Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
200
Nilai - Nilai Multikulturalisme dan Identitas Legal dalam Kehidupan Umat Sikh Punjabi di Kota Medan
Values of Multiculturalism and Legal Identity in the Life of the
Punjabi Sikhs in Medan City
Ayu Febryani Corresponding author: [email protected]
Program Studi Pendidikan Antropologi, Universitas Negeri Medan, Indonesia
Abstrak
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keingintahuan menemukan nilai – nilai multikulturalisme dalam kehidupanUmat Sikh Punjabi di wilayah Gurdwara Shree Guru Tegh Bahadur, Medan Polonia. Selain itu, juga mengkaji terkait identitas legal yang diharapkan oleh umat Sikh dalam kehidupan multikulturalisme di Indonesia. Adapun hasil temuan diperoleh bahwa umat Sikh telah mengembangkan nilai – nilai multikulturalisme seperti saling toleransi, menghargai, menghormati, dan mengasihi orang lain. Hal tersebut terlihat pada realitas yang tampak antara umat sikh dengan kelompok masyarakat lainnya yang terjalin dengan baik. Salah satu contoh terlihat dengan diperbolehkannya para penarik becak makan di gurdwara asalkan mengikuti peraturan yang berlaku, seperti tidak merokok, memakai penutup kepala, dan tidak memakan makanan amis. Selain itu harapan masyarakat Sikh hidup di masyarakat yang multikultur ialah diakui secara tertulis dan disahkan dalam kalender nasional salah satu hari besar mereka yakni Vausakhi yang jatuh pada tanggal 13 – 14 April. Masyarakat umat Sikh Punjabi yang bermukim di kota Medan ternyata masih melestarikan adat istiadat dan tradisi yang dimiliki, seperti menjalankan berbagai upacara keagamaan dan mengembangkan budaya “persaudaraan Khalsa Sikh” yang dipelopori oleh Shree Guru Gobind Singh. Kata Kunci: Multikulturalisme, Sikh, Identitas Legal
Abstract
This paper is motivated by the curiosity of discovering the values of multiculturalism in the life of the Punjabi Sikhs in the Gurdwara Shree Guru Tegh Bahadur region, Medan Polonia. Besides, it also examines the legal identity that is expected by Sikhs in multiculturalism in Indonesia. The findings show that Sikhs have developed multiculturalism values such as mutual tolerance, respect, respect and love for others. This can be seen in the apparent reality between the Sikh community and other well-established community groups. One example is seen by allowing pedicab pullers to eat at gurdwara as long as they follow the applicable regulations, such as not smoking, wearing head coverings, and not eating fishy food. Besides, the hopes of Sikhs living in multicultural societies are recognized in writing and endorsed in the national calendar of one of their big days, Vaisakhi, which falls on April 13-14. The Punjabi Sikh community living in the city of Medan still preserves its customs and traditions, such as carrying out various religious ceremonies and developing the culture of the "Khalsa Sikh brotherhood" pioneered by Shree Guru Gobind Singh. Keywords: Multiculturalism, Sikhs, Legal Identity
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
201
PENDAHULUAN Secara etnografis, Kota Medan dihuni oleh berbagai kelompok etnik. Dari berbagai
kelompok etnis yang menghuni kota Medan, Etnis Punjabi penganut agama Sikh adalah
salah satunya. Etnis Punjabi Sikh merupakan kelompok masyarakat yang menganut
agama Sikh yang keberadaannya minoritas di kota Medan. Umat Sikh pada umumnya
beretnis Punjabi. Etnis ini berasal dari daerah Amritsar dan Jullundur di kawasan
Punjab-India Utara. Di Sumatera Utara etnis Punjabi sudah menyebar pada abad ke-19
yakni di wilayah kota Medan, Binjai, dan Pematang Siantar. Sikh atau yang dikenal
sebagai agama dengan sepuluh guru ialah sebuah agama yang digagas oleh Guru Nanak
Sahib Ji pada akhir abad ke-15.
Sebagai pendatang di Kota Medan, Etnis Punjabi membawa misi budayanya dan menjadikan agama Sikh sebagai pedoman dalam menjalani hidup. Interaksi sosial
dengan kelompok masyarakat lainpun tak dipungkiri terjadi pada kelompok
masyarakaat ini. Hal ini mengakibatkan masuknya pengaruh budaya lain dalam
kehidupan berkelompok. Berdasarkan data yang telah dihimpun, ternyata telah terjadi
perkawinan campuran antara Umat Sikh Punjabi dengan penduduk asli di Kota Medan
dan berbagai wilayah lainnya.
Hidup sebagai kelompok masyarakat yang minoritas di tengah masyarakat yang
mayoritas membuat kelompok Sikh harus beradaptasi dengan kelompok masyarakat
lainnya. Oleh sebab itu, penulistertarik untuk mengetahuiUmat Sikh Punjabi dalam
kajian multikulturalisme dan nilai – nilai multikultural yang tercipta pada masyarakat
Sikh dengan kelompok masyarakat lain di lingkungan Gurdwara Shree Tegh Bahadur. Selain itu sebagai kelompok masyarakat yang minoritas, perlu diketahui tentang
harapan – harapan Umat Sikh Punjabi dalam konsep multikultural dan identitas legal
agamanya.
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab permasalahan penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian
yang bersifat kualitatif dengan pendekatan penelitian etnografi. Pendekatan penelitian
etnografi ini hendak menggunakan tipe deksripsi ilmu sosial. Menurut Spradley (2006:
35) tipe deskripsi ilmu sosial didasarkan pada pengamatan, wawancara, dan lain
sebagainya yang tampak merefleksikan sudut pandang penduduk asli.
Jenis penelitian ini sesuai digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui proses kegiatan mengungkapkan secara logis, sistematis, dan empiris
terhadap peristiwa – peristiwa sosial budaya yang terjadi pada etnis Punjabi di
Kecamatan Medan Polonia, tepatnya di Yayasan Gurdwara Missi Medan (Shree Guru
Tegh Bahadur), Medan Polonia. Hal – hal tersebut penting dilaksanakan untuk dapat
direkonstruksikan guna mengungkapkan kebenaran dan kebermanfaatan penelitian
bagi kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Lokasi utama dalam penelitian ini adalah Yayasan Gurdwara Missi Medan(Shree
Guru Tegh Bahadur) Jalan Polonia, Kelurahan Polonia, Kecamatan Medan Polonia.
Yayasan tersebut mengelola satu buah gurdwara yakni gurdwara Tegh Bahadur.
Gurdwara ini dipilih karena merupakan lokasi ibadah yang berdekatan dengan rumah
ibadah umat agama lainnya. Selain itu, lokasi pendukung lainnya yaitu: Gurdwara Arjun
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
202
Dev Ji Jalan Mawar, Kelurahan Johor; Gurdwara Sikh Centre Gg. A, Kelurahan Polonia;
Gurdwara Perbandhak Jalan Tengku Umar, Bollywood Food Centre Jalan Muara Takus
No.7 Medan.
Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data. Pada penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data dengan (a)
observasi partisipasi (participant observation), (b) wawancara mendalam (in depth
interview) dan (c) dokumentasi.
Analisis data dalam penelitian ini pada dasarnya merupakan analisis data kualitatif
yang dilakukan sejak penulisan proposal hingga penyelesaian hasil penelitian. Peneliti
memeriksa kembali seluruh data yang ada, baik data pada hasil pengamatan langsung
maupun wawancara mendalam untuk menemukan makna dari kajian terhadap semua
data – data yang telah terkumpul. Sesuai dengan jenis penelitian kualitatif dengan
pendekatan penelitian etnografi, maka peneliti mencoba menganalisis dan
menginterpretasi data dengan menggunakan model Spradley. Analisis data dalam
penelitian ini terbagi atasbeberapa tahapan penelitian, yaitu: (i) analisis domain; (ii)
analisis taksonomi; (iii) analisis komponen; dan (iv) analisis tema.
HASIL DAN PEMBAHASAN Etnis Punjabi Penganut Agama Sikh
Etnis Punjabi penganut agama Sikh merupakan bagian dari keragaman etnik yang
terdapat di Indonesia. Asal-usul kelompok ini dapat ditelusuri ke Amritsar atau
Jullundur di kawasan Punjab, India. Etnis ini datang ke Deli untuk beberapa tahun dan
kembali ke India untuk kawin, lalu membawa isterinya kembali ke Sumatera (Mani
dalam Lubis: 2005).
Etnis Punjabi Sikh banyak bermukim di kota Medan, Binjai, dan Pematang Siantar.
Hal ini dapat didukung dengan terdapatnya gurdwara di masing – masing wilayah
tersebut. Secara konkrit, etnis Punjabi sangat mudah dikenali karena mayoritasnya
yang menganut agama Sikh. Kebanyakan para lelaki memakai pagh(Serban atau
penutup kepala sebagai pelindung kesh (rambut) dan lambang kehormatan) dan gelang
besi (karra) dengan postur tubuh yang tegap dan besar. Sedangkan para perempuan
sering menggunakan purdah(selendang yang digunakan oleh perempuan untuk
menurupi bagian kepalanya)dan pakaian khas Punjab, berambut panjang, berhidung
mancung, dan berkulit kuning langsat.
Sementara berdasarkan identitas silsilah keluarga, para pria Punjabi dapat dengan
mudah dikenali melalui identitas nama yang selalu berakhir dengan kata ‘Singh’,
sedangkan wanita Punjabi menggunakan kata ‘Khaor’ di belakang nama mereka.
Namun, sering terjadi kekeliruan bagi masyarakat umum yang menganggap ‘Singh’ dan
‘Khaor’ adalah sebuah marga dalam etnis Punjabi. Kata ‘Singh’ berarti Singa Jantan yang
pemberani dan ‘Khaor’ adalah singa betina yang pemberani. Istilah kata tersebut
berasal dari keyakinan etnis Punjabi yang memeluk agama Sikh. Pertama kali
dicetuskan oleh guru ke sepuluh umat Sikh, Guru Gobind Singh, dengan makna bahwa
umat Sikh adalah orang – orang yang pemberani membela dan menjaga agamanya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
203
Sejak kedatangan etnis Punjabi penganut agama Sikh pada abad ke-18, agama Sikh
sudah mulai berkembang. Tetapi sampai saat ini belum dapat memeroleh identitas legal
agama Sikh. Pemerintah Republik Indonesia masih menganggap agama Sikh sebagai
sebuah aliran kepercayaan dan masih satu rumpun dengan agama Hindu, sehingga
dalam peresmian sebuah bangunan rumah ibadahpun, disahkan oleh Departemen
agama Hindu.
Namun, seperti yang diutarakan Guru Nanak (guru pertama agama Sikh) bahwa
Sikh bukanlah Hindu dan bukan pula Islam. Oleh karenanya, para pengikutnya tetap
setia meyakini ajaran agama Sikh ini. Penyebaran agama Sikh di kota Medan dapat
dilihat dengan berdirinya:
1. Gurdwara Shree Guru Arjundev Ji di Jalan Mawar, Sari Rejo
2. Gurdwara Perbhandak di Jalan Teuku Umar
3. Gurdwara Shree Guru Tegh Bahadur di Jalan Polonia
4. Gurdwara Shree Guru Nanak Dev Ji di Jalan Karya Murni
Ajaran agama Sikh juga mempunyai ketentuan waktu dalam beribadah
(sembahyang), yakni sebanyak tiga kali sehari. Diantaranya ialah dilakukan di pagi, sore
dan malam hari. Sikh memiliki sepuluh (10) guru yang sangat dihormati.
Tabel 1 berikut ini adalah kesepuluh Guru pembawa Agama Sikh. No Nama
Guru Tempat, Tanggal
Lahir
Tempat, Tanggal
Wafat
Keterangan
1. Nanak Dev Ji
Sri Nankana Sahib, 15 April 1469
Sri Kertarpur, 22 Sept 1539
Guru Nanak adalah Guru pertama di dalam agama Sikh, Beliau memulai ajaran Agama Sikh. Beliau Juga mengatakan bahwa semua manusia itu sama dan merupakan ciptaan dari satu Tuhan yang Maha Esa. Guru melarang semua ritual dan penyembahan terhadap patung-patung, gambar, dan hal-hal lain sejenis. Pesan guru Nanak adalah Kirt Karo (bekerja), Nam Japo (sembahyang), Wand Ke Shako (berbagi kepada sesama)
2. Anggad Dev
Harike, 31 Mar 1504
Shri Khedur Sahib, 29 Mar 1552
Beliau adalah seorang pengikut guru Nanak Dev Ji yang setia. Beliau menyebarkan ajaran guru Nanak. Beliaulah yang memperkenalkan tulisan Gurmukhi dan menganjurkan orang-orang untuk mempelajarinya.
3. Amar Das
Basarke (Amritsar), 5 Mei 1479
Goindwal Sahib, 1 Sept 1574
Beliau menyebarkan agama Sikh ke tempat-tempat jauh dengan menugaskan murid-muridnya ke tempat-tempat itu. Beliau juga meneruskan langgar (dapur umum) yang dimulai oleh Guru Nanak Dev Ji.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
204
4. Ram Das
Chuna Mandi, 24 Sept 1534
Shri Goindwal Sahib Ji 1 Sept 1581
Beliau adalah menantu dari guru Amar Das. Beliaulah yang memulai pembangunan Harmandar Sahub atau Golden Temple (kuil emas) dan juga kota Amritsar. Beliau menyebarkan agama Sikh di India Utara
5. Arjun Dev Ji
Goindwal, 15 April 1563
Goindwal Sahib Ji, Sept 1581
Beliau adalah putra bungsu Guru Ramdas Ji. Beliaulah yang memulai penyusunan Guru Granth Sahib Ji. Beliau juga meneruskan pembangunan Golden Temple
6. Hargobind
Goindwal Sahib Ji, 14 Juni 1595
Kiratpur 3 Mar 1644
Beliau adalah putra tunggal guru Arjun Dev Ji. Beliau memulai pembangunan Akal Takht di Amritsar yang terletak tepat di depan Golden Temple
7. Har Rai Kiratpur, 26 Feb 1630
Kiratpur, 6 Okt 1661
Beliau adalah cucu dari Guru Hargobind Sahib Ji
8. Har Krishan
Kiratpur, 7 Juli 1656
Kiratpur, 30 Mar 1664
Beliau adalah putra bungsu dari guru Har Rai. Beliau menjadi guru pada usia 5 tahun. Beliau juga disebut sebagai ‘Bal Guru’. Pada masanya Har Krishan adalah penyembu dari segala penyakit yang ada pada masa itu.
9. Tegh Bahadur
Guru-ke-Mehal, Amritsar 1 April 1621
Chandni Chowk, Delhi 11 Nov 1621
Beliau adalah putra bungsu Guru Hargobind Sahib Ji. Ia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang – orang Brahmin di India yang mengalami kesulitan pada masa kerajaan Aurangzebe.
10. Gobind Singh
Patna Sahib 22 Des 1666
Sri Hajur Sahib Ji 7 Okt 1708
Beliau adalah putra tunggal Guru Tegh Bahadur. Beliau menjadi guru pada usia 9 tahun setelah Guru Tegh Bahadur melakukan pengorbanan dirinya. Guru Gobind Singh juga berpesan bahwa guru Granth Sahib lah yang menjadi guru setelah beliau. Ia juga memulai aturan mengenai Khalsa dan 5 Kakars
Tabel 1. Sepuluh nama Guru pembawa agama Sikh Sumber: Sing, Prithipal (2009)
Awal kedatangan etnis Punjabi ke wilayah Sumatera Utara cukup besar dan
memiliki beberapa versi, sehingga jumlah masyarakat Punjabi di Sumatera Utara,
khususnya Kota Medan hingga saat ini juga cukup banyak. Mayaratu (2011:21)
menyatakan bahwa Orang Sikh (etnis Punjabi) sudah ada yang datang ke Indonesia
sebelum perang dunia II ketika masa penjajahan Inggris. Mereka masuk ke Indonesia
melalui Singapura yang kala itu dijajah pula oleh Inggris, kemudian Malaysia dan
sampai ke Indonesia melalui Sumatera, yaitu Medan. Berdasarkan Lubis (2005)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
205
menyatakan bahwa kedatangan orang-orang India dalam jumlah besar dan hingga
sekarang menetap dan membentuk suatu komunitas di berbagai bagian wilayah
Sumatera timur dan khususnya Kota Medan, baru terjadi sejak pertengahan abad ke-19,
yaitu sejak dibukanya industri perkebunan di Tanah Deli.
Menurut catatan Sinar (2001) di tahun 1874 sudah dibuka 22 perkebunan dengan
memakai kuli bangsa Cina sebanyak 4.476 orang, kuli Tamil 459 orang, dan orang Jawa
316 orang. Perkembangan jumlah kuli semakin meningkat pada tahun-tahun
berikutnya, yang terbanyak adalah kuli Cina (53.806 orang pada 1890 dan 58.516 orang
pada 1900) dan kuli Jawa (14.847 orang pada 1890 dan 25.224 orang pada 1900);
sementara kuli Tamil bertambah menjadi 2.460 orang pada 1890 dan 3.270 orang pada
1900.
Kedatangan suku bangsa Punjabi ke Sumatera Utara dimulai pada akhir abad ke
19 untuk bekerja sebagai buruh kontrak pada perkebunan tembakau raya milik Belanda
(Sandhu dan Mani 1993:85). Lebih lanjut, Veneta (1998:23) juga menjelaskan bahwa
suku bangsa Punjabi yang datang ke Indonesia khususnya ke Sumatera Utara adalah
para pria yang belum menikah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan
bekerja di perkebunan milik Belanda. Mani (1980:58) menguraikan pada masa
penjajahan Belanda, orang – orang Punjabi beragama Sikh biasanya bekerja sebagai
penjaga keamanan, pengawal di istana dan kantor-kantor, penjaga toko, dan lain-lain.
Orang Sikh yang bekerja di perkebunan juga bertugas sebagai penjaga malam dan
pengantar surat, juga memelihara ternak sapi untuk memproduksi susu (dalam Lubis:
2005).
Gambaran Umum Yayasan Missi Gurdwara Medan (Shree Guru Tegh Bahadur)
Gurdwara adalah tempat ibadah penganut agama Sikh yang banyak didominasi
etnis Punjabi. Sedangkan dalam bahasa Punjabi, gurdwara mengandung arti gerbang
menuju guru, sebuah tempat beribadah umat Sikh. Keberadaan sebuah gurdwara
sangatlah penting bagi umat Sikh. Sebab dengan adanya gurdwara, umat Sikh dapat
menjalankan kegiatan ritual keagamaan yang terdapat pada ajaran Sikh dan
melaksanakan kegiatan – kegiatan sosial dan budaya.
Sebuah gurdwara ditandai dengan bendera berwarna kuning atau disebut nishan
sahib. Nishan sahib adalah bendera Sikh berbentuk segitiga berwarna kuning orange.
Ada simbol Sikh atau khanda yang menghiasi bendera ini. Khanda dikenali dengan
simbol pusatnya, yang terbentuk atas tiga bagian yakni sebilah khanda (pedang dua
mata sisi), sebuah chakar (relang), dua kirpans (pedang). Simbol senjata perang dalam
bendera agama Sikh membuktikan dwi peranan persaudaraan Sikh. Bendera ini
tergantung di sebuah tiang yang ditutup penuh dengan kain kuning dan di atasnya
sebilah khanda besi pada pangkal tiang. Bendera ini berdiri di kawasan halaman
Gurdwara ataupun diikatkan pada salah satu tembok. Lambang Sikh pada bendera
biasanya berwarna biru.
Pada umumnya tempat ibadah Sikh ini ramai dikunjungi oleh sanggat (jemaat)
pada setiap hari minggu pagi. Di hari tersebut, terdapat pula orang-orang di luar umat
Sikh yang berkunjung. Biasanya masyarakat umum sekedar melihat-lihat bangunan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
206
gurdwara, dan beberapa masyarakat yang diperbolehkan makan, biasanya para penarik
becak di sekitar Jalan Polonia.
Pada keyakinan umat Sikh, gurdwara adalah tempatnya waheguru (Tuhan) dan
pusat dari kegiatan agama (ibadah) Sikh, baik secara bersama-sama maupun secara
personal. Kegiatan agama bersama-sama dilaksanakan ketika terdapat kegiatan-
kegiatan tertentu secara kelompok.Sedangkan untuk kegiatan personal dilaksanakan
saat ibadah sendiri. Berbagai kegiatan dapat dilaksanakan di sebuah gurdwara,
diantaranya kegiatan ibadah, kegiatan budaya (pernikahan, ritus peralihan, syukuran),
kegiatan sosial/amal, dan pendidikan.
Bagi kepercayaan Punjabi Sikh, gurdwara adalah tempat yang sakral/suci,
sehingga tidak diperbolehkan melakukan hal – hal yang dianggap dapat merusak nilai
kesakralan/kesucian sebuah rumah Tuhan, seperti membawa atau makan makanan
nonvegetarian, merokok dan atau berkata kasar. Siapapun yang masuk ke dalam
gurdwara, baik itu penganut agama Sikh maupun masyarakat umum harus dapat
menjaga kesopanan/ tingkah laku dan kebersihan diri.
Gurdwara Tegh Bahadur merupakan salah satu gurdwara yang terdapat di
Sumatera Utara. Nama gurdwara Tegh Bahadur diambil dari nama guru kesembilan
dalam agama Sikh yaitu Shree Guru Tegh Bahadur. Gurdwara Tegh Bahadur terletak di
wilayah Kelurahan Polonia, Kecamatan Medan Polonia, bertempat di jalan Polonia
No.172 Medan. Pada sisi depan gurdwara terdapat sekolah TK/SD/SMP/SMA Angkasa
2 dan diapit oleh dua rumah warga disisi sebelah kanan dan kiri.
Untuk denah gurdwara, lebih lanjut dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 2. Denah Lokasi Shree Gurdwara Tegh Bahadur
Nilai-Nilai Multikulturalisme di Lingkungan Gurdwara Tegh Bahadur, Medan
Polonia
JALAN POLONIA
SEKOLAH TK/SD/SMP/SMA ANGKASA 2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
207
Sejak perkembangan perkebunan tembakau di akhir abad 19, Medanmenjadi kota
yang multikultural sebab banyaknya kelompok masyarakat dari berbagai tempat yang
bermigrasi untuk dipekerjakan sebagai karyawan di onderneming di wilayah ini.
Berbagai etnis dari Indonesia bahkan di luar Indonesia, termasuk Suku Punjabi
berduyun-duyun untuk pergi merantau ke Sumatera Timur. Kedatangan Etnis Punjabi
Sikh ke Medan secara umum didorong oleh tekanan ekonomi. Disamping itu Umat Sikh
juga ingin mengembangkan agama Sikh ke seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan anjuran
agama yang dianut bahwa agar setiap generasi muda Sikh pergi merantau untuk
pengembangan diri demi kelangsungan hidup dan juga perbaikan di bidang
pendidikan.Di kota Medan, agama berperan penting dalam mengekspresikan identitas
sebagai kelompok masyarakat. Hal ini dilakukan untuk pengkhususan kelompok
agamanya dengan masyarakat lainnya.
Kehidupan Umat Sikh Punjabi di lingkungan Gurdwara Shree Tegh Bahadur
berjalan dengan lancar. Masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut terdiri dari etnis
Tionghoa, Batak, Melayu, Hindu, dan ada juga Jawa. Dari beragam etnis yang terdapat di
wilayah tersebut, tidak ditemukan adanya ketegangan atau konflik antar etnis sikh
dengan kelompok masyarakat lainnya. Mereka saling menjaga nilai – nilai multikultural,
seperti saling toleransi antar agama, saling menghormati dan menghargai antar etnis,
mengakui keberadaan kelompok masyarakat lain dan berusaha selalu menyesuaikan
diri dengan kelompok masyarakat lain.
Bagi umat Sikh, Siapapun boleh mengunjungi gudwara Sikh, karena menurut
Sikh,”Kita semua adalah satu dalam Nama-Nya. Janganlah membenci masyarakat yang
mencela Sikh dan jangan mencintai masyarakat yang memuji dalam- dalam agama Sikh,
tetapi kasihilah semuanya, inilah satu - satunya jalan lurus menuju terang abadi.”
Sebuah kalimat yang sarat dengan konsep multikulturalisme. Hal inipun sesuai dengan
Lawrence A. Blum (2001:16) yang mendefinisikanmultikulturalisme sebagai sebuah
pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya masyarakat, serta sebuah
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis masyarakat lain. Merujuk pada
definisi tersebut dipahami bahwa dalam konsep multikulturalisme tercakup tiga sub
nilai:
- Pertama, menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai
warisan budaya seseorang;
- Kedua, menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang (dan
dari) kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya;
- Ketiga, menilai dan merasa senang dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan itu
sendiri, yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang
berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai
dan dipelihara.
Dalam kehidupan bersama seperti itu, individu-individu dari berbagai etnis ini
tentu sangat mengharapkan adanya kehidupan yang harmonis. Kehidupan tanpa
adanya keributan ataupun konflik yang pastinya hanya akan menimbulkan sebuah
kerugian. Pandangan multikulturalisme sepertinya merupakan salah satu ideologi yang
terbaik dalam meminimalisir konflik-konflik yang terjadi. Pandangan yang sangat
bertolak belakang dengan pandangan etnosentris yang terkadang begitu melekat dalam
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
208
setiap diri individu/ kelompok, yaitu sebuah pandangan yang menganggap etniknya
lebih tinggi derajatnya daripada etnik yang lain.
Berdasarkan Mahfud, Choirul (2006:75) akar dari multikulturalisme adalah
kebudayaan. Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing – masing yang unik. Dengan
demikian setiap individu merasa dihargai sekaligus mereka bertanggung jawab untuk
hidup bersama komunitasnya.
Gurdwara yang pertama kali dipimpin oleh ghiani atau pendeta pertama yakni De
Lipe Singh, adalah seorang yang beretnis ganda. Ayahnya beretnis Batak dan beragama
kristiani dan ibunya seorang yang beragama Sikh. Ia hidup dalam lingkungan Sikh,
besar dan belajar agama di India, dan setelah dewasa menjadi seorang pendeta pada
agama Sikh di Gurdwara ini.
Nilai – nilai multikultural ternyata terlihat dalam setiap aktivitas umat Sikh Punjabi
di lingkungan Gurdwara. Baik EtnisPunjabi Sikh sendiri maupun etnis lain tidak
mengalami konflik yang berarti dengan memedomani konsep saling mengasihi dalam
kebaikan. Hal ini terlihat dengan adanya undangan yang diberikan kepada umat
beragama lainnya setiap kali mengadakan pesta, seperti upacara ritus peralihan. Hal ini
dilatarbelakangi bahwaEtnis Punjabi Sikh sudah berteman baik dengan kelompok
masyarakat lain di wilayah ini. Seperti yang telah diuraikan pada alinea sebelumnya,
kelompok masyarakat lain bebas masuk ke dalam rumah ibadah sejauh mengikuti
peraturan atau adat istiadat yang ditentukan yakni tidak merokok, tidak makan amis,
dan memakai penutup kepala. Berdasarkan hasil wawancara, ibu S.Khaor yang menjadi
salah satu informan mengutarakan bahwa,
” Masyarakat – masyarakat boleh masuk kesini,tukang becak banyak yang datang
kemari, kadangpun mereka makan disini,boleh, kita ga papa. Gakada masalah.”
Selain itu masyarakat diluar Etnis Punjabi Sikh juga biasanya diundang apabila ada
perayaan – perayaan yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat lain dan
menghadirinya.
Identitas Legal Umat Sikh dalam Kehidupan Multikulturalisme di Indonesia
Persoalan tentang bagaimana multikulturalisme dapat berdampak pada identitas
legal agama Sikh telah menjadi utopia panjang bagi para penganutnya. Keinginan untuk
diakui secara sah di mata hukum masih juga belum tercapai. Sekilas bila melihat gaya
berpakaian Sikh, banyak yang keliru menganggap umat ini sebagai syeikh dalam agama
Islam. Agama sikh sebagai agama monotheisme yang percaya pada satu Tuhan (Ek
Omkara) sedapat mungkin membentuk dan memperkuat identitasnya. Franz von
Benda-Beckham dan Keebet von Benda Beckham (2011:21) mengungkap bahwa
identitas merupakan hasil dari proses identifikasi yang muncul dalam relasi sosial.
Secara umum dikatakan bahwa identitas dan identifikasi saling berelasi sebab dalam setiap relasi itu, aspek-aspek yang berbeda dari identitas seseorang akan dibentuk dan
diperkuat.
Ramstedt (2010:18-19) juga mengutarakan dalam kajian sosiologi hukum, konsep
identitas merujuk pada “perasaan seseorang tentang dirinya dalam hubungannya
dengan orang lain dan dengan masyarakat secara umum”. Identitas dibentuk dan
diubah oleh proses sosialisasi dan dalam hubungan dengan orang lain di dalam konteks
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
209
tempat dapat ditemukannya berbagai kategori identitas dari berbagai level abstraksi
yang berbeda. Berbagai kategori identitas dikonstruksi dan dipertahankan pada lapisan
organisasi sosial yang berbeda. Contohnya adat dan Islam adalah kategori – kategori
identitas yang ada pada tingkat abstraksi ideologis tertinggi yang kemudian
diterjemahkan ke dalam lapisan kerangka kelembagaan hukum yang lebih khusus,
tetapi sering bermuatan ideologi yang dalam.
Beckmann (2011) menambahi bahwa identitas kategoris semacam ini, atau yang
sering disebut identitas kolektif memiliki makna kognitif dan normatif: sebagai cara
untuk memahami diri dan membentuk norma-norma perilaku untuk kategori-kategori
individu yang ikut dalam proses identifikasi seseorang atau diidentifikasi pada
seseorang. Identitas kategoris (kolektif) berbeda menurut tingkat ‘kepentingan’, yaitu
peranan sebuah kerangka untuk mendefinisikan hubungan sosial, dan menurut tingkat
“keluasan”, yaitu keluasan ruang sosial tempat suatu identitas kategoris memainkan
peranannya.
Beckmann (2011) melanjutkan, bahwa identitas kategoris berfungsi sebagai cara
untuk mengidentifikasi seorang individu, kelompok, relasi, dan lembaga. Individu yang
mengidentifikasi identitasnya sendiri bisa, dalam batas-batas tertentu, dan mengambil
dari kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan atau dipaksakan pada mereka.
Dengan melalui proses askripsi dan identifikasi diri, identitas kategoris dikonkretkan
dengan cara ditorehkan (inscribed) pada seorang individu atau pada hubungan sosial.
Identitas individual biasanya terdiri dari sejumlah elemen ideosinkrites. Ini bisa juga
termasuk kategori-kategori identitas seperti etnisitas, keanggotaan dalam kelompok
religius atau kelompok bahasa, kelas sosial, dan sebagainya.
Penganut agama Sikh yang
didominasi Etnis Punjabi
menunjukkan wujud nyata
pembentukan identitas itu melalui
dua institusi sosial yang penting
bagi Agama Sikh. A.Mani (1980:85)
menguraikan dua hal itu ialah
gurdwara (tempat ibadah) dan
sistem kekerabatan Sikh. Para
penganut Agama Sikh menjalankan
banyak ragam kegiatan upacara
keagamaan dan tradisi di Gurdwara
melalui simbol-simbol yang khas
bagi Sikh. Tak luput sistem kekerabatan yang dimiliki dilestarikan dengan menerapkan
sistem pernikahan endogami, sehingga para penerusnya diharapkan berasal dari
keturunan yang sama.
Di Indonesia kuantitas umat Sikh juga cukup banyak, khususnya di wilayah Sumatera Utara dan hampir seluruhnya dianut oleh Etnis Punjabi. Setiap agama pasti
memiliki hari besar yang kerap dirayakan secara bersama-sama oleh seluruh
penganutnya. Dan seirama dengan enam agama yang diakui di Indonesia, Sikh juga
punya hari besarnya yang ia sebut vaisakhi. Namun, apa jadinya bila umat agama itu
sendiri kesulitan atau hampir tidak bisa merayakan hari besarnya? Paling tidak hal ini
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
210
sering terjadi pada umat Sikh yang sedang mengenyam pendidikan di Indonesia dan
atau sedang bekerja di perusahaan/ perkantoran dan pemerintahan.
Keinginan untuk dapat merayakan hari besar, baik dengan khusuk beribadah atau
bersuka cita kian pupus seiring belum diakuinya agama Sikh di Indonesia. Padahal bila
merujuk pada syarat-syarat diakuinya sebuah agama menurut PBB, maka Sikh sudah
memilikinya. Namun, Permasalahan tidak hanya terletak pada hal tersebut saja, tetapi
juga perihal identitas Punjabi Sikh sebagai warga negara Indonesia. Hal ini berkaitan
dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Walaupun SBKRI
sudah tidak berlaku lagi terutama bagi warga Negara Indonesia (WNI) keturunan, tetapi
faktanya apabila ada keraguan terhadap status kewarganegaraan seorang pemohon
(misalnya pengurusan paspor), ia tetap akan diminta untuk menunjukkan SBKRI
(Thung Ju Lan, 2010:210-211).
Selain itu permasalahan juga terdapat dalam pembuatanE-KTP. Kolom agama
dalam E-KTP menjadi kegalauan tersendiri bagi etnis Punjabi Penganut agama Sikh ini
sebab di luar keenam agama yang diakui negara, maka kolom agama dikosongkan.
Lebih lanjut, hal ini menimbulkan diskriminasi bagi penganut agama Sikh, semisal
kesulitan dalam pencatatan perkawinan, kelahiran, dan kematian. Tentu ada keinginan
untuk diakuinya agama Sikh secara tertulis dalam E-KTP. Pada umumnya umat Sikh
yang belum diakui sebagai agama resmi di Indonesia saat ini lebih memilih agama
Hindu sebagai salah satu dari enam agama yang diakui untuk dicantumkan pada KTP/E-
KTP.
SIMPULAN
Kehidupan multikulturalisme di Kota Medan telah tercermin dengan adanya
harmonisasi yang terjalin antar kelompok etnis dan agama tanpa menimbulkan konflik.
Salah satunya yang dilakukan oleh Etnis Punjabi Penganut Agama Sikh. Namun
demikian, di samping itu Umat Sikh harus gigih bekerja sama dengan waktu yang cukup
lama agar dapat meyakinkan negara bahwa agama sikh dapat diakui. Setidaknya
kegigihan penganut agama Konghucu yang mengalami banyak diskriminasi selama
hampir 20 tahun di Indonesia akibat dikeluarkannya inpres Soeharto No.14 Thn 1967
perlu dicontoh. Diskriminasi semakin kuat terjadi, namun umat Konghucu tidak
berdiam diri. Usahanya terbalaskan dengan berlakunya kepres Abdurrahman Wahid
No.6 Thn 2000 tentang Pencabutan inpres Soeharto No.14 Thn 1967. Di tahun
berikutnya, etnis Thionghoa dapat berlega sebab presiden Abdurrahman Wahid
menjadikan tahun baru imlek sebagai hari libur fakultatif. Kemudian oleh presiden
Megawati ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Kepres No.19 Thn 2002.
Dengan berlakunya keputusan ini, umat Khonghucu lega sebab dapat mengecap
kebebasan beragama dengan mengekpresikan segala bentuk adat istiadat, kepercayaan,
dan ritual agama.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 200 - 211
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024
211
DAFTAR PUSTAKA
Almirzanah, Syafa’atun. 2009. When Mystic Masters Meet (Paradigma Baru dalam Relasi
Umat Kristiasni-Muslim). Jakarta:Gramedia.
Aulakh, S.S.Maret 2000. Guru Darbar.Media Khalsa, No.2/Maret 2000, hal.10
Aulakh, Sukhdev Singh. 1999. Vaisakhi dan Gurdwara Bersejarah. Medan: Yayasan Missi
Gurdwara Shri Guru Tegh Bahadur Sahib Ji.
Lubis, Zulkifli. 2005. Kajian awal tentang komunitas Tamil dan Punjabi di Medan. Jurnal
Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. 1 (3)
Mahfud, Chairul. 2006. Pendidikan Multikulturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mayaratu, Thari. 2011. Ajaran Ketuhanan dalam Agama Sikh: Skripsi. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Ramstedt. 2010. Kegalauan Identitas. Jakarta: Kompas Gramedia
Sing, Prithipal. 2009. The History of Sikh Gurus. Delhi: Lotus Press.
Spradley. 2006. Metode Etnografi. Jakarta: Djambatan
Tilaar, HAR. 2004. Multikulturalisme : Tantangan – Tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta
Veneta. 1998. Toko Sport Orang Punjabi; Suatu Studi Antropologi tentang Budaya
Korporasi Bisnis Perdagangan Alat-alat Olahraga di Medan. Skripsi. Medan:
Universitas Sumatera Utara.