sesuatu yang berasal dari kegiatan manusia termasuk kotoran.
36
Gambar 4.1. Definisi Sampah
Mengenai jenis sampah, 92% responden membagi sampah menjadi sampah
organik dan anorganik. Sisanya sebanyak 5% dan 3% responden membagi
sampah menjadi sampah basah dan sampah kering, serta sampah mudah
membusuk dan sampah tidak mudah membusuk.
Gambar 4.2. Jenis Sampah
Responden umumnya mendefinisikan sampah-sampah yang masuk ke dalam
kategori sampah organik/sampah (97%).
70
30
00
20
40
60
80
Sisa kegiatansehari-hari
manusia
Sesuatu yangberasal dari
kegiatan manusia
Tidak tahu
92
5 3 00
20
40
60
80
100
Sampahorganik dananorganik
Sampah basahdan kering
Sampahmudah
membusukdan tidak
membusuk
Tidak tahu
37
Gambar 4.3. Pengetahuan Tentang Sampah Organik
Responden juga mengetahui bahwa membuang sampah disembarang tempat
dapat menyebabkan penyakit (67%) dan lingkungan menjadi kotor (30%).
Gambar 4.3. Akibat Membuang Sampah Tidak Pada Tempatnya
Menurut responden penyakit yang dapat timbul akibat sampah yang dibuang
sembarangan adalah diare (69%) dan gatal-gatal (25%).
Gambar 4.4. Penyakit Akibat Sampah
97
3 00
20
40
60
80
100
120
Sampah disekolah seperti
sayur, buah, sisamakanan, daun
Sampah plastikatau kaca, botol,
kaleng
Tidak tahu
67
30
3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Menyebabkanpenyakit
Kotor Jorok
69
3
25
3
0
20
40
60
80
Diare Batuk Gatal Tidak tahu
38
Sebanyak 97% responden mengetahui bahwa sampah dapat menghasilkan uang
jika dibuat mejadi barang baru dan dapat digunakan lagi.
Gambar 4.5. Manfaat Sampah
Menurut 37% responden cara mengurangi sampah adalah dengan mengurangi
jumlah sampah yang dihasilkan, sedangkan 62% lainnya menjawab tidak
membeli barang yang bahan kemasannya tidak dapat didaur ulang/dipakai
kembali.
Gambar 4.6. Cara Mengurangi Sampah
Responden juga telah mengetahui tentang pemilahan sampah, yakni
memisahkan sampah yang mudah membusuk dan tidak mudah membusuk
(99%). Selain itu, mahasiswa juga telah mengetahui tentang mendaur ulang
sampah, yakni menggunakan kembali barang yang masih bisa digunakan
(99%).
b. Sikap Mahasiswa Tentang Sampah
Dari hasil kuisioner mengenai sikap responden tentang sampah, dapat
disimpulkan bahwa seluruh responden (100%), dalam hal ini adalah mahasiswa
97
30
20
40
60
80
100
120
Dapat menghasilkan uang Sampah tidak dapatmemberikan keuntungan
37
62
10
10203040506070
Mengurangi jumlahsampah yang
dihasilkan
Tidak membelibarang yang tidakdapat didaur ulang
Tidak tahu
39
FTUP, menyatakan setuju jika di kampus terdapat tempat sampah, kampus
melakukan pemilahan sampah, mengurangi jumlah timbulan sampah untuk
meminimumkan kerugian akibat sampah, kampus menggunakan barang-barang
yang dapat digunakan kembali untuk mengurangi produksi sampah, dan tidak
membuang sampah yang dapat digunakan kembali.
c. Perilaku Mahasiswa Terhadap Sampah
Kuisioner ini adalah untuk mengetahui perilaku mahasiswa FTUP saat ini
terhadap sampah yang mereka buang sehari-hari di lingkungan FTUP.
Berdasarkan hasil pengolahan kuisioner didapatkan bahwa hampir seluruh
responden membuang sampah di tempat sampah (95%), sisanya 2% dan 3%
responden membuang sampah di kolong meja dan di sembarang tempat.
Gambar 4.7. Prilaku Membuang Sampah
Semua responden menjawab di kampus terdapat tempat sampah, namun 85%
responden menjawab di kampus tidak tersedia tempat sampah yang membagi
sampah mudah membusuk dan tidak membusuk.
Gambar 4.8. Alokasi Tempat Sampah
2 3
95
0
20
40
60
80
100
Di kolong meja Di sembarangtempat
Di tempat sampah
15
85
0
20
40
60
80
100
Ada Tidak ada
40
Dari total responden, hanya 73% responden yang telah melakukan pemilahan
sampah mudah busuk dan tidak mudah busuk. Jika terdapat program
pengelolaan dan pemilahan sampah di kampus hampir seluruh responden
mendukung kegiatan tersebut.
Gambar 4.9. Perilaku Pemilahan Sampah
4.3. Analisis Risiko Kegagalan Proses Pengelolaan Sampah
Pada bagian ini akan diindentifikasi dan dianalisis risiko kegagalan dari
pengelolaan limbah padat di FTUP. Analisis risiko merupakan ilmu pengetahuan
yang mampu meningkatkan kesadaran akan proses pengelolaan lingkungan.
Risiko adalah sesuatu yang tidak berwujud yang dapat terjadi di masa depan,
kemungkinannya sulit untuk didefinisikan (Raheja 2011).
Analisis risiko diperlukan dalam implementasi sistem pengelolaan
lingkungan untuk menghindari terjadinya kejadian yang tidak diinginkan. Proses
analisis risiko harus mendapat dukungan seluruh stakeholder dan menjadi bagian
terpadu dari sistem manajemen mutu lingkungan hidup. Ini akan membantu
memastikan keamanan dan kualitas proses pengelolaan lingkungan. Proses
identifikasi risiko yang terkait dengan sistem pengelolaan limbah merupakan
tantangan bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Analisis risiko adalah proses
yang kompleks dan bervariasi di alam, konsekuensi dan tingkat keparahan.
Terdapat banyak faktor risiko yang disajikan dalam literatur, terutama
dalam sistem manajemen lingkungan, yang mencakup risiko kegagalan sistem
pengelolaan lingkungan. Penulis yang berbeda telah menyajikan daftar faktor
yang berbeda. Misalnya, Pang et al. (2011) telah menyatakan dua faktor risiko
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sudah melakukan Belum melakukan
41
pada umumnya, faktor risiko alam dan manusia. Yang pertama adalah faktor yang
melekat, dan dapat dikendalikan tetapi tidak dapat dihilangkan dan yang terakhir
dapat pra-dikendalikan, namun, satu atau beberapa faktor manusia dapat menjadi
faktor inisiasi untuk penelitian ini. Stranks (2006) menyajikan daftar faktor risiko
terkait manusia yang dapat berkontribusi terhadap kesalahan, yang dapat menjadi
fitur penyebab penting kejadian-kejadian di tempat kerja. Faktor-faktor risiko
tersebut adalah sebagai berikut: kurangnya pemahaman; informasi yang tidak
mencukupi; desain sistem yang tidak memadai; kehilangan perhatian; tindakan
salah; salah persepsi; salah prioritas dan tidak fleksibel (Stranks 2006). Selain
semua faktor yang disebutkan ini, faktor risiko manusia kadang-kadang dapat
menjadi faktor risiko utama yang menyebabkan kegagalan sistem, seperti laporan
resmi tentang kecelakaan terjadi pada tahun 1979 di pembangkit listrik tenaga
nuklir di Amerika Serikat, yang menyebutkan faktor manusia sebagai penyebab
utama kegagalan (Stranks 2006).
4.3.1. Identifikasi Faktor Risiko Kegagalan
Identifikasi risiko, atau menetapkan konteks merupakan aspek integral dari
manajemen risiko. Risiko terdiri dari tiga elemen konseptual yang terdiri dari
objek yang dianggap menghadirkan risiko, kerugian yang diduga, dan tautan
khusus yang mewakili bentuk sebab-akibat antara objek dan bahaya (Boholm dan
Corvellec 2015). Dalam penelitian ini yang menjadi objek adalah potensi risiko
pengelolaan limbah padat. Hal ini didasarkan dari banyaknya penelitian yang
menunjukkan bahwa kegagalan pengelolaan limbah padat berpotensi berakibat
pada penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia.
Limbah dapat dilihat sebagai barang yang dibuang atau dibuang karena
memiliki sifat berbahaya dan tidak ada nilainya. Semua limbah padat dapat didaur
ulang untuk mengurangi polusi seperti udara, air, tanah, polusi radioaktif dan
panas, sehingga membuat lingkungan lebih sehat dan kondusif bagi makhluk
hidup. Selain itu, daur ulang juga dapat menghasilkan nilai ekonomi bagi
individu, organisasi dan pemerintah. Dengan demikian dapat meningkatkan
standar dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tertentu.
Mendaur ulang dengan cara yang tepat dan mengikuti standar yang digunakan
42
oleh semua orang dapat mencapai pembangunan berkelanjutan di dunia modern
ini. Proses pengelolaan limbah padat selain memberikan nilai manfaat ekonomi
juga dapat berpotensi menimbulkan risiko kerusakan lingkungan dan penurunan
kesehatan manusia.
Agar dapat mengetahui faktor potensi risiko kegagalan pengelolaan limbah
padat, maka dibuat diagram fishbone atau diagram tulang ikan guna mengetahui
penyebab dan akibat dari suatu masalah.
Gambar 4.10. Diagram Sebab Akibat Risiko Kegagalan
Pengelolaan Limbah Padat
Sumber: Ran (1983), Owusu (2010), Rao (2014)
Pengertian proses pengelolaan lebih difokuskan pada faktor-faktor yang
berpotensi menjadi penyebab tidak berfungsinya sistem pengelolaan limbah padat
di FTUP. Adapun faktor-faktor yang menjadi fokus dalam penelitian ini antara
lain, teknologi, daur ulang, regulasi, dan sosial. Agar dapat menganalisis risiko
tersebut penelitian ini mengumpulkan sejumlah literatur dari jurnal, laporan dan
penelitian sebelumnya yang terkait dengan faktor-faktor risiko pengelolaan
limbah padat atau limbah sejenis.
Risiko kegagalan pengelolaan limbah
padat
Manual/Tradisional Keamanan alat
rendah
Jumlah teknologi rendah
Regulasi/Hukum
Kepatuhan rendah
Dukungan pemimpin
rendah
Sosial
Konflik Sosial
Partisipasi warga kampus
rendah Konflik Kebijakan
Kerentanan daerah
Pengelolaan data tidak baik
Daur ulang
Metode kerja tidak baik Skill dan kompetensi
rendah Tempat pembuangan
belum tersedia Infrastruktur teknis rendah
Fasilitas tidak memadai
Lokasi daur ulang tidak tersentralisasi
Teknologi
43
a. Teknologi, penggunaan teknologi oleh manusia ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas dan memperoleh keuntungan yang maksimal
(Renn 1983). Selain itu, teknologi diharapkan dapat menekan sejauh mana
kerusakan dan kemungkinan terjadinya potensi bahaya. Konsep
pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan (PBBL) menghasilkan
kesepakatan mengenai pengembangan Konsep Produksi Bersih. Hal ini
merupakan upaya perubahan pendekatan teknologi menjadi teknologi ramah
lingkungan dalam produksi barang dan jasa. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan akan ditentukan oleh kemampuan dalam mengurangi
dan mencegah potensi kerusakan lingkungan melalui pemanfaatan teknologi.
Dalam literatur yang relevan tentang masalah lingkungan, istilah teknik dan
teknologi telah sering digunakan secara sinonim. Namun, istilah-istilah ini
tidak sama dalam diskusi limbah padat karena istilah teknik lebih mengacu
pada metode menciptakan alat baru, membangun produk dan kapasitas untuk
membangun artefak tersebut sementara teknologi mengacu pada pengetahuan.
Pembangunan yang membutuhkan sumber daya alam yang tidak sedikit.
Dengan keterbatasan sumber daya alam maka pembangunan berusaha
mencari alternatif sumber daya tersebut dengan pengembangan teknologi.
Beberapa upaya pengembangan teknologi dapat ditemui pada proses daur
ulang (recycle), minimasi limbah dan perubahan proses produksi (Adibroto
2002). Lebih lanjut, pengetahuan mengenai siklus ekologi dari jenis material
dan sesuai dengan sistem natural harus menjadi pertimbangan dalam inovasi
teknologi ramah lingkungan. Peningkatan permasalahan lingkungan yang
disebabkan oleh penggunaan teknologi lebih dominan dibanding peningkatan
jumlah penduduk (Beder 1996). Teknologi ramah lingkungan harus
disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya serta lingkungan
hidup setempat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam hal peningkatan inovasi
teknologi ramah lingkungan adalah alih teknologi dari negara maju ke negara
berkembang. Kehadiran transfer teknologi adalah suatu terminologi yang
menyelaraskan kegiatan transfer teknologi dari suatu negara industri maju ke
44
negara berkembang. Sehingga biasa diartikan merupakan suatu acara
membantu negara-negara berkembang untuk membangun industri dalam
rangka meningkatkan mutu kehidupan (Adibroto 2002). Hal ini meliputi
perubahan sistem kerja manual/tradisional dengan menggunakan peralatan
yang lebih baik, jumlah teknologi yang memadai, keselamatan bagi pengguna
teknologi dan adanya dukungan infrastruktur baik teknis dan non teknis.
Kegiatan transfer teknologi ke negara-negara berkembang selain keberhasilan
cukup banyak menghasilkan ketidaksuksesan, khususnya dalam aspek
transfer pengetahuan untuk operasi dan pemeliharaan (UNEP 2007). Banyak
terjadi, penduduk setempat yang tidak dapat mengoperasikan peralatan yang
dibangun, bahkan lebih buruk lagi mereka memang tidak berkeinginan untuk
belajar karena kurang sesuai dengan kebiasaan setempat. Belum lagi, transfer
teknologi dilakukan melalui pembangunan peralatan/teknologi yang telah
usang dan ‘berbahaya’ terhadap lingkungan.
Terdapat empat komponen utama tecnology content yang mendasari
pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan, misalnya technoware
(perangkat keras), humanware (sumberdaya manusia), infoware (dokumen
informasi) dan orgaware (kelembagaan) (Smith 2007). Teknologi harus
mendapat dukungan dari adanya inovasi agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Untuk itu, evaluasi inovasi akan senantiasa dilakukan oleh pihak
terkait guna melihat potensi-potensi yang ada. Menurut Wang et al. (2008)
menyatakan bahwa kemampuan inovasi teknologi adalah integrasi dari
seluruh sumberdaya yang dimiliki. Dimana, kemampuan inovasi teknologi
dipengaruhi oleh lima indikator seperti kemampuan penelitian dan
pengembangan, kemampuan dalam pengambilan keputusan, kemampuan
pemasaran, kemampuan produksi dan kemampuan modal (Astuti et al. 2008).
Dalam pengelolaan limbah padat, kebijakan dan manajemen limbah secara
terintegrasi mempertimbangkan dampak lingkungan sepanjang siklus produk
dalam pembahasannya. Penggunaan teknologi termasuk insenerasi,
pembakaran secara terbuka dan metode penggantian banyak digunakan dalam
pengelolaan limbah padat di negara-negara berkembang karena biaya
operasional yang rendah dan keuntungan ekonomi yang cepat. Daur ulang
45
dalam rangka mengurangi limbah padat yang akan dibawa ke tempat
pembuangan akhir, peningkatan efisiensi energi dan pengurangan
penggunaan sumberdaya alam lainnya.
Dalam pengelolaan limbah padat, jumlah teknologi memainkan peranan yang
sangat penting. Studi yang dilakukan oleh Crittenden & Kolaczkowski (1995)
mengungkapkan salah satu masalah dalam pengelolaan limbah adalah jumlah
teknologi. Jumlah penemuan teknologi dalam hal pengelolaan limbah padat
secara garis besar masih dikuasai oleh negara-negara eropa. Berdasarkan
laporan dari organisasi kekayaan intelektual dunia (WIPO) yang bekerjasama
dengan konvensi Basel mengeluarkan laporan tentang jumlah dan jenis paten
pada teknologi daur ulang limbah padat (WIPO 2013). Lebih lanjut, laporan
ini juga mengungkapkan bahwa negara maju dari Eropa, Amerika Serikat dan
Jepang banyak mengembangkan teknologi daur ulang limbah. Selain itu,
keterbatasan dalam inovasi teknologi dapat menjadi hambatan pada proses
daur ulang limbah (Enger & Smith 2004). Yang perlu menjadi perhatian
adalah bahwa produk terdiri dari bahan-bahan yang akan mempengaruhi
metode daur ulang serta teknologi yang akan digunakan (Sas et al. 2015).
Selain itu, beberapa material kemungkinan sulit dipisahkan satu dengan yang
lainnya sehingga proses daur ulang menjadi lebih sulit dan hanya
menghasilkan material dengan kualitas yang rendah dan mengurangi manfaat
ekonominya (Jonsson et al. 2011). Lebih lanjut, metode daur ulang yang tidak
baik dapat berpotensi memunculkan kegagalan yang berujung pada terjadinya
pencemaran lingkungan.
Pada sistem dari akhir kehidupan produk yang ideal akan terjadi pemisahan
produk yang memiliki kandungan bahan berbahaya dari bahan lainnya yang
dapat didaur ulang tanpa membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia.
Operasi daur ulang yang efektif tidak hanya menghemat sumber daya, tetapi
juga berkontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan
ketika limbah padat didaur ulang melalui pengumpulan, peleburan, dan
pemurnian. Sayangnya, teknologi pemrosesan akhir yang ramah lingkungan
membutuhkan biaya investasi yang lebih tinggi. Karena fasilitas daur ulang
membutuhkan biaya mahal dalam operasionalnya, maka banyak perusahaan-
46
perusahaan sering beralih ke negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan
biaya tenaga kerja rendah, teknologi daur ulang manual dan peraturan
lingkungan dan pekerjaan yang masih longgar. Proses daur ulang limbah daur
ulang secara umum belum menggunakan teknologi seperti pembongkaran
fisik dengan menggunakan peralatan sederhana seperti palu, obeng dan pahat
(Amoyaw-Osei et al. 2011; pelepasan logam dengan menggunakan larutan
asam untuk mengambil logam mulia emas atau logam mulia lainnya
memecah dan mendaur ulang plastik (Wong et al. 2007); pembakaran kabel
untuk mengambil tembaga (Amoyaw-Osei et al. 2011); mengisi ulang kartrid
toner (Puckett et al. 2002).
Tempat pembuangan dan pengolahan khusus limbah padat juga merupakan
salah satu faktor pendorong munculnya risiko pada pengelolaan limbah.
Limbah yang dihasilkan di Perguruan Tinggi terkadang masih tercampur
dengan limbah berbahaya dan beracun. Sehingga, membutuhkan pengelolaan
secara terpisah dari limbah padat umumnya. Studi yang dilakukan oleh Peirce
dan Davidson (1982) menjelaskan bahwa salah satu faktor penting
pengelolaan limbah berbahaya adalah adanya fasilitas pengolahan dan
penyimpanan dalam jangka waktu yang panjang yang didasarkan dari aspek
lokasi yang optimal. Fasilitas pengolahan bertujuan untuk meminimalkan
gangguan dan dampak risiko buruk pada lingkungan hidup dan kesehatan
masyarakat.
Pengelolaan limbah merupakan salah satu kelemahan pada negara-negara
berkembang. Hal ini disebabkan karena pembangunan infrastruktur layanan
pengelolaan limbah belum dapat mengikuti perkembangan ekonomi (Thanh
& Matsui 2011). Ketersediaan infrastruktur pengolahan limbah membutuhkan
sumber daya fisik seperti ketersediaan tanah, air, sumberdaya energi, lokasi
dan lain-lain.
Keamanan dan keselamatan pekerja dalam kaitannya dengan pengelolaan
limbah juga merupakan salah satu faktor pendorong munculnya risiko
teknologi. Pada beberapa negara maju seperti Kanada, fasilitas dan
pengelolan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan operasional
pengelolaan limbah harus memperhatikan faktor keselamatan pekerjanya (Nii
47
Squire 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis
merupakan kata kunci untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan
terhadap pekerja selama proses pengelolaan limbah. Lemahnya kontrol
terhadap keamanan dan keselamatan pekerja berpotensi mendorong
konsekuensi kerugian pada lingkungan dan kesehatan manusia.
b. Kebijakan, pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup terkait erat
dengan kesejahteraan rakyat suatu negara. Melalui pengendalian dan
pengelolaan lingkungan hiduplah (di mana sumber daya alam ada di
dalamnya) kesejahteraan rakyat hendak diwujudkan. Bagi negara yang
mengklaim sebagai negara kesejahteraan (welfare state), menjadikan
kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara atau hidup bernegara. Segala
aktivitas penyelenggaraan negara diorientasikan pada upaya mencapai dan
memenuhi kesejahteraan rakyat tersebut.
Selama lebih dari satu dasawarsa masalah-masalah yang berkenaan dengan
pencemaran lingkungan hidup manusia telah mendapatkan perhatian yang
sangat serius dari masyarakat internasional. Masalah-masalah seperti ledakan
penduduk, meningkatnya jumlah kaum miskin, menderasnya arus urbanisasi,
terlantarnya tanah-tanah pedesaan, dan pembangunan industri yang tidak
mengindahkan ketahanan sumber-sumber daya alam telah memprihatikan
banyak kalangan seperti kaum politisi, intelektual, tokoh masyarakat, dan
para kritisi pembangunan.
Salah satu pencemaran lingkungan adalah limbah merupakan masalah yang
muncul di negara berkembang. Hal ini didorong oleh jumlah limbah yang
meningkat secara signifikan, potensi bahaya yang ada dan bahan-bahan
berharga di dalamnya. Metode daur ulang dan pembuangan limbah yang tidak
ramah lingkungan yang biasa dilakukan di negara berkembang memiliki
dampak yang serius dan berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan
pekerja atau penduduk. Selain itu, negara-negara industri yang mengekspor
limbah padat ke negara-negara berkembang juga menambah rumit situasi.
Pemerintah perlu memperkuat sistem regulasi untuk memastikan bahwa
manfaat ekonomi yang besar dari industri daur ulang limbah tidak dibayangi
48
oleh dampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja atau penduduk dan
kesinambungan lingkungan secara keseluruhan. Menanggapi kekhawatiran
yang terus berkembang maka pemerintah dan lembaga pembuat kebijakan
lainnya di negara-negara berkembang terus memperkuat kerangka kerja
legislatif dan kelembagaan untuk mengatur impor dan kegiatan industri dalam
daur ulang dan pembuangan limbah.
Negara maju telah banyak yang membentuk lembaga tersendiri yang secara
komprehensif membuat sistem pengelolaan limbah dan telah terbukti dan
sukses dalam berbagai aspek. Studi oleh Widmer et al. (2005) menunjukkan
bahwa negara maju merancang dan mengkarakterisasi sistem manajemen
limbah yang mempertimbangkan lima parameter seperti perubahan regulasi,
cakupan sistem manajemen, pembiayaan sistem manajemen, tanggung jawab
produsen dan memastikan kepatuhan hukum. Lebih lanjut, hal yang paling
mendasar dari kelima parameter tersebut adalah perubahan regulasi tentang
pengelolaan limbah padat. Dengan perubahan regulasi pengelolaan secara
tidak langsung parameter yang lainnya akan diatur dan direfleksikan melalui
peraturan yang ada. Kerangka kerja legislasi menetapkan hasil yang
diinginkan yang dapat dicapai dari pengelolaan limbah padat. Selain itu,
penetapan standar yang dapat diberlakukan serta menetapkan tanggung jawab
kepada lembaga terkait lainnya.
Beberapa faktor yang berkontribusi pada terjadinya potensi kegagalan dalam
penerapan regulasi terkait dengan pengelolaan limbah antara lain kepatuhan
hukum, kurangnya dukungan politik, konflik kebijakan dan Pengelolaan data
kurang baik. Faktor-faktor tersebut memegang peranan penting dalam
mendukung pelaksanaan perubahan atas regulasi yang mengatur pengelolaan
limbah.
Studi yang dilakukan oleh Makondo et al. (2015) mengkaji kepatuhan
pengelolaan lingkungan oleh industri-industri yang mengekstraksi hasil
pertambangan di Zambia. Lebih lanjut, studi menemukan adanya kegagalan 8
dari 10 perusahaan pertambangan untuk menyerahkan laporan berkala sesuai
ketentuan peraturan perijinan. Selain itu, penelitian tersebut menunjukkan
lemahnya koordinasi kerangka kelembagaan peraturan pemerintah sehingga
49
menyebabkan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang ada. Selain itu,
kebijakan pengelolaan limbah padat di India juga menghadapi permasalahan
yang sama. Dimana dalam studi yang dilakukan oleh Vilas (2015)
menemukan bahwa peraturan atau undang-undang lingkungan hidup yang
terkait dengan pengelolaan sampah tidak berjalan dengan baik karena
rendahnya kepatuhan hukum oleh masyarakat. Lebih lanjut, peraturan atau
hukum tidak dipahami dengan baik dan diimplementasikan dengan efektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Uchendu (2016) juga menemukan
ketidakpatuhan hukum pada pengelolaan limbah padat di Nigeria. Lebih
lanjut, ketidakpatuhan tersebut disebabkan karena rendahnya penegakan
peraturan lingkungan hidup.
Salah satu keberhasilan penerapan peraturan lingkungan adalah adanya
dukungan politik dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu contoh adalah
adanya permasalahan pengelolaan sampah di prefektur Kagawa Jepang.
Dimana, pemerintah tidak dapat menetapkan suatu tindakan hukum atas
tindakan yang telah dilakukan atas pembuangan sampah. Hal ini disebabkan
karena regulasi yang ada belum diamandemen. Sehingga, pemerintah pusat
menerapkan undang-undang yang baru yang didukung oleh Kementerian
Kesehatan, dan stakeholder lainnya (Yoshida 1999). Pengambilan keputusan
pada pengelolaan limbah padat di Braga-Portugal merupakan masalah yang
kompleks. Hal ini disebabkan adanya kebijakan yang belum terintegrasi
antara keputusan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah pada
pengelolaan limbah padat (Tavares, 2001). Akan tetapi dengan adanya
dukungan secara politis oleh masing-masing stakeholder dan legislator maka
pengambilan keputusan tersebut dapat diperoleh kata sepakat.
Konflik kebijakan merupakan salah satu faktor yang dapat berpotensi
menyebabkan kegagalan penerapan kebijakan atau peraturan. Salah satu
lembaga perlindungan lingkungan dihapus di negara Nigeria. Hal ini
disebabkan karena penerapan kebijakan yang tidak koheren dalam sektor
pengelolaan limbah padat. Lebih lanjut, studi tersebut juga mengungkap
bahwa banyak kebijakan dalam pengelolaannya tidak sesuai dengan praktik
manajemen limbah modern. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Ali dan
50
Ezeah (2017) juga menjelaskan bahwa tidak ada tindakan yang signifikan
mempromosikan pengelolaan limbah yang berkelanjutan karena strategi
nasional tidak terkoordinasi dengan baik di Libya. Sebuah laporan yang dirilis
oleh UNEP (2007) menyatakan adanya potensi risiko yang bisa timbul akibat
lemahnya perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan limbah secara
desentralisasi di Liberia. Proses desentralisasi yang diprakarsai oleh
pemerintah Liberia dimaksudkan untuk memberikan kewenangan pada
pemerintah kota untuk pengelolaan limbah. Lebih lanjut, penelitian oleh
Yukalang et al. (2017) menemukan komunikasi yang buruk antar kotamadya
di Thailand terkait dengan efektivitas pengelolaan limbah.
Pengelolaan data juga dapat berpotensi menjadi risiko kegagalan pengelolaan
limbah padat di perguruan tinggi. Ketersediaan data tentang karakterisasi
MSW merupakan langkah penting pertama dalam mengembangkan rencana
pengelolaan limbah padat terpadu, sebuah pendekatan yang berusaha untuk
melindungi kesehatan manusia dan lingkungan (Oberlin 2013). Lebih lanjut,
penelitian yang dilaksanakan oleh Lebersorger dan Beigl (2011)
menggarisbawahi tidak tersedianya data yang menunjang pada beberapa
lokasi yang berbeda di India berpotensi menyebabkan kegagalan sistem
pengelolaan limbah padat. Ketersediaan data sebagai bahan informasi yang
relevan menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan sistem pengelolaan
limbah padat di negara-negara berkembang (Moghadam et al. 2009). Dengan
data yang tersedia, skema manajemen MSW yang dirancang dengan baik
dapat meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan, menghasilkan lapangan
kerja dan pendapatan, melindungi kesehatan lingkungan dan mendukung
efisiensi dan produktivitas ekonomi (Ogwueleka 2009). Sementara itu, di
banyak negara ASEAN keterbatasan database yang sistematis terhadap
limbah berpotensi memiliki dampak risiko kegagalan dalam pengelolaan
limbah (Villanieva 2016).
c. Sosial, pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi kesimbangan
lingkungan, sosial ekonomi dan sosial. Dalam konteks pengelolaan limbah,
maka keberlanjutan sosial dapat didefinisikan sebagai penyediaan layanan
51
yang tepat dalam memenuhi kesehatan masyarakat. Owusu (2010)
mengadakan penelitian terkait dengan analisis konsekuensi sosial dari
lingkungan yang buruk akibat pengelolaan limbah di Sabon Zongo. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan yang buruk
memiliki hubungan langsung dan tidak langsung pada konsekuensi sosial.
Beberapa faktor yang memiliki pengaruh terhadap aspek sosial antara lain
persepsi dan partisipasi yang rendah pada masyarakat, adanya konflik sosial
dan kerentanan daerah.
Salah satu faktor yang memiliki potensi kegagalan dalam pengelolaan
lingkungan hidup terutama pengelolaan limbah adalah partisipasi yang rendah
pada masyarakat. Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan
limbah memiliki signifikansi yang tinggi dengan sistem pengelolaan limbah
(Birhanu dan Berisa 2015). Selain itu, Zurbrugg (2003) menggarisbawahi
bahwa faktor penting kegagalan pengelolaan limbah padat di negara-negara
berkembang banyak disebabkan karena kurangnya persepsi dan peran serta
publik. Tingkat persepsi dan peran dapat mendorong terjadinya kesenjangan
sikap dan perilaku yang dapat mengakibatkan tidak berjalannya sistem
pengelolaan limbah (O’Connell 2011). Satu studi yang menarik dilakukan
oleh Bolaane (2006) menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kesadaran
dan teknis daur ulang pada pengelolaan limbah yang berkelanjutan, akan
tetapi dalam prakteknya masyarakat memiliki pengetahuan yang terbatas.
Sehingga, masyarakat belum menerapkan perubahan dalam peran serta atau
partisipasi dalam pengelolaan limbah. Lebih lanjut, Poswa (2001)
mengungkapkan rendahnya kepedulian masyarakat lebih disebabkan karena
tidak adanya peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
pengelolaan limbah. Sementara itu, Al-Khatib et al. (2009) menjelaskan
bahwa banyak penyebab yang berkontribusi pada kegagalan pengelolaan
limbah padat dari rendahnya persepsi dan peran serta publik, misalnya tidak
adanya tekanan sosial, tidak adanya hukum yang realistis dan konsisten,
rendahnya pengetahuan tentang dampak.
Timbulnya konflik berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat
dan konflik merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses
52
kehidupan manusia. Dari sudut mana pun konflik tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sosial. Di dalam kenyataan kehidupan manusia dimana pun dan
kapan pun selalu ada bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, perilaku-
perilaku, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan
sehingga proses yang demikian itulah yang akan mengarah pada suatu
perubahan (Utsman 2009). Sebagai contoh, konflik yang terjadi antara
pemerintah dan penduduk di India terkait privatisasi pengelolaan limbah
(Schindler et al. 2012). Lebih lanjut, penduduk yang menetap di sekitar lokasi
daur ulang berpendapat bahwa aktivitas tersebut akan menghasilkan racun
dan berdampak pada kesehatan. Sementara itu, konflik sosial yang terjadi
pada pekerja di sektor informal limbah juga dapat terjadi (Federico 2010).
Lebih lanjut, pengumpulan material yang dapat di daur ulang dari tempat
pembuangan juga memunculkan konflik sosial di Tanzania (Ngatatakalama,
2016)
Pengelolaan limbah dapat berpotensi mendorong terjadinya kerentanan suatu
wilayah. Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu
komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan
ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman potensi bahaya. Kerentanan
sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi
bahaya (hazards). Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana
dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Sementara
itu, Kerentanan lingkungan menggambarkan tingkat kerapuhan lingkungan
yang disebabkan adanya pencemaran limbah. Sebuah studi yang dilakukan
Sarkar (2003) fokus pada kerentanan sosial para pengumpul sampah di India,
dimana dalam penelitian tersebut mengeksplorasi kondisi kerja, sosial
ekonomi dan masa depan para pengumpul sampah. Selanjutnya kerentanan
lingkungan pada suatu wilayah dapat diketahui dari kualitas limbah yang
dihasilkan. Studi yang dilakukan di Uganda menunjukkan kandungan potensi
emisi metana dari limbah perkotaan bervariasi antara 0.9 dan 4.12 Gg/tahun.
Sementara itu, proyek pengomposan limbah padat di Dar es Salaam terpaksa
dihentikan karena ada tekanan penggunaan lahan.
53
d. Daur ulang, merupakan salah satu strategi pengelolaan sampah yang terdiri
atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan
pembuatan produk/material bekas pakai. Upaya pengolahan limbahtersebut
bertujuan untuk memanfaatkan material yang masih berguna untuk digunakan
kembali, dan secara tidak langsung dapat memperpanjang umur pakai TPA.
Beberapa manfaat dari kegiatan daur ulang, yaitu: menghemat penggunaan
energi, mengurangi hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan polusi udara
akibat proses pembakaran sampah, dapat menyelamatkan sumber daya alam,
mengurangi polusi air, udara dan tanah.
Dalam konteks limbah padat, terdapat banyak limbah yang masih
mengandung nilai ekonomis termasuk kertas, plastik, logam dan lain-lain.
Akan tetapi limbah padat juga masih bercampur dengan bahan berbahaya dan
beracun. Oleh karena itu, pengelolaan limbah diakhir masa hidup dari produk
tersebut menjadi hal yang penting. Hal ini dilakukan dalam kaitannya
memulihkan kembali material-material yang masih dapat digunakan dan
mengelola bahan-bahan yang mengandung senyawa berbahaya dan beracun
dengan baik dan benar. Pengelolaan limbah padat termasuk penggunaan
kembali fungsi produk tersebut, perbaikan, pemulihan komponen, daur ulang
dan pembuangan. Penggunaan kembali melalui perbaikan dimaksudkan untuk
memperpanjang masa pakai produk. Sementara itu, daur ulang dilakukan
untuk memulihkan material berharga dengan memperhatikan dampak
lingkungan yang berpotensi muncul. Aktivitas daur ulang dalam pengelolaan
limbah berpotensi menemui kegagalan karena adanya beberapa faktor seperti
skill dan kompetensi yang rendah dari pekerja, fasilitas kerja tidak memadai,
metode kerja yang tidak baik dan lokasi daur ulang yang tidak tersentralisasi.
Skill dan kompetensi yang rendah dari pekerja merupakan salah satu faktor
pendorong terjadinya kegagalan proses daur ulang. Kemampuan karyawan
dalam proses daur ulang memegang peranan yang cukup penting. Hal ini
disebabkan karyawan harus mengetahui operasional prosedur dari daur ulang
dan penggunaan peralatan secara tepat (Sinha-Khetriwal et al. 2009). Selain
itu, Rao (2014) juga mengungkapkan tidak adanya kompetensi yang tepat dari
pekerja di limbah berpotensi terpaparnya bahaya kesehatan.
54
Faktor lain yang mempengaruhi potensi risiko kegagalan proses daur ulang
adalah fasilitas kerja tidak memadai. Tidak tersedianya peralatan dan standard
operasional yang baik menyebabkan proses daur ulang menggunakan
peralatan seadanya yang tidak ramah lingkungan. Sebagai contoh, proses daur
ulang limbah di India dan China banyak dilakukan dengan peralatan seadanya
pada proses pembongkaran, pencucian dan pembakaran (Liu et al. 2006).
Dengan demikian, proses tersebut melepaskan sejumlah besar senyawa
berbahaya dan beracun ke lingkungan yang pada akhirnya akan menurunkan
kesehatan manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Fujimori et al. (2012)
menunjukkan bahwa paparan pada kesehatan manusia juga dapat terjadi pada
proses daur ulang yang telah memiliki fasilitas yang sesuai. Selanjutnya,
pekerja-pekerja di sektor daur ulang di beberapa negara seperti Afrika, Asia
dan Amerika Latin belum banyak yang menggunakan fasilitas yang memadai
(Sthiannopkao dan Wong 2013).
Metode kerja yang tidak baik juga menjadi faktor yang memungkinkan proses
daur ulang mengalami risiko kegagalan. Studi yang dilakukan oleh Xu et al.
(2015) menunjukkan bahwa metode kerja pada daur ulang yang tidak tepat
mendorong terjadinya peningkatan risiko yang sangat signifikan pada
manusia dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, proses daur ulang yang tidak
efisien menghasilkan kerugian substansial dari nilai material dan sumber daya
(Rao 2014).
Potensi risiko kegagalan proses pengelolaan limbah juga dapat terjadi akibat
lokasi kegiatan pengelolaan limbah. Lokasi yang dimaksudkan disini dapat
berupa lokasi kerja dan lokasi yang terkait dengan pengelolaan limbah,
misalnya tempat drop-off, tempat pembuangan sementara, dan lokasi kerja
daur ulang. Lokasi kerja merupakan ruang fisik yang didefinisikan dimana
pekerja limbah terlibat dalam kegiatan ekonomi umum atau berbagai aspek
dari kegiatan yang sama. Fasilitas lokasi drop-off limbah secara operasional
memberikan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan pengumpulan di
tepi jalan. Kumar dan Holuszko (2016) menggarisbawahi proses pemindahan
limbah yang tidak efektif dan efisien yang disebabkan lokasi fasilitas daur
ulang yang berada cukup jauh. Sementara itu, fasilitas daur ulang yang
55
lokasinya berbasis wilayah dapat mengurangi biaya transportasi dan waktu.
Proses daur ulang pada masing-masing wilayah yang lebih kecil dapat
melakukan aktivitas daur ulang hingga mendapatkan bahan akhir yang akan
dikirim ke lokasi penampungan di pusat daur ulang. Hal ini juga dapat
mengurangi volume produk yang dikirim dan mengurangi jarak transportasi
sehingga dapat mengurangi biaya dan emisi gas rumah kaca yang terkait
dengan transportasi.
Berikut ini beberapa foto dari pengelolaan limbah/sampah di lingkungan FTUP:
56
Gambar 4.11. Pengelolaan Limbah/Sampah di FTUP
57
4.3.2. Analisis Dan Penilaian Risiko Kegagalan Proses Pengelolaan Limbah
Berdasarkan uraian masing-masing faktor tersebut selanjutnya dilakukan
analisis dan penilaian risiko. Pengambilan keputusan yang tepat dalam
pengelolaan risiko bukanlah tugas yang mudah. Oleh karena itu, risiko yang
teridentifikasi harus dijelaskan dengan cara yang dapat dimengerti dan kemudian
dianalisis secara sistematis (Li et al. 2006). Akibatnya, setiap risiko, ketika
diidentifikasi, harus dianalisis dalam hal potensi kemungkinan yang dapat terjadi.
Risiko selalu dianalisis dalam hal probabilitas dan dampak serius. Selanjutnya
dampak tersebut dapat dinilai dengan memberikan peringkat berikut rendah,
menengah dan tinggi.
Terdapat beberapa jenis teknik analisis risiko yang dapat digunakan untuk
menganalisis risiko. Tahapan analisis risiko diaplikasikan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang memiliki potensi terjadinya risiko dari suatu kegiatan yang
dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor sejenis. Dalam penilaian risiko dalam
pengelolaan limbah padat ini menggunakan metode Failure Mode Effect Analysis
(FMEA).
Metode FMEA merupakan salah satu teknik analisis semikuantitatif yang
telah banyak diaplikasikan. Metode ini digunakan untuk mengindentifikasi,
memprioritaskan dan menghilangkan kegagalan, masalah, dan potensi kesalahan
yang diketahui dalam suatu sistem, produk atau proses sebelum diterima oleh
masyarakat (Stamatis 2003).
Berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan kepada beberapa orang yang
dianggap pakar di lingkungan FTUP dan memahami pengelolaan limbah padat,
maka diperoleh hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3.
4.3.3. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko merupakan salah satu tahapan dalam pengambilan
keputusan terkait dengan tingkat risiko dan prioritas risiko. Perlakuan berisiko
dilakukan setelah penilaian yang melibatkan evaluasi dan pemilihan dari opsi-opsi
tentang bagaimana mengelola risiko. Sebuah risiko dapat diterima jika tidak akan
ditindaklanjuti. Menerima sebuah risiko tidak menunjukkan bahwa risikonya tidak
signifikan. Risiko ini dapat diterima dengan beberapa pertimbangan seperti
58
tingkat risiko yang sangat rendah sehingga tidak diperlukan perlakukan khusus
dalam sumber daya yang tersedia.
Sementara itu, dalam konteks menghindari risiko dapat dilakukan dengan
tidak melanjutkan suatu kegiatan yang mengandung risiko yang tidak dapat
diterima, atau dengan kata lain memilih aktivitas alternatif yang lebih dapat
diterima yang memenuhi tujuan dan sasaran organisasi. Selain itu, dapat
dilakukan dengan memilih metode dan proses alternatif yang tidak terlalu berisiko
dalam aktivitas kegiatan.
Transfer risiko atau mentransmisikan risiko pada pihak yang lain. Metode
pengalihan risiko ini sering digunakan dalam pembelian asuransi atau ganti rugi.
Keadaan dan biaya transfer akan sangat bergantung pada tingkat jaminan yang
dapat diberikan oleh manajemen ke pihak lain dalam hal terjadinya klaim. Pihak
lain akan membutuhkan informasi terkait dengan jenis risiko, kekuatan sistem
yang telah ada dan histori dari risiko itu sendiri.
Mengendalikan risiko merupakan alternatif yang sering digunakan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya risiko dan dampak dari risiko yang akan
terjadi di masa mendatang. Secara umum akan ada pergantian antara tingkat risiko
dan pengurangan risiko ketingkat yang dapat diterima. Metode pengendalian
risiko yang paling efektif adalah mendesain ulang sistem dan proses sehingga
kemungkinan terjadinya potensi risiko negatif dapat berkurang.
59
Tabel 4.2. Worksheet FMEA Proses Pengelolaan Limbah Padat
Failure Modes Effect Analysis (FMEA) Worksheet Nama Proses : Pengelolaan limbah padat
Tgl Pembuatan : Juli 2019
No Worksheet : WS-01.2018 Rev : 00 Tgl analisis : Juni 2019 sd Juli 2019
No Product or
Process Step
ID F
ail
ure
Potential Failure Mode Potential Failure Effect Potential Causes Current Controls
1 Teknologi 1.1 Teknologi manual/tradisional Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
Konflik sosial
Kerentanan daerah
Inovasi peralatan
Biaya daur ulang tinggi
Belum ada kontrol
1.2 Keamanan dan keselamatan alat
rendah
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
Inovasi alat
Kepatuhan hukum
Skill dan kompetensi rendah
Belum ada kontrol
1.3 Infrastruktur fisik dan teknis
rendah
Pencemaran lingkungan Kebijakan pemerintah belum ada
Belum ada kontrol
1.4 Jumlah teknologi Efektifitas dan efisiensi rendah Sistem pendanaan
Belum ada kontrol
1.5 Tempat pembuangan dan
pengolahan khusus belum
tersedia
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
Infrastruktur fisik dan teknis rendah
Lokasi daur ulang
Belum ada kontrol
2 Regulasi/huku
m
2.1 Kepatuhan hukum Pelanggaran hukum Regulasi tidak spesifik
Monitoring rendah
Belum ada kontrol
2.2 Kurangnya dukungan pimpinan Diskoordinasi antar lembaga Pengelolaan data kurang baik Belum ada kontrol
2.3 Konflik kebijakan Diskoordinasi antar lembaga Visi dan misi lingkungan dari program
studi belum berwawasan lingkungan
Kurangnya dukungan pimpinan
Belum ada kontrol
60
Rendahnya penyebaran informasi
2.4 Pengelolaan data kurang baik Tidak memiliki data base limbah Regulasi antar departemen tumpang tindih
Regulasi tidak spesifik
Belum ada kontrol
3 Sosial 3.1 Persepsi dan partisipasi warga
kampus rendah
Laju timbulan limbah tinggi Sosialisasi pemerintah rendah
Rendahnya penyebaran informasi
Sosialisasi masih
terbatas di wilayah
tertentu
3.2 Konflik sosial tinggi Rusaknya berbagai infrastruktur dan
korban jiwa
Kerentanan daerah
Regulasi antar departemen tumpang tindih
Sosialisasi pemerintah rendah
Kerentanan daerah
Rendahnya penyebaran informasi
Belum ada kontrol
3.3 Kerentanan daerah Perasaan aman dalam melakukan
aktivitas daur ulang
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
Minimnya infrastruktur dan prasarana
teknologi
Partisipasi masyarakat rendah
Rendahnya penyebaran informasi
Belum ada kontrol
4 Daur ulang 4.1 Skill dan kompetensi rendah Produktivitas rendah Tidak pernah mendapatkan training Belum ada kontrol
4.2 Fasilitas tidak memadai Produktivitas rendah Tidak ada bantuan finansial Belum ada kontrol
4.3 Metode kerja tidak baik Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
Tidak ada bantuan finansial
Tidak pernah mendapatkan training
Belum ada kontrol
4.4 Lokasi daur ulang tidak
tersentralisasi
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia tidak terkontrol
dengan baik
Ketersediaan lahan
Kebijakan pemerintah belum ada
Belum ada kontrol
61
Tabel 4.3. Perhitungan Nilai RPN
Failure Modes Effect Analysis (FMEA) Worksheet Nama Alat/Proses : Pengelolaan limbah padat
Tgl Instalasi : Juni 2019
No Worksheet : WS-01.2018 Rev : 00 Tgl analisis : Juni 2019 – Juli 2019
No Product or
Process
Step
ID F
ail
ure
Potential Failure Mode Potential Failure Effect
Sev
eri
ty
Potential Causes
Occ
ure
nce
Current
Controls
Det
ect
ion
RP
N
Actions
Recommended
1 Teknologi 1.1 Teknologi
manual/tradisional
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
10 Kurangnya inovasi peralatan
Biaya daur ulang tinggi
8 Belum ada
kontrol
8 640
Peningkatan
inovasi
peralatan yang
lebih ramah
lingkungan
Kerjasama
antar
stakeholder
Pendataan laju
timbulan
limbah
1.2 Keamanan dan
keselamatan alat rendah
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
10 Inovasi alat
Skill dan kompetensi
8 Belum ada
kontrol
9 720
1.3 Infrastruktur fisik dan
teknis rendah
Pencemaran lingkungan 10 Kebijakan pemerintah belum
ada
9 Belum ada
kontrol
10 900
1.4 Jumlah teknologi Efektifitas dan efisiensi
rendah
9 Sistem pendanaan
Inovasi alat
7 Belum ada
kontrol
7 441
1.5 Tempat pembuangan
dan pengolahan khusus
belum tersedia
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
10 Infrastruktur teknis
Lokasi daur ulang
8 Masih
terbatas
8 640
2 Regulasi/h
ukum
2.1 Kepatuhan hukum Pelanggaran hukum 9 Regulasi tidak spesifik
Monitoring rendah
9 Belum ada
kontrol
9 729 Penguatan
payung hukum
Amandemen
regulasi/hukum
Penguatan
koordinasi
antar lembaga
2.2 Kurangnya dukungan
pimpinan
Diskoordinasi antar lembaga 9 Belum menyatunya visi dan
misi lingkungan dari masing-
masing program studi
Kurangnya dukungan
pimpinan
9 Belum ada
kontrol
9 729
62
2.3 Konflik kebijakan Diskoordinasi antar lembaga 9 Regulasi antar departemen
tumpang tindih
Rendahnya penyebaran
informasi
6 Belum ada
kontrol
7 378 Pembuatan data
base
pengelolaan
limbah padat 2.4 Pengelolaan data kurang
baik
Tidak memiliki data base
limbah padat
10 Regulasi antar departemen
tumpang tindih
Regulasi tidak spesifik
8 Belum ada
kontrol
7 560
3 Sosial 3.1 Persepsi dan partisipasi
warga kampus masih
rendah
Laju timbulan limbah tinggi 10 Sosialisasi pemerintah rendah
Rendahnya penyebaran
informasi
8 Sosialisasi
masih
terbatas di
wilayah
tertentu
7 560 Peningkatan
kegiatan
sosialisasi pada
masyarakat
Peningkatan
penyebaran
informasi
Pembangunan
infrastruktur
secara terpusat
yang
bekerjasama
dengan
stakeholder
3.2 Konflik Sosial tinggi Rusaknya berbagai
infrastruktur dan korban jiwa
9 Regulasi antar departemen
tumpang tindih
Sosialisasi pemerintah rendah
Kerentanan daerah
Rendahnya penyebaran
informasi
7 Belum ada
kontrol
8 504
3.3 Kerentanan daerah Perasaan aman dalam
melakukan aktivitas daur
ulang
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
9 Minimnya infrastruktur dan
prasarana teknologi
Partisipasi masyarakat rendah
Rendahnya penyebaran
informasi
6 Belum ada
kontrol
7 378
4 Daur ulang 4.1 Skill dan kompetensi
rendah
Produktivitas rendah 9 Tidak pernah mendapatkan
training
8 Belum ada
kontrol
8 576 Kerjasama
antar
stakeholder
Pembangunan
infrastruktur
secara terpusat
dan terkontrol
secara periodik
Pengembangan
kemitraan
bisnis
4.2 Fasilitas tidak memadai Produktivitas rendah 7 Tidak ada bantuan finansial 8 Belum ada
kontrol
7 392
4.3 Metode kerja tidak baik Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia
7 Tidak ada bantuan finansial
Tidak pernah mendapatkan
training
8 Belum ada
kontrol
7 392
4.4 Lokasi daur ulang tidak
tersentralisasi
Pencemaran lingkungan dan
kesehatan manusia tidak
terkontrol dengan baik
10 Ketersediaan lahan
Kebijakan pemerintah belum
ada
7 Belum ada
kontrol
7 490
(Sumber: pengolahan data)
63
Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dalam pengendalian risiko seperti
menghilangkan semua potensi bahaya jika memungkinkan, misalnya penggunaan zat
kimia yang lebih aman. Selanjutnya, jika penghilangan risiko tidak dapat dilakukan
maka perlu ada penggantian material atau proses dengan yang lebih memberikan
dampak risiko kecil seperti memasang atau menggunakan peralatan tambahan. Selain
itu, pengurangan risiko dapat juga dilakukan dengan melakukan kontrol secara
administrasi dan pengaplikasian sistem kerja yang lebih aman misalnya
pengembangan instruksi kerja, kebijakan, pedoman atau standar operasional prosedur.
Seperti yang diuraikan sebelumnya, penilaian risiko adalah proses
pengumpulan data dan membuat asumsi untuk memperkirakan sifat, keparahan, dan
kemungkinan bahaya bagi kesehatan manusia atau lingkungan. Oleh karena itu,
karakterisasi risiko (RC) adalah langkah terakhir dari proses penilaian risiko yang
merangkum semua data dari langkah sebelumnya (De Rosa et al. 1997). Ini adalah
tahap penilaian risiko di mana kesimpulan diambil berdasarkan kekuatan dan bobot
bukti tentang bahaya. Tahap ini bergantung pada kualitas informasi tentang potensi
efek yang disebabkan oleh bahaya, populasi yang terpengaruh, jenis dampak
kesehatan dan lingkungan, kemungkinan paparan dan kekhawatiran publik atas
masalah yang bersangkutan (Paustenbach 2000).
Berdasakan hasil analisis sebagaimana yang ditampilkan pada tabel di atas
selanjutnya dilakukan evaluasi risiko dengan menganalisis kategori risiko. Dari hasil
perhitungan pada matrik FMEA selanjutnya dikategorikan level risiko pada masing-
masing faktor. Adapun kategori penilaian risiko berdasarkan Gambar 4.12.
Gambar 4.12. Kategori Risiko pada FMEA
Sumber: Rimantho dan Hatta (2018)
Very High 801-1000
High-Very High 601-800
High 451-600
Moderate-High 351-450
Moderate 251-350
Low Moderate 151-250
Low 101-150
Very Low-Low 51-100
Very Low 50
50 51-100 101-150 151-250 251-350 351-450 451-600 601-800 801-1000
Very Low Very Low-Low Low Low Moderate Moderate Moderate-High High High-Very High Very High
Critical Risk
High Risk
Low Risk
64
Tabel 4.4. Level Risiko Pengelolaan Limbah Padat
No Faktor Sub-faktor Nilai
RPN
Level risiko Rekomendasi
Tindakan
1 Teknologi Teknologi tradisional/manual 640
High-Very
High
Pencegahan
2 Keamanan dan keselamatan
alat
720 High-Very
High
Pencegahan
3 Infrastruktur teknis 900 Very High Pencegahan
4 Jumlah teknologi 441 Moderate-
High
Mitigasi
5 Tempat pembuangan dan
pengolahan belum tersedia
640 High-Very
High
Pencegahan
6 Regulasi/
hukum
Kepatuhan hukum 729 High-Very
High
Pencegahan
7 Dukungan pimpinan 729 High-Very
High
Pencegahan
8 Konflik kebijakan 378 Moderate-
high
Mitigasi
9 Pengelolaan data 560 High Mitigasi
10 Sosial Persepsi dan partisipasi
warga kampus rendah
560 High Mitigasi
11 Konflik Sosial 504 High Mitigasi
12 Kerentanan daerah 378 Moderate-
high
Mitigasi
13 Daur
ulang
Skill dan kompetensi pekerja 576 High Mitigasi
14 Fasilitas daur ulang 392 Moderate-
high
Mitigasi
15 Metode kerja 392 Moderate-
high
Mitigasi
16 Sentralisasi lokasi daur ulang 490 High Mitigasi
Sumber: Tabel 4.3. dan Gambar 4.12, data diolah
Berdasarkan Tabel 4.4, maka dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor
yang dapat dikategorikan sangat berisiko tinggi misalnya teknologi manual,
keamanan dan keselamatan alat, infrastruktur teknis, tempat pembuangan dan
pengolahan belum tersedia, kepatuhan hukum, dan dukungan pimpinan. Hal ini
memerlukan tindakan pencegahan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang
lebih besar di masa mendatang. Lebih lanjut, untuk faktor-faktor yang risikonya juga
perlu mendapatkan perhatian karena berdasarkan risk mapping menunjukkan bahwa
faktor-faktor tersebut berada pada posisi cukup mengkhawatirkan seperti lokasi daur
ulang khusus, konflik kebijakan, pengelolaan data, persepsi dan partisipasi warga
65
kampus, konflik sosial, kerentanan daerah, skill dan kompetensi pekerja, fasilitas daur
ulang, metode kerja, dan sentralisasi lokasi daur ulang. Hal ini disebabkan karena
hasil penilaian dari pakar menunjukkan nilai risiko yang moderate sampai ke high.
Sehingga perlu diambil tindakan guna mengantisipasi kegagalan proses pengelolaan.
Selain itu, hal ini dapat berpotensi menimbulkan dampak risiko negatif di masa
mendatang. Sehingga, dipandang perlu untuk dilakukan aktivitas mitigasi guna
mencegah kerugian di masa mendatang baik dalam hal penurunan kualitas
lingkungan maupun kualitas kesehatan manusia.
Hasil penilaian risiko sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat diartikan
bahwa potensi kegagalan proses pengelolaan limbah padat di Fakultas Teknik
Universitas Pancasila sangat tinggi. Sehingga hal ini dapat mengganggu dimensi
pembangunan berkelanjutan atau pencapaian green campus dalam kaitannya dengan
pengelolaan limbah. Penelitian ini telah membantu dalam mengindentifikasikan
berbagai faktor risiko yang dapat berpotensi melemahkan keberlanjutan pengelolaan
limbah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Beberapa faktor risiko telah
terindentifikasi seperti teknologi, regulasi/hukum, sosial, daur ulang dan finansial.
Dalam konteks teknologi dapat terdiri dari beberapa sub faktor seperti teknologi
tradisional/manual, keamanan dan keselamatan alat, infrastruktur teknis, jumlah
teknologi, lokasi daur ulang khusus. Sementara itu, pada konteks regulasi/hukum
terdiri dari kepatuhan hukum, dukungan politik, konflik kebijakan dan pengelolaan
data. Untuk faktor sosial terdiri dari persepsi dan partisipasi masyarakat, konflik
sosial dan kerentanan daerah. Beberapa hal dalam faktor daur ulang misalnya skill
dan kompetensi pekerja yang rendah, fasilitas daur ulang, metode kerja dan
sentralisasi lokasi daur ulang. Lebih lanjut, pada perspektif finansial terdiri dari biaya
daur ulang, persaingan harga, dan sistem pendanaan.
Paradigma pengelolaan sampah di wilayah perencanaan masih bertumpu pada
kumpul-angkut-buang sudah saatnya diganti dengan paradigma baru pengelolaan
sampah. Paradigma baru pengelolaan sampah ini memandang sampah sebagai sumber
daya yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan. Salah satu caranya adalah
dengan sistem pengelolaan sampah terpadu. Pengelolaan limbah padat jika
66
direncanakan dan dilaksanakan pada risiko yang rendah apabila mendapat dukungan
dari beberapa hal seperti regulasi, tingkat partisipasi warga kampus, tersedianya
infrastruktur, dukungan pimpinan, jumlah dan inovasi teknologi yang memadai dan
lebih ramah lingkungan dengan penggunaan sumber daya yang minimal.
Dengan mempertimbangkan sifat pengelolaan limbah padat, faktor kebijakan
atau regulasi memiliki potensi yang sangat kuat untuk mempengaruhi keberlanjutan
aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan limbah padat. Misalnya dalam hal
regulasi atau kebijakan di Fakultas Teknik maupun dari Universitas Pancasila, belum
adanya regulasi yang mengatur secara jelas tentang limbah padat yang berpotensi
menimbulkan dampak risiko sangat serius. Seyogyanya, pengaturan pengelolaan ini
dapat diperjelas dan diperkuat mengingat karakteristik pengelolaan limbah padat
memiliki dampak signifikan terhadap dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi.
Selanjutnya, belum adanya kontrol yang ketat dari regulasi pada pengelolaan limbah
padat yang menyebabkan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum perlindungan
lingkungan hidup masih terjadi. Sebagai contoh, berdasarkan larangan untuk
membuang sampah sebagaimana yang diatur dalam UU 32 Tahun 2009 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, yang mengatur dan melarang pembuangan limbah
padat. Selain itu, di dalam Undang-undang No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah disebutkan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan
sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah
dengan cara yang berwawasan lingkungan. Akan tetapi, pada prakteknya masih
sering ditemui bahwa limbah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila masih
sering terjadi belum memenuhi standar nasional pengelolaan sampah nomor SNI
3242:2008. Dimana dalam acuan standar terkait dengan teknik operasional setidaknya
mengandung beberapa unsur seperti, menerapkan pemilahan sampah organik dan non
organik, menerapkan teknik 3 R di sumber dan TPS dan penanganan residu oleh
pengelola sampah kota.
Dalam rangka mengantisipasi potensi risiko dari sampah padat dan bahaya
pencemaran lingkungan yang semakin parah dikemudian hari, perlu dikembangkan
pengelolaan sampah dengan konsep pengolahan sampah secara terpadu berbasis 3R.
67
Pengelolaan sampah terpadu dengan konsep 3R diharapkan dapat memenuhi konsep
pengelolaan sampah menuju zero waste. Konsep 3R yang berprinsip mengurangi,
menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah dapat mereduksi timbulan
sampah, sehingga dengan diterapkannya sistem pengelolan sampah terpadu berbasis
3R diharapkan dapat menciptakan kondisi kebersihan, keindahan, dan kondisi
kesehatan masyarakat, yang akhirnya berpengaruh pada perkembangan fisik wilayah
perencanaan.
Konsep zero waste menolak insinerator, landfill, menghilangkan masyarakat
pembuang sampah (throwaway society) dan menciptakan komunitas yang
berkelanjutan. Studi yang dilakukan oleh Connett, (2007) menggarisbawahi bahwa
pelaksanaan zero waste mungkin akan sulit tercapai secara sempurna, akan tetapi
setidaknya perencanaan model kondisi yang sangat dekat dengan keadaan zero waste
ditahun 2020 dapat dilakukan. Mengelola sampah selalu merupakan lima hal yang
paling menantang dalam mengelola sebuah kota, tetapi anehnya sektor ini malah
paling kecil mendapat perhatian dibanding isu-isu perkotaan lainnya. Kualitas
layanan sampah menjadi salah satu indikator bagusnya tata kelola pemerintahan kota
(Africa, 2010). Penghindaran terjadinya sampah (waste avoidance) merupakan
prioritas utama, baru kemudian diikuti dengan daur ulang dan rekayasa material
untuk meminimalkan jumlah sampah yang akhirnya dibuang ke landfill atau dibakar
dalam insinerator.
Dengan semakin terbatasnya sumber daya alam yang tak dapat diperbarui
karena jumlahnya akibat ekploitasi yang berlebihan. Eksploitasi sumber daya yang
terbatas ini secara terus menerus akan menimbulkan ketidakpastian masa depan. Hal
ini harus dicegah, oleh karenanya manusia harus melakukan konsumsi yang
berkelanjutan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan (1) penghindaran sampah
(waste avoidance), (2) efisiensi material dan (3) pemulihan sumber daya (Lehmann,
2011).
Zero Waste merupakan salah satu konsep yang paling visioner dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan sampah dalam rangka mengantisipasi potensi
risiko yang akan muncul. Sejumlah kota-kota besar di dunia seperti Adelaide, San
68
Francisco dan Stockholm telah mendeklarasikan diri sebagai kota Zero Waste dan
mereka berusaha mencapai target yang ditetapkan dan menjadi kota-kota pertama
yang menerapkan Zero Waste. Tetapi hal yang tak kalah penting adalah bagaimana
menerapkan konsep Zero Waste dalam sebuah kota dan bagaimana mengukur kinerja
sebuah kota berdasarkan konsep Zero Waste (Zaman & Lehmann, 2013).
4.4. Rumusan Strategi yang Tepat Agar Dapat Digunakan dalam Pengelolaan
Sampah di FTUP.
Issu tentang lingkungan dan kesehatan manusia terkait dengan pengelolaan
limbah padat telah diketahui dan banyak yurisdiksi telah menerapkan program untuk
pengelolaan limbah padat. Beberapa program bertumpu pada pengelolaan limbah
padat dengan menargetkan masalah dari sumber dengan mengurangi atau mencegah
laju timbulan limbah padat dari sumber, sementara yang lain fokus pada solusi akhir
kehidupan seperti daur ulang. Program pengelolaan limbah padat dari perguruan
tinggi tidak sama dalam hal efektivitas. Namun, tujuan keseluruhannya adalah untuk
mengurangi atau menghilangkan dampak negatif yang terkait dengan pembuangan
yang tidak tepat dan pengelolaan limbah padat (Babu et al. 2007; Herat 2009).
Pengelolaan limbah tidak hanya masalah sosial tetapi merupakan
penggabungan faktor kebijakan, sosial-budaya, teknis, finansial dan lingkungan. Hal
ini menunjukkan bahwa pemerintah dihadapkan dengan sekumpulan pemikiran yang
kompleks dan terintegrasi yang harus dimasukkan ke dalam satu proses pengambilan
keputusan tunggal. Selain itu, Wilson et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat
informasi yang terputus antara pemangku kepentingan, terutama antara pembuat
kebijakan dan pengelola limbah. Oleh karena itu, tidak hanya ada proses untuk
diintegrasikan dalam pengelolaan limbah, tetapi ada juga pemangku kepentingan
yang harus diintegrasikan (Posch 2010). Dengan tidak adanya metode pengambilan
keputusan yang dianggap tepat maka pengelolaan limbah yang berkelanjutan dan
terpadu sulit dilakukan.
Pemerintah daerah maupun pusat memiliki tanggung jawab untuk membuat
keputusan tentang arah pengelolaan limbah untuk suatu wilayah dan dalam
69
melakukan itu keputusan tersebut akan mempengaruhi berbagai macam orang
(Hokkanen dan Salminen 1997). Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan yang
fleksibel, berdasarkan bukti (Williams 2015) (Varzinskas et al. 2012) adalah penting
yang mempertimbangkan risiko dan manfaat yang terkait dengan pengelolaan limbah.
Ini karena kegiatan operasional sangat berbeda dari sistem ke sistem dan lokasi ke
lokasi; struktur legislatif dan kebijakan bersifat dinamis dan teratur berkembang; dan,
pertimbangan ekonomi tidak bisa lebih didahulukan daripada efek sosial dan
lingkungan (Wilson et al. 2001).
Minicardi et al. (2008) menyoroti peran penting pembuat keputusan. Lebih
lanjut, penulis menyatakan bahwa seringkali pengambil keputusan bukanlah seorang
yang ahli dalam bidang proses keputusan. Dengan demikian, untuk mengatasi ini,
proses keputusan harus sederhana untuk dipahami dan opsi harus diuraikan secara
seimbang, konsisten dan cara transparan. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan
pembuat keputusan dengan ringkasan variabel kunci dan asumsi yang dibuat untuk
mencapai keputusan atau hasil akhir, bersama dengan pedoman yang jelas tentang
cara terbaik untuk memahami alasan dan implikasi dari keputusan tertentu.
Varzinskas et al. (2012) telah lebih jauh menyatakan pentingnya menyediakan
pembuat keputusan dengan nilai teoritis dan spesifik mengenai pemodelan skenario
limbah yang berbeda. Lebih lanjut, Varzinskas et al. (2012) melakukan ini melalui
mekanisme alokasi sumber daya yang memodelkan berbagai skenario untuk
memenuhi serangkaian tujuan tertentu. Ini dicapai melalui kombinasi pemodelan
keuangan dan lingkungan; presentasi hasil disertai dengan diskusi mengenai atribut
spesifik teoritis dan teknologi dari setiap skenario dalam kaitannya dengan tujuan
yang ingin dicapai.
Simôes-Gomes et al. (2008) mengemukakan bahwa untuk pengelolaan limbah
ada empat pembuat keputusan. Pertama adalah pemerintah, yang keputusannya sangat
dipengaruhi (di Inggris) oleh Uni Eropa dan tindakan perlindungan lingkungan yang
diberikan oleh Badan Lingkungan Hidup. Mereka harus memastikan bahwa manfaat
tercapai untuk masyarakat dan lingkungan. Kedua, mereka menyarankan bahwa
pimpinan harus memastikan efektivitas biaya operasi mengingat adanya pembatasan
70
potensial yang timbul dari perubahan peraturan lingkungan. Ketiga adalah pelanggan,
yang pengambilan keputusannya telah disarankan untuk, dalam contoh pertama,
berdasarkan opsi biaya terendah, meskipun dalam beberapa tahun terakhir dengan
peningkatan kesadaran lingkungan, ini berubah. Akhirnya, Simôes-Gomes et al.
(2008) menyarankan integrasi sebagai pengambil keputusan keempat, di mana sudut
pandang yang seimbang dicapai melalui konsultasi dengan semua pengambil
keputusan lainnya. Dengan pemikiran ini, diperlukan metodologi yang cukup
menggabungkan dampak biaya, sosial, atau lingkungan, bersama dengan preferensi
para pembuat keputusan.
Kompleksitas sistem pengelolaan limbah padat dihasilkan dari banyaknya
kemungkinan kombinasi opsi, atau alternatif. Namun, ketika metode pengambilan
keputusan seperti AHP, digunakan untuk mempertimbangkan opsi pengelolaan
limbah, model yang diidentifikasi dalam literatur hanya memperhitungkan limbah
yang pernah dihasilkan (Morrissey dan Browne 2004). Pencegahan limbah,
minimisasi limbah, atau desain produk untuk lingkungan, yang akan menghilangkan
produksi bahan yang tidak dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau terurai secara
alami umumnya tidak dipertimbangkan (Morrissey dan Browne 2004). Berbeda
dengan pendekatan keberlanjutan pengelolaan limbah non-berbahaya, hanya sedikit
yang dapat dicapai untuk mencegah atau meminimalkan limbah padat. Dalam konteks
institusi perguruan tinggi khususnya di Universitas Pancasila, fokus saat ini pada
pengelolaan limbah yang dihasilkan dalam hal aspek teknologi, regulasi, daur ulang
dan sosial.
Dalam perencanaan pengelolaan limbah padat, pengambilan keputusan
merupakan salah satu proses kunci. Dalam penelitian ini, metodologi AHP (analytical
hierarchy process) diadopsi sebagai alat pengambilan keputusan. AHP adalah alat
analisis keputusan yang pertama kali dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1977.
Metode ini merupakan salah satu pendekatan pengambilan keputusan multi-kriteria
dan secara luas digunakan untuk kegiatan evaluasi multi kriteria. Selain itu, metode
ini dapat mengkonversi penilaian subjektif dari kepentingan relatif menjadi satu set
bobot (Olson 1995). Adapun proses utama AHP antara lain:
71
a. Membangun struktur hierarki antara tingkat atas (tujuan komprehensif) dan
level bawah (alternatif).
b. Membangun pasangan matriks perbandingan berpasangan dengan skala
perbandingan berpasangan antara faktor-faktor, dan
c. Menghitung bobot faktor dengan menghitung vektor eigen dari matriks
perbandingan berpasangan dan sintesis bobot.
Metode pengambilan keputusan berbagai kriteria telah berkembang pesat
selama dekade terakhir. Hal ini melibatkan pendekatan yang berbeda untuk
membantu pilihan antara alternatif diskrit. Selain itu, metode ini berguna dalam
proses mempersempit daftar panjang alternatif. Di antara mereka, AHP diusulkan
sebagai salah satu pendekatan untuk memecahkan masalah multi kriteria dan
alternatif. Metode AHP telah banyak diterapkan (Mirarda 2001, Feng 2004). AHP
merupakan suatu metode evaluasi multiobjektif sederhana dan layak yang digunakan
untuk kegiatan evaluasi multi kriteria. Metode ini dirancang untuk evaluasi subyektif
dari serangkaian alternatif berdasarkan beberapa kriteria yang diatur dalam struktur
hirarkis. Ini memberikan cara yang efektif untuk mengukur data di bidang teknik.
Pada tingkat yang lebih tinggi, kriteria dievaluasi, dan pada tingkat yang lebih rendah,
alternatif dievaluasi oleh setiap kriteria. Pembuat keputusan melakukan penilaiannya
secara terpisah untuk setiap level secara subyektif. Dengan menciptakan sepasang
matriks perbandingan yang bijaksana, evaluasi subjektifnya untuk setiap pasang
barang kemudian dinilai.
Metode AHP memberikan struktur dan dasar matematika di mana banyak
domain masalah dapat dimodelkan. Hal ini dapat membantu orang mengatasi intuitif,
rasional dan irasional dengan ketidakpastian dalam situasi yang kompleks. Lebih
lanjut, metode AHP dapat digunakan untuk memprediksi hasil yang mungkin,
merencanakan proyeksi dan masa depan yang diinginkan, memfasilitasi pengambilan
keputusan kelompok, melakukan kontrol terhadap perubahan dalam sistem
pengambilan keputusan, mengalokasikan sumber daya, memilih alternatif, dan
melakukan perbandingan biaya/manfaat (Mirarda 2001). AHP juga memiliki
kelebihan karena tidak memerlukan variabel keputusan eksplisit, fungsi obyektif atau
72
fungsi utilitas. Secara khusus, itu sangat cocok untuk masalah keputusan dengan
alternatif, kriteria, dan keputusan terbatas (Debeljak et al. 1986).
4.4.1. Struktur Hirarki Pengelolaan Limbah Padat
Hirarki dapat dideskripsikan sebagai organisasi orang atau benda yang diatur
satu dalam satu grup atas yang lain sesuai dengan kelas, dan urutan. Ini mengacu
pada pemecahan masalah kompleks menjadi potongan-potongan yang dapat diatasi
dengan cara yang tidak terlalu rumit. Seperti yang dijelaskan bahwa pembuat
keputusan dapat fokus pada seperangkat keputusan yang lebih sederhana. Metodologi
AHP mensyaratkan bahwa elemen-elemen dikelompokkan ke dalam kelompok-
kelompok yang homogen sehingga mereka dapat secara berarti dibandingkan dengan
unsur-unsur lain di tingkat tersebut. Juga diperlukan bahwa setiap elemen dalam satu
tingkat harus mampu terkait dengan beberapa elemen di tingkat yang lebih tinggi
berikutnya. Dalam AHP level pertama adalah tujuan keseluruhan pembuat keputusan.
Tingkat kedua terdiri dari faktor-faktor atau kriteria-kriteria yang berkontribusi pada
tujuan. Pada tingkat kedua ini dapat ditambahkan sub faktor atau sub kriteria untuk
memperjelas kriteria di atasnya. Sedangkan tingkat ketiga menunjukkan alternatif
yang tersedia sebagai strategi pilihan keputusannya. Mengingat faktor-faktor di
tingkat kedua berhubungan dengan fase siklus hidup tertentu, hierarki individu
dibangun untuk setiap fase secara terpisah pada keseluruhan sistem. Melalui hierarki,
pembuat keputusan dapat dimungkinkan untuk memilih alternatif yang lebih disukai
untuk setiap fase siklus hidup.
Hirarki keputusan digunakan sebagai kerangka untuk proses pengambilan
keputusan. Pertama, susunan hirarki disajikan kepada para pengambil keputusan. Ini
dilakukan untuk memastikan bahwa keputusan dapat dibuat dan mengetahui
hubungan masing-masing faktor atau kriteria. Kedua, para pengambil keputusan
diminta untuk melengkapi tiga fase dari Proses Analisis Hirarki (AHP), dengan kata
lain; memberikan bobot untuk tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif. Proses
penentuan faktor-faktor atau kriteria, sub faktor dan alternatif dapat diperoleh dengan
berbagai cara seperti melalui proses brainstorming, diskusi kelompok maupun
73
berdasarkan kajian literatur dari penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini
menggunakan kajian literatur untuk memperoleh faktor-faktor atau kriteria-kriteria,
sub kriteria dan alternatifnya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penentuan
strategi pengelolaan limbah padat di institusi perguruan tinggi dapat mengadopsi pada
penelitian sebelumnya yang dianggap memiliki kesamaan sebagai salah satu institusi
perguruan tinggi.
Berdasarkan struktur hirarki tersebut selanjutnya dilakukan penilaian
perbandingan berpasangan oleh masing-masing responden, dimana jumlah responden
yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak tiga orang. Adapun hasil dari penilaian
perbandingan berpasangan untuk kriteria dapat dilihat pada Gambar 4.13.
Berdasarkan Gambar 4.13 dapat diperoleh informasi bahwa struktur hirarki
strategi pengelolaan limbah padat di FTUP memiliki 4 level antara lain Goal (level
0), Kriteria (level 1), Sub-kriteria (level 2) dan Alternatif (level 3). Lebih lanjut,
gambar tersebut juga menjelaskan pada bahwa terdapat empat kriteria antara lain
teknologi, regulasi, daur ulang dan social. Pada masing-masing kriteria memiliki sub
kriteria seperti pada kriteria teknologi terdiri dari belum ramah lingkungan, jumlah
teknologi, keamanan alat, infrastruktur rendah dan tempat pembuangan. Sementara
itu, pada kriteria regulasi terdiri dari sub-kriteria kepatuhan pada peraturan,
koordinasi antar lembaga, dukungan pimpinan, konflik kebijakan dan pengelolaan
data. Pada sub-kriteria daur ulang terdiri dari sub-kriteria skill dan kompetensi,
fasilitas daur ulang, metode kerja dan lokasi daur ulang. Lebih lanjut, pada sub-
kriteria social terdiri dari persepsi dan partisipasi warga kampus, konflik social dan
kerentanan wilayah. Berdasarkan struktur hirarki tersebut maka dilakukan analisis
preferensi dari masing-masing responden yang ditampilkan pada Tabel 4.5 berikut
ini:
74
Gambar 4.13 Struktur hirarki pengambilan keputusan strategi pengelolaan
limbah padat
Inovasi
teknologi
Pengembangan
regulasi
Peran serta
pihak swasta
Sosialisasi
pada warga
kampus
Teknologi
Belum ramah
lingkungan
Keamanan alat
Infrastruktur
fisik rendah
Jumlah
teknologi
Tempat
pembuangan
Regulasi
Kepatuhan
peraturan
Koordinasi
lembaga
Dukungan
pimpinan
Konflik
kebijakan
Pengelolaan
data
Daur ulang
Skill dan
kompetensi
Fasilitas daur
ulang
Metode kerja
Lokasi daur
ulang
Persepsi dan
partisipasi
Konflik sosial
Kerentanan
daerah
Sosial
Strategi pengelolaan
limbah padat
Level 0 Level 1 Level 2 Level 3
75
Tabel 4.5 Hasil perbandingan berpasangan pada Kriteria
Kriteria Teknologi Regulasi Sosial Daur
Ulang
Σ Bobot CR Rangking
Teknologi 0.5251 0.6352 0.4429 0.3065 1.9097 0.4774
0.076
1
Regulasi 0.1903 0.2302 0.3735 0.3429 1.1370 0.2843 2
Sosial 0.1796 0.0934 0.1515 0.2892 0.7136 0.1784 3
Daur Ulang 0.1050 0.0412 0.0321 0.0613 0.2396 0.0599 4
Sumber: Pengolahan data
Gambar 4.14 Prioritas kriteria pengelolaan limbah padat di FTUP
Dari hasil perhitungan diperoleh informasi bahwa kriteria teknologi
merupakan pilihan dari para pakar dengan bobot terbesar yaitu 0.477 dan
menempatkan kriteria teknologi sebagai rangking pertama dalam pengelolaan limbah
padat di FTUP. Lebih lanjut, untuk kriteria regulasi diperoleh nilai bobot 0.284 dan
menjadi kriteria kedua. Sementara itu untuk ranking ketiga adalah sosial dengan
bobot 0.178. Selain itu, hasil penilaian perbandingan secara berpasangan dari
keempat kriteria tersebut juga telah memenuhi syarat dengan nilai konsistensi rasio
sebesar 0.076 dan hal ini telah memenuhi ketetapan nilai CR yang ditetapkan oleh
Saaty sebesar <0.1.
Selanjutnya, dilakukan penilaian perbandingan berpasangan pada sub-kriteria,
dimana dari hasil penilaian tersebut ditampilkan pada Tabel 4.6 di bawah.
Berdasarkan penilaian perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh ketiga
responden diperoleh informasi bahwa untuk sub-kriteria yang berada pada kriteria
teknologi diperoleh nilai tertinggi pada sub-kriteria persepsi dan partisipasi warga
0,477
0,284
0,178
0,060
0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600
Teknologi
Regulasi
Sosial
Daur Ulang
Kriteria
76
kampus dengan bobot sebesar 0.509 pada peringkat pertama. Selanjutnya diikuti oleh
sub-kriteria skill dan kompetensi pekerja pada posisi kedua dengan nilai 0.368.
Sementara itu untuk bobot sub-kriteria kepatuhan pada peraturan, teknologi belum
ramah lingkungan dan fasilitas daur ulang dengan bobot masing-masing 0.368; 0.314;
dan 0.277. Secara keseluruhan sub-kriteria menunjukkan bahwa penilaian
perbandingan secara berpasangan oleh para pakar menunjukkan konsistensi yang baik
dengan nilai antara 0.039 sampai dengan 0.062 dan telah memenuhi ketatapan nilai
CR <0.1 dari Saaty.
Tabel 4.6. Hasil Perbandingan Berpasangan Pada Sub-Kriteria
Sub-kriteria Jumlah Bobot CR Rangking
Teknologi belum ramah lingkungan 1.568 0.314
0.062
4
Keamanan dan keselamatan alat 1.140 0.228 8
Infrastruktur fisik dan Teknis 0.867 0.173 11
Jumlah Teknologi 0.845 0.169 12
Tempat pembuangan dan pengolahan 0.580 0.116 16
Kepatuhan peraturan 1.779 0.356
0.039
3
koordinasi antar lembaga 1.245 0.249 7
Dukungan pimpinan 0.742 0.148 14
Konflik kebijakan 0.729 0.146 15
Pengolaan data 0.506 0.101 17
Persepsi dan partisipasi warga kampus 1.528 0.509
0.011
1
Konflik social 0.816 0.272 6
Kerentanan daerah 0.655 0.218 9
Skill dan kompetensi 1.471 0.368
0.059
2
Fasilitas daur ulang 1.106 0.277 5
metode kerja 0.798 0.200 10
Lokasi daur ulang 0.624 0.156 13
Sumber: Pengolahan data
77
Gambar 4.15 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar
terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam teknologi. Lebih lanjut, kriteria
teknologi terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, teknologi belum ramah
lingkungan, keamanan dan keselamatan alat, infrastruktur fisik dan teknis, jumlah
teknologi dan tempat pembuangan dan pengolahan. Pada kriteria teknologi, sub-
kriteria yang menjadi perioritas utama adalah teknologi belum ramah lingkungan
dengan bobot 0,314. Secara garis besar sub-kriteria pada Teknologi telah memenuhi
kaidah Saaty dimana nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar sebesar 0.062
atau lebih kecil daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa preferensi
para pakar telah konsisten.
Gambar 4.15 Prioritas Sub-Kriteria Teknologi Pada Pengelolaan
Limbah Padat Di FTUP
Gambar 4.16 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar
terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam regulasi. Lebih lanjut, kriteria
regulasi terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, pengelolaan data, konflik kebijakan,
dukungan pimpinan, koordinasi antar lembaga dan kepatuhan pada peraturan. Pada
kriteria regulasi, sub-kriteria yang menjadi perioritas utama adalah kepatuhan pada
peraturan dengan bobot 0,356. Secara garis besar sub-kriteria pada regulasi telah
memenuhi kaidah Saaty dimana nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar
sebesar 0.039 atau lebih kecil daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa preferensi para pakar telah konsisten.
0,314
0,228
0,173
0,169
0,116
0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350
Teknologi belum ramah lingkungan
Keamanan dan keselamatan alat
Infrastruktur fisik dan Teknis
Jumlah Teknologi
Tempat pembuangan dan pengolahan
Sub-kriteria Teknologi
78
Gambar 4.16. Prioritas Sub-Kriteria Regulasi Pada Pengelolaan
Limbah Padat Di FTUP
Gambar 4.17 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar
terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam sosial. Lebih lanjut, kriteria sosial
terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, kerentanan daerah, konflik sosial dan
persepsi dan partisipasi warga kampus. Pada kriteria sosial, sub-kriteria yang menjadi
perioritas utama adalah persepsi dan partisipasi warga kampus dengan bobot 0,509.
Secara garis besar sub-kriteria pada regulasi telah memenuhi kaidah Saaty dimana
nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar sebesar 0.011 atau lebih kecil
daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa preferensi para pakar telah
konsisten.
Gambar 4.17 Prioritas sub-kriteria sosial pada pengelolaan limbah padat di FTUP
0,356
0,249
0,148
0,146
0,101
0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400
Kepatuhan peraturan
koordinasi antar lembaga
Dukungan pimpinan
Konflik kebijakan
Pengolaan data
Sub-kriteria Regulasi
0,509
0,272
0,218
0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600
Persepsi dan partisipasi warga kampus
Konflik sosial
Kerentanan daerah
Sub-kriteria Sosial
79
Gambar 4.18. Prioritas Sub-Kriteria Daur Ulang Pada Pengelolaan
Limbah Padat Di FTUP
Gambar 4.18 memberikan informasi terkait dengan preferensi para pakar
terhadap beberapa sub-kriteria yang terdapat dalam daur ulang. Lebih lanjut, kriteria
daur ulang terdiri dari beberapa sub-kriteria seperti, lokasi daur ulang, metode kerja,
fasilitas daur ulang dan skill dan kompetensi pekerja. Pada kriteria daur ulang, sub-
kriteria yang menjadi perioritas utama adalah skill dan kompetensi pekerja dengan
bobot 0,509. Secara garis besar sub-kriteria pada regulasi telah memenuhi kaidah
Saaty dimana nilai konsistensi rasio dari pendapat para pakar sebesar 0.011 atau lebih
kecil daripada 0.1. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa preferensi para pakar
telah konsisten.
Kemudian, setelah penentuan nilai kriteria dan sub-kriteria maka langkah
berikutnya adalah penentuan perbandingan berpasangan alternatif yang akan menjadi
program pengelolaan limbah padat di FTUP. Terdapat beberapa alternatif solusi yang
dapat dilakukan seperti inovasi teknologi daur ulang, pengembangan regulasi tentang
pengelolaan limbah padat, peran serta pihak swasta, sosialisasi pada warga kampus
dari pihak terkait.
0,368
0,277
0,200
0,156
0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400
Skill dan kompetensi
Fasilitas daur ulang
metode kerja
Lokasi daur ulang
Sub-kriteria Daur ulang
80
Tabel 4.7 Hasil Penilaian Perbandingan Berpasangan Pada Alternatif
No Alternatif Bobot Rangking
1 Inovasi teknologi daur ulang 0.429 1
2 Pengembangan regulasi tentang
pengelolaan limbah padat
0.230
2
3 Peran serta pihak swasta 0.223 3
4 sosialisasi pada warga kampus dari
pihak terkait
0.122 3
Sumber: Pengolahan data
Gambar 4.19. Prioritas Alternatif Pengelolaan Limbah Padat di FTUP
Pada bagian ini menyajikan evaluasi dari sistem pengelolaan limbah padat di
FTUP secara keseluruhan. Investigasi dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria-
kriteria kunci berikut: teknologi, regulasi atau kebijakan, sosial, dan daur ulang.
Strategi ini menjadi hal penting bahwa pengelolaan limbah padat di FTUP
disebabkan oleh potensi peningkatan risiko penurunan kualitas lingkungan dan
kesehatan manusia. Saat ini sejumlah besar limbah padat belum ditangani secara
optimal oleh kampus dan dalam prakteknya peranan beberapa karyawan
menunjukkan peranan yang lebih tinggi dalam hal pengelolaan limbah padat dari
aktivitas kampus. Akan tetapi, pelaksanaan yang terjadi masih menyisakan masalah
terutama terkait dengan potensi pencemaran lingkungan. Sehingga, ada kebutuhan
mendesak untuk menentukan strategi alternatif dalam upaya pengelolaan limbah
padat yang lebih ramah lingkungan.
0,429
0,23
0,219
0,122
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5
Inovasi teknologi proses daur ulang
Pengembangan regulasi tentang limbah padat
peran serta pihak swasta
sosialiasi pada warga dari pihak terkait
Prioritas Alternatif
81
Tabel 4.7 di atas memberikan informasi terkait dengan alternatif solusi yang
dapat digunakan dalam pengelolaan limbah padat di FTUP. Dari hasil penilaian
perbandingan secara berpasangan oleh para pakar dan setelah dilakukan analisis maka
dapat diketahui bahwa alternatif inovasi teknologi proses daur ulang merupakan
alternatif dengan bobot terbaik yaitu sebesar 0.429 dan hal ini merupakan alternatif
ranking pertama yang dapat dilakukan. Sementara itu, pada urutan kedua yang dapat
dilakukan adalah pengembangan regulasi dengan bobot 0.230. selain itu, pada
alternatif yang memiliki bobot terendah adalah sosialisasi pada warga kampus dengan
bobot sebesar 0.122 dan peran serta pihak swasta yaitu sebesar 0.219.
Kebijakan pengelolaan limbah padat di FTUP dirumuskan dengan
memperhatikan kondisi dan potensi limbah yang terjadi saat ini, hasil analisis laju
timbulan limbah padat, analisis risiko dan pendapat pakar. Sistem perumusan
kebijakan dan strategi dapat dilakukan secara partisipatif. Kondisi saat ini di FTUP
yang belum optimal dalam pengelolaan limbah padat menunjukkan adanya beberapa
faktor risiko yang berpotensi menghasilkan risiko kegagalan yang tinggi pada
pengelolaan limbah padat tersebut. Hal ini beralasan karena dalam proses pengelolaan
limbah padat terdiri dari beberapa faktor risiko kegagalan seperti teknologi, sosial,
regulasi atau hukum, dan daur ulang yang memiliki potensi penyebab risiko
kegagalan proses pengelolaan limbah. Sehingga, pada akhirnya akan dapat
mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia.
Permasalahan sampah padat belum terakomodir dengan baik akibat belum
adanya regulasi atau kebijakan dari pimpinan FTUP yang mengatur mengenai
pengelolaan sampah. Ditemukan bahwa sampah tidak benar-benar mencerminkan
bahwa sampah tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan. Hal ini menjadi
tantangan dalam pengembangan instrumen kebijakan pengelolaan limbah padat
dalam kaitannya dengan perlindungan lingkungan hidup.
82
Gambar 4.19 Tantangan Pengembangan Instrumen Kebijakan Pengelolaan
Limbah Padat
Gambar 4.19 menjelaskan tentang tantangan yang harus dihadapi oleh
pimpinan di FTUP dalam rangka pengembangan instrumen kebijakan pengelolaan
limbah padat. Hal ini mengingat bahwa pengelolaan limbah padat merupakan
masalah yang penuh dengan kompleksitas dan dinamika karena banyaknya
kepentingan di dalamnya. Kepentingan yang ada dalam pengelolaan limbah padat
dipengaruhi oleh aktor-aktor seperti petugas kebersihan, karyawan, pemilik kantin,
dosen, mahasiswa dan lain-lain. Hal ini menjadi semakin kompleks dengan potensi
risiko yang dapat muncul dari aktivitas pengelolaan limbah padat seperti pencemaran
udara, pencemaran air, tanah, kerusakan lahan, keanekaragaman hayati dan lain-lain.
Sehingga. permasalahan limbah padat memang masih jauh dari permasalahan nyata
yang ada namun mencegah terjadinya permasalahan yang lebih serius di masa depan
akan memberikan manfaat bagi pimpinan FTUP sendiri maupun Universitas
Pancasila secara umum. Oleh karena itu kebijakan kaitannya dengan regulasi
pengelolaan sampah padat bisa diinisiasi oleh pimpinan FTUP.
Peningkatan
risiko yang
kompleksitas dan
dinamis
Masyarakat
LSM
Antar
Kementerian
Antar Lembaga
Lembaga
Internasional
Media
Auditor
Dunia Industri
Aktor Kunci
Pencemaran
udara
Pencemaran air
Pencemaran
tanah
Kerusakan lahan
Perubahan iklim
Pencemaran
lintas batas
Keanekaragama
n hayati
Potensi risiko
83
Gambar 4.19. Elemen Kebijakan Pengelolaan Limbah Padat
Langkah tepat dalam kebijakan pengelolaan limbah padat secara berkelanjutan
sepanjang siklus hidup produk dapat dikembangkan dengan mengacu pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Gambar 4.19 menginformasikan tentang prosedur
pengelolaan limbah padat seperti upaya minimalisasi limbah dari sumber,
pengumpulan dan penyimpanan serta pembuangan akhir, penguatan kepedulian
hukum, kesadaran dan partisipasi masyarakat, implementasi dan koordinasi antar
lembaga, pemantauan dan evaluasi serta pengelolaan data, mobilisasi sumberdaya
yang dimiliki.
Aktivitas minimasi limbah dapat ditingkatkan melalui pertimbangan kebijakan
oleh pimpinan di FTUP atau masing-masing fakultas di Universitas Pancasila.
Misalnya dengan cara pemilik kantin yang menghasilkan sampah dapat mendaftarkan
jenis sampah yang dihasilkan agar dapat dilakukan pengawasan sejak dari proses
produksinya. Dengan demikian, tiap proses dan produk yang dihasilkan dapat
diketahui tingkat risiko tertinggi sampai ke yang paling rendah. Pimpinan di FTUP
atau masing-masing fakultas di Universitas Pancasila dapat menetapkan sebuah
Kebijakan
Pengelolaan
limbah padat
Kegiatan ekspor
dan impor Minimasi limbah
dari sumber
Monitoring, evaluasi
dan pengelolaan data
Mobilisasi
sumberdaya
Pengelolaan
limbah padat
Mekanisme
koordinasi institusi
Peningkatan kepedulian
dan partisipasi
Penguatan
kepedulian hukum
84
standarisasi dari pengelolaan limbah padat. Standarisasi dapat dilakukan dengan
menampilkan informasi yang relevan dari setiap sampah padat yang dihasilkannya.
Kebijakan yang terkait dengan proses pengelolaan seperti pengumpulan,
penyimpanan, daur ulang dan pembuangan limbah padat perlu ditingkatkan lagi. Hal
ini dapat ditempuh dengan mengintegrasikan secara bersama antara metode
pengumpulan oleh petugas kebersihan dan staff OB pada masing-masing lantai atau
program studi. Hal ini mengingat efektifitas jangkauan pelayanan untuk menangani
limbah padat harus dapat bersinggungan secara langsung dengan sumber sampah.
Sebagai contoh, titik pengumpulan (drop box) limbah padat dapat diletakkan di
tingkat masing-masing ruangan untuk memudahkan petugas kebersihan dapat
mengumpulkan sampah padat. Pemilihan dan penempatan drop box juga harus
mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya yang ada.
Menciptakan dan meningkatkan kesadaran terkait dengan kerangka kebijakan
pada semua aktor dapat mendorong terjadinya peningkatan mekanisme pengaturan
pengelolaan limbah padat yang lebih efektif. Demikian pula halnya dengan
mekanisme sanksi terhadap para pelaku yang melanggar peraturan harus
mendapatkan efek jera. Beberapa tindakan dapat dijadikan menjadi alternatif solusi
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan aktor yang terkait dengan proses
pengelolaan limbah padat. Pada para pelaku usaha kantin pelaksanaan kesadaran akan
kebijakan juga dapat dilakukan sosialisasi agar dapat menekan terjadinya
pelanggaran. Program-program yang dapat ditawarkan antara lain memberi pelatihan
secara berkala bagi petugas kebersihan, pembuatan regulasi yang mengatur secara
ketat proses pengelolaan dan pengolahan limbah padat yang mengacu pada prinsip 3R
(Reduce, Reuse dan Recycling). Di samping itu, pimpinan FTUP dapat
mensosialisasikan program-program penyadaran hukum ke warga kampus terkait
dengan pengelolaan limbah padat.
Masih rendahnya keterlibatan antar seluruh warga kampus, dan masih
rendahnya koordinasi menjadi permasalahan tersendiri dalam pengelolaan limbah
padat. Belum ada sistem yang dapat mengkoordinasikan pelaksanaan pengelolaan
limbah padat. Sehingga, keberlanjutan kebijakan pada proses pengelolaan limbah
85
padat harus didukung dengan adanya perubahan yang mendasar pada mekanisme
koordinasi antar lembaga baik tingkat fakultas maupun program studi. Selain itu,
perlu diciptakan suatu ruang koordinasi tersendiri untuk meningkatkan keterlibatan
semua program studi dan bahkan jika memungkinkan dapat memasukkan pihak
swasta dalam program manajemen limbah padat di FTUP.
Kebijakan terhadap monitoring dan evaluasi pada prosedur pengelolaan
limbah padat yang masih sangat lemah baik juga perlu mendapatkan perhatian dari
pengambil kebijakan. Kebijakan yang ada pada pengelolaan limbah padat
menunjukkan kebutuhan untuk memantau dan mengevaluasi proses pengelolaan
limbah secara teratur. Kebijakan yang sudah ada perlu membuat atau
mengembangkan sistem atau lembaga organisasi yang memantau dan mengevaluasi
kinerja proses manajemen limbah padat. Melalui sistem informasi dapat memberikan
informasi terkait dengan aktivitas pengelolaan seperti organisasi atau lembaga
penanggung jawab, jenis limbah yang dikelola, kapasitas limbah yang dikelola dan
lain-lain. Dengan demikian setiap proses dalam pengelolaan limbah padat dapat
dimonitor dan dievaluasi prosedurnya.
Kebijakan terkait dengan mobilisasi belum ada mengingat pengelolaan limbah
padat merupakan hal yang masih baru di FTUP. Pengelolaan limbah padat
membutuhkan sumber daya seperti manusia, energi, dan finansial. Tanpa kehadiran
sumberdaya tersebut potensi risiko kegagalan pengelolaan akan pasti terjadi. Dengan
demikian perlu adanya kebijakan yang mengatur dan mengelola tentang mobilisasi
sumberdaya. Hal ini dapat dilakukan dengan bersinergi antara para aktor seperti
pimpinan universitas, fakultas, program studi, mahasiswa, pemilik kantin, dosen dan
mahasiswa.
4.5. Model Manajemen Faktor-Faktor Risiko yang Direkomendasikan Menjadi
Strategi Pengelolaan Limbah Padat yang Berkelanjutan.
Pada dasamya pemodelan dengan system dynamics memerlukan data
kuantitatif untuk melakukan simulasi dengan komputer. Namun tidak semua
fenomena, terutama fenomena sosial, dapat dikenali melalui pendekatan kuantitatif.
86
Wolstenholme (1990), mengusulkan untuk mengombinasikan pendekatan kuantitatif
dan pendekatan kualitatif untuk menyusun pemodelan dengan system dynamics
Kedua pendekatan ini dapat dikombinasikan secara harmonis dan saling mengkaitkan
ide-ide kualitatif dengan data kuantitatif, sehingga informasi dapat dikembangkan
secara lebih luas dan lebih komprehensif.
Penggunaan metode kualitatif dalam pemodelan system dynamics juga dapat
menginterpretasikan analisis data kuantitatif secara lebih jelas dan menyeluruh
mengenai kinerja sistem, mempeijelas struktur permasalahan, mengklarifikasi dan
melakukan pengecekan (triangulasi) data primer dan skunder. Teknik pendekatan
kualitatif yang dapat digunakan dalam pemodelan.
Pada tahap awal, penelitian ini dilaksanakan dengan studi kasus terhadap
manajemen risiko pengelolaan limbah padat. Pemilihan metode studi kasus ini
dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif mengenai latar belakang masalah
keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi
faktor-faktor tertentu yang bersifat apa adanya (given). Dengan awal penelitian
dengan studi kasus, maka akan didapat pemahaman mengenai kondisi eksisting
struktur manajemen risiko pengelolaan limbah padata serta memberikan gambaran
luas serta mendalam mengenai hal tersebut termasuk penjelasan mengenai unsur-
unsur serta pola keterkaitan antar unsur-unsur tersebut.
Selanjutnya penelitian ini ditujukan kepada pembuatan model manajemen
risiko pengelolaan limbah padata dengan menggunakan metode system dynamics.
Konstruksi struktur dan perilaku model dilakukan dengan menggunakan program
software Powersim Constructor. Kemudian dilakukan simulasi komputer terhadap
model tersebut untuk mempelajari pcrilaku dinamis dari model tcrscbut. Hasil dari
simulasi ini akan digunakan untuk membandingkan struktur serta perilaku model
dengan struktur dan perilaku sistem sebenarnya. Jika model yang didapat telah
dianggap dapat mewakili struktur yang teijadi pada dunia nyatanya, maka selanjutnya
akan model tersebut dapat digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan yang
tepat bagi pengendalian limbah padata yang diimplementasikan ke dalam model
dengan menambahkan unsur-unsur dan pola keterkaitan antar unsur yang baru ke
87
dalam model sebelurnnya dan kemudian mensimulasikan kembali model tersebut dan
dari hasil simulasi dapat dipahami implikasi dari kebijakan yang telah diambil.
Model yang akan dibangun dalam penelitian ini yaitu model manajemen risiko
pengelolaan limbah padata yang terdiri atas model system dynamics yang
komprehensif yang terdiri atas 5 sub model yaitu:
a. Sub model risiko teknologi
b. Sub model risiko sosial
c. Sub model risiko daur ulang
d. Sub model regulasi atau hukum
e. Sub model laju timbulan sampah
Masing-masing sub-model tersebut memerlukan data dan mempunyai dasar
perhitungan yang berbeda. Secara umum, dasar perhitungan pembuatan model dalam
penelitian menggunakan data pembahasan sebelumnya yaitu analisis risiko dengan
menggunakan metode Failure Mode effect Analysis (FMEA) dan analisis strategi
dengan menerapkan metode AHP. Untuk memudahkan memahami model yang akan
dibangun maka sebelumnya dibuat causal loop diagram model dari manajemen risiko
kegagalan pengelolaan limbah padat seperti gambar di bawah ini.
88
Gambar 4.20. Causal Loop Model Manajemen Risiko Pengelolaan Limbah Padat
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa kegagalan proses
pengelolaan limbah padat dipengaruhi oleh beberapa sub-faktor seperti risiko daur
ulang, total volume sampah organik dan total volume sampah organik. Pada sub
model risiko daur ulang dpat diketahui terdapat beberapa variabel yang memberikan
kontribusi seperti risiko sosial dan risiko teknologi. Risiko teknologi ini sangat
ditentukan oleh variabel kebijakan yang diberlakukan di FTUP. Selain itu variabel
kebijakan juga memberikan kontribusi pengaruhnya pada variabel sosial. Pengaruh
89
yang dimaksudkan disini dapat berupa peningkatan maupun penurunan nilai pada
variabel-variabelnya.
Selanjutnya pada total laju timbulan limbah padat organik yang akan
memberikan pengaruh pada laju timbulan limbah padat akan dipengaruhi oleh jumlah
sampah padat yang dihasilkan baik dari taman, kantin dan sampah makanan. Variabel
sampah padat ini dipengaruhi oleh jumlah mahasiswa di fakultas teknik dan jumlah
dosen atau staf di fakultas teknik. Pada variabel mahasiswa juga dipengaruhi oleh laju
pertumbuhan mahasiswa yang masuk ke fakultas teknik Universitas Pancasila.
Berdasarkan hal tersebut selanjutnya dibuat stock flow diagram (SFD dan
model yang dihasilkan pada masing-masing sub-model. Berikut adalah hasil luaran
dari sub model laju timbulan sampah yang ditampilkan dalam Gambar 4.21.
Gambar 4.21. Sub Model Laju Timbulan Sampah
Dari hasil pengolahan data diperoleh gambaran dari sub-model laju timbulan
sampah pada Gambar 21. Selanjutnya, gambar tersebut juga memberikan informasi
bahwa model laju timbulan sampah dipengaruhi oleh volume sampah yang masuk
seperti organik dan anorganik. Pada elemen sampah organic dipengaruhi oleh sampah
makanan yang berasal dari kantin atau gedung fakultas teknik dan sampah daun dari
taman di depan gedung FTUP. Sementara itu, untuk sampah anorganik dibentuk oleh
elemen-elemen plastik, botol, kertas dan logam. Selain itu, dari model yang diperoleh
90
dari hasil pengolahan juga menunjukkan bahwa laju timbulan sampah mengalami
kenaikan selama kurun 11 tahun (2019-2030).
Pada sub model risiko teknologi pada Gambar 4.22 diperoleh keterangan
bahwa sub model ini mengalami penurunan mulai tahun 2022. Hal ini disebabkan
karena adanya pengaruh yang signifikan dari sub elemen regulasi, keamanan alat,
jumlah alat, tempat pembuangan dan infrastruktur teknis. Berdasarkan hasil
pengolahan dapat diketahui bahwa risiko teknologi mengalami penurunan sampai
tahun 2030. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya penurunan risiko disebabkan
oleh pengaruh risiko regulasi yang memiliki hubungan dengan risiko teknologi.
Gambar 4.22. Sub Model Risiko Teknologi
Untuk sub model risiko sosial sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar
4.23 diperoleh keterangan bahwa risiko kegagalan mengalami kenaikan yang
signifikan selama kurun waktu 11 tahun. Nilai awal dari risiko sub model sosial
adalah sebesar 2002 yang mengalami kenaikan pada tahun 2030 sebesar 395307. Jika
ditinjau dari Gambar 4.20 dimana sub model sosial ini dibentuk oleh hubungan causal
dari beberapa elemen atau unsur seperti kerentanan wilayah, persepsi dan partisipasi
warga kampus serta konflik sosial. Secara struktur model yang dibangun dari sub
model ini mengikuti logika berpikir bahwa risiko akan mengalami kenaikan jika tidak
ada intervensi program sebagai pengendalinya.
91
Gambar 4.23. Sub Model Risiko Sosial
Gambar 4.23. Sub Model Risiko Daur Ulang
Pada gambar 4.23 dapat diperoleh informasi terkait dengan sub model risiko
daur ulang. Dimana berdasarkan Gambar 4.20 sebelumnya dapat diketahui risiko daur
ulang merupakan hasil hubungan dari beberapa unsur seperti, skill dan kompetensi
pekerja, metode kerja, fasilitas kerja dan lokasi daur ulang. Berdasarkan hubungan
tersebut dapat diketahui bahwa risiko akan mengalami kenaikan sepanjang tidak ada
intervensi sebagai tindakan pencegahan. Lebih lanjut, dari hasil pengolahan dapat
diketahui bahwa nilai awal dari risiko ini adalah sebesar 2.242 dan dalam kurun
waktu 11 tahun menjadi 199.672.
92
Gambar 4.24 Stock Flow Diagram Laju Timbulan Sampah FTUP
93
Gambar 4.24 menjelaskan aliran stok terkait dengan potensi risiko
kegagalan pengelolaan limbah padat di Universitas Pancasila. Selanjutnya, dari
diagram tersebut dapat diketahui bahwa volume sampah organik dan anorganik
terdiri dari berbagai karakteristik seperti makanan, sampah dari taman, plastik,
kertas dan botol. Jumlah volume dari sampah yang akan dikirim ke Tempat
Pembuangan Sementara dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kemampuan
teknologi dalam proses daur ulang, adanya kebijakan atau regulasi yang telah ada
di Universitas Pancasila, dampak sosial yang berpotensi muncul dan aktivitas daur
ulang yang dilakukan oleh petugas kebersihan.
Selanjutnya berdasarkan model risiko pada masing-masing faktor, maka
selanjutnya dilakukan validasi model.
Proses validitasi model ditujukan untuk menguji substansi model yang
dirancang untuk mengetahui sejauh mana model yang dibuat dalam lingkup
aplikasinya memiliki kemampuan kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten
dengan tujuan yang telah direncanakan dari pembuatan aplikasi model. Menurut
Sargent (1998), atribut yang gunakan dalam proses validitasi sangat dipengaruhi
oleh kondisi sistem yang digunakan dalam model tersebut apakah dapat
diobservasi atau tidak dapat diobservasi.
Guna mendapatkan hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-
persyaratan yang telah ditetapkan perlu dilakukan validasi (Hartrisari, 2007)
terhadap model risiko pengelolaan limbah padat. Validasi struktur model
dilakukan untuk melihat sejauh mana kesesuaian struktur model dengan struktur
nyata, yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem,
dan asumsi mengenai interaksi yang terjadi dalam sistem. Validasi struktur
dilakukan dengan dua bentuk pengujian, yaitu; uji kesesuaian struktur dan uji
kestabilan struktur. Sementara validasi kinerja model adalah aspek pelengkap
dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh
mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat
sebagai model ilmiah yang taat fakta.
Uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model
tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata
dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan. Uji kesesuaian
94
struktur bertujuan untuk memberi keyakinan bahwa struktur model yang dibangun
valid secara ilmiah. Struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub model
teknologi menggambarkan interaksi antara komponen adalah lokasi daur ulang,
infrastruktur, teknologi manual, keamanan dan keselamatan alat serta jumlah
teknologi pada kondisi eksisting. Dengan demikian, hubungan antara peubah
teknologi manual dan keselamatan alat yang dihasilkan haruslah bersifat positif.
Demikian pula hubungan antara peubah lokasi daur ulang yang dipengaruhi oleh
infrastruktur juga bersifat positif. Dalam model yang dibangun antar peubah
tersebut haruslah dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan risiko kegagalan
pengelolaan limbah yang diakibatkan oleh sub faktor teknologi.
Struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub model sosial
menggambarkan interaksi antara komponen adalah persepsi dan partisipasi
masyarakat, konflik sosial dan kerentanan daerah pada kondisi eksisting. Dengan
demikian, hubungan antara peubah persepsi dan partisipasi masyarakat dan faktor
konflik sosial yang dihasilkan haruslah bersifat positif. Demikian pula hubungan
antara peubah konflik sosial yang saling mempengaruhi dengan faktor kerentanan
daerah juga bersifat positif. Dalam model yang dibangun antar peubah tersebut
dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan risiko kegagalan pengelolaan limbah yang
disebabkan oleh sub faktor sosial.
Sementara itu, pada struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub
model regulasi atau hukum menggambarkan interaksi antara komponen kepatuhan
hukum, pengelolaan data, konflik kebijakan dan dukungan pimpinan pada kondisi
eksisting. Hubungan secara langsung antara peubah kepatuhan hukum dan
pengelolaan menghasilkan nilai yang bersifat positif. Demikian pula hubungan
antara peubah kepatuhan hukum yang dipengaruhi oleh risiko kegagalan
dukungan politik dan konflik kebijakan juga bersifat positif. Dalam model yang
dibangun antar peubah tersebut haruslah dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan
risiko kegagalan pengelolaan limbah dari sudut pandang risiko regulasi atau
hukum.
Lebih lanjut, pada struktur model pengelolaan risiko kegagalan pada sub
model daur ulang menggambarkan interaksi antara komponen metode kerja yang
dipengaruhi oleh skill dan kompetensi pekerja pada kondisi eksisting. Hubungan
95
tersebut dapat menghasilkan nilai yang bersifat positif. Demikian pula hubungan
antara peubah lokasi daur ulang yang tidak tersentralisasi yang dipengaruhi oleh
risiko kegagalan fasilitas daur ulang yang tidak memadai juga bersifat positif.
Dalam model yang dibangun antar peubah tersebut haruslah dapat dibuktikan
kesesuaiannya dengan risiko kegagalan pengelolaan limbah dari sudut pandang
risiko daur ulang.
4.6.Penyusunan Skenario Pengendalian Risiko Kegagalan Pengelolaan
Limbah Padat
Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang
memungkinkan dapat dilakukan dalam kondisi nyata yang ada di lapangan.
Skenario pengendalian risiko pengelolaan limbah padat dirancang berdasarkan
pada hasil analisis risiko dan analisis perumusan strategi pengelolaan. Analisis ini
dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan
dengan cara memperbaiki atau memberikan intervensi pada faktor-faktor risiko
yang berperan penting terhadap berbagai peningkatan potensi negatif atau risiko
yang akan terjadi di masa depan. Dari beberapa alternatif kebijakan, diambil
kebijakan terbaik dengan melihat perilaku model yang paling menguntungkan
dilihat dari sisi keberlanjutan pengelolaan risiko limbah padat di Universitas
Pancasila.
Skenario manajemen risiko pengelolaan limbah padat dibuat berdasarkan
perkiraan responden pakar mengenai kondisi faktor risiko di masa mendatang.
Dari perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor penting tersebut di masa
mendatang, disusun skenario yang mungkin terjadi di daerah penelitian. Hasil
perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa datang, selanjutnya
dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar kondisi faktor tersebut. Dari
kombinasi antar kondisi faktor tersebut, didapatkan tiga skenario yang diberi
istilah dengan skenario (1) optimistik, (2) moderat, dan (3) eksisting (aktual).
Proses intervensi pada masing-masing skenario dilakukan dalam rangka
mengetahui seberapa besar perubahan yang akan terjadi pada faktor risiko. Proses
intervensi didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti skenario eksisting,
moderat dan optimis. Pada masing-masing pertimbangan tersebut memiliki
96
perbedaan aktivitas. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan berdasarkan
alternatif yang diperoleh dari penyelesaian pada pembahasan di AHP, antara lain:
1. Kerjasama antar stakeholder, intervensi ini dapat dilakukan dengan
mendorong kerjasama dengan beberapa stakeholder internal maupun
eksternal yang terkait dengan pengelolaan limbah. Stakeholder internal
seperti kerjasama antar program studi, antar fakultas, lembaga
kemahasiswaan, masyarakat, pimpinan fakultas, pimpinan universitas dan
kantin. Sementara itu, kerjasama antar stakeholder eksternal dapat
bekerjasama dengan dinas lingkungan hidup atau industry-industri.
Kerjasama yang dilakukan dapat berupa:
a. Pendampingan melalui program peningkatan pengembangan kesadaran
pengelolaan limbah padat.
b. Kerjasama antar program studi dan fakultas dalam rangka peningkatan
inovasi proses daur ulang limbah padat
c. Kerjsaama dengan industri manufaktur untuk mengembangkan dan
meningkatkan konsep Extended Producer Responsibility
d. Kerjasama antar fakultas dan lembaga rektorat dalam rangka amandemen
regulasi dan proses monitoring pelaksanaan regulasi yang dihasilkan.
2. Pendataan potensi limbah, intervensi ini dapat dilakukan dalam rangka
memperoleh gambaran secara detail terkait dengan jumlah dan jenis limbah
padat yang dihasilkan oleh masing-masing fakultas. Beberapa aktivitas yang
dapat dilakukan antara lain:
a. Pengembangkan system basis data limbah padat baik secara manual pada
masing-masing fakultas.
b. Pemanfaatan teknologi padat melalui system informasi manajemen
limbah padat sebagai jawaban adanya tantangan Industry 4.0
3. Peningkatan pengembangan kesadaran masyarakat kampus, intervensi ini
dilakukan dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat di Universitas
Pancasila agar memiliki pengetahuan terkait limbah padat dan dampaknya.
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:
a. Penyebaran informasi baik melalui media informasi cetak, padat dan
media sosial terkait tentang limbah padat dan dampaknya
97
b. Melaksanakan penyuluhan secara berkala oleh dinas lingkungan hidup
pada masing-masing prodi atau fakultas
c. Memberikan pengetahuan bagi penyewa kantin terkait upaya-upaya
pengelolaan limbah padat yang lebih ramah lingkungan
4. Pengembangan inovasi teknologi, limbah padat memiliki karakteristik yang
berbeda secara fisik yang berarti bahwa pengolahan yang tepat untuk setiap
jenis limbah padat memerlukan teknologi yang sangat spesifik. Perbedaan
ukuran dan bobot membuat pengumpulan, pemisahan, dan transfer limbah
padat lebih sulit. Beberapa inovasi teknologi untuk pengolahan limbah padat
antara lain, composting, biodigester, maupun pembangkit listrik tenaga
sampah
5. Perbaikan regulasi dan monitoring, intervensi ini diarahkan untuk mengurangi
risiko negatif yang ditimbulkan dari pengelolaan limbah padat. Beberapa
aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:
a. Membuat regulasi yang tentang limbah padatdan audit lingkungan yang
mengacu pada peraturan nasional dalam pengelolaan limbah padat.
Regulasi ini akan mengatur terkait dengan system pengumpulan,
pewadahan, pemindahan dan proses daur ulang.
b. Peningkatan penegakan hukum melalui proses pengawasan, monitoring
dan evaluasi melalui kerjasama dengan stakeholder yang terkait.
Berdasarkan uraian terkait dengan aktivitas intervensi yang dapat
dilakukan dalam rangka mengurangi risiko yang dapat ditimbulkan dari proses
pengelolaan limbah padat. Selanjutnya, terkait dengan skenario dari model yang
dibangun maka terdapat tiga skenario yang dapat dikembangkan yaitu aktual,
moderat dan optimis. Skenario aktual merupakan kondisi eksisting dari model
yang dibangun tanpa adanya intervensi suatu program. Skenario Moderat
merupakan perubahan terhadap model dengan memasukkan atau mengintervensi
model melalui program yang besaran nilainya hanya sebagian kecil saja (kurang
dari 50%). Skenario Optimis merupakan kondisi maksimal yang diinginkan
dengan memasukkan atau mengintervensi melalui suatu program dengan
98
maksimal. Dengan mengambil beberapa asumsi maka dapat ditentukan nilai dari
masing-masing skenario tersebut yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 46. Besar Nilai Masing-Masing Skenario
No Intervensi Skenario Asumsi
Eksisting Moderat Optimis
1 Kerjasama
antar
stakeholder
0 0-40% 40-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi
pada kerjasama antar stakeholder ada 5
program. Skenario pesimis dianggap
tidak melakukan intervensi. Skenario
moderat melakukan intervensi dengan
melaksanakan 1-2 program. Skenario
optimis jika melakukan intervensi >2
program
2 Pendataan
potensi
limbah
0 50% 50-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi
pada pendataan potensi limbah ada 2
program. Skenario pesimis dianggap
tidak melakukan intervensi. Skenario
moderat melakukan intervensi dengan
melaksanakan 1 program. Skenario
optimis jika melakukan intervensi 2
program
3 Peningkatan
pengemban
gan
kesadaran
masyarakat
kampus
0 30% 30-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi
pada pendataan potensi limbah ada 3
program. Skenario pesimis dianggap
tidak melakukan intervensi. Skenario
moderat melakukan intervensi dengan
melaksanakan 1 program. Skenario
optimis jika melakukan intervensi
seluruh program
4 Pengemban
gan inovasi
teknologi
0 30% 30-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi
pada pendataan potensi limbah ada 3
program. Skenario pesimis dianggap
tidak melakukan intervensi. Skenario
moderat melakukan intervensi dengan
melaksanakan 1 program. Skenario
optimis jika melakukan intervensi
seluruh program
5
6 Perbaikan
regulasi dan
monitoring,
0 50% 50-100% Asumsinya adalah jumlah intervensi
pada pendataan potensi limbah ada 2
program. Skenario pesimis dianggap
tidak melakukan intervensi. Skenario
moderat melakukan intervensi dengan
melaksanakan 1 program. Skenario
optimis jika melakukan intervensi 2
program
99
4.6.1. Skenario Eksisting (Aktual)
Skenario pesimistik dibangun berdasarkan kondisi dari faktor-faktor dalam
pengelolaan limbah padat yang berpotensi mengalami kegagalan proses. Dengan
mengambil asumsi bahwa dalam skenario awal dengan tidak mengadakan
perubahan kebijakan (do nothing). Alternatif ini diambil sebagai pembanding
dalam pengambilan alternatif kebijakan lainnya, juga sebagai alternatif kebijakan
apabila kebijakan lainnya kenyataannya tidak lebih baik dari yang sudah ada
sekarang. Dalam pemilihan alternatif kebijakan ini tidak ada perubahan parameter
yang dilakukan. Berikut hasil simulasi yang ditampilkan dalam skenario tanpa ada
intervensi perubahan kebijakan.
Berdasarkan hal di atas dapat diketahui simulasi model risiko faktor-faktor
pengelolaan limbah padat tanpa adanya intervensi atau perubahan. Lebih lanjut,
dapat diketahui pula bahwa seluruh faktor risiko diprediksi dalam 10 tahun akan
mengalami peningkatan risiko yang signifikan. Sebagai contoh dari faktor-faktor
yang telah diindentifikasikan dalam pengelolaan limbah padat seperti teknologi,
sosial, regulasi, dan daur ulang. Secara keseluruhan faktor-faktor tersebut dapat
disimpulkan bahwa terjadi potensi risiko kegagalan pengelolaan limbah padat
dimana nilai risiko yang mengalami peningkatan.
Gambar 4.25 Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat Pada
Kondisi Eksisting (Actual)
Kegagalan proses pengelolaan limbah juga sangat dipengaruhi oleh
beberapa sub faktor yang terdapat dalam model tersebut. Hubungan masing-
19 20 21 22 23 24 25
0
50,000
100,000
Tim
bu
lan
sa
mp
ah
FT
UP
Time Timbulan sampah FTUP
Jan 1, 2019
Jan 1, 2020
Jan 1, 2021
Jan 1, 2022
Jan 1, 2023
Jan 1, 2024
Jan 1, 2025
Jan 1, 2026
0.00
1,179.56
5,060.12
13,308.68
27,592.24
49,577.80
80,932.36
123,322.92
100
masing sub faktor terhadap peningkatan risiko pengelolaan limbah padat dapat
terjadi secara langsung dan tidak langsung. Sebagai contoh, risiko pengelolaan
limbah padat ini dipengaruhi secara langsung dari faktor daur ulang. Berdasarkan
hasil evaluasi risiko menunjukkan bahwa kegagalan proses daur ulang dapat
dikategorikan cukup tinggi sehingga perlu mendapatkan intervensi. Tingginya
nilai risiko pada daur ulang ini dipengaruhi oleh rendahnya faktor teknologi.
Ketiadaan faktor teknologi yang dapat melakukan proses daur ulang limbah padat
dapat memunculkan potensi risiko yang tinggi. Akan tetapi, pada faktor teknologi
sendiri juga tidak dapat berdiri sendiri karena ketidakhadiran faktor teknologi
dalam proses pengelolaan disebabkan oleh regulasi yang mengatur pemanfaatan
teknologi dan dukungan finansial. Hal ini secara teori terdapat kesesuaian bahwa
apabila faktor-faktor pengelolaan limbah padat masih dalam kondisi tidak
terkelola dengan baik maka akan berpotensi menimbulkan masalah bagi
lingkungan dan kesehatan manusia.
4.6.2. Skenario Moderat
Skenario moderat mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan
yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan
keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki saat ini. Skenario ini
dibangun berdasarkan faktor risiko dengan kondisi sebagai berikut tingginya nilai
risiko pada faktor risiko teknologi yang dipengaruhi oleh risiko kegagalan
regulasi.
Adapun nilai-nilai yang digunakan dalam variabel intervensi ini
merupakan hasil pembobotan pada sub bagian pembahasan sebelumnya di analisa
hirarki keputusan (AHP). Adapun model secara keseluruhan dari causal loop
diagram pada simulasi model risiko pengelolaan limbah padat dengan kondisi
moderat ditunjukkan pada Gambar 4.26.
101
Gambar 4.26 Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat Pada Kondisi Moderat
Pada Gambar di atas memberikan informasi simulasi model pertama risiko
pengelolaan limbah limbah padat memasukkan usulan perbaikan melalui
intervensi teknologi daur ulang sebesar 50% pada beberapa sub model risiko.
Sebagai contoh, untuk menekan atau menurunkan laju timbulan limbah padat
dapat dilakukan dengan menerapkan konsep 3R (Reduce, Reuse dan Recycling).
Penerapan 3R dapat dilakukan pada setiap program studi. Misalnya mengurangi
penggunaan kertas pada proses administrasi dapat mengurangi terjadinya limbah
padat kertas. Selain itu, pengurangan sampah plastik dari air kemasan botol dapat
dilakukan dengan mewajibkan mahasiswa maupun para tenaga pendidik untuk
membawa tumbler. Selain itu, teknologi daur ulang dapat menggunakan
composting pada limbah padat organic. Beberapa pilihan yang dapat dilakukan
antara lain, keranjang takakura, bio-digester dan lain-lain. Di negara maju telah
menerapkan pengembangan teknologi composting dalam rangka mendukung
Keterangan:
Intervensi Teknologi Auxilary Konstan Link
102
pembangunan fasilitas daur ulang yang disesuaikan dengan kondisi suatu wilayah
atau negaranya. Adapun hasil dari intervensi regulasi pada model risiko kegagalan
pengelolaan limbah padat ditunjukkan pada Gambar 4.27 di bawah ini.
Gambar 4.27 Hasil Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat
Pada Kondisi Moderat
Gambar di atas menjelaskan intervensi teknologi daur ulang pada model
risiko pengelolaan limbah padat dalam kondisi moderat (> 50% dari program
pengurangan limbah). Lebih lanjut, pada grafik tersebut memberikan gambaran
adanya perbedaan garis, dimana garis yang berwarna merah adalah kondisi
dimana tidak ada intervensi atas pengelolaan limbah padat. Sedangkan yang
berwarna hijau merupakan garis yang menunjukkan intervensi yang dimasukkan
pada beberapa sub-model faktor-faktor risko. Lebih lanjut, kedua garis tersebut
menunjukkan bahwa risiko kegagalan pengelolaan limbah padat tetap mengalami
kenaikan. Akan tetapi, pada garis hijau menunjukkan adanya perbedaan nilai atas
model tersebut. Sebagai contoh, pada tabel tersebut mulai tahun 2020 sampai
tahun 2026 menunjukkan perubahan yang berarti pada volume limbah padat.
Time Timbulan sampah FTUP Copy of Timbulan sampah FTUP
Jan 1, 2019
Jan 1, 2020
Jan 1, 2021
Jan 1, 2022
Jan 1, 2023
Jan 1, 2024
Jan 1, 2025
Jan 1, 2026
0.00
1,179.56
5,060.12
13,308.68
27,592.24
49,577.80
80,932.36
123,322.92
0.00
328.06
1,771.33
4,046.68
7,204.42
11,628.24
18,035.23
27,475.87
103
4.6.3. Skenario Optimistik
Selanjutnya, model ini kemudian ditingkatkan dengan menggunakan
skenario optimistik yaitu memasukkan intervensi lainnya tanpa menghilangkan
intervensi teknologi. Hal ini dapat diartikan bahwa selama pelaksanaan
pengelolaan limbah padat telah melaksanakan program 3R pada masing-masing
program studi. Dengan memasukkan intervensi lainnya diharapkan diperoleh
model yang lebih baik. Lebih lanjut, dengan memasukkan intervensi lanjutan
berupa perbaikan regulasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat kampus pada
pengelolaan limbah padat diharapkan didapatkan nilai penurunan risiko kegagalan
yang lebih signifikan. Adapun gambar SFD dari intervensi yang baru ditampilkan
pada Gambar 4.28 berikut ini:
Gambar 4.28. Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat Pada Kondisi Optimis
Keterangan:
Intervensi Teknologi Auxilary Konstan Link
Regulasi Peningkatan kesadaran
104
Gambar merupakan simulasi model risiko pengelolaan limbah dengan
memasukkan beberapa intervensi seperti regulasi atau hukum. Intervensi
perbaikan regulasi dimasukkan pada sub model faktor risiko sosial untuk
mengurangi risiko kerentanan wilayah. Selain itu, intervensi regulasi juga
dimasukkan ke sub model daur ulang dan sub model regulasi. Secara konseptual
hal ini memungkinkan dilakukan mengingat aktivitas pengelolaan limbah padat
belum berjalan secara optimal.
Gambar 4.29. Hasil Simulasi Model Pengelolaan Limbah Padat
Pada Kondisi Optimis
Gambar 4.29 menjelaskan beberapa intervensi seperti inovasi teknologi,
regulasi dan peningkatan kesadaran masyarakat kampus pada model risiko
pengelolaan limbah padat. Gambar stock flow diagram menghasilkan gambaran
simulasi model pengelolaan limbah padat pada kondisi optimis. Lebih lanjut, pada
grafik tersebut memberikan gambaran adanya perbedaan garis, dimana garis yang
19 20 21 22 23 24 25
0
50,000
100,000
Timbulan sampah FTUP
Copy of Timbulan sampah FTUP
Time Timbulan sampah FTUP Copy of Timbulan sampah FTUP
Jan 1, 2019
Jan 1, 2020
Jan 1, 2021
Jan 1, 2022
Jan 1, 2023
Jan 1, 2024
Jan 1, 2025
Jan 1, 2026
0.00
1,179.56
5,060.12
13,308.68
27,592.24
49,577.80
80,932.36
123,322.92
0.00
-156.29
709.52
2,360.22
4,892.00
8,734.47
14,650.60
23,736.79
105
berwarna merah adalah kondisi dimana tidak ada intervensi atas pengelolaan
limbah padat. Sedangkan yang berwarna merah merupakan garis yang
menunjukkan intervensi yang dimasukkan pada beberapa sub-model faktor-faktor
risko. Lebih lanjut, kedua garis tersebut menunjukkan bahwa risiko pengelolaan
limbah padat tetap mengalami kenaikan. Akan tetapi, pada garis merah
menunjukkan adanya perbedaan nilai atas model tersebut. Dengan demikian
berdasarkan hasil simulasi ini memberikan gambaran bahwa intervensi optimistic
dapat menurunkan risiko kegagalan proses pengelolaan limbah padat.
4.6.4. Model Konseptual
Kebijakan publik merupakan kebutuhan setiap negara, khususnya dalam
konteks pemerintahan yang dapat mendorong atau menekan aktivitas masyarakat
pada satu negara. Kebijakan publik dibuat oleh organisasi publik (pemerintah),
sehingga pemerintah sebagai pengambil keputusan dapat mengarahkan
masyarakat mencapai tujuan publik tertentu (Dunn 2001). Model kebijakan publik
tertinggi di daerah berupa peraturan daerah. Peran setiap negara/daerah
(pemerintah pusat/daerah) semakin penting dalam rangka membangun daya saing
global bagi negara atau daerahnya. Dalam pencapaiannya sangat tergantung pada
kebijakan publik yang ditetapkan (Miraza 2005).
Kebijakan publik dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi
terhadap isu atau masalah publik. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik adalah
(Suharto 2007):
1) Intensional atau memiliki tujuan, yaitu pencapaian tujuan pemerintah
melalui penerapan sumber-sumber publik;
2) Menyangkut pembuatan keputusan-keputusan dan pengujian konsekuensi-
konsekuensi;
3) Terstruktur dengan para stakeholder dan langkah-langkahnya yang jelas
dan terukur;
4) Bersifat politis yang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas
program lembaga eksekutif
Analisis kebijakan manajemen risiko pengelolaan limbah padat sangat
kompleks sehingga diperlukan strategi yang sistematis untuk mengurangi
106
kegagalan dampak kebijakan. Pendekatan sistem digunakan untuk merumuskan
kompleksitas perihal kebijakan secara terstruktur dan terarah. Perumusan model
kebijakan strategis pengelolaan limbah padat yang berkelanjutan didasarkan pada
empat tema sustainable development COMHAR yaitu: kepuasan kebutuhan
manusia dengan efisiensi penggunaan sumberdaya (satisfaction of human needs
by the efficient use of resource), menghargai integritas ekologi dan
keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity and biodiversity),
keadilan sosial (social equity) serta pengambilan keputusan yang tepat (good
decision making) (Comhar 2007).
Berdasarkan hal tersebut dan situasi pengelolaan limbah padat terutama
dalam penanganan dampak risiko yang diperoleh perumusan model kebijakan
pengelolaan limbah padat yang berkelanjutan. Prinsip dasar pengelolaan limbah
padat adalah mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan terganggunya
kesehatan manusia.
Dalam pendekatannya, perumusan model ini memiliki beberapa konsep penting,
yaitu:
1) Struktur model kebijakan melibatkan elemen pemerintah, Industri
manufaktur, Sektor informal, lembaga swadaya masyarakat dan
masyarakat;
2) Peranan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator kegiatan pengelolaan
lingkungan baik fisik maupun biologik;
3) Payung hukum kebijakan pengelolaan lingkungan tidak terpisah secara
parsial;
4) Tujuannya perhatian terhadap kualitas lingkungan dan minimalisasi risiko.
Beberapa pertimbangan lain yang mendasari perumusan model
pengelolaan limbah padat tersebut adalah:
1. Jangka waktu pelaksanaan
Perencanaan dalam manajemen risiko pengelolaan limbah padat dengan
jangka waktu yang pendek dan dilakukan selama aktivitas pengelolaannya.
Sedangkan dalam pengelolaan limbah padat perencanaan digunakan untuk
jangka waktu yang panjang sampai menurunnya risiko yang terjadi.
107
2. Dana
Pembiayaan pengelolaan limbah padat didasarkan pada anggaran yang
dapat dihitung berdasarkan tingkat biaya efektif dan rencana pencapaian
targetnya.
3. Tata Laksana
Manajemen limbah padat merupakan tanggung jawab semua pihak yang
terlibat dalam pengelolaan limbah padat untuk mencegah kerusakan
lingkungan, sehingga dalam pelaksanaan dilakukan oleh seluruh
stakeholder.
4. Teknologi
Penerapan teknologi dalam pengelolaan limbah padat terarah pada
penerapan teknik daur ulang limbah padat yang ramah lingkungan.
Penggunaan teknologi yang tepat dapat menurunkan risiko sehingga
kerusakan lingkungan minimal.
Berdasarkan hasil identifikasi struktur model diperoleh model konseptual
pengelolaan limbah padat di DKI Jakarta. Model manajemen limbah padat
tersebut memiliki sasaran untuk mencegah terjadinya potensi risiko yang
didukung kebijakan Universitas Pancasila dalam pengelolaan lingkungan melalui
penyediaan dana operasional. Dalam teknis pelaksanaannya Universitas Pancasila
dapat melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten terhadap pengelolaan
limbah padat. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kepedulian pengelolaan
lingkungan serta penguatan ekonomi masyarakat. Tanggung jawab Universitas
Pancasila dalam pemenuhan kepuasan kebutuhan masyarakat kampus dilakukan
dengan pengelolaan sumberdaya secara efisien dan bertanggung jawab. Selain itu,
adanya kesadaran untuk menjaga keutuhan ekologi dan keanekaragaman hayati
dalam aktivitas daur ulang.
Upaya pengelolaan limbah padat didasarkan pada beberapa landasan
hukum pengelolaan limbah padat UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, PP Nomor 101 /2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, UU
Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Perda DKI Jakarta No. 3
Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.
108
284 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi DKI Jakarta. Regulasi tersebut merupakan model kebijakan strategis
dalam pengelolaan limbah padat yang didukung dengan ketentuan standar/baku
mutu lingkungan.
Peraturan perundang-undangan yang sesuai dan persyaratan peraturan
terkait perlu ditetapkan oleh Universitas Pancasila untuk memandu pelaksanaan
strategi pengelolaan limbah secara nasional dan rencana aksi. Terdapat beberapa
prioritas yang dapat dilakukan:
a. Menetapkan standar dan metode yang diperlukan untuk pengelolaan aliran
limbah padat
b. Menetapkan dasar hukum untuk mengarahkan praktik kewajiban tanggung
jawab yang luas bagi seluruh sivitas akademika
c. Menentukan parameter dasar dan pedoman infrastruktur untuk menerapkan
sistem pengelolaan limbah padat, termasuk klasifikasi pemisahan, opsi
pengolahan menengah, dan pembuangan akhir,
d. Menerbitkan persyaratan untuk perizinan dan ketentuan untuk tanggung
jawab hukum terkait dengan mengatasi masalah lingkungan seperti masalah
udara dan air yang terkait dengan fasilitas pengelolaan limbah, jenis dan
karakteristik konstruksi tempat pembuangan dan operasi insinerator
e. Mengembangkan kerangka kerja hukum dan peraturan yang mendukung,
antara lain: menetapkan jumlah dan frekuensi pengumpulan biaya limbah;
mendelegasikan wewenang kepada otoritas terkait sehubungan dengan
mengawasi pelaksanaan audit limbah reguler; mengamanatkan pengumpulan
dan penyerahan informasi dan data yang relevan secara tepat waktu; dan
menjabarkan target kinerja pengelolaan limbah secara khusus untuk institusi
dan lembaga pemerintah
f. Melembagakan program kepatuhan dan penegakan akan sangat penting untuk
keberhasilan pelaksanaan strategi dan rencana aksi.
Dengan demikian kebijakan pelaksanaan dan pemantauan regulasi harus
berlandaskan mekanisme evaluasi periodik. Evaluasi dilakukan melalui
konsensus, terutama pendapat pakar mengenai ketentuan pengelolaan limbah
padat tersebut. Dalam evaluasi dilakukan konsultasi antar pihak untuk mencapai
109
suatu stakeholders engagement yang dapat memberikan informasi kepada industri,
pemerintah serta masyarakat.
Berdasarkan hasil verifikasi terhadap rekomendasi model pengelolaan
limbah padat yang berkelanjutan perlu segera ditindaklanjuti oleh seluruh sivitas
akademika dan stakeholder yang ada di Universitas Pancasila terutama dalam hal:
1. Pihak Universitas Pancasila mengkaji ulang pelaksanaan undang-undang
pengelolaan limbah padat dan regulasi lain yang belum secara spesifik
memuat atau mengatur pengelolaan limbah padat. Selain itu, Universitas
Pancasila juga mengupayakan adanya penegakan hukum untuk mendorong
seluruh sivitas akademika yang terkait serta stakeholder lainnya seperti
kantin dan petugas kebersihan untuk membangun kerjasama secara
terintegrasi guna pelaksanaan pengembangan masyarakat (community
development) yang sesuai kondisi Universitas Pancasila. Inovasi teknologi
yang ramah lingkungan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan
industry manufaktur.
2. Bagi sivitas akademika dapat melakukan pencegahan limbah yang
mungkin lebih baik daripada opsi pengelolaan limbah lainnya termasuk
daur ulang. Menggunakan kembali limbah padat untuk digunakan kembali
memperpanjang umur produk berharga dan membuat produk padat bekas
keluar dari sistem pengelolaan limbah untuk waktu yang lebih lama.
110
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Survei yang dilakukan selama 10 hari mulai dari tanggal 1 – 10 Oktober
2019 dengan mengambil beberapa sampel limbah padat yang berasal dari
gedung Fakultas Teknik diperoleh total limbah sebesar 1179,56 Kg atau
sekitar 0,5 kg per orang. Survei juga menunjukkan bahwa sampah
makanan (organik) merupakan karakteristik limbah padat terbesar yaitu
sekitar 51%, disusul oleh sampah plastik sebanyak 26%, kertas sebesar
15%, sampah daun/kayu sebesar 7%, Kaleng sebesar 1% dan botol kaca
sebesar 0%.
2. Sebagian besar mahasiswa memiliki pengetahuan yang sangat baik terkait
dengan sampah. Mahasiswa FTUP, menyatakan setuju jika di kampus
terdapat tempat sampah, kampus melakukan pemilahan sampah,
mengurangi jumlah timbulan sampah untuk meminimumkan kerugian
akibat sampah, kampus menggunakan barang-barang yang dapat
digunakan kembali untuk mengurangi produksi sampah, dan tidak
membuang sampah yang dapat digunakan kembali. Seluruh responden
membuang sampah di tempat sampah (95%), sisanya 2% dan 3%
responden membuang sampah di kolong meja dan di sembarang tempat
3. Beberapa faktor risiko telah terindentifikasi seperti teknologi,
regulasi/hukum, sosial, daur ulang dan finansial. Nilai risiko (RPN)
tertinggi adalah sebesar 900 pada sub-faktor Infrastruktur teknis, Kepatuhan
hukum dan Dukungan pimpinan dengan RPN sebesar 729, Keamanan dan
keselamatan alat dengan RPN 720. Hal ini mengindikasikan risiko kegagalan
pengelolaan sampah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila sangat
tinggi.
Rank 1 : Inovasi teknologi daur ulang (bobit 0,429)
Rank 2 : Pengembangan regulasi tentang pengelolaan limbah padat
(bobot 0,230)
Rank 3 : Peran serta pihak swasta (bobot 0,223)
111
Rank 4 : Sosialisasi pada warga kampus dari pihak terkait (bobot
0,122)
4. Hasil analisis menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa alternatif
solusi untuk pengelolaan limbah padat di Universitas Pancasila adalah
melakukan inovasi teknologi daur ulang dengan bobot 0.429,
pengembangan peraturan atau regulasi tentang pengelolaan limbah padat
dengan bobot 0.230. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi terkait dengan
pengelolaan limbah padat yang berkelanjutan di Fakultas Teknik
Universitas Pancasila sudah harus dilakukan dalam rangka mengurangi
potensi kegagalan pengelolaan.
5. Hasil analisis menggunakan metode model sistem dinamis yang
menggunakan nilai risiko pada metode FMEA dan bobot dari strategi pada
metode AHP diperoleh hasil simulasi sebelum dan sesudah intervensi.
Pada model simulasi sebelum dilakukan intervensi diperoleh hasil
peningkatan risiko pada tiap-tiap sub model dalam periode waktu.
Sedangkan pada model simulasi dengan berbagai skenario baik moderat
maupun optimis dengan memasukkan beberapa intervensi memberikan
gambaran penurunan nilai risiko kegagalan pengelolaan limbah padat. Hal
ini menunjukkan bahwa model manajemen risiko pengelolaan limbah
padat dapat berjalan dengan efektif apabila terdapat aliran informasi yang
jelas pada masing-masing stakeholder dan program yang menjadi strategi
dalam pengelolaan limbah padat di Fakultas Teknik Universitas Pancasila.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini dan untuk
penelitian yang akan datang antara lain:
1. Kebijakan di Universitas Pancasila sudah seharusnya memiliki regulasi yang
lebih spesifik tentang pengelolaan limbah padat dimana dalam regulasi tersebut
harus memperhatikan faktor-faktor risiko dalam mengantisipasi terjadinya
munculnya risiko kegagalan selama proses pengelolaan. Faktor-faktor yang
harus mendapatkan perhatian dalam regulasi antara lain, teknologi, regulasi
atau hukum, sosial dan daur ulang.
112
2. Pihak Universitas Pancasila juga perlu melakukan penataan aktivitas
pengelolaan limbah elektronika melalui mekanisme amandemen regulasi dan
monitoring. Pihak Fakultas juga harus penataan dan peningkatan pengetahuan
seluruh sivitas akademika dan pihak-pihak yang terkait dalam aktivitas
pengelolaan limbah padat.
3. Model manajemen risiko pengelolaan limbah padat ini dapat direplikasikan
pada pengelolaan limbah padat di fakultas lainnya di lingkungan Universitas
Pancasila. Untuk replikasi pada wilayah lainnya disarankan penyesuaian
parameter pada kondisi fakultas guna mengantisipasi terjadinya potensi risiko
kegagalan lainnya.
113
DAFTAR PUSTAKA
Adibroto T.A. (2002). Prospek dan Permasalahan Dalam Transfer Teknologi
Lingkungan di Indonesia, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 3 No.2, 121-
128
Africa, P. S. (2010) ‘Solid Waste Management in the World’s Cities’, in Solid
Waste Management in the World’s Cities: Water and Sanitation in the
World’s Cities 2010, p. 30
Ali A. and Ezeah. (2017). Framework for Management of Post-Conflict Waste in
Libya, European Scientific Journal. vol.13, No.5
Al-Khatib, I. A., Arafat, H. A., Daoud, R., and Shwahneh, H. (2009). Enhanced
solid waste management by understanding the effects of gender, income,
marital status, and religious convictions on attitudes and practices related
to street littering in Nablus – Palestinian territory. Waste Management,
29(1), 449-455.
Amoyaw-Osei Y, Opoku Agyekum O, Pwamang JA, Mueller E, Fasko R. (2011).
Ghana e-waste country assessment. United Nations Environment
Programme (UNEP). http://ewasteguide.info/fi les/Amoyaw-
Osei_2011_GreenAd-Empa.pdf. (Diakses: Juni 2019)
Ansari N, Seifi A. (2012). A system dynamics analysis of energy consumption
and corrective policies in Iranian iron and steel industry, Energy. 43 334-
343
Anghinolfi D, Paolucci M, Robba M, Taramasso AC. (2013). A dynamic
optimization model for solid waste recycling. Waste Management.
33(2): 287–296
Armijo de Vega C., O.-B. S.-B. (2008). Solid waste characterization and recycling
potential for a university campus. Waste Manage, 28: S21-S26.
Astuti M, Catur WH., Sulistiyowati W., Ciptomulyono U., Dana KP. (2014)
Analisis Hubungan Produktivitas Dengan Technology Content PadaUsaha
Kecil & Menengah (UKM), Spektrum Industri, 2014, Vol. 12, No. 1, 1 –
112
114
Atthirawong W. (2002). "An Application of the Analytical Hierarchy Process to
International Location Decision-Making", in Gregory, Mike, Proceedings
of The 7th Annual Cambridge International Manufacturing Symposium:
Restructuring Global Manufacturing, Cambridge, England: University of
Cambridge, pp. 1-18
Bardati, D. (2006). The integrative role of the campus environmental audit:
experiences at Bishop's University, Canada. Int J Sustain Higher Educ
7(1), 57-68.
Bayazit O, Karpak B. (2005). "An AHP application in vendor selection"
[Internet]. ISAHP, Honolulu, Hawaii (EN), July 8-10. [Diunduh 20
September 2018]. Terdapat pada:
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.509.2406&rep=
rep1&type=pdf
Beder S, (1996 ): The Nature of Sustainable Development, Scribe Publications,
Newham, Australia.
Beringer, A. W. (2008). Sustainability in higher education in Atlantic Canada. Int
J Sustain Higher Educ, 9 ( 1 ): 48-67.
Berrittella M. (2007). "An Analytic Hierarchy Process for the Evaluation of
Transport Policies to Reduce Climate Change Impacts", Milano(EN):
Fondazione Eni Enrico Mattei,
Birhanu Y. and Berisa G. (2015), Assessment of Solid Waste Management
Practices and the Role of Public Participation in Jigjiga Town, Somali
Regional State, Ethiopia, International Journal of Environmental
Protection and Policy, 3(5): 153-168
Boholm, A. & Corvellec, H. (2015). GRI-rappart 2015:4 Managing Big Cities
The role of valuation practices for risk identification. Gothenburg
Research Institute School of Business, Economics and Law at University
of Gothenburg.
Bolaane, B. (2006). Constraints to promoting people centred approaches in
recycling. Habitat International, 30(4), 731-740.
115
Bradley JR, Guerrero HH. (2011). An Alternative FMEA Method for Simple and
Accurate Ranking of Failure Modes, Decision Sciences. vol. 42 no. 3, 743-
771
Chaerul M, Tanaka M Shekdar AV. (2008 ). A system dynamics approach for
hospital waste management. Waste Management. 28(2): 442-449
Chan FTS. (2003). "Interactive selection model for supplier selection process: an
analytical hierarchy process approach", International Journal of
Production Research. vol. 41, no. 15, 3549.3579
Chan FTS, Chan HK. (2004). "Development of the supplier selection model a
case study in the advanced technology industry", Journal of Engineering
Manufacture. Vol. 218 Part B.
Ching R, Gogan R. (1992). Campus recycling: Everyone plays a part. New Dir
Higher Educ 77: 113-125.
Clugston, R. (2000). Introduction. In: Filho W, editor. Sustainability and
university life. Frankfurt: Peter Lang.
Cole, L. (2003). Assessing sustainability on Canadian university campuses:
development of a campus sustainability assessment framework. Retrieved
from [Victoria (BC)]: Royal Roads University: http:/
/wwwO.umoncton.ca/Symbiose/files/CSAFthesis.pdf
Cole, V., & Sinclair, A. J. (2002). Measuring the Ecological Footprint of a
Himalayan Tourist Center. Mountain Research and Development 22 (2),
132–141.
Connett, P. (2007). Zero Waste: A Key Move 101 Towards A Sustainable
Society, American Environmental Health Studies Project. Canton. New
York. USA
Conway, T. D. (2008). Developing ecological footprint scenarios on university
campuses: a case study of the University of Toronto at Mississauga. Int J
Sustain Higher Educ, 9(1): 4-20.
Crittenden, B. & Kolaczkowski, S. (1995). Waste Minimization: A Practical
Guide. Institute of Chemical Engineers: UK
Dahlen L, Lagerkvist A. (2008). Methods for household waste composition
studies. Waste Manage, 28: 1100-1112.
116
Davies, A. R. (2008). The Geographies of Garbage Governance: Interventions,
Interactions and Outcomes. Burlington, VT: Ashgate
Development, W. C. (1987). Our Common Future. London: Oxford, Oxford
University Press.
Dey, PK. (2003). "Analytic Hierarchy Process Analyzes Risk of Operating Cross-
Country Petroleum Pipelines in India". Natural Hazards Review. 4 (4):
213-221.
Enger E., & Smith B. (2004). Environmental Science: A study of
interrelationships McGraw Hill ninth edition
Federico D. (2010). “Shipbreaking at AlangSosiya (India): An Ecological
Distribution Confl ict”, Ecological Economics, 70(2): 250-60
Felder M, Petrell R, DuffS. (2001). A solid waste audit and directions for waste
reduction at the University ofBritish Columbia, Canada. Waste Manage
Res 19: 354-365.
Filho, W. (2002). Barriers on the path to sustainability: European and Canadian
perspectives in higher education. Int J Sustain Dev World Ecol, 9: 179-
186.
Fournier, R. (2008). Recycle this! A look at campus recycling programs. In:
Simpson W, editor. The green campus: meeting the challenge of
environmental sustainability. Alexandria VA: APPA.
Fujimori T, Takigami H, Agusa T, Eguchi A, Bekki K, Yoshida A, et al. (2012).
Impact of metals in surface matrices from formal and informal electronic-
waste recycling around Metro Manila, the Philippines, and intra-Asian
comparison. J Hazard Mater;221–222:139–46.
Ghashghaie M, Marofi S, Marofi H. (2014). Using system dynamics method to
determine the effect of water demand priorities on downstream flow. Water
Resour Manag. 28:5055–5072. doi:10.1007/s11269-014-0791-z
Gilpin, A. (1996). Dictionary of Environment and Development. John Wiley and
Sons, Chester and New York.
Grandzol J R. (2005). "Improving the Faculty Selection Process in Higher
Education: A Case for the Analytic Hierarchy Process". IR Applications 6.
Diakses pada 2019-06-12
117
Han J, Hayashi Y. (2008). A system dynamics model of CO2 mitigation in
China’s intercity passenger transport. Transportation Research Part D. 13:
298-305.
Hansen L, McMellen C, Olson L, Kaplowitz M, Kerr J, Thorp L. (2008).
Recycling attitudes and behaviors on a college campus: use of qualitative
methodology in mixed-methods study. J Ethno Qual Res 2: 173-182.
Hao JL, Tam WYV, Yuan HP, Wang JY, Li JR. (2010). Dynamic modeling of
construction and demolition waste management processes: An empirical
study in Shenzhen, China. Engineering, Construction and Architectural
Management. 17(5): 476–492.
Harris, B. P. (2009). Waste minimisation at a Welsh university: A viability study
using choice modelling. Resour Conserv and Recy, 53: 269-275.
Jessen, M. (2002). The Ripple Effect of Zero Waste. Recycling Council of British
Columbia (RCBC)
Jonsson, C., Felix, J., Sundelin, A. & Johansson, B. (2011). ‘Sustainable
Production by Integrating Business Models of Manufacturing and Recycling
Industries.’ In: Proceedings of the 18th CIRP International 201 Conference
on Life Cycle Engineering; Braunschweig, Germany: 2-4 May. Berlin,
Heidelberg: Springer. pp. 201-206.
Karim MA, Smith AJ, Halgamuge S. (2008). Empirical relationships between
some manufacturing practices and performance. International Journal of
Production Research. 46, No. 13,, 3583–3613
Keniry J. (1995). Ecodemia: campus environmental stewardship at the tum of the
21st century. Washington: National Wildlife Federation.
Kiani B, Pourfakhraei M. (2010). A system dynamic model for production and
consumption policy in Iran oil and gas sector. Energy Policy. 38: 7764-
74.Kmenta S, Ishii K. 2000. Scenario-Based FMEA: A life cycle cost
perspective, Proceedings of ASME Design Engineering Technical
Conference, Baltimore, Maryland, USA.
Kumar A. and Holuszko M. (2016). ElectronicWaste and Existing Processing
Routes: A Canadian Perspective-Review Resources, 5, 35.
118
Lebersorger S. Beigl P. (2011). “Municipal solid waste generation in
municipalities: Quantifying impacts of household structure, commercial
waste and domestic fuel.” Waste Manage. 31:1907-1915
Lee EK, Ha S, Kim SK. (2001). "Supplier selection and managementsystem
considering relationships in supply chain management." IEEE
Transactions on Engineering Management, 47(4): 307-318.
Lehmann, S. (2011). ‘Resource Recovery and Materials Flow in the City: Zero
Waste and Sustainable Consumption as Paradigms in Urban
Development’, Sustainable Development Law & Policy, 11(1)
Li J. Zeng X. Chen M. Ogunseitan OA. Stevels A. (2015). ‘Control-Alt-Delete’:
Rebooting Solutions for the E-Waste Problem. Environ. Sci. Technol. 49,
7095–7108
Liu X, Tanaka M, Matsui Y. (2006). Generation amount prediction and material
flow analysis of electronic waste: a case study in Beijing, China, Waste
Management & Research. 24 issue: 5, page(s): 434-445
Makondo CC. Sichilima S. Silondwa M. Sikazwe R. Maiba L. Longwe C.
Chiliboyi Y. Environmental Management Compliance, Law and Policy
Regimes in Developing Countries: A Review of the Zambian Case,
International Journal of Environmental Protection and Policy, 3(4): 79-87
Masella C, Rangone A. (2000). "A contingent approach to the design of vendor
selection systems for different types of co-operative customer/supplier
relationships." International Journal of operation Production
management. 20, 70.84.
McCartney D. (2003). Auditing non-hazardous wastes from golf course
operations: moving from a waste to a sustainability framework. Resour
Conserv and Recy 37: 283-300.
Medina, M. (2002). Globalization, Development, and Municipal Solid Waste
Management in Third World Cities : El Colegio de la Fronera Norte,
Tijuana, Mexico. Mexico.
Millennium Ecosystem Assessment. (2005). Living Beyond Our Means: Natural
Assets and Human. Millennium Ecosystem Assessment. Terdapat pada :
119
http://www.millenniumassessment.org/en/Reports.aspx. Diakses pada
02/04/19
Moghadam, M.R.A., Mokhtarani, N., Mokhtarani, B. (2009). Municipal solid
waste management in Rasht City. Iran Journal of Waste Management 29,
485–489.
Ngatatakalama K. (2016). Effect of Solid Waste Management Projects on The
Welfare of The Local Community; A Case of Solid Waste Management
Projects in Mombasa County, Kenya, Master Thesis, University of Nairobi
Nii Squire J. (2012), Biomedical Pollutants and Urban Waste Management in the
Accra Metropolitan Area, Ghana: A Framework for Urban Management of
the Environment (FUME), Dissertation, University of Waterloo-Canada
Oberlin AS. (2013). Characterisation of household waste in kinondoni
municipality, dar es salaam", Academic Journal of Interdisciplinary
Studies, vol. 2, no. 13, pp. 35-46, 2013.
O'Connell, E. J. (2011). Increasing public participation in municipal solid waste
reduction. Geographical Bulletin, 52(2), 105-118.
Ogunlana SO, Sukhera, Li H. (2003). ‘System Dynamics Approach to Exploring
Performance Enhancement in a Construction Organization’, J. Constr.
Engrg and Mgmt. 129(5), 528-536.
Ogwueleka T.CH. (2009). Municipal solid waste characteristics and management
in Nigeria, Iran, Journal of Environmental Health Science and
Engineering, vol. 6, no. 3, pp. 173-180.
Owusu G. (2010). Social effects of poor sanitation and waste management on
poor urban communities: a neighborhood-specific study of Sabon Zongo,
Accra, Journal of Urbanism Vol. 3, No. 2, 145–160
Palmer, P. (1998). Definitions of Waste. Terdapat pada:
http://www.interleaves.org/recycling/wastedef.html. Diakses pada
20/05/19
Pang, Xufeng., Jiang, Yaodong., Zhao, Yixin., & Zhu, Jie. (2012). Study on Risk
Analysis and Control Technology of Coal Bump. Procedia Environmental
Sciences, 12, 831-836
120
Paustenbach DJ. (2000) : The practice of exposure assessment: a state-of-the-art
review. 3 (112), 179-291.
Peirce J.J. and Davidson G.M. (1982). Linear programming in hazardous waste
management. Journal of the Environmental Engineering Division,
108(EE5): 1014-1026, 1982.
Pike, L. S. (2003). Science education and sustainability incentives: A campus
recycling case study shows the importance of opportunity. Int J Sustain
Higher Educ., 4(3): 218-229.
Poswa, T.T. (2001). A comparison of attitudes towards and practices of waste
management in three different socio-economic residential areas of Umtata.
Published Master’s Thesis, Durban University of Technology, KwaZulu-
Natal, South Africa.
Puckett J, Byster L, Westervelt S, Gutierrez R, Davis S, Hussain A, Dutta M,
(2002). Exporting harm: the high-tech trashing of Asia. The Basel Action
Network (BAN) and Silion Valley Toxics Coalition (SVTC) with Toxics
Link India, SCOPE Pakistan and Greenpeace China, 25 February 2002.
Raheja. Dev (2011). Safer Hospital Care. Strategies for Continuous Innovation.
Publisher: Taylor & Francis Group. New York
Rao LN. (2014). Environmental Impact of Uncontrolled Disposal of E-Wastes,
Int.J. ChemTech Res. 6(2), pp 1343-1353.
Razif M, Soemarno, Yanuwiadi B, Rachmansyah A, Persada SF. (2015).
Prediction of Wastewater Fluctuations in Wastewater Treatment Plant by a
System Dynamic Simulation Approach: a Projection Model of Surabaya’s
Mall, Int.J. ChemTech Res. 8(4), pp. 2009-2018.
Renn O, (1983), Technology,Risk and public perception, Anaewandte System
analyse Band 4/Hefl 2. Terdapat di
https://pdfs.semanticscholar.org/9c46/3642a971e07c82ee323b2d06dd981b
0e5fbb.pdf (Diakses 09 Juni 2019)
Rhee SJ, Ishii K. (2002). Life Cost-Based FMEA Incorporating Data Uncertainty,
Proceedings of ASME Design Engineering Technical Conference,
Montreal, Canada.
121
Saaty TL. (1980). The analytic hierarchy process: planning, priority setting,
resource allocation. New York (US), McGraw-Hill.
Saaty TL. (1990). How to make a decision: The analytic hierarchy process,
European Journal of Operational Research. 48:9-26,
Saaty TL. Vargas LG. (2001). Models, Methods, Concepts and Applications of the
Analytic Hierarchy Process. (EN), Kluwer, Dordrecht
Saaty TL and Vargas LG. (2005). "The possibility of group welfare functions",
International Journal of Information Technology & Decision Making. 4(2)
167.176.
Saaty TL, Vargas LG. (2012). Models, Methods, Concept & Applications of the
Analytic Hierarchy Process, New York (US), Springer Science Business.
Sarkar, P. (2003). “Solid Waste Management In Delhi – A Social Vulnerability
Study” in Martin J. Bunch, V. Madha Suresh and T. Vasantha Kumaran,
eds., Proceedings of the Third International Conference on Environment
and Health, Chennai, India, 15-17 December, 2003. Chennai: Department
of Geography, University of Madras and Faculty of Environmental
Studies, York University. Pages 451 – 464
Sas, I., Thoney, K. A., Joiness, J. A., King, R. E. & Woolard, R. (2015)
Sustainable Fashion Supply Chain Management [e-book]. Available from:
http://link.springer.com.libproxy.aalto.fi/chapter/10.1007/978-3-319-
12703-3_1 [Diakses 26 Juni 2019].
Schindler S. Demaria F. Pandit SB. (2012). Delhi’s Waste Conflict, Economic &
Political Weekly, vol xlviI no 42.
Schübeler, P., Karl, W., & Jürg, C. 1996). Conceptual Framework for Municipal
Solid Waste Management in Low-income Countries. United Nations
Development Program, UMP Working Paper Series no. 9. St. Gallen,
Switzerland
Sharp, L. (2002). Green campuses: the road from little victories to systematic
transformation. Int J Sustain Higher Educ, 3(2):128-145.
Sinha-Khetriwal D. Kraeuchi P. and R. Widmer, (2009). “Producer responsibility
for e-waste management: key issues for consideration—learning from the
122
Swiss experience,” Journal of Environmental Management, Vol. 90,153–
165
Shriberg, M. (2002). Institutional assessment tools for sustainability in higher
education: strengths, weaknesses and implications for practice and theory.
Higher Educ Policy 15, 153-167.
Smith S. (2007). Understanding And Acquiring Technology Assets For Global
Competition, Technovation 27, pp 643-649
Stamatis DH. (2003). Failure Mode and Effect Analysis: Fmea from Theory to
Execution: Milwaukee (US), American Society for Quality
Sterman JD. (2000). ‘Business Dynamics: Systems Thinking and Modelling for a
Complex World’, Boston (US), Irwin McGraw-Hill, pp845-861
Sthiannopkao S, Wong MH. (2013). Handling e-waste in developed and
developing countries: initiatives, practices, and consequences. Sci Total
Environ;463–464:1147–53.
Stranks. Jeremy (1996). The law and Practice of Risk Assessment. Limited Great
Britain.
Tavares AFF. (2001). State Constraints and Local Environmental Programs: Solid
Waste Management Policy Instrument Choice, Askew School of Public
Administration and Policy Florida State University, terdapat pada:
https://core.ac.uk/download/pdf/55604565.pdf diakses pada: 17 Agustus
2018.
Thanh, N.P., & Matsui, Y. (2011). Municipal Solid Waste Management in
Vietnam: Status and the Strategic Actions. International Journal of
Environmental Research, 5, 285-296.
Tseng Y, Lin Y. (2005). "A Model for Supplier Selection and Tasks Assignment",
Journal of American Academy of Business, Cambridge, 6(2), p197-207
Uchendu OH. (2016). Household Waste Disposal Laws in the Federal Republic of
Nigeria, Georgia State University. Terdapat pada
https://scholarworks.gsu.edu/iph_capstone/38, Diakses 17 Agustus 2018
United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) (1992):
Convention on Climate Change, Convention on Biological Diversity,
Agenda 21, Rio Declaration, Forestry Agreement, Ocean Conference
123
ULSF. (2009). Talloires Declaration Institutional Signatory. Retrieved from
University Leaders for a Sustainable Future:
www.uslf.org/pdf/td_signatories.pdf
UNESA. (2002). Sustainable Development and Solid Waste. Retrieved from
UNESA: http://www.un.org/esa/sustdev/sdissues/waste_solid/wastes.htm
Utsman S. (2009). Dasar-dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum &
Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Villanueva RA. (2016). A Primer on The Challenges of Solid Waste Management
in Southeast Asia, Designs For Success: Best Practices in Local Waste
Management, Konrad Adenauer Stiftung, Jerman
Vilas MA. (2015). A Critical Overview of Legal Profile on Solid Waste
Management in India, Int. J. Res. Chem. Environ. Vol. 5 Issue 1 (1-16)
von Kolnitz C, Kaplan K. (2004). Recycling and beyond: a college campus
primer. The University of Oregon and the Medical University of South
Carolina.
Walton, J. (2000.). Should monitoring be compulsory with voluntary
environmental agreements? Sustain Dev, 8(3): 146-154.
Wang, Yuan Lu, Chen, (2008), Evaluating firm technological innovation
capability under uncertainty, Technovation 28, pp 349- 363.
White, P. R, Frank, M., & Hindle, P. (1995). Integrated Solid Waste
Management: A life cycle inventory. Blackie Academic and Professional,
London.
Widmer, R., Oswald-Krapf, H., Sinha-Khetriwalb, D., Schnellmann, M., and
Boni, H. (2005). Global perspectives on e-waste. Environmental Impact
Assessment Review, 25, 436-458.
Williams, P. T. (2005). Waste disposal and treatment. John Wiley, Chichester
[WIPO] Patent landscape report on e-waste recycling technologies, WIPO
Publication 2013, http://www.wipo.int/export/
sites/www/freepublications/en/patents/948/wipo_pub_948_4. pdf (last
accessed 10 June 2019).
Wright, T. (2002). Definitions and frameworks for environmental sustainability in
higher education. Higher Educ Policy (15), 105-120.
124
Xuan Z, Chang N, Wanielista M. (2011). Modeling the system dynamics for
nutrient removal in an innovative septic tank media filter, Bioprocess
Biosyst Eng., DOI 10.1007/s00449-011-0627-7.
Yoshida F. (1999). The Political Economy of Waste Management in Japan Econ.
J. of Hokkaido Univ., Vol. 28 (1999), pp. 1-27
Yu C, Maclaren V. (1995). A comparison oftwo waste stream quantification and
characterization methodologies. Waste Manage Res 13: 343-361.
Yukalang N. Clarke B. and Ross K. (2017). Barriers to Effective Municipal Solid
Waste Management in a Rapidly Urbanizing Area in Thailand, Int. J.
Environ. Res. Public Health, 14, 1013Zaman, A. U. and Lehmann, S.
(2013) ‘The zero waste index : a performance measurement tool for waste
management systems in a “ zero waste city ”’, Journal of Cleaner
Production. Elsevier Ltd, 50, pp. 123–132. doi:
10.1016/j.jclepro.2012.11.041
Zerbock, O. (2003). Urban Solid Waste Management: Urban Solid Waste
Management: Waste reduction in developing nations (written for the
requirements of CE 5993 Field Engineering in the Developing World). .
Michigan: Michigan Technological University, Houghton, MI.
Zurbrug C. (2003). Solid Waste Management in Developing Countries. Terdapat
pada:http://www.eawag.ch/organisation/abteilungen/sandec/publikationens
-swm/downloads swm/basicsofSWM.pdf. Diakses pada:17 Mei 2019