+ All Categories
Home > Documents > BAB II_edit 1

BAB II_edit 1

Date post: 25-Sep-2015
Category:
Upload: ayu-steffina
View: 221 times
Download: 5 times
Share this document with a friend
Description:
ilmiah
32
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keberlanjutan Lingkungan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.Oleh karena itu, Negara, Pemerintah, dan semua pemangku kepentingan berkewajiban untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan dalam rangka untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya degradasi atau penurunan kualitas lingkungan hidup. Lingkungan hidup harus segera diselamatkan dari kondisi degradasidan dibangun secara berkelanjutan agar manusia dan mahluk hidup lainnya tidak kehabisan sumber daya kehidupan di masa mendatang. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di masa kini tanpa mengabaikan kemampuan untuk memenuhi generasi di masa mendatang (Brundtland,1987). Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan ( World Summit, 2005). Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena ketiganya menimbulkan hubungan sebab-akibat. Aspek yang satu akan mempengaruhi aspek yang lainnya. Hubungan antara aspek 9
Transcript

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keberlanjutan Lingkungan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.Oleh karena itu, Negara, Pemerintah, dan semua pemangku kepentingan berkewajiban untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan dalam rangka untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya degradasi atau penurunan kualitas lingkungan hidup. Lingkungan hidup harus segera diselamatkan dari kondisi degradasidan dibangun secara berkelanjutan agar manusia dan mahluk hidup lainnya tidak kehabisan sumber daya kehidupan di masa mendatang.

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di masa kini tanpa mengabaikan kemampuan untuk memenuhi generasi di masa mendatang (Brundtland,1987). Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan (World Summit,2005). Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena ketiganya menimbulkan hubungan sebab-akibat. Aspek yang satu akan mempengaruhi aspek yang lainnya. Hubungan antara aspek ekonomi dan sosial diharapkan dapat menciptakan hubungan yang adil(equitable). Hubungan antara aspek ekonomi dan lingkungan diharapkan dapat terus berjalan(viable) sedangkan hubungan antara aspek sosial dan lingkungan bertujuan agar dapat terus bertahan(bearable). Hubungan ketiga aspek tersebut apabila terpenuhi satu sama lainakan menciptakan kondisi yang berkelanjutan(sustainable). Hubungan antara ketiga aspek pembangunan berkelanjutan disajikan pada Gambar 2.1.

Pembangunan berkelanjutan ditinjau dari aspek lingkungan adalah pembangunan komponen lingkungan berdasarkan pada hubungan antar komponennya.Landasan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengertian lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.Lingkungan terdiri atas komponen biotik dan abiotik yang membentuk suatu hubungan yang timbal balik.

Gambar 2.1 Aspek Pembangunan Berkelanjutan

Sumber: (id.wikipedia.org,2014)

Hubungan timbal balik yang terjadi di dalam lingkungan terbagi atas 5 prinsip hubungan yaitu:

1. Interaksi

adalah hubungan yang terjadi antar mahluk hidup. Hubungan ini dapat bersifat menguntungkan, merugikan, dan bahkan tidak memberikan pengaruh apapun,

2. Saling ketergantungan

adalah hubungan yang terjadi antara mahluk hidup yang satu dengan yang lannya karena adanya unsur ketergantungan,

3. Keanekaragaman

adalah hubungan yang terjadi antara mahluk hidup yang beraneka ragam di dalam suatu area. Keanekaragaman tersebut mencakup keanekaragaman genetik, jenis, dan ekosistemnya,

4. Keharmonisan

adalah hubungan yang terjadi antara mahluk hidup dan benda lainnya yang hidup bersama secara harmonis di lingkungannya,

5. Keberlanjutan

Adalah upaya dan usaha yang dilakukan manusia dengan tujuan untuk memastikan bahwa segala sumber daya yang ada di dunia ini masih tetap dapat tersedia dan terjaga sampai dengan generasi kehidupan di masa mendatang.

Keberlanjutan lingkungan memerlukan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan mencakup kegiatan pemanfaatan dan pengonservasian sumber daya untuk memenuhi kesejahteraan hidup manusia di masa kini dan mendatang. Prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan harus memenuhi 4 kriteria (Ditjen Minerba,2012). Kriteria tersebut adalah:

1. Economically profitable, secara ekonomi dapat menguntungkan masyarakat, pemerintah, dan pemilik modal,

2. Socially acceptable, dapat diterima secara sosial oleh masyarakat setempatsehingga tidak ada benturandi masa yang akan datang sebagai konsekuensi terhadap pembangunan yang dilakukan,

3. Environmentally sustainable, secara ekologi atau lingkungan dapat digunakan di masa yang akan datang.

4. Technologically manageable, secara teknologi ramah lingkungan. Dari proses produksi hingga keluar produk harus sesuai dengan baku mutu.

Berdasarkan 5 prinsip hubungan dan 4 prinsip pengelolaan lingkungan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka peneliti memilih prinsip keberlanjutan lingkungan dengan empat kriteria pengelolaan lingkungan yaitu economically profitable, socially acceptable, environmentally sustainable, dan technologically manageable sebagaitujuan penelitian ini.

Menurut Wahid (2014), konsumsi energi listrik pada bangunan memiliki potensi yang besar untuk terus meningkat seiring dengan pertambahan populasi manusia, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan. Bangunan di Indonesia memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong tinggi dan tidak terkendali karena belum dikelola dengan baik. Peningkatan konsumsi energi listrik yang tidak terkendali merupakan salah satu ancaman yang paling serius bagi kesejahteraan dan keberlanjutan hidup manusia.Konsumsi energi yang tinggi berkontribusi terhadap peningkatan emisi dan penurunan jumlah cadangan energi di Indonesia (Ditjen EBTKE,2011).

Seiring dengan bertambahnya jumlah populasi manusia dan pertumbuhan ekonomi serta pembangunan, diperlukan upaya penghematan energi listrik agar nilai efisiensi energi meningkat sehingga jumlah cadangan energi tidak mengalami penurunan dan bertahan dalam jangka waktu yang lama (Suripto,2007). Menurut Prasetya (2014), konsumsi atau pemanfaatan energi listrik yang tinggi dapat dikelola dengan upaya penghematan energi atau konservasi energi. Konservasi energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpaduguna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya (UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi). Peneliti setuju dengan teori ini karena konsumsi energi listrik yang semakin meningkat harus segera dikelola dengan baik agar tidak menghabiskan sumber daya yang ada. Upaya konservasi energi listrik dengan teknologi tertentu yang ekonomis, ekologis, dan berwawasan sosial sangat perlu untuk segera diimplementasikan dalam rangka menjaga keharmonisan dan keberlanjutan lingkungan.

Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini tidak hanya dapat diselesaikan dengan teori keberlanjutan saja.Teori-teori lainnya terkait bandara yang ramah lingkungan (Eco-Airport), konservasi energi listrik, efisiensi energi, dan efisiensi biay adiperlukan untuk menyelesaikan masalah penelitian ini.Teori-teori tersebut diantaranya Bandara Ramah Lingkungan (Eco-Airport),Peningkatan Konsumsi Energi Listrik pada Bangunan, Hubungan Intensitas Konsumsi Energi (IKE) terhadap Konservasi Energi Listrik, Teknologi Solar Cells sebagai Metode Konservasi Energi Aktif, Teknologi Eco-Building Material sebagai Metode Konservasi Energi Pasif,, Teknologi dan Desain Pencahayaan serta Penghawaan sebagai Metode Konservasi Energi Pasif, Efisiensi Energi, Pengaruh Efisiensi Energi dan Biaya Operasional terhadap Laba Perusahaan, dan Keterlibatan Otoritas Bandara terhadap Keberhasilan Implementasi Kebijakan Eco-Airport.

2.1.1 Bandar Udara Ramah Lingkungan (Eco-Airport)

Menurut Adisasmita dan Hadipramana (2011), pengertian dasar bandara ramah lingkungan adalah bandara yang dapat beroperasi selaras dengan perspektif lingkungan global dan mampu mengatur kebutuhan pembangunan bandara sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Pengimplementasian bandara yang ramah lingkungan harus memastikan bahwa kegiatan operasional bandaraakan meningkatkan kualitas lingkungan dan harmonis terhadap lingkungan sekitar. Penerapan Eco-Airport harus dapat mencegah dan mengurangi dampak negatif kegiatan operasional bandara terhadap lingkungan sekitar sehingga dapat mengurangi biaya pengelolaan lingkungan.

Peneliti setuju dengan teori ini karena bandara yang mengimplementasikan konsep ramah lingkungan akan lebih kontekstual terhadap keberlanjutan lingkungan dibandingkan dengan bandara yang belum mengimplementasikan konsep tersebut.

2.1.2 Peningkatan Konsumsi Energi Listrik pada Bangunan

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-6390-2000 tentang Konservasi Energi Sistem Tata Udara pada Bangunan Gedung, konsumsi energi adalah besar energi yang digunakan oleh bangunan gedung dalam periode waktu tertentu dan merupakan perkalian antara daya dan waktu operasi.Bangunan menghabiskan sekitar 50% dari total konsumsi energi di Indonesia. Sebanyak lebih dari 70% dari total konsumsi energi listrik di Indonesia digunakan untuk konsumsi energi listrik pada bangunan (Mulyadi,2014). Menurut Ariestadi et al. (2014), gedung di negara beriklim tropis seeperti Indonesia paling banyak menggunakan energi untuk sistem tata udara dengan presentasi sebesar 45%-70% dan sistem tata cahaya dengan presentasi sebesar 10%-20%. Menurut Taylor (2007) dalam Handayani (2010), penggunaan energi listrik yang tinggi pada bangunan di dominasi oleh penggunaan peralatan listrik terkait penghawaan buatanuntuk menciptakan kenyamanan suhu atau termal ruang sehingga meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan.

Menurut Hanum dan Murod (2011), meningkatnya penggunaan peralatan listrik terkait pencahayaan buatan pada bangunan untuk kenyamanan visual disebabkan karena potensi sinar matahari sebagai pencahayaan alami yang melimpah sepanjang hari tidak dimanfaatkan secara tepat.. Menurut Handayani (2010), Indonesia memiliki iklim tropis yang cenderung panas sehingga mayoritas bangunan di Indonesia menggunakan pendingin ruangan (Air Conditioner) sebagai pengkondisi suhu yang panas. Peneliti setuju dengan teori ini. Konsumsi energi listrik yang tinggi pada bangunan disebabkan karena kurang optimalnya pemanfaatan penghawaan dan pencahayaan alami sehingga dibutuhkan pencahayaan dan penghawaan buatan dengan persentase yang besar.

2.1.3 Perhitungan IKE pada Kegiatan Konservasi Energi Listrik

Konservasi energi mencakup upaya penghematan atau pemanfaatan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan (Enno,1994). Tujuan konservasi energi adalah untuk memelihara kelestarian sumber daya alam yang berupa sumber energi melalui kebijakan pemilihan teknologi dan pemanfaatan energi secara efisien untuk mewujudkan kemampuan penyediaan energi. Menurut Prasetya et al. (2014), kegiatan konservasi energi listrik meliputi proses evaluasi pemakaian energi listrik melalui perhitungan intensitas konsumsi energi listrik pada suatu bangunan. Hasil perhitungan intensitas konsumsi energi listrik yang didapat akan dibandingkan dengan standar yang berlaku. Intensitas Konsumsi Energi (IKE) merupakan istilah yang digunakan untuk mengetahui besarnya pemakaian energi listrik pada suatu sistem bangunan.

Intensitas konsumsi energi listrik dihitung dengan cara melakukan pembagian antara jumlah konsumsi energi listrik per satuan waktu seperti (KWH/bulan) dengan satuan luas bangunan (m), baik sebelum dan sesudah upaya konservasi. Peneliti setuju dengan teori konservasi energi ini. Konservasi energi memilik kaitan yang erat dengan intensitas konsumsi energi. Perhitungan intensitas konsumsi energi listrik, baik sebelum dan sesudah upaya konservasi energi listrik dilakukan dalam rangka menganalisis efektivitas upaya konservasi energi listrik yang telah dilakukan. Intensitas konsumsi energi listrik yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah penggunaan AC dan lampu.

2.1.4 Solar Cells sebagai Teknologi Konservasi Energi Aktif

Konservasi energi secara aktif dilakukan sehubungan dengan sifat energi yang tidak dapat diciptakan sehingga muncul ide untuk mengembangkan sumber energi yang dapat diperbarui sebagai energi alternatif agar persediaan energi di bumi tidak berkurang (Sulistyowati,2012). Metode konservasi energi secara aktif mengonversikan energi matahari menjadi energi listrik. Energi listrik hasil konversi itulah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bangunan (Binus University,2010). Menurut Adisasmita dan Hadipramana (2011), energi listrik yang digunakan dalam lingkungan bandara harus disimpan untuk penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengupayakan penggunaan energi alternatif terbaharukan dalam rangka mewujudkan pengelolaan bandara yang berkelanjutan. Menurut Hanum dan Murod (2011), solar cells atau solar panel adalah teknologi yang memanfaatkan waktu edar matahari sepanjang hari dan kelebihan panas di daerah tropis sebagai potensi yang tinggi untuk diolah menjadi energi. Energi panas yang tersimpan di solar panel diubah menjadi energi listrik yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyalakan alat-alat elektrikal, pencahayaan buatan, dan penghawaan buatan.

Menurut Yuliarto (2011), secara sederhana solar cell terdiri dari perpaduan antara bahan semi konduktor tipe p dan n (p-n junction semi conductor). Semi konduktor tipe p (positif) berisi muatan listrik positif karena memiliki elektron dalam jumlah yang sedikit sedangkan semi konduktor tipe n (negatif) berisi muatan listrik negatif karena sebagian besar tersusun atas elektron seperti yang disajikan pada Gambar 2.2. Paduan antara dua semi konduktor tersebut akan menimbulkan aliran elektron apabila terkena sinar matahari. Aliran elektron inilah yang disebut sebagai aliran arus listrik. Komponen utama solar panel adalah absorber (penyerap) yang dapat mengubah energi sinar matahari menjadi listrik. Sinar matahari terdiri dari foton-foton dengan berbagai level energi. Apabila foton-foton dengan level energi tertentu mengenai permukaaan absorber, maka foton tersebut akan membebaskan elektron dari ikatan atomnya sehingga mengalirlah arus listrik. Gambar cara kerja solar panel disajikan pada Gambar 2.3.

Foton yang berasal dari sinar matahari harus dapat diserap sebanyak-banyaknya dengan cara memperbesar konduktivitas bahan dan memperkecil terjadinya refleksi foton agar efisiensi solar panel dapat meningkat. Selain itu, diperlukan banyak sel surya untuk mendapatkan daya yang cukup besar. Oleh kerena itu , sel-sel surya disusun dalam bentuk panel dan dinamakan dengan panel photovoltaic (PV). Sistem kerja PV sangat tergantung kepada sinar matahari yang diterimanya (Rifan,2012). Kondisi iklim seperti awan dan kabut mempunyai efek yang signifikan terhadap jumlah energi matahari yang diterima sel. Teknologi solar panel sangat efektif digunakan untuk penghematan energi secara jangka panjang.

Gambar 2.2 Paduan Semi Konduktor Tipe p dan n

Sumber: (id.wikipedia.org,2014)

Gambar 2.3 Skema Kerja Solar Panel

Sumber: (id.wikipedia.org,2014)

Sebuah sistem PV dengan perawatan yang baik dapat bertahan hingga lebih dari 20 tahun. Satu unit sistem pembangkit listrik solar cell terdiri dari beberapa komponen yaitu:

1. Perangkat sel surya atau panel PV,

2. Aki (battery) sebagai penyimpan energi listrik,

3. Kontroler pengisian (solar charge controller) sebagai pengatur pengisian muatan aki

4. Inverter sebagai perangkat untuk mengkonversi listrik searah (dc) menjadi arus listrik bolak-balik (ac),

5. Kabel (wiring),

6. Mounting hardware atau framework sebagai pengatur posisi solar panel agar dapat menerima sinar matahari dengan baik.

Peneliti setuju dengan teori ini karenapenggunaan teknologi solar penel lebih memungkinkan untuk diterapkan sehubungan dengan jumlah energi surya di Indonesiayang begitu melimpah dan pemanfaatannya belum optimal.

2.1.5 Eco-Building Material sebagai Teknologi Konservasi Energi Pasif

Metode energi pasif merupakan cara penghematan energi melalui pemanfaatan energi matahari secara pasif, yaitu tanpa mengonversikan energi matahari menjadi energi listrik (Binus University, 2010). Menurut Hanum dan Murod (2011), konservasi energi secara pasif menekankan pada upaya untuk meminimalkan proses pemanasan yang masuk ke dalam bangunan (heat gain process) baik secara internal maupun eksternal dengan memaksimalkan proses pengeluaran panas dari bangunan (heat loss process). Proses memasukan dan mengeluarkan panas dari dalam bangunan harus diupayakan seimbang. Apabila proses pemanasan bangunan yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan proses pelepasan panasnya maka bangunan akan mengalami peningkatan temperatur udara (overheating). Kondisi seperti itu tentunya akan memaksa penghawaan buatan untuk bekerja lebih berat sehingga konsumsi energi akan menjadi tinggi. Sistem penghawaan dan pencahayaan pada siang hari lebih difokuskan pada penggunaan sumber udara dan cahaya alami (natural cooling and lighting). Menurut Handayani (2010), panas sinar matahari dapat mempengaruhi suhu di dalam ruang melalui konduksi, konveksi, dan radiasi. Material bangunan yang mempunyai konduktivitas rendah mempunyai daya isolator yang baik, sebaliknya material bangunan yang mempunyai konduktivitas tinggi merupakan material penghantar panas yang baik.

Teknologi material atau bahan bangunan yang ramah lingkungan (Eco-building material) memiliki karakteristik environmentally manageable, climate responsive, easy to maintain, self cleaning materials, high reflective surface, dan porous finishing dapat diaplikasikan untuk menekan biaya operasional bangunan (Adiwoso,2013). Kriteria yang paling dianggap penting dalam pengaplikasian material bangunan adalah penggunaan jenis material yang dapat mereduksi panas dan tidak menimbulkan panas pada lingkungannya. Material yang dipasang sesuai SNI 03-6389-2000 menggunakan pertimbangan nilai absorbtansi termal (), nilai konduktivitas termal bahan (k=Watt/m.K), dan resistansi termal bahan (RK=t/k= m.K/Watt) dengan t adalah tebal bahan dalam satuan meter (Ariestadi et al.,2014). Daftar nilai absorbtansi termal () untuk material dinding luar dan atap disajikan pada tabel 2.1 sedangkan nilai absortansi termal untuk cat permukaan dinding luar disajikan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.

Tabel 2.1 Nilai Absortansi Radiasi Matahari () untuk Dinding Luar dan Atap

Sumber: (SNI,2000)

Tabel 2.2 Nilai Absortansi Radiasi Matahari () untuk Cat Permukaan Dinding Luar

Sumber: (SNI,2000)

Nilai konduktivitas termal bahan (k) dan resistansi termal bahan (RK) disajikan pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4.

Tabel 2.3 Nilai Konduktivitas Termal Bahan (k)

Sumber: (SNI,2000)

Tabel 2.4 Nilai Resistansi Termal Bahan (RK)

Sumber: (SNI,2000)

Peneliti setuju dengan teori ini. Pengaplikasian material bangunan yang ramah lingkungan harus dapat meminimalkan panas yang masuk ke dalam ruang dan memaksimalkan pengeluaran panas. Penggunaan teknologi Eco-Building material dapat memberikan banyak keuntungan terhadap keberlanjutan lingkungan ditinjau dari aspek ekonomi dan lingkungan.

2.1.6 Teknologi dan Desain Pencahayaan serta Penghawaan

Metode konservasi energi secara pasif menekankan pada penggunaan energi listrik seminimal mungkin atau hemat energi untuk mencapai kualitas ruang yang maksimal. Menurut Baharuddin (2011), bangunan yang menggunakan sistem pencahayaan dan penghawaan alami akan meningkatkan kualitas ruang di dalam bangunan karena mengonsumsi energi listrik dalam jumlah yang kecil. Menurut Lyons dan Lee (1994), pencahayaan alami dapat meningkatkan kualitas bangunan dengan cara penghematan energi listrik dan biaya operasional serta menyediakan cahaya langsung dan cahaya difusi dengan karakteristik alami. Berdasarkan SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan, penggunaan energi sehemat mungkin pada prinsipnya dapat diwujudkan dengan mengurangi daya terpasang. Pengurangan daya terpasang dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu:

1. Pemilihan lampu yang memiliki efikasi tinggi seperti lampu fluorescent atau lampu lainnya yang menggunakan sistem pelepasan gas. Menurut Stevanus (2012), efikasi adalah perbandingan antara jumlah intensitas cahaya (satuan lumens) yang dihasilkan lampu dengan daya listrik (satuan Watt) yang dipakai untuk memancarkan intensitas cahaya tersebut.

2. Pemilihan armatur (rumah lampu) yang mempunyai karakteristik distribusi pencahayaan yang sesuai dengan peruntukannya. Armatur lampu harus memilikiefisiensi yang tinggi dan tidak mengakibatkan silau atau refleksi yang mengganggu penglihatan,

3. Pemanfaatan cahaya alami di siang hari.

Metode konservasi energi secara pasif mempunyai kaitan yang erat dengan jendela dan ventilasi. Jendela dan ventilasi merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sebuah bangunan, khususnya terkait dengan pencahayaan dan penghawaan alami. Pemanfaatan cahaya dan penghawaan alami dapat dioptimalkan melalui desain jendela dan ventilasi yang dirancang sesuai dengan iklim setempat. Bangunan di daerah iklim tropis seperti Indonesia,keberadaan jendela baik dari segi ukuran, jumlah, dan penempatan harus dipertimbangkan dengan baik.Luas jendela yang digunakan sebaiknya berkisar antara 15-20% dari luas lantai ruangan (Handayani, 2010).

Upaya yang dilakukan untuk menghemat penggunaan energi listrik pada sistem pendingin udara (AC) dan sistem pencahayaan yaitu (Prasetya et al.,2014):

1. Mengurangi sekecil mungkin pemakaian energi listrik khususnya untuk beban pencahayaan dan AC,

2. Penggunaan lampu Light Emitting Diode (LED) sebagai pengganti lampu TL dan lampu LHE,

3. Memaksimalkan peran sumber daya manusia untuk meningkatkan penghematan,

4. Mengganti AC lama yang usianyalebih dari 5 tahun dengan AC hemat energi berteknologi inverter. Air Conditioner (AC) dengan teknologi inverter bekerja dengan sistem yang dapat meminimalkan terjadinya proses nyala-mati dari kompesor AC. Besarnya arus listrik yang mengalir pada saat kompesor AC menyala dapat diminimalkan sehingga konsumsi energi listrik yang digunakan dapat berkuramg,

5. Menggunakan AC dengan suhu 24C27C untuk ruang kerja dan untuk ruang transit (lobby dan koridor) dapat menggunakan suhu 27C 30C,

Peneliti setuju dengan teori ini. Desain jendela yang memungkinkan pencahayaan dan penghawaan alami untuk masuk ke dalam ruangan harus dioptimalkan. Penggunaan lampu dan AC sebagai pencahayaan dan penghawaan buatan diperkenankan namun harus mempertimbangkan efisiensi yang tinggi.

2.1.7 Perhitungan Efisiensi Energi

Menurut Prasetya et al. (2014), upaya penghematan energi listrik dapat meningkatkan efisiensi energi listrik. Konsep hemat energi yaitu meminimalkan input dan output energi sehingga penggunaan energi menjadi lebih efisien (efisiensi energi). Input adalah energi yang digunakan melalui perangkat tertentu untuk suatu keperluan sedangkan output adalah emisi yangdikeluarkan ke lingkungan hasil dari penggunaan energi melalui perangkat (HAKE et al.,2013). Efisiensi adalah sebuah konsep yang mencakup pengertian fitness or power toaccomplish, or success in accomplishing, the purpose intended (Simpson & Weine, 1989). Menurut Patterson (1996), efisiensi energi secara lebih luas didefinisikan sebagai output yang berguna (nilai tambah atau kilogram produk) per unit input energi dengan rumusan sebagai berikut:

(Output yang berguna)

(Input energi)Efisiensi (e) =

Efisiensi merupakan salah satu langkah dalam pelaksanaan konservasi energi yang mengacu pada penggunaan energi dengan besaran yang lebih sedikit untuk menghasilkan jumlah layanan atau output berguna yang paling tidak sama besarannya. Peneliti setuju dengan teori ini. Penggunaan peralatan dengan efisiensi tinggi dapat meningkatkan efisiensi energi. Peralatan dengan efisiensi tinggi menggunakan input energi yang minimal namun menghasilkan output berguna yang maksimal.

2.1.8 Pengaruh Efisiensi Energi pada Biaya Operasional

Efisiensi atau penghematan energi pada bangunan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi biaya operasional. Menurut Sulistyowati (2012), menghemat energi adalah menghemat biaya operasional dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Cole dan Kernan (1996) menyatakan bahwa konsumsi energi terbesar dalam siklus hidup bangunan terdapat pada masa operasional bangunan. Selama masa operasional, energi dikonsumsi untuk menciptakan kenyamanan termal terkaitcahaya dan suhu (Kibert, 2008). Menurut Gunawan et al., (2012) dalam Mulyadi (2014), total biaya yang digunakan untuk operasional bangunan terkait penggunaan energi listrik menghabiskan sekitar 25% dari total biaya keseluruhan. Menurut Hongren et al., (2005:279) dalam Ramadani (2010), efisiensi biaya adalah jumlah relatif masukan yang digunakan untuk mencapai tingkat keluaran tertentu. Hubungan antara masukan, keluaran, dan efisiensi pada biaya adalah apabila semakin sedikit masukan yang digunakan untuk mencapai tingkat keluaran tertentu atau semakin banyak keluaran untuk tingkat masukan tertentu maka semakin tinggi efisiensi yang dicapai.

Menurut Robet N. Anthony dan Vijay Govindarajan (2005:174-175) dalam Ramadani (2010), efisiensi biaya diukur dengan cara membandingkan biaya aktual dengan standar dimana biaya-biaya tersebut harus dinyatakan dalam output yangdiukur.Biaya operasi merupakan salah satu elemen yang paling penting dalam aktivitas ekonomi pada suatu perusahaan dalam pembentukan laba. Menurut Nafarin (2004: 67) dalam Nasution dan Marlina (2013), biaya operasi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan suatu organisasi dalam rangka untuk melaksanakan aktivitas dan tujuan yang telah ditentukan.Biaya operasi adalah biaya yang menjadi beban tanggungan perusahaan yang berhubungan erat dengan usaha pokok perusahaan (Munandar ,2001:25).Semakin besar biaya operasional maka semakin sedikit laba yang akan diterima perusahaan dan sebaliknya (Nasution dan Marlina,2013). Peneliti setuju dengan teori ini. Konsumsi energi yang tinggi pada bangunan dapat menyebabkan penurunan efisiensi energi. Penurunan efisiensi energi pada bangunan dapat meningkatkan biaya operasional bangunan sehingga laba yang diperoleh perusahaan pun menjadi minim. Laba yang diperoleh perusahaan seharusnya dapat lebih ditingkatkan atau dimaksimalkan dengan meminimalkan biaya operasional.

2.1.9 Keterlibatan Otoritas Bandara dan Eco-Airport Council

Otoritas Bandara adalah bagian dari unit pemerintahan (Ditjen Perhubungan Udara) yang memiliki kewenangan dalam menetapkan kebijakan Eco-Airport. Eco-Airport Council adalah bagian dari Otoritas Bandara yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan pelestarian lingkungan bandar udara (Pedhiena,2011). Peran pemerintah sangat besar dalamberjalannya suatu kebijakan pembangunan (Yulianita,2009). Menurut Djogo et al.,(2003) dalam Amrullah (2008), kebijakan adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya dilapangan dengan menggunakan instrumen tertentu. Kegagalan pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang benar. Pembuatan dan pengimplementasian kebijakan mencakup intervensi pemerintah dan publik untuk menyelesaikan masalah pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan pengimplementasiannya.

Menurut Ali (2007) dalam Amrullah (2008), implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi adalah proses untuk melaksanakan ide, program, atau seperangkataktivitas baru dengan harapan bahwa orang lain dapat menerima dan melakukan perubahan. Menurut Parsons (2006) dalam Amrullah (2008), implementasi yang efektif membutuhkan rantai komando yang baik dan kapasitas untuk mengkoordinasikan dan mengontrol dengan baik. Menurut Winarno (2002) dalam Amrullah (2008), jumlah dana akan menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan dari implementasi kebijakan. Peneliti setuju dengan teori ini. Otoritas Bandara memiliki peran yang besar dalam keberhasilan implementasi kebijakan Eco-Airport. Implementasi kebijakan Eco-Airport membutuhkan koordinasi dan kontrol yang baik agar tujuan dapat tercapai. Jumlah dana yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan Eco-Airport tergolong besar sehingga implementasi kebijakan kemungkinan akan tertunda. Penundaan tersebut dilakukan sehubungan dengan keterbatasan dana yang dianggarkan oleh Negara. Kerangka teori dari ke 10 teori yang telah dijelaskan sebelumnya dirangkum kedalam Gambar 2.4.

9

20

(Pembangunan Berkelanjutan(Brundtland,1987)) (Dampak terhadap Lingkungan(Dirjen EBTKE,2011)) (Peningkatan Konsumsi Energi Listrik Bangunan(Mulyadi,2014))

(IKE (Intensitas Konsumsi Energi)(Prasetyo,2014))

(Pembangunan Ekologi, Ekonomi, dan Sosial (World Summit,2005)) (Konservasi Energi Listrik (Enno,1994))

(Metode Aktif(Binus University,2010)) (Metode Pasif(Binus University,2010))

(TeknologiEco-BuildingMaterial(Adiwoso,2013))

(Teknologi Solar CellsHanum dan Murod (2011))

(Teknologi dan Desain Pencahayaan serta Penghawaan(Handayani,2010) dan (Prasetya et al.,2014))

(Efisiensi Biaya(Nasution dan Marlina,2013)) (Efisiensi Energi (HAKE et al., 2013)) (Eco-Airport(Adisasmita dan Hadipramana,2011))

(Keterlibatan Otoritas Bandara dan Eco-Airport Council (Pedhiena,2011))

Gambar 2.4 Kerangka Teoritik

2.2 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir adalah langkah-langkah yang digunakan peneliti untuk menyelesaikan masalah penelitian. Kerangka berpikir berisi alur pikir penelliti yang didukung oleh teori-teori yang melandasi penelitian ini. Alur berpikir peneliti untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan penelitian ditempuh dengan cara menetapkan unit analisis penelitian terlebih dulu.Unit yang akan dianalisis terdiri dari unit analisis audit energi dan bangunan. Hasil audit energi dan bangunan dianalisis menggunakan standar yang berlaku. Setelah dianalisis, selanjutnya dibuat perbandingan pemodelan antara bandara eksisting dengan bandara berkonsep konservasi energi aktif dan pasif.Perbandingan pemodelan tersebut dibuat untuk menghitung nilai efisiensi energi dan biaya operasional listrik. Efisiensi energi yang tinggi dapat menurunkan biaya operasional sehingga perusahan dapat memperoleh laba yang maksimal. Apabila bandara dapat mencapai efisiensi energi yang tinggi, biaya operasional yang rendah, dan laba yang maksimal maka konsep Eco-Airport dapat terwujud sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai.Terwujudnya Eco-Airpor pun tidak lepas dari peran serta dan keterlibatan Otoritas Bandara. Kerangka berpikir peneliti disajikan pada Gambar 2.5.

(Unit Analisis Audit Energi) (Menetapkan Unit Analisis)

(Unit Analisis Bangunan)

(Menganalisis Hasil Audit Energi dan Bangunan dengan SNI Konservasi Energi Sistem Bangunan dan Standar Eco-Building GBCI)

(Membuat Pemodelan Airport Eksisting (sebelum dikonservasi))

(Membuat Desain dan PemodelanAirport denganKonservasi Energi Aktif dan Pasif)

(Menganalisis Nilai Efisiensi Energi Listrik)

(Menganalisis Nilai Efisiensi Biaya Operasional Listrik )

(Menganalisis Tingkat Keterlibatan Otoritas Bandara dan Eco-Airport Council)

(Menganalisis Tingkat Keefektivitasan Pengimplementasian Kebijakan Eco-Airport)

Gambar 2.5 Kerangka Berpikir

2.3 Kerangka Konsep

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir maka dihasilkan kerangka konsep yang disajikan pada Gambar 2.6. Kerangka konsep memperlihatkan hubungan antara variabel penelitian. Variabel penelitian dalam kerangka konsep terdiri dari 4 variabel yaitu, Nilai Efisiensi Energi Listrik, Nilai Efisiensi Biaya Operasional, Tingkat Partisipasi Otoritas Bandara, dan Tingkat Ketercapaian Kebijakan Eco-Airport.

Dalam rangka mewujudkan implemantasi konsep Eco-Airport maka dilakukan langkah-langkah analisis terkait variabel penelitian yaitu:

1. Analisis Nilai Efisiensi Energi Listrik didapat dari perbandingan nilai efisiensi energi listrik eksisting dan nilai efisiensi energi listrik setelah diimplementasikannya konsep konservasi energi. Nilai efisiensi energi eksisting didapat dari hasil analisis unit audit energi dan bangunan menggunakan standar Eco-building dari GBCI serta SNI konservasi energi sistem bangunan. Unit analisis audit energi yang perlu dipertimbangkan diantaranya Intensitas Konsumsi Energi Listrik (IKE), jenis, jumlah,dan spesifikasi lampu, serta jenis,jumlah,dan spesifikasi AC. Unit analisis bangunan yang perlu dipertmbangkan diantaranya jumlah dan luas jendela, jenis dan spesifikasi material bangunan, serta luas bangunan. Data unit analisis audit energi dan bangunan didapatkan melalui pengukuran langsung dilapangan,

2. Analisis Nilai Efisiensi Biaya Operasional didapatkan dari perbandingan hasil analisis nilai efisiensi biaya operasional listrik eksisting dengan nilai efisiensi biaya operasional listrik setelah diimplementasikannya konsep konservasi energi,

3. Analisis Tingkat Partisipasi Otoritas Bandara dan Eco-Airport Council dilakukan dalam rangka mengukur tingkat kinerja Pegawai Otoritas Bandara dan Eco-Airport Council terhadap keefektivitasan pengimplementasian kebijakan Eco-Airport.

(Nilai EfisiensiEnergi Listrik) (Tingkat PartisipasiOtoritas Bandara dan Eco-Airport Council) (Nilai Efisiensi BiayaOperasional Listrik)

(Tingkat Keefektivitasan Pengimplementasian Kebijakan Eco-Airport)

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep, peneliti membuat jawaban sementara terhadap,masalah dan tujuan penelitian. Hipotesisyang dibangun dalam penelitian ini adalah suatu bandara dapat dikatakan sebagai Bandara yangRamah Lingkungan (Eco-Airport) apabila Nilai Efisiensi Energi Listrik meningkat, Nilai Efisiensi Biaya Operasional Listrik meningkat, dan Keterlibatan Otoritas Bandara terhadap Kebijakan Eco-Airport meningkat secara efektif.


Recommended