+ All Categories
Home > Documents > Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

Date post: 16-Oct-2021
Category:
Upload: others
View: 8 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
12
Persepsi Kotinin Sitokrom P450 2A6 Nikotin Remaja Trans-3’-Hidroksikotin
Transcript
Page 1: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

Persepsi

Kotinin

Sitokrom P450 2A6

Nikotin

Remaja

Trans-3’-Hidroksikotin

Page 2: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

EDITORIAL

Pengantar Redaksi

Salam Sehat,

Redaksi

Page 3: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

Volume 27 No. 3, September 2017 ISSN 0853-9987

MEDIA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

DAFTAR ISI

ARTIKEL

1. Inter-Individual Variability of Cytochrome P450 2A6 Activity in Javanese Smokers’ Urine

133–140

(Christine Patramurti, Sudibyo Martono, Sugiyanto, dan Arief Nurrochmad)

2. Persepsi Remaja Nonperokok terhadap Pictorial Health Warnings di Kota Gorontalo

141–152

(Zulfiayu Sapiun, Misrawatie Goi, dan Lucky Herawati)

3. The Relationship between Respiratory Infections and Healthy Homes in Children Under Five, Indonesia 2013

153–160

(Puti Sari Hidayangsih, Dwi Hapsari Tjandrarini, Olwin Nainggolan, and Noor Edi W. Sukoco)

4. Keterjangkauan Biaya untuk Mendapatkan Pengobatan pada Anak dengan HIV AIDS dan Infeksi Oportunistik

161–168

(Andi Leny Susyanty, Rini Sasanti Handayani, dan Sugiharti)

5. Penguraian Parasetamol oleh Sel dan Protein Ekstraselular Khamir Candida tropicalis dan Rhodotorula minuta

169–174

(Heddy Julistiono, Ernawati Saragih, dan Titin Yulineri)

6. Kratom (Mitragyna speciosa Korth): Manfaat, Efek Samping dan Legalitas

175–184

(Mariana Raini)

7. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tradisional Ramuan Menggunakan Jamu Tersaintifikasi (Studi Kasus di BKTM Makassar dan Puskesmas A Karanganyar)

185–196

(Lusi Kristiana, Herti Maryani, dan Weny Lestari)

Page 4: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...
Page 5: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Volume 27 No. 3, September 2017 ISSN 0853-9987

Lembar AbstrakLembar abstrak ini boleh digandakan/dicopi tanpa ijin dan biaya

NLM: WF 200

Christine Patramurti1*, Sudibyo Martono2, Sugiyanto3, dan Arief Nurrochmad3

1Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III, Paingan, Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 2Departemen Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi Pharmacy, Gadjah Mada University, Indonesia, Jl. Sekip Utara, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 3Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, Jl. Sekip Utara, Sinduadi, Yogyakarta*Korespondensi Penulis: [email protected]

Variasi Aktivitas Enzim Sitokrom P450 2A6 pada Individu Perokok Suku Jawa

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. 27 No. 3, September 2017; Hal. 133–140

Nikotin, senyawa utama dalam rokok, merupakan senyawa yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap efek ketergantungan rokok. Kecepatan metabolisme nikotin diduga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah rokok yang dihisap oleh seorang perokok. Oleh karena itu, jumlah rokok yang dihisap oleh seorang pemetabolisme cepat akan lebih banyak dibanding dengan pemetabolisme lambat. Nikotin dalam tubuh akan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 2A6 menjadi kotinin, dimana kotinin selanjutnya akan diubah menjadi 3’-hidroksikotinin. Rasio 3’-hidroksikotinin terhadap kotinin (3OH-Cot/Cot) menunjukkan aktifitas sitokrom P450 2A6. Rasio 3OH-Cot/Cot dari 50 urin sampel perokok ditentukan dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi HPLC menggunakan kolom C8 fully endcapped residual silanol, detektor UV serta menggunakan ekstraksi cair-cair. Semua subjek uji yang terlibat pada penelitian ini telah diidentifikasi mempunyai genotipe CY22A6*1/*4. Aktivitas enzim CYP2A6 yang ditunjukkan dengan rasio 3OH-Cot/Cot pada penelitian ini berada pada rentang 0,10 - 0,93. Sebanyak 84% subjek uji teridentifikasi sebagai slow metaboliser dan hanya sebanyak 16% subjek uji yang teridentifikasi sebagai fast metaboliser. Terdapat hubungan yang positif antara rasio 3OH-Cot/Cot dengan jumlah rokok yang dihisap perhari (r = 0,327, p = 0,020).

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa kecepatan metabolisme nikotin merupakan salah satu yang menentukan jumlah rokok yang dihisap oleh seorang perokok serta mendukung penggunaan rasio 3OH-Cot/Cot sebagai penanda kecepatan metabolisme nikotin.

Kata kunci: nikotin, kotinin, tans-3′-Hidroksikotinin, Sitokrom P450 2A6---------------------------------------------------------------NLM: QV 766

Zulfiayu Sapiun1*, Misrawatie Goi1, dan Lucky Herawati31Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Gorontalo, Jalan Taman Pendidikan No. 36 Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Indonesia2Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta, Jalan Tatabumi No. 3 Banyuraden, Gamping, Banyuraden, Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewah Yogyakarta 55293, Indonesia*Korespondensi Penulis: [email protected]

Persepsi Remaja Nonperokok terhadap Pictorial Health Warnings di Kota Gorontalo

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. 27 No. 3, September 2017; Hal. 141–152

Remaja laki-laki usia 13-15 tahun yang merokok meningkat dari 23,4% pada tahun 2007 menjadi 29,3% pada tahun 2013. Sementara itu, usia perokok awal mulai bergeser dari 15-24 tahun menjadi 10-14 tahun. Untuk membendung laju kenaikan jumlah perokok, khususnya pada generasi muda, pemerintah Indonesia telah mewajibkan perusahaan rokok untuk mencantumkan Pictorial Health Warnings (PHW) pada kemasan rokok yang mereka produksi. PHW adalah gambar yang terdapat dalam kemasan rokok yang memuat tentang merokok dapat menyebabkan kanker mulut, tenggorokan, paru-paru/bronkitis kronis; kematian; dan membahayakan anak kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik, pengetahuan, dan persepsi remaja nonperokok terhadap PHW serta hubungan antarvariabel. Desain penelitian adalah potong lintang dengan

Page 6: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

populasi penelitian remaja laki-laki nonperokok sebanyak 2.473 orang. Adapun sampel penelitian sebanyak 219 orang yang dipilih secara stratified random sampling. Variabel penelitian berupa karakteristik, pengetahuan, dan persepsi terhadap PHW. Analisis data menggunakan Chi kuadrat untuk bivariat dan regresi logistik untuk multivariat. Hasil penelitian menunjukkan 86,8% responden memiliki pengetahuan baik dan 71,7% memiliki persepsi sangat baik tentang PHW walaupun 69,9% dari orang tua mereka adalah perokok. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan persepsi terhadap PHW pada remaja nonperokok.

Kata kunci: remaja, merokok, pictorial health warning----------------------------------------------------------------NLM: QV 766

Puti Sari Hidayangsih1*, Dwi Hapsari Tjandrarini1, Olwin Nainggolan1, dan Noor Edi W. Sukoco2

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560, Indonesia2Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560, Indonesia*Korespondensi Penulis: [email protected]

Hubungan antara Infeksi Saluran Pernapasan dan Rumah Sehat pada Balita, Indonesia 2013

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. 27 No. 3, September 2017; Hal. 153-160

Lingkungan berperan sangat penting dalam penyebaran penyakit, terutama pada balita. Rumah sehat diyakini dapat membantu menurunkan prevalensi penyakit, terutama infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita. Artikel ini memaparkan hubungan antara rumah sehat dan ISPA pada balita. Analisis menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan Potensi Desa (PODES) 2014, di 33 provinsi di Indonesia. Sampel adalah balita dengan jumlah 59.175 orang, dibedakan menjadi pernah didiagnosis ISPA atau tidak dan tinggal di rumah yang dikategorikan sehat atau tidak. Indikator rumah sehat disusun sesuai dengan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Dirjen P2M & PL dan Kepmenkes No. 829. Terdapat 15 variabel yang membentuk 3 kelompok komponen penyusun rumah sehat. Penilaian kriteria rumah sehat menggunakan nilai dan bobot sesuai pedoman. Terdapat 2 variabel komponen yang tidak dapat

dimasukkan dalam komposit rumah sehat yaitu perilaku membersihkan lantai dan membuang kotoran anak ke toilet akibat keterbatasan data. Analisis data menggunakan regresi logistik. Proporsi rumah sehat di Indonesia masih rendah. Sebanyak 23,2% (n = 13.744) rumah tangga dengan balita dinyatakan sebagai rumah sehat, dan 26% (n = 15.364) balita didiagnosis ISPA. Ditinjau dari letak geografis, kawasan di pulau Sumatera merupakan yang tertinggi untuk persentase rumah tangga dengan balita yang memenuhi kriteria rumah sehat. Ditemukan perbedaan risiko sebesar 1,13 kali lebih besar balita menderita ISPA pada rumah tangga yang terpapar pencemaran udara dalam rumah baik pada rumah sehat maupun bukan rumah sehat. Pencemaran udara dalam rumah mempengaruhi kejadian ISPA pada balita. Diperlukan pengaturan penggunaan bahan bakar memasak dan sumber penerangan dalam rumah yang ramah lingkungan.

Kata kunci: balita, ISPA, rumah sehat----------------------------------------------------------------NLM: WB 55

Andi Leny Susyanty1*, Rini Sasanti Handayani1, dan Sugiharti21Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Penelitian Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta, Indonesia2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta, Indonesia*Korespondensi Penulis: [email protected]

Keterjangkauan Biaya untuk Mendapatkan Pengobatan pada Anak dengan HIV AIDS dan Infeksi Oportunistik

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. 27 No. 3, September 2017; Hal. 161-168

Pengobatan HIV AIDS merupakan pengobatan seumur hidup, sehingga keberlangsungan pengobatan sangat berpengaruh terhadap hasil pengobatan. Keterjangkauan biaya adalah salah satu aspek yang dapat meningkatkan akses dan keberlangsungan pengobatan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keterjangkauan biaya pengobatan HIV dan IO pada ADHA di daerah penelitian. Penelitian dilakukan secara potong lintang di 5 provinsi, 10 kabupaten/kota dengan responden sebanyak 238 pendamping ADHA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber biaya pengobatan masih bervariasi antara BPJS, gratis pemda, dan biaya sendiri, dengan nilai rata-rata biaya berobat sekali

Page 7: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

kunjungan mulai dari Rp. 52.773 hingga Rp. 222.042 dengan besar biaya maksimal Rp. 1.203.000. Persentase rata-rata biaya berobat dibanding pengeluaran rumah tangga selama 1 bulan berkisar 3,8–8,9% dengan nilai maksimal sebesar 56,7%. Biaya medis yang ditanggung ADHA paling besar adalah untuk pemeriksaan laboratorium, sementara biaya non medis yang masih bermasalah adalah biaya transportasi ke fasilitas kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka pemerintah perlu memfasilitasi kebutuhan pengobatan HIV AIDS dalam bentuk satu paket pengobatan pada BPJS, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan dokter, obat ARV dan IO, pemeriksaan laboratorium rutin serta pengobatan IO. Manajer kasus atau konselor sebaiknya mulai didekatkan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat dengan rumah pasien, sehingga pendamping ADHA tidak merasa khawatir dengan stigma selama menjalani pengobatan.

Kata kunci: biaya, HIV AIDS, Infeksi Oportunistik, ADHA----------------------------------------------------------------NLM: WC 810

Heddy Julistiono*, Ernawati Saragih, dan Titin YulineriPusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Raya Jakarta – Bogor Km. 46 Cibinong Bogor, Jawa Barat Indonesia 16911*Korespondensi Penulis: [email protected]

Penguraian Parasetamol oleh Sel dan Protein Ekstraselular Khamir Candida tropicalis dan Rhodotorula minuta

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. 27 No. 3, September 2017; Hal. 169-174

Khamir dapat digunakan sebagai sel model untuk mempelajari toksisitas pada sel mamalia. Pada penelitian sebelumnya diketahui bahwa khamir Candida tropicalis mampu memetabolisme obat analgesik parasetamol dan mengakibatkan terjadinya cekaman oksidasi pada sel seperti yang terjadi pada sel mamalia. Pada sel mamalia, metabolisme parasetamol terutama dilakukan setidaknya oleh enzim membran sitokrom P450 dan peroksidase. Untuk mengetahui indikasi keterlibatan enzim peroksidase dalam metabolisme parasetamol pada C. tropicalis dan Rhodotorula minuta, diamati efek senyawa inhibitor peroksidase kalium sianida (KCN) terhadap metabolisme parasetamol; juga efek hidrogen peroksida (H2O2), senyawa substrat peroksidase. Hasil menunjukkan bahwa pada kedua khamir, baik pada sel maupun protein

ekstraselular dapat mengurai parasetamol. Penguraian parasetamol dapat dihambat oleh KCN (0,01 µM) dan juga H2O2 (3 µM). Mengingat pada umumnya khamir memiliki P450 dalam sel (membran) tetapi tidak ada aktivitas P450 pada larutan ekstraselular, maka hasil ini mengindikasikan adanya peran enzim terlarut dalam mengurai parasetamol, yang dihambat oleh KCN dan H2O2. Kemungkinan enzim terlarut tersebut adalah peroksida yang kemampuan metabolisme parasetamolnya dapat dihambat oleh H2O2 melalui proses kompetitif dan keracunan dibahas dalam penelitian ini. Kemampuan metabolisme parasetamol oleh enzim yang diduga peroksidase menambah peluang penggunaan khamir dalam penelitian toksisitas parasetamol di tingkat sel.

Kata kunci: Candida tropicalis, Rhodotorula minuta, parasetamol, sel model, peroksidase----------------------------------------------------------------NLM: QX 140

Mariana RainiPusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta IndonesiaKorespondensi Penulis: [email protected]

Kratom (Mitragyna speciosa Korth): Manfaat, Efek Samping dan Legalitas

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. 27 No. 3, September 2017; Hal. 175-184

Kratom atau Mitragyna speciosa Korth (Rubiaceae) merupakan tanaman yang sering dijumpai di Asia Tenggara. Tanaman ini dimanfaatkan dalam pengobatan herbal untuk mengobati beberapa penyakit seperti diare, pereda nyeri, batuk, hipertensi, dan lemah syahwat. Mengonsumsi kratom dapat memberikan efek stimulan pada dosis rendah dan efek seperti opiat pada dosis menengah hingga tinggi. Kratom sering disalahgunakan dan mudah diperoleh melalui internet. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji tanaman kratom sehingga dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan instansi terkait tentang manfaat, efek samping, dan legalitas penggunaan kratom. Metode yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menganalisis artikel kratom dari jurnal nasional dan internasional. Hasil kajian menunjukkan penggunaan kratom secara rutin atau dalam suatu periode dapat menimbulkan adiksi dan ketergantungan. Pengguna yang mencoba menghentikan penggunaan kratom

Page 8: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

dapat menyebabkan gejala putus obat. Gejala putus obat diantaranya anoreksia, nyeri dan kejang otot, nyeri pada tulang dan sendi, mata/hidung berair, rasa panas, demam, nafsu makan turun, diare, halusinasi, delusion, mental confusion, gangguan emosional, dan insomnia. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) telah memasukkan kratom ke dalam New Psychoactive Products (NPS). Indonesia mengizinkan mengonsumsi, menumbuhkan, dan memperdagangkan kratom. Kesimpulannya adalah kratom mempunyai efek seperti narkotika dan dapat menimbulkan adiksi. Pemerintah sudah selayaknya melarang penggunaan, penanaman, dan peredaran kratom.

Kata kunci: kratom, penggunaan, efek samping, narkotika----------------------------------------------------------------NLM: WA 400

Lusi Kristiana*, Herti Maryani, dan Weny LestariPusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560, Indonesia.*Korespondensi Penulis: [email protected]

Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Tradisional Ramuan Menggunakan Jamu Tersaintifikasi (Studi Kasus di BKTM Makassar dan Puskesmas A Karanganyar)

Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. 27 No. 3, September 2017; Hal. 185-196

Pelayanan kesehatan jamu menggunakan hasil program Saintifikasi Jamu (SJ) merupakan hal yang masih baru. Saat ini penyelenggara pelatihan SJ adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT). SK Komisi Nasional Saintifikasi Jamu (Komnas SJ) terakhir adalah tahun tahun 2013 dan berlaku selama satu tahun. Hingga kini belum ada lagi pembentukan Komnas SJ, sehingga program ini terkesan jalan di tempat. Penelitian pelaksanaan pelayanan jamu hasil program SJ di fasilitas pelayanan kesehatan masih belum banyak dilakukan,

bahkan data mengenai fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan jamu pun belum tercatat dengan baik. Oleh sebab itu perlu dikaji gambaran pelaksanaan pelayanan kesehatan menggunakan jamu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus yang dilakukan di Puskesmas A Karanganyar dan BKTM Makassar, serta B2P2TOOT sebagai penyelenggara pelatihan program SJ. Lokasi dipilih secara purposive, yaitu penunjukan puskesmas oleh Dinkes Karanganyar, sedang BKTM karena merupakan institusi milik Kemenkes. Penelitian dilakukan pada tahun 2015. Faktor yang diteliti berupa sumber daya manusia, anggaran, ketersediaan bahan jamu, serta dukungan regulasi yang mengatur pelaksanaan pelayanan. Data diambil dengan cara wawancara mendalam kepada responden, dan data sekunder berupa laporan tahunan, SK dan peraturan yang berlaku. Responden adalah semua petugas yang terlibat dalam pelaksanaan pelayanan SJ meliputi dokter, apoteker, perawat dan bagian manajemen. Data dianalisa dengan teknik analisa konten. Masalah utama pelaksanaan program SJ adalah perlunya payung hukum penyelenggaraan program. Monitoring dan evaluasi program SJ belum intensif. Pelatihan SJ bermanfaat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan jamu, namun terkendala dengan terbatasnya SDM yang terlatih, tidak tersedia anggaran rutin, yang akhirnya mempengaruhi ketersediaan jamu. Regulasi yang melindungi pelaksana pelayanan juga belum ada. Perlu dipikirkan aturan tentang Komnas SJ agar pelaksanaan program SJ bisa dijalankan dengan baik. Perlu ada pembinaan dan monitoring pelaksanaan pelayanan program SJ serta tindak lanjut yang diperlukan. Hasil penelitian jamu perlu disebarluaskan sehingga dapat diaplikasikan oleh jejaring SJ. Regulasi yang diperlukan sebagai payung hukum agar jejaring SJ dapat melakukan penelitian berbasis pelayanan dengan optimal.

Kata kunci: saintifikasi jamu, pelayanan kesehatan tradisional, jamu

Page 9: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

Media of Health Research and Development

Volume 27 No. 3, September 2017 ISSN 0853-9987

Abstract SheetThis abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge

NLM: WF 200

Christine Patramurti1*, Sudibyo Martono2, Sugiyanto3, and Arief Nurrochmad3

1Faculty of Pharmacy, Sanata Dharma University, Kampus III, Paingan, Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 2Departement of Pharmaceutical Chemistry, Faculty of Pharmacy, Gadjah Mada University, Indonesia, Jl. Sekip Utara, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 3Departement of Pharmacology and Clinical Pharmacy, Faculty of Pharmacy, Gadjah Mada University, Indonesia, Jl. Sekip Utara, Sinduadi, Yogyakarta*Author’s Correspondence: [email protected]

Inter-Individual Variability of Cytochrome P450 2A6 Activity in Javanese Smokers’ Urine (Orig Ind)

Media of Health Research and DevelopmentVol. 27 No. 3, September 2017; p. 133–140

Nicotine, the active compound on cigarette,was a compound that responsible to smoking addiction. The rate of nicotine metabolism is hypothesized to be a determinant of how much a person smokes. That is, rapid metabolizers would be expected to smoke more than slow metabolizers. Nicotine is metabolized extensively by the liver enzyme cytochrome P450 2A6, primarily to cotinine. Cotinine then metabolized by cytochrome P450 2A6 to 3’-hydroxycotinine. The ratio of metabolite to parent (i.e., 3OH-Cot/Cot) would be expected to reflect CYP2A6 activity. The ratio of 3OH-Cot/Cot in the 50 urine smokers was measured by HPLC method with an C8 fully endcapped residual silanol-type column coupled and UV detection with liquid-liquid extraction. All of the subject had been genotyped as CYP2A6*1/*4. Upon completion of the study, the CYP2A6 activity determined by ratio 3OH-Cot/Cot were between 0.01-0.93. There were 84% of subject identified as slow metabolizer and only 16% of subject identified as fast metabolizer.The ratio of

3OH-Cot/Cot was positively correlated with the number of cigarettes smoked per day (r = 0.327, p = 0.020). This finding supports the hypothesis that the rate of nicotine metabolism is a determinant of the level of cigarette consumption and supports the use of the 3OH-Cot/Cot ratio as a non-invasive marker of nicotine metabolism.

Keywords: nicotine; cotinine; trans-3′-Hydroxyco-tinine; Cytochrome P450 2A6 ----------------------------------------------------------------NLM: QV 766

Zulfiayu Sapiun1, Misrawatie Goi1, and Lucky Herawati21Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Gorontalo, Jalan Taman Pendidikan No. 36 Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Indonesia2Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta, Jalan Tatabumi No. 3 Banyuraden, Gamping, Banyuraden, Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewah Yogyakarta 55293, Indonesia*Author’s Correspondence: [email protected]

Perception of Non-Smoking Teens against Pictorial Health Warnings in Gorontalo City (Orig Ind)

Media of Health Research and Development Vol. 27 No. 3, September 2017; p. 141–152

The 13-15 year old male smoker increased from 23.4% in 2007 to 29.3% in 2013. Meanwhile, the age of the initial smoker begin to shift from 15-24 years to 10-14 years. To anticipate the rate of increase in the number of smokers, especially in the younger generation, the Indonesian Government has obliged tobacco companies to include Pictorial Health Warnings (PHW) on the cigarette packaging they produce. PHW is an image contained in cigarette packaging that contains about smoking can causes cancer of the mouth, throat, lungs/bronchitis chronic; death, and endanger small children. This study

Page 10: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

aims to identify characteristics, knowledge, and perception of non-smoker teenagers to PHW and the relationship between variables. The study design was cross-sectional with non-smoking male teen research population of 2,473 people. As for the sample of 219 people selected by stratified random sampling. The research variables are characteristic, knowledge, and perception toward PHW. Data analysis used Chi-squared for bivariate and logistic regression for multivariate. The results showed 86.8% respondents had good knowledge and 71.7% had very good perception about PHW although 69.9% of their parents were smokers. There is a significant relationship between knowledge and perception of PHW in non-smoker teenagers.

Keywords: teenagers, smoking, pictorial health warning----------------------------------------------------------------NLM: QV 766

Puti Sari Hidayangsih1*, Dwi Hapsari Tjandrarini1, Olwin Nainggolan1, and Noor Edi W. Sukoco2

1Center for Human Resources and Health Servic-es Research and Development, NIHRD, Ministry of Health RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Ja-karta 10560, Indonesia2Center for Humaniora and Health Management Research and Development, NIHRD, Ministry of Health RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560, Indonesia*Author’s Correspondence: [email protected]

The Relationship between Respiratory Infections and Healthy Homes in Children Under Five, Indonesia 2013 (Orig Ind)

Media of Health Research and DevelopmentVol. 27 No. 3, September 2017; p. 153-160

Environment plays a very important role in the spread of disease, especially in children under five. Healthy homes are believed to help reduce the prevalence of disease, especially acute respiratory infections (ARI) in infants. This article describes the relationship between healthy home and ARI in children under five. The analysis used the data of Basic Health Research (Riskesdas) 2013 and Potential Villages (PODES) 2014, in 33 provinces of Indonesia. The sample is 59,175 children under five, distinguished to have been diagnosed with or without ARI and with or without staying at healthy home. Healthy home indicators are prepared in accordance with the Healthy Home Technical Guidelines published by the Ministry of Health. There are 15 variables

that make up 3 groups of components of healthy homes. The criteria assessment uses value and weight according to the guidelines. There are 2 component variables that could not be included in the composite healthy home due to data limitations, which are the behaviour of cleaning houses and toileting children. Data analysis using logistic regression. The proportion of healthy homes in Indonesia is still low. A total of 23.2% (n = 13,744) of households with under-fives children were declared as healthy homes, and 26% (n = 15,364) infants were diagnosed with ARI. Based on geographical location, Sumatera is the highest percentage of households with children under five who meet the criteria of healthy homes. A risk difference was found to be 1.13 times greater for children under five with ARI in households exposed to indoor air pollution in both healthy and non-healthy homes. Air pollution in the home affects the incidence of ARI in infants. Regulation of the use of cooking fuel and friendly home lighting source is necessary.

Keywords: children under five, healthy home, ARI----------------------------------------------------------------NLM: WB 55

Andi Leny Susyanty1*, Rini Sasanti Handayani1, and Sugiharti21Center for Human Resources and Health Services Research and Development, NIHRD, Ministry of Health RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta, Indonesia2Center for Public health Research and Development, NIHRD, Ministry of Health RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta, Indonesia*Author’s Correspondence: [email protected]

Affordability Cost of Treatment for Children Living with HIV AIDS and Opportunistic Infections (Orig Ind)

Media of Health Research and DevelopmentVol. 27 No. 3, September 2017; p. 161-168

HIV AIDS treatment is a lifelong treatment, so the continuity of treatment is very influential on the treatment outcome. Affordability is one aspect that can improve access and continuity to HIV AIDS and opportunistic infections (OI) treatment in Children Living with HIV AIDS (CLWHA). This study was conducted to determine the affordability of HIV and OI treatment costs on CLWHA in the study area. The study was conducted cross sectional in 5 provinces, 10 districts / cities and 238 CLWHA companions as

Page 11: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

peroxide (H2O2) on paracetamol degradation by cell suspension and extracellular protein of C. tropicalis and Rhodotorula minuta was carried out. Paracetamol was degraded by cells or extracellular protein in both of yeast. Paracetamol degradations were significantly inhibited by KCN (0.01 µM) or H2O2 (3 µM). Since P450 is generally located inside the cell (in cell membrane) while no activity of P450 in extracellular, the data indicated the presence of soluble enzyme which is able to metabolize paracetamol that is inhibited by KCN or H2O2. The possibility of presence of peroxidase in the soluble protein by which paracetamol is metabolized and its inhibition by peroxide via competitive substrate or peroxide toxicity is discussed. The results supported use of yeast for studying toxicity of paracetamol in cell level.

Keywords: Candida tropicalis, Rhodotorula minuta, paracetamol, cell model, peroxidase----------------------------------------------------------------NLM: QX 140

Mariana RainiCenter for Biomedical and Basic Technology of Health Services Research and Development, NIHRD, Ministry of Health RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta IndonesiaAuthor’s Correspondence: [email protected]

Kratom (Mitragyna speciosa Korth): Benefits, Side Effects and Legality (Orig Ind)

Media of Health Research and DevelopmentVol. 27 No. 3, September 2017; p. 175-184

Kratom or Mitragyna speciosa Korth (Rubiaceae) is tree that is commonly found in Southeast Asia. It has been considered useful as a herbal medication to treat a number of problems such as diarrhea, in the alleviation of pain, coughs, hypertension, and to improve sexual performance. The ingestion of kratom produces a stimulant effect at low dosages and an opioid-like effect at medium to high dosages. Kratom is often misused and easily purchased from the internet. The aim of this study is to review kratom from national and international journal, therefore, it can give the information for people and relevant institution related to the use, side effects and legality of kratom. the result of this study showed that the use of kratom regularly or over a period of time could lead to dependence and addiction. The users had tried to stop using kratom as they developed with drawal symptoms.

a responden. This study showed that source of medical cost still varies between health insurance (BPJS), free local government and out of pocket cost, with median cost of treatment for once visit was starting from Rp. 52,773 to Rp. 222,042 with maximum cost was Rp. 1,203,000. The average percentage of treatment costs compared to household expenditures for 1 month were ranged from 3.8 to 8.9% with a maximum value of 56.7%. The most medical costs covered by CLWHA was a laboratory tested, while the non-medical costs that were still problems was transportation cost to health facilities. Based on this study, the government needs to facilitate the HIV AIDS treatment in the BPJS treatment package starting from enrollment, doctor’s examination, ARV and OI medication, routine laboratory tested and OI treatment. Case manager or counselor should begin to be brought closer to the health facility closest to the patient’s home, so CLWHA’s companion does not feel worried about the stigma during treatment.

Keywords: Cost, HIV AIDS, Opportunistic Infection, CLWHA----------------------------------------------------------------NLM: WC 810

Heddy Julistiono*, Ernawati Saragih, and Titin YulineriResearch Center for Biology – Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jl. Raya Jakarta – Bogor Km. 46 Cibinong Bogor, Jawa Barat Indonesia 16911*Author’s Correspondence: [email protected]

Paracetamol Degradation by Cells and Extracelullar Protein of Yeast of Candida tropicalis and Rhodotorula minuta (Orig Ind)

Media of Health Research and DevelopmentVol. 27 No. 3, September 2017; p. 169-174

Yeast can be used as cell model to study toxicity in mammalian cell. In the previous study we demonstrated that yeast Candida tropicalis was able to metabolize analgesic drug paracetamol causing oxidative stress. This phenomenon is similar to that in mammalian cell. In mammalian cell system, enzymes responsible in paracetamol metabolism are at least cytochrome P450 (P450) and peroxidase. In order to understand the possible role of peroxidase enzyme in paracetamol metabolism in yeast, research on the effect of peroxidase inhibitor of sodium cyanide (KCN) and a peroxidase substrate

Page 12: Nikotin Kotinin Trans-3’-Hidroksikotin Sitokrom P450 2A6 ...

The symptoms of withdrawal included anorexia, weight lost, decreased sexual drive, insomnia, muscle spasms and pain, aching in the muscles and bones, watery eyes/nose, hot flushes, fever, decreased appetite, diarrhea, hallucination, delusion, mental confusion, emotional disturbance, insomnia. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) has classified kratom as a New Psychoactive Substances (NPS). Indonesia allows the consumption, plant and trade of kratom. it can be concluded that ratom has a narcotic-like effect and it can cause dependence and addiction. The government should ban the use, planting and distribution of kratom.

Keywords: kratom, use, side effects, narcotic----------------------------------------------------------------NLM: WA 400

Lusi Kristiana*, Herti Maryani, and Weny LestariCenter for Humaniora and Health Management Research and Development, NIHRD, Ministry of Health RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560, Indonesia.Author’s Correspondence :[email protected]

Jamu Scientific on Traditional’s Health Services (Case Study on BKTM Makassar and Puskesmas A Karanganyar) (Orig Ind)

Media of Health Research and Development Vol. 27 No. 3, September 2017; p. 185-196

Health Services using jamu as the results of Saintifikasi Jamu (SJ) program is new. B2P2TOOT is the organizer of SJ training. The last Decree of National Commission for Saintifikasi Jamu (Komnas SJ) was signed in 2013 and valid for 1 year. Until now there is still no new formation

of Komnas SJ. The implementation of jamu as result SJ program in health service facility is rare. Therefore description of the implementation of health services use jamu become important to be examined. This was a qualitative study using case study design. Study was conducted in the Puskesmas A Karanganyar, BKTM Makassar, and B2P2TOOT as the organizer of the SJ training. The location was selected purposively. The study was done in 2015. The factors that were examined in the form of human resources, budget, availability of herbs, and support regulations in the implementation of services. The primary data was taken by in-depth interviews. Secondary data were annual reports, decree and regulations. The respondents were all officers involved in the SJ services such as doctor, pharmacy, nurses and the management. The data had been analyzed with content analysis techniques. The main problem of implementation SJ was the need for a penal provision. Monitoring and evaluation of the program SJ had not been done intensively. SJ training was useful in the conduct of the health services using jamu, but hindered by the limited number of trained personnel, availability of budget, which ultimately affected the availability of herbs. The regulation which protects the commissioning services is urged. The regulation about Komnas SJ is also needed, therefore, the implementation of SJ program can be conducted well. Moreover, monitoring and evaluation of services using jamu program SJ and follow up is required. Research results from SJ program need to be published in order to be applied by the SJ network. Some regulations that protect SJ network is important as well so that they can do services by research based optimally.

Keywords: saintifikasi jamu, traditional health services, jamu


Recommended